A.
Pengertian Hakim
Berbicara pengertian “Hakim” pasti
kita banyak menimbulkan berbagai macam pertanyaan yang ada di benak kita
sebenarnya, bagaimana menjadi seorang hakim itu, apakah dia selalu benar,
berbuat sesuai aturan, tanpa ada kesalahan yang dilakukannya, tanpa kekhilafan
dalam menjalankan sesuatu dalam kehidupann dunia ini? Jawabanya dari kesemua
itu adalah tidak. Hakim adalah seorang manusia biasa, hanya saja ia mempunyai
suatu keahlian dibidangnya. Hakim merupakan salah satu yang berkewajiban dalam sistem penegakan hukum,
yang
mempunyai tugas pokok menerima,
memeriksa dan memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara
yang
diajukan kepadanya. Oleh karena itu seorang
Hakim mempunyai
peran yang sangat
penting dalam menegakkan
hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Sehingga
para
pencari keadilan selalu berharap, perkara yang diajukannya dapat diputus oleh Hakim
yang profesional
dan memiliki integritas moral
yang tinggi sehingga putusannya nanti
tidak hanya
bersifat legal justice (keadilan
menurut hukum) tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral)
dan social justice
(keadilan masyarakat).
Hakim memegang peranan penting dalam penegakan hukum. Berprofesi
sebagai hakim memang harus diperlukan suatu ilmu yang sangat memadai, karena Hakim
dianggap mengetahui
semua hukumnya (ius curia
novit) yang akan
menentukan hitam
putihnya hukum melalui putusannya. Sebab pengalaman banyak terjadi dalam prakteknya penegakan hukum sering dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam
perundang-undangan. Atau
meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas, karena memang tidak ada satu
hukum atau
Undang-Undang mengatur yang selengkap-lengkapnya mengingat
masyarakat
yang
diatur oleh hukum
senantiasa berubah (dinamis).
Dengan
demikian untuk melengkapi dan untuk mewujudkan suatu pengadilan yang
benar-benar mencari keadilan, terhadap kekurangan atau
ketidaklengkapan aturan
hukum atau
Undang-undang harus dilengkapi
dengan jalan menemukan hukum
agar aturan
hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dan subyek yang memiliki wewenang dalam menegakan
hukum menemukan
hukum itu,
tidak lain adalah Hakim.
Keadilan merupakan
salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga
kemanfaatan hukum. Maka metode penemuan hukum
inilah yang dituntunkan kepada hakim agar aturan
hukumnya
dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat dihasilkan
putusan yang ideal, yang mengandung aspek juridis (kepastian),
filosofis
(keadilan) dan kemanfaatan (sosiologis).
Secara global dapat dikatakan bahwa penegakan hukum secara mendasar
merupakan pelaksanaan dan pengamalan hukum (anwendung des recht), yang menurut
penulis termasuk salah satu obyek pokok dari (telaah) filsafat hukum. Hal ini
sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Soejono
Koesoemo Sisworo,
SH CN, bahwa “penegakan hukum oleh Hakim melalui
penemuan hukum itu
termasuk obyek
pokok dari telaah filsafat
hukum1. Disamping masalah
lainnya
seperti hakekat pengertian hukum,
cita/tujuan
hukum
dan berlakunya hukum. Sedangkan menurut Lili Rasyidi,
obyek pembahasan filsafat hukum masa kini memang tidak terbatas pada masalah tujuan
hukum
melainkan juga setiap
masalah mendasar yang muncul
dalam masyarakat dan
memerlukan pemecahan2. Masalah itu antara lain :
1)
Hubungan
hukum
dengan
kekuasaan
;
2)
Hubungan hukum dengan
nilai-nilai sosial budaya ;
3)
Apa sebabnya negara berhak menghukum
seseorang ;
4)
Apa sebab orang menaati hukum
;
5)
Masalah pertanggungjawaban ;
6)
Masalah hak
milik ;
7)
Masalah kontrak ; dan
8) Masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (social engineering).
Sedangkan menurut Theo
Huybers,
unsur yang menonjol dalam
telaah
filsafat hukum
antara lain tentang arti hukum kaitannya
dengan hukum alam serta prinsip etika, kaitan hukum dengan
pribadi
manusia dan masyarakat, pembentukan hukum,
serta
perkembangan rasa
keadilan
dalam Hak Asasi manusia3.
Dalam pada itu patut dicatat, hakim sebagai bentuk sebuah bidang yang
menjadi ahli di bidang itu, Ketika dalam
menjalankan tugasnya
memeriksa dan memutus perkara terutama dalam
menemukan hukum dan nilai-nilai keadilan,
seorang Hakim dituntut selain menguasai
teori ilmu hukumnya
juga harus menguasai
filsafat hukum.
Bagi seorang Hakim untuk membuat putusan yang
idealnya
harus
memenuhi
unsur filsafat seperti Keadilan
(filosofis), kepastian
hukum (juridis) dan kemanfaatan (sosiologis) sekaligus. Oleh karena itulah
diperlukan keberanian Hakim melalui diskresi/kewenangan yang dimilikinya untuk dapat menemukan
hukumnya
(rechtsfinding) berdasarkan pendekatan yang lebih
komprehensif dan integral melalui analisis filsafat.
Seseorang sebagai
praktisi yang menekuni dunia hukum,
khususnya seorang Hakim dapat
memberikan konsepsi dan sumbangannya melalui putusannya dengan
tetap
berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam filsafat hukum
yang bercorak tidak semata-mata
logis-rasional-intelektual tetapi
sekaligus
ethis, intuitif dan bahkan divinatoris, yakni mempertaruhkan dan
melibatkan panca indera bathin/sensus interior yang
khusuk terbuka dan siap menerima
hidayah, inayah Tuhan Yang Maha
Esa
Setelah kita
ketahui di atas bahwa mengetahui dan
memahami filsafat
hukum
dengan berbagai sifat dan
karakternya tersebut, maka
sebenarnya
filsafat hukum
dapat
dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau
pemecahan terhadap permasalahan yang harus
dihadapi Hakim dalam proses
menemukan hukum.
B. Pengertian
Penemuan Hukum dalam Sebuah Telaah Filosofis
Dari sejak mulanya
manusia berjuang buat hidup, berjuang dengan alam yang membatasi lingkungannya.
Supaya langkah dapat diperluas, perlulah dikuasainya alam itu yang dahulu
menjadi Tuannya. Jadi untuk menguasainya yaitu mengetahui keadaannya,
mengetahui kedudukaan satu-satunya khusus manusia yang hidup selalu berkelompok
dan akhirnya membentuk suatu masyarakat yang kompleks, maka sudah jelas hukum
harus di tegakan. Dengan mengeluarkan Karya dan
proses pemikiran
dan penggarapan
atas suatu
masalah hukum konkrit.
Salah satunya dengan menggunakan suatu atau berbagai metode interpretasi hingga sampai kepada kesimpulan dan
keputusan
itulah merupakan pokok pengertian dari penemuan hukum (rechtsvinding) dari berbagai kepustakaan4. Sedangkan hakekat tugas dan fungsi
Hakim adalah melakukan penemuan hukum dengan hasil keputusan hati nurani terhadap perkara yang diajukan kepadanya untuk diperiksa
dan diadili. Penemuan
hukum (istilah yuris –tehnis/ilmiah, bukan kata kerja sehari-hari) dilakukan
dalam bidang peradilan, dapat juga dalam wilayah ketatanegaraan dan ketata pemerintahan.
Menurut Suyono membedakan definisi penemuan
hukum
dalam arti umum dan dalam
arti khusus sebagai berikut4: Definisi yang umum penemuan hukum, adalah keseluruhan proses berpikir dari seorang
juris, yang
dengan menggunakan
suatu metode interpretasi menghantarkan dan membawanya kepada suatu putusan
hukum atau
pengembangan
dan pertumbuhan hukum.
Definisi
yang
khusus, penemuan hukum adalah proses dan karya yang
dilakukan oleh hakim, yang menetapkan
benar dan tidak benar menurut hukum dalam suatu situasi
konkrit yang
diujikan kepada hati nurani5.
Dan karya itu bersifat intelektual, rasional, logis, intuitif dan ethis.
Dalam hubungannya
dengan ungkapan diatas tentang pandangan penulis bahwa penemuan hukum khususnya
yang dilakukan oleh hakim (derectelicjke rechtvinding) cukup berharga (waardig)
menjadi salah satu obyek salah satu
telaah filsafat hukum. Idealnya setiap
pelaku penemuan hukum, khususnya Hakim harus mampu
ber”triwikrama”, yaitu
yang
secara fundamental proporsional
memahami dan menguasai Trilogi Dunia
hukum yang meliputi faktisitas-normativitas
dan idealitas hukum
in abstracto dan in concreto setiap kali
menghadapi perkara untuk diperiksa dan diadili. Dengan demikian fungsi
Hakim dalam triwikrama adalah :
1. Hakim
sebagai corong yang menyuarakan
Undang-undang.
2.
Hakim sebagai penterjemah
dan penyambung lidah
Undang-undang.
3. Hakim sebagai manusia susila yang berpikir dan menimbang demi dan menurut keadilan.
Ketika kita
memperhatikan bebrapa fungsi hukum diatas, ternyata dalam prakteknya masih banyak Hakim yang masuk dalam
golongan pertama yaitu
yang
berpendirian segala sesuatu
tentang
hukun
sudah termuat dalam Undang-undang sehingga cukup menerapkannya secara
sillogisme dan berasumsi akan diperoleh
putusan
yang
benar atas suatu kasus
yang
dihadapi. Masih sedikit diantara
Hakim-hakim kita yang mampu secara mandiri berkarya
sebagai penerjemah dan penyambung lidah Undang-undang. Apalagi mampu
berpikir sebagai manusia berbudi
dalam menimbang dan berfikir secara adil dan bijaksana.
Sesungguhnya
secara
filsafati
konsepsi
tersebut masing-masing adalah identik dengan
cita/tujuan dari hukum yang tidak lain
adalah keadilan yang komponennya terdiri dari
kepastian hukum,
kegunaan menurut tujuan dan keadilan dalam arti sempit. Sebagaimana
dikemukakan Prof.Dr.H.Muchsin, SH.
Bahwa keadilan merupakan
salah satu tujuan dari
hukum selain dari
kepastian hukum
itu sendiri dan
juga kemanfaatan hukum. Sedangkan
makna keadilan itu sendiri masih menjadi
perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan
pendistribusian yang merata
antara hak dan
kewajiban. Demikian sentral dan dominan
kedudukan
dan peranan dari nilai keadilan bagi
hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan ” rechct ist wille zur gerechtigkeit”
(hukum adalah kehendak demi untuk keadilan).
Berbeda
dengan Soejono K.S mendefinisikan Keadilan adalah
keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas
kehadiran dan perkembangan kebenaran
yang beriklim
toleransi
dan kebebasan. Perwujudan penegakan
hukum oleh
Hakim pada hakekatnya
adalah pelaksanaan
atau pengamalan hukum yang menurut Soejono K. S.
termasuk obyek telaah filsafat hukum. Dalam melaksanakan tugas menerapkan hukum
yang
dilandasi dengan penafsiran hukum secara filsafati itulah dinamakan Hakim telah melakukan penemuan hukum. Jadi penemuan hukum itu adalah salah satu
wujud dari penegakan
hukum oleh
Hakim.
Sementara itu juga
menurut Paul
Scholten, penemuan hukum
itu senantiasa merupakan
karya
yang
bersifat intelektuil sekaligus intuitif susila. Sedangkan menurut
Esser, penemuan hukum tidaklah pernah
semata-mata pekerjaan subsumsi. Lebih
fundamentil penemuan
hukum
sebagai hasil/resultante. Putusan hakim
sebagai ”gewetensbeslissing” (putusan
hati
nurani) menurut konsepsi
Scholten9.
C. Peran Hakim Sebagai Subyek Penemuan Hukum
Dalam arti sempit/khusus
penegakan hukum (law enforcement) adalah kegiatan kekuasaan negara yang
dilakukan oleh aparatur pemerintah/eksekutif (kepolisian, kejaksaan, dsb).
Sedangkan dalam arti luas Hakim/Pengadilan termasuk didalamnya. Bagi negeri
kita hal itu dapat di lihat pada pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”.
Penegakan hukum dalam hal mememukan
hukum yang hidup dalam masyarakat, yang di lakukan oleh hakim mencakup wilayah
hukum publik baik hukum pidana maupun hukum privat. Karena itu sektor inilah
yang akan lebih banyak yang akan disorot ketimbang komponen-komponen yang lain.
Pada hakekatnya penegakan hukum itu merupakan pengamalan hukum (anwendung des
rechts) dapat berbentuk pembuatan
Undang-Undang (wetgeving, kegiatan membuat produk-produk legislatif ) maupun
dengan penafsiran hukum simultan dikerjakan pelaksanaan atau penerapan hukum
(teopasing van het recht/law aplication). Pelaksanaan penerapan hukum disertai
dan dilandasi penafsiran hukum itulah, dengan kata lain dinamakan Penemuan
Hukum (rechtsvinding/lawfinding). Walhasil penemuan hukum adalah salah satu
wujud penegakan hukum.
Hakim dalam wujud menemukan hukum sangat dibutuhkan
perannya, karena pada perkara yang diperiksa dan diadili oleh hakim pada
umumnya mengandung kepentingan-kepentingan pendukung, nilai-nilai (kerohanian
dan atau kenafsuan kebendaan) yang saling berlawanan, yang berlatar
belakang historis dan situasi sosial
tertentu. Karena itu penggarapannya dengan wahana wirklijchkeithectrachtung dan
welrhetrachtung, sepantasnya menuju kearah suatu putusan yang berwujud antara
lain:
a.
Pemulihan hak dan atau
pembebanan kewajiban kepada pihak-pihak yang bersangkut-paut menurut
perilakunya masing-masing.
b.
Memberikan pengaruh
baik secara khusus maupun secara umum kepada masyarakat.
c.
Menghilangkan atau
setidak-tidaknya mengurangi keresahan dan ketidak tentraman dalam masyarakat
yang ditimbulkan oleh delik tau pelanggaran lain yang merugikan.
Karena itu putusan itu semestinya
mengindahkan “die etische foerderungen” dan “die soziale bedurfnisse”
(tuntutan-tuntutan moral- etis dan kebutuhan-kebuthan masyarakat), terlepas
dari metode penafsiran apapun juga yang dipakai. Menurut Esser putusan yang diambil oleh hakim itu
(dapat) terjadi secara intuitif belaka seketika setelah hakim mentelaah secara
ringkas-cermat atas fakta-fakta dari
perkara yang diajukan kepadanya. Kemampuan tersebut dimungkinkan oleh
“vorverstandnis” yang dimiliki oleh hakim yang bersangkutan, yaitu
pengalaman-pengalaman yang telah
diperoleh hakim selama pendidikan dan karir yang dijalaninya.
Dengan
demikian itu maka putusan itu pada hakekatnya hanya berupa konstruksi yuris
yang dibuat sesudah sesudah dan diperuntukan sebagai uraian penalaran,
motivering dan pertanggungjawaban atas kesimpulan putusan intuitif yang dimuka
telah diperoleh. Post-konstruksi itu dimaksudkan dengan kata lain yaitu sesuai
dengan ondertitel karya tulisnya itu sebagai jamian rasional terhadap putusan
hakim yang dalam fase/langkah pertama bersifat intuitif-irrasional
(dieratinalitatsgarantion des richtenlichten entscheidungspraxis). Perihal itu
sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan visi Paul Scholten bahwa penemuan hukum
itu senatiasa merupakan karya bersifat intelektuil sekaligus intuitif asusila.
Dalam rangka pengamalan hukum dimana
hakim ketika menggali dan menemukan hukum
dengan bertitik tolak pada asumsi hukum itu pada pokoknya ditentukan
pada tujuan normanya, maka pada hakekatnya dari putusan itu harus bisa mencerminkan nilai-nilai yang dapat di harapkan masyarakat
yang biasanya tentram menikmati ajaran seneca “homo sacra res homini” (manusia
yang satu adalah suci bagi manusia yang lain, dan menghindari putusan yang yang
di robek-robek oleh drama dari plautus “homo homini lupus ” manusia yang satu adalah
serigala bagi manusia yang lain. Dan atau jalan keluarnya tidak bisa di cari
dalam tema “bellum omnium contra omnes” (semua berperang melawan semua). Maka untuk bisa hakim menjadi penegak hukum
dalam hal menemukan hukum harus memiliki jiwa sebagi landasan dasarnya yang
sepadan adalah harus memiliki etika amaliah atas iktikad yang terpuji.
D. Metode
Penemuan Hukum Oleh Hakim
Menurut teori
maupun praktek pengalaman penemuan hukum pada umumnya memiliki berbagai aspek
yang logis-rasional dan yang intuitif bahkan yang syahdu (menggelitik dan yang
mengantarkan perasaan halus manusia) karena itu konsekuensinya, putusan
hakim/pengadilan selayaknya merupakan resultat dan resultante dari
penelitian-analisa dan pertimbangan yang logis irasional ilmiah, berangkat
secara normologis maupun kausal-genetis dalam melibatkan intuisi dan hati
nurani (geweten) terhadap fakta-fakta dalam posita dan alat-alat pembuktian
yuridis relevant dan meyakinkan . Bagi perkara pidana untuk menuju dan pada akhirnya sampai pada
putusan yakni putusan yang adil berdasarkan kebenaran tapi “gesetkonfrom” atau
konsisten dengan sistem hukum nuraninya (gewetensbeslissing) memenuhi
persyaratan yang dituntut oleh renung fikir dari filsafat hukummnya. Dan untuk
memperoleh sebuah
putusan pengadilan
yang
ideal dan filosofis, maka dalam proses menghasilkan karya penemuan hukum seorang Hakim haruslah melakukan pendekatan yang
bersifat intelektual rasional, rasional logis, intuitif
dan ethis serta divinatoris.
Metode pendekatan tersebut oleh Soejono K.S
disebutnya sebagai "Metode Ontologis”.10
Berikut penejalasannya:
a)
Aspek intelektual
rasional, maksudnya Hakim sebagai
subyek
penemuan hukum seharusnya mengenal dan memahami fakta/kenyataan kejadiannya dan peraturan hukumnya yang berlaku yang akan
diterapkan
sesuai ilmunya.
b)
Aspek
Intelektual logis, artinya
dalam penerapan aturan hukum normatif terhadap
kasus posisi
yang
dihadapi, seharusnya mengindahkan
hukum logika baik yang formil maupun yang materiil;dan
c)
Aspek Intuitif, mendambakan perasaan halus
murni
yang
mendampingi ratio dan
logika
sehingga bersama-sama mewujudkan rasa keadilan
yang
pada akhirnya senantiasa
diujikan dan dibimbing
oleh hati nurani, sehingga mengejawantahkan
keadilan
yang
bersifat universal.
Berdasarkan poenjelasan diatas, maka Aspek terakhir itulah yang memberikan
watak irasionil pada penemuan
hukum. Aspek itu pula yang menterjemahkan
aspek ethis sehingga mampu
menerima hidayah dan
inayah dari
Tuhan Yang Maha Esa.
Inilah yang
menurut Soejono yang memberikan
corak divinatoris. Karena penemuan
hukum yang semata-mata
hanya mengandalkan intuisi dan rasa hukum
belaka terlalu
rawan
dan
gawat emosionil dalam
menghadapi kekerasan
dan kepahitan kenyataan
kehidupan. Karena rasa hukum
itu sendiri
bukanlah
fungsi dari
jiwa manusia yang mampu melepaskan
diri dari berbagai motif
irrasionil yang dapat mempengaruhi subyek penemu hukum (hakim) dalam mengambil keputusan.
Hakim jika mengeluarkan melalui putusan
peradilan dengan menggunakan metode
Ontologis
itu secara struktural dan fungsional
akan mampu menemukan hukum dan mewujudkan
hasil karya putusan yang memenuhi
syarat fundamental dari
suatu
putusan ideal
yakni adil, dan gesetzkonform atau systeem consistent yaitu sesuai sistem hukum yang berlaku dinegara
yang
bersangkutan, baik peraturan
hukum tertulis maupun tak tertulis atau azas-azas hukumnya.
Proses penemuan hukum itu sendiri terdiri dari 2 bagian yaitu : Pertama fase heuristik/pencarian (context of discovery) yaitu
proses
pencarian mengenai fakta-fakta yang juridis relevant dan
pasal-pasal UU atau peraturan hukum
yang
bersangkut paut dengan
mengesampingkan subyektifitas/kesan pribadi maupun bisikan hati
atau ilham. Dan kedua fase
legitimasi (context of justification)
yang merupakan
konstruksi pembenaran juridis kemudian setelah diperoleh
kesan
pribadi
yang
membentuk pra
putusan.
Bagi hakim yang kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam bidangnya tidak akan
banyak mengalami kesulitan
atau kekeliruan
(error facti atau
error juris) pada fase heuristik. Namun pada
fase legitimasi, khususnya yang
didahului oleh kesan pribadi
yang
lalu membentuk pra putusan yang diperoleh
secara intuitif
segera setelah konfrontasi
dengan kasus/perkara
yang
bersangkutan
kemungkinan akan
menjadi amat subyektif.
Sedangkan
putusan hakim hendaknya bersifat rasional,
dapat dipertanggungjawabkan (dapat dikontrol/ditelusur/dilacak/dianalisa lagi dan dipahami) perihal segi
adilnya dan serasi pada sistem hukumnya, terutama akseptabel/dapat diterima oleh para pencari keadilan
(justitiabelen) dan dapat benar-benar dipahami pula oleh masyarakat yang merupakan auditorium
yang dirangkum oleh
kultur hukumnya.
Hakim yang besar
menurut Soejono, adalah
yang putusannya merupakan
pancaran dari hati nuraninya
yang dapat dipertanggungjawabkan menurut
hukum dan ilmu hukum
serta mengandung penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan
teori
hukum,
sehingga dapat dipahami dan diterima/akseptabel bagi para
pencari keadilan pada khususnya
dan masyarakat pada
umumnya.
E. Kendala Yang
Timbul Dalam Penemuan
Hukum
Kendala
yang timbul dalam penegakan hukum. Penemuan hukum
oleh Hakim bisa bersifat obyektif dan subyektif
atau bahkan kedua-duanya.
Pada pihak obyeknya yakni masalah/perkara yang diperiksa dan ditangani Hakim
adalah penuh kerumitan/seluk beluk dan tidak
sederhana (complicated). Sedangkan dari segi
subyektif yakni adanya kekeliruan dari
pengambil keputusan (hakim)
atau tidak proporsional
metodologinya
dan atau semrawut arbitrer psikologinya. Menurut Josep Esser, metodologi ilmiah akademis
tidak selamanya
dapat memberikan bantuan
maupun pengawasan
bagi pekerjaan hakim. Yang menonjol justru aspek psikologinya,
walaupun diperlukan dasar penjelasan dan pertanggungjawaban rechtstheoretisnya bagi
penemuan hukum. Dari segi psikologis
proses
terbentuknya putusan
tergantung pada
temperamen dan kepribadian
hakim yang bersangkutan.
Bagi hakim yang kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam bidangnya tidak akan
banyak mengalami kesulitan atau kekeliruan (error facti atau error
juris) pada
fase heuristik.
Kekeringan
ilmu pengetahuan dan ketandusan pengalaman dari Hakim sehingga
menggunakan metodologi yang timpang, besar kemungkinan akan menghasilkan suatu putusan yang error facti dan error iuris pada fase ini. Kendala pada fase legitimasi, berupa
kosntruksi
pembenaran segera
setelah
penelaahan singkat atas kasus
perkara secara
intuitif diperoleh pra putusan yang berwujud pertimbangan-pertimbangan
berdasarkan
kebenaran
semu,
yang
seringkali dodorong oleh faktor subyektif.
Kendala lain yang bercorak rechtstheoretis
fundamental adalah mengenai
hukum perihal
konsepsi dan persepsi dalam rangka pengamalan
hukum. Karenanya yang diperlukan adalah cara berpikir yuridis
filosofis untuk
bisa
mengkaji bersama
masalah penegakan hukum
dan keadilan sekaligus menggalakan dan mengamalkannya.
Untuk
mengatasi berbagai
kendala dalam menjalankan tugas
menemukan hukum, maka seorang Hakim
haruslah memahami
dan menguasai filosofi
dalam metode penemuan hukum secara ontologis sebagaimana
telah diuraikan dimuka dan
menghayatinya
dengan cara selalu
tekun dan ajeg samadhi (sembahyang dan
berdoa) atau
meditasi dan kontemplasi (tafakur) serta membiasakan tidak mementingkan
diri
sendiri. Juga dengan menjalankan ajaran leluhur tentang
sifat-sifat yang
utama sebagaimana
dalam
Hasta
Sila
yaitu :
(1). Heling, (2). pracaya/piyandel,
(3). mituhu (senantiasa ingat
dan percaya kepada Tuhan Yang
Maha
Esa, (4). rela/ikhlas, (5). narimo (tidak rakus, loba, tamak serta iri dengki terhadap orang lain), (6). jujur, (7).sabar, (8). berbudi luhur.
Seorang filosof Islam
yang bernama Abu
Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi, juga pernah mengajarkan ajaran moral yang hampir mirip
dengan hasta sila, yaitu
ia mengajarkan agar hidup ini
jangan terlalu zuhud tetapi jangan
pula terlalu tamak.
Yang baik adalah
yang moderat, segala
sesuatu itu hendaknya menurut kebutuhan.
Dilingkungan kekuasaan kehakiman sendiri, Mahkamah Agung sebagai
lembaga peradilan tertinggi yang
membawahi
Hakim-hakim di seluruh Indonesia juga telah mengeluarkan semacam
pedoman perilaku bagi Hakim yang harus ditaati oleh
setiap
Hakim. Pedoman itu
tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung No:
KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim. Dalam pedoman perilaku
tersebut
terdapat 10 sifat utama
yang
harus diikuti oleh
Hakim sebagai pemtus
perkara dan subyek penemu hukum. Tiga diantaranya mirip dalam Hasta Sila yaitu berperilaku
jujur, arif dan bijaksana, rendah hati disamping sifat lainnya yaitu
berperilaku
adil, mandiri, berintegritas tinggi,
bertanggung jawab, menjungjung tnggi harga diri,berdisiplin tinggi dan profesional.
Sikap dan perilaku Hakim yang harus adil dan arif bijaksana seperti diatur dalam
pedoman perilaku itu
tentunya tidak bisa dilepaskan
dari
moto dan lambang dari jabatan Hakim
yaitu ”Cakra”, yang merupakan
senjata pamungkas Batara Kresna yang diambil dari kisah pewayangan
(budaya jawa).
Dimana Kresna adalah
titisan Dewa Wisnu yang berarti dewa keadilan dan kebijaksanaan.
Jadi filosofi yang terkandung dalam lambang jabatan Hakim
adalah sangat tinggi dan mulia yaitu seorang Hakim diharapkan memiliki sifat-
sifat seperti Dewa Wisnu yaitu adil dan bijaksana
dalam setiap mengambil keputusan.
Sebagai penutup tulisan ini tidak salahnya, penulis
mengutip salah satu falsafah
leluhur kita Ki
Ronggowarsito dalam SERAT SABDA JATI yaitu dengan maksud tidak lain untuk menyelamatkan diri dan tugas agar berhasil mencapai
tujuan
kemaslahatan
bersama. Maka
setiap
negarawan terutama pelaksana penegak hukum
khususnya Hakim
wajib
mengamalkan amanat berikut ini:
”Aywa pegat ngudiya ronging budyayu.
Marganing suka basuki Dimen
luwar kang
kinayun
Kalis ing panggawe
sisip Ingkang taberi
prihatos ” Yang maknanya adalah : jangan
berhenti/jemu mengejar dan
menghayati budi
luhur nan damai,
jalan kearah bahagia-gembira-selamat, agar kabul-tercapai yang dikehendaki, jauh bebas dari tingkah laku nan keliru, dan hendaklah tekun teguh
berprihatin.
Kesimpulan
Proses Penemuan hukum adalah suatu proses dan karya
yang
dilakukan oleh
hakim, yang menetapkan benar dan
tidak benar menurut hukum
dalam suatu situasi konkrit yang diujikan kepada hati nurani. Dan karya itu hendaknya mampu
mewujudkan putusan ideal yakni adil,
sesuai hukum yang berlaku baik peraturan hukum
tertulis maupun
tak
tertulis atau azas-azas
hukumnya.
Pencapaian keadilan itu
dalam suatu adala hal yang yang sangat utama dalam pencapaian hukum. Seperti
pada proses penemuan hukum yang pada hakekat merupakan tugas dan fungsi
dari Hakim adalah melakukan
penemuan hukum berdasarkan keputusan hati nurani terhadap perkara/kasus yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.
Dan untuk memperoleh sebuah
putusan pengadilan yang ideal dan
filosofis, maka dalam proses
menghasilkan karya penemuan hukum seorang Hakim
haruslah melakukan pendekatan yang proporsional yaitu
tidak hanya bersifat intelektual rasional, tetapi juga rasional logis, intuitif dan ethis serta divinatoris.
Metode
pendekatan tersebut dinamakan sebagai
"METODE ONTOLOGIS”.
Seorang Hakim yang besar yang menjadi
subyek paling utama dalam proses penemuan hukum adalah yang putusannya merupakan pancaran dari hati hukum
serta mengandung penalaran-penalaran
yang
berlandaskan filsafat dan
teori hukum, sehingga dapat dipahami dan diterima/akseptabel
bagi para
pencari keadilan pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Untuk itu seorang
Hakim wajib
menghayati falsafah
tentang sifat-sifat
utama seorang Penemu
hukum
yang
baik sebagaimana termuat dalam
Hasta sila, lambang
cakra maupun Pedoman
perilaku Hakim.
Saran
Adapun saran yang dapat di kutip sebagai
berikut:
Bahwa prosedur dalam pembuatan
perundang-undangan,dan penegakannya khususnnya hakim dalam pemutusan perkara,
jika belum ada perundang-undangan yang belum lengkap mengaturnya, maka
diharapkan hakim menggunakan daya pikir logisnya untuk menemukan hukum yang benar-benar
adil dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut, serta
hakim haruslah jangan mempolitikan undang-undang ini lebih menguntungkan
kepentingan pribadi dari pada kepentingan rakyat
DAFTAR PUSTAKA
Lily
Rasyidi, “DASAR-DASAR FILSAFAT
HUKUM”, penerbit Alumni
Bandung, 1982,
Muchsin, Prof.Dr.,
SH., “Sebuah Ikhtisar PIAGAM
MADINAH,
FILSAFAT TIMUR, FILOSOF ISLAM
DAN PEMIKIRANNYA”, penerbit STIH IBLAM, Jakarta, 2004.
Muchsin, Prof.Dr.,SH., “NILAI-NILAI KEADILAN ”, bahan kuliah
filsafat
hukum.
Soeyono Koesoemo Sisworo (1), Pidato ilmiah Dies Natalis
ke-25 UNISSULA, “ Dengan semangat
Sultan agung Kita
tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, Suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas”,
Soeyono Koesoemo Sisworo(2),“
BEBERAPA PEMIKIRAN
tentang FILSAFAT
HUKUM”, penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Theo Huijbers OSC, “ FILSAFAT HUKUM
dalam lintasan sejarah”, penerbit yayasan
Kanisius, Yogjakarta, 1982,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar