Kehidupan semua manusia pasti semua sebelum melakukan sesuatu itu, mereka selalu akan
berpikir dan walaupun mungkin hanya sedikit merenung, tetapi itu adalah merupakan bukti nyata bahwa mereka
itu telah berfilsafat. Maka dengan berfilsafat ini sehingga lambat laun
memunculkan atau melahirkan banyak ilmu, yang mana tujuan murninya untuk memberikan banyak kemudahan dalam
mencapai sesuatu yang mereka jalani dalam kehidupannya. Sebagai wujud nyatanya
yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah adanya
kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Kemajuan
industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan
kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi
untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa
kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu
kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh,
hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran material berganti dengan kesukaran
mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan
perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat
modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih
untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak)
yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah
kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan.
Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup
oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan.
Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian
itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur
ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia.
Dalam
masyarakat beragama, ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai
ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah
ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang
lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan
teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir
tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama
manusia, tetapi juga kepada pencipta-Nya.
Ilmu
merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial,
namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat
ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan
cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan
secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.
Sebab baik filsafat dan sains kedua-duanya dasarnya kemampuan berfikir. Dalam
filsafat ilmu ada tiga aspek atau landasan yaitu sebagai berikut:
a.
Aspek atau Landasan Ontologis
Filsafat
ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu; obyek apa yang
ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Dari
landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan
sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu
mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal,
menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan
yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Menurut
Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan,
ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.
b.
Aspek atau Landasan Epistemologis
Tiang
penyangga yang kedua adalah Epistimologi ilmu atau teori
pengetahuan. Ini merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan
lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta
pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dengan
demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran
penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula tampaknya,
muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan
dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan perumusan
berikutnya.
Kecenderungan
yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu
pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian
tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia,
sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan
dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri
yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah
yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari
kecenderungan yang pertama.
Kedua
kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam
keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan,
kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat
diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah mengubah
batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang
mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi
akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur
sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang
kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru menjadi
pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk menghapus penderitaan manusia.
Kedua
kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini perlu
dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran
akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan
perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan
kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu
bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih
berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan
mekanismenya?
c.
Aspek atau Landasan Axiologis
Tiang
penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah axiologis ilmu; Ilmu adalah sesuatu
yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan
kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan
merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas
penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit
lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan kemudahan lainnya
seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya.
Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya.
Kemudian
timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi
manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia
dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada
awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk
hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu
sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada
nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada
nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap
ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah
kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah
bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan
berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab
moral.
Untuk
lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, berikut adalah keterangan
mengenainya. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai
dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri
Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari
definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.
Etika
menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika
adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di
dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan
norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman
keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena
disekelilingnya.
Nilai
itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan
yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau
fisis.
Dengan
demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang
dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai
subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Nilai
itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan
haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan
eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur
kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada
proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik.
Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan
nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai
adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran
ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk
itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa
berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara
ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan yang
buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan
moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok
yang menakutkan.
Etika
keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang
dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk
kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat
mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan
kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan
apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok
persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah
moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang
bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan
tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia. Nilai
dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral.
Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral
tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik
seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum,
budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait
dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang
berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan
norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi
ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan
ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa
teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya.
Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu
sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Oleh
karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat,
yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan
selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab seorang
ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus
bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain,
kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua
sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah
ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang
ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan
yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat
yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik
dengan memberikan contoh yang baik.
Tentang
tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan
para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan
pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan
ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra
untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah
sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian
yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya
para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk
menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi
ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan
beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu
pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas
sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain
sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat
manusia secara keseluruan.
Dalam
perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang
kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa
hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan
manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu
pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi
objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan telah melahirkan makhluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme
yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme
sistemik yang semakin hari semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan
rasanya telah menjadi suatu dunia baru di atas dunia yang ada ini.
Meninjau
atau mengamati realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara
etika pragmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika pragmatik berorentasi
pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu
pengetahuan dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri
yang bersifat materialistik. Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan
universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi
karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan
kemandirian. Kemajuan ilmu pengetahuan dikembalikan pada tujuan semula
yaitu filsafat ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka
bumi bukan malah sebaliknya mengancam eksistensi manusia.
Diharapkan
perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama
yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan
perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap
ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan
manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.
Sebagaiman firman Allah SWT dalam surah Asy-Syu’ra ayat 183 sebagai berikut yang Artinya “Dan
janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela
di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan bahwa menurut sudut pandang
pemikiran penulis bahwa “Filsafat Ilmu” sangat berguna untuk
memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu,
maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu, melatih
berfikir radikal tentang hakekat ilmu, melatih berfikir reflektif di dalam
lingkup ilmu, menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan
menganggap bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara memperoleh kebenaran, menghidarkan
diri dari egoisme ilmiah, yakni tidak menghargai sudut pandang lain di luar
bidang ilmunya,
agar
ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia. Sebab ilmu pengetahuan mendorong kemajuan
teknologi. Kemajuan teknologi dapat berakibat positif maupun negatif. Supaya
ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak positif bagi manusia perlu
dikendalikan oleh etika. Etika merupakan penilaian terhadap kebudayaan. Perubahan
kebudayaan dapat terjadi akibat perkembangan ilmu dan teknologi. Perubahan
kebudayaan dapat mengakibatkan terjadinya krisis etika sehingga dapat terjadi
krisis kemusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo, Sutarjo. 1983. Problematika
Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta. Kanisius
Bakhtiar A. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Mangunwijaya YB. 1999. Pasca Indonesia
Pasca Einstein; Eseiesei Tentang
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21. Yogyakarta. Kanisius
Kebudayaan IndonesiaAbad ke-21. Yogyakarta. Kanisius
Soewardi H. 1999. Roda Berputar Dunia Bergulir Kognisi
Baru Tentang Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi. Bandung. Bakti Mandiri
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Teori%96teori+Kebenaran+Dalam+Ilmu+Pengetahuan&dn=20080702084806
Ellul J. 1964. The Technological Society. New
York. Alfred Knapf
Sastrapratedja. 1980. Sari Sejarah
Filsafat Barat. Yogyakarta. Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar