A.
Pengertian
“kebijakan” dan pengertian “sistem”
1.
Pengertian
Kebijakan
Kata
“kebijakan/policy” dalam “Webster’s New World College
Dictionary” sebagaimana
terumuskan di bawah ini, berkaitan dengan:
a. Government or polity, political
wisdom or cunning,
b. Wise, expedient or prudent
conduct or management, conduct or management,
c. A principle, plan, or couse of
action, as pursued by a government, organization, individual, etc. (foreign
policy).[1]
Dapat
dipahami bahwa ruang lingkup kebijakan/policy mencakup,
a.
Pemerintah
atau pemerintahan, kebijaksanaan politik atau kecerdikan,
b.
Bijaksana,
atau perilaku bijaksana atau manajemen,
c.
Sebuah
prinsip, rencana, atau penyebab terjadinya tindakan oleh individu atau
organisasi pemerintah seperti kebijakan luar negeri.
Kata
kebijakan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” dari kata dasar “bijak” yang
berarti selalu menggunakan akal budinya, pandai, mahir. Kebijakan merupakan
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang
pemerintahan organisasi dan sebagainya), pernyataan citacita, tujuan, prinsip
atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran,
garis haluan.[2]
Kata dasar “bijak” dalam bahasa Inggris berarti, able, smart, experienced,
wise, sedangkan kebijakan berarti wisdom dan policy.[3]
Dengan demikian dalam
pengertian kebijakan terkandung berbagai hal, yaitu:
a. Rangkaian
konsep dan asas sebagai dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan,
b. Merupakan
cara bertindak di bidang pemerintahan,
c. Sebagai
pernyataan cita-cita tujuan atau prinsip,
d. Sebagai
pedoman manajemen dalam usaha mencapai sasaran dan juga merupakan garis haluan,
e. Keempat
hal di atas, di samping dilandasi penggunaan akal budi, juga kemampuan atau
kecerdikan.
2. Pengertian
Sistem
Dalam “Webster’s New World College Dictionary”,
kata “system” diartikan di antaranya”a set or arrangement of things so related
or connected as to form a unity or organic whole( a solar system, school
system, system of high ways”.[4]
Sistem merupakan suatu kumpulan atau pengaturan terhadap sesuatu/hal
sehingga berhubungan atau tersambung sehingga membentuk sebuah kesatuan atau
keseluruhan organik (sistem matahari, sistem sekolah, sistem cara tinggi.
Definisi konsep “Intelligent-Systems”[5]
merupakan bagian dari alam semesta (dengan ekstensi yang terbatas dalam ruang
dan waktu), lebih kuat dan ada korelasi
antara satu bagian dari sistem dan lainnya, dari antara bagian dari sistem dan bagian luar sistem. Kosep
sistem tersebut juga merupakan berbagai bagian dari hasil ciptaan alam semesta.
Bagian-bagian dari alam semesta yang memiliki korelasi kuat satu sama lain.
Untuk setiap sistem ada korelasi dominan yang bagian-bagiannya memiliki
gravitasi, elektromagnetik hubungan atau komunikasi.
Melengkapi pengertian
sistem dari yang telah dikemukakan di atas, menurut “Wikipedia”[6]
pengertian sistem sebagai:
System (from Latin systēma, in turn from Greek
σύστημα systēma, "whole compounded of several parts or members,
system", literary "composition”) is a set of interacting or interdependent
system components forming an integrated whole .
Yaitu Sistem dari “Systema” menurut bahasa Latin dan
Yunani sebagai "keseluruhan keanekaragaman
dari beberapa bagian atau anggota, sastra "komposisi" adalah seperangkat komponen sistem
berinteraksi atau saling bergantung membentuk
keseluruhan yang terpadu.
Karakteristik umum yang
dimiliki sistem adalah: Sistem memiliki struktur, yang didefinisikan oleh
komponen dan komposisi mereka; Sistem memiliki perilaku, yang melibatkan input,
pengolahan dan output dari bahan energi, informasi, atau data; Sistem memiliki
interkonektivitas: berbagai bagian dari sistem telah fungsional serta hubungan
struktural antara satu sama lain dan; Sistem mungkin memiliki beberapa fungsi
atau kelompok fungsi.
Menggabungkan konsep
kebijakan dan sistem di atas maka “kebijakan sistem” dapat dijelaskan sebagai suatu
rangkaian konsep dan asas sebagai dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan dan
merupakan seperangkat unsur atau perencanaan sesuatu yang teratur, saling
berkaitan sebagai suatu kesatuan atau membentuk suatu totalitas/keseluruhan
yang
terpadu.
3.
Pengertian dan
ruang lingkup kebijakan sistem pemidanaan
Secara teoritik
pengertian dan ruang lingkup sistem pemidanaan dilihat dari sudut
fungsional/luas dan substantif/sempit. Sistem pemidanaan dari sudut fungsional/luas, merupakan keseluruhan
sistem (aturan perundang-undangan) mengenai bagaimana hukum pidana itu
ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi
sanksi (hukum) pidana. Dengan pengertian demikian, sistem pemidanaan identik
dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana
Materiil / Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formil dan sub sistem Hukum
Pelaksana Pidana.[7]
Sistem
pemidanaan dari sudut substantif/sempit merupakan keseluruhan aturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana dan pemidanaan. L.H.C Hulsman
mengemukakan makna system pemidanaan dengan “The
sentencing system is the statutory rules relating to penal sanction and
punishment.[8]
Dalam makna demikian system pemidanaan terkait dengan ketentuan pidana,
karenanya dia merupakan suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh
hakim, sehingga dia mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang
mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.[9]
Pengertian
sistem pemidanaan yang dikemukakan oleh L.H.C Hulsman di atas meliputi “Aturan
Umum”/”General Rules” dan “Aturan Khusus”/”Special Rules”. Keterjalinan antara
kedua aturan tersebut ada dalam rumusan Pasal 103 KUHP berbunyi;
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Bab I sampai dengan
Bab VIII berada dalam Buku Kesatu KUHP dan terdiri dari rumusan Pasal 1 sampai
dengan Pasal 85, sedang Bab IX terdiri dari Pasal 86 sampai dengan Pasal 101.[10]
Ketentuan Pasal 1 sampai dengan Pasal 85 KUHP merupakan sub –sistem dari
kebijakan sistem pemidanaan merupakan suatu keterjalinan yang utuh, artinya
rumusan ketentuan jenis pidana tidak dapat dipisah-lepaskan dengan ketentuan
tentang pedoman dan aturan pemidanaan.
Ruang
lingkup sistem pemidanaan yang dianalisis dalam makalah ini adalah dalam makna
substantif/sempit, yaitu dalam sub-sistem hukum pidana materiil.
Kebijakan
sistem pemidanaan merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana oleh karenanya juga
merupakan usaha mewujudkan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan
demikian kebijakan sistem pemidanaan juga merupakan bagian dari pembaharuan hukum
Pidana.
Hakikat
pembaharuan hukum pidana mengandung makna suatu upaya untuk melakukan orientasi
dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik
dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial,
kebijakan kriminal
dan kebijakan hukum di Indonesia. Secara singkat
dapatlah dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus
ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan
("policy-oriented approach") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi
pada nilai (''valueoriented approach") kebijakan pemidanaan.
B.
Analisis komparatif Kebijakan Sitem
Pemidanaan Yang Berorientasi Kepada Korban Pada Negara Bahamas dan Filipina.
1.
Kebijakan Hukum Pidana Materil Negara
Bahamas
Dalam Hukum Pidana Materiil Bahamas, Pasal
122. kebijakan sistem
pemidanaan yang berorientasi pada korban, terlihat
dari ketentuan, “pengadilan menjatuhkan pidana membayar
kompensasi yang layak kepada seseorang/korban yang
mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku”. Perintah
pembayaran kompensasi berdasarkan Ketentuan Umum.
Ketentuan pembayaran kompensasi juga bagi pelaku tindak
pidana ringan, ditetapkan tidak lebih dari 500 (lima ratus) dolar atau jika melebihi
batas, maka ditetapkan dengan peraturan
yang berkaitan dengan tindak pidananya dan tidak melebihi batas tertingginya.
Bahwa setiap kompensasi
merupakan pidana tambahan dan merupakan pidana pengganti dari pidana lainnya
dan dapat ditetapkan dalam ketentuan pidana:
Art 122:
(1) Any person who
is convicted of an indictable offence may on application of the person
aggrieved be adjudged by the court to make reasonable compensation for
the injury suffered through the crime. General rules as to ordinary
payment of compensation.
(2) Any person who
is convicted of a summary offence punishable under this Code may be adjudged by
the magistrate to make to any person injured by his offence compensation not
exceeding five hundred dollars, or, if a higher limit is fixed by an enactment
relating to the offence, not exceeding that higher limit.
(3) Any such
compensation may be either in addition to or in substitution for any other
punishment; and shall be specified in the order of conviction.
Ketentuan tentang
besarnya kompensasi bagi pelaku tindak pidana ringan merupakan ketentuan yang
patut diperhatikan oleh para pembuat kebijakan, karena kerugian akibat tindak
pidana hanya mungkin diukur, bila kerugian itu berupa materiil. Bagi kerugian
berupa immateriil, tentu sulit mengukurnya.
Dalam salah satu tulisan
yang berjudul; Kebijakan Legislatif tentang Restitusi dan Kompensasi kepada
Korban”, Zul Akrial[11]
mengemukakan pandangannya, bahwa ganti kerugian yang dapat dimintakan oleh
korban lewat pengadilan hanya terbatas pada ganti kerugian yang bersifat
materiil yaitu berupa "rugi" dan "biaya", padahal kerugian
yang dapat ditimbulkan oleh pelaku terhadap korban tidak saja kerugian materiil
melainkan juga kerugian yang bersifat immateriil.
Tidak terdapat alasan
tentang dasar pikiran apa yang melatarbelakangi penentuan jumlah ganti kerugian
yang ditetapkan secara interval, jika dikaitkan dengan kerugian berupa
hilangnya nyawa korban misalnya. Dikaitkan dengan tujuan nasional negara
Indonesia, seperti tercantum dalam Pembukaan DUD 1945, yaitu "melindungi
segenap bangsa Indonesia” dan "untuk memajukan 'kesejahteraan umum", maka
penetapan besarnya jumlah ganti kerugian yang akan dibayarkan pada korban,
seyogyanya juga mengacu pada konsep kesejahteraan. Sehingga ganti kerugian
tidak sematamata demi ganti kerugian itu sendiri, melainkan pertimbangan penentuan
besarnya jumlah ganti kerugian tersebut harus pula bemuansa kesejahteraan.
Konsekuensinya adalah, bahwa jumlah ganti kerugian tidak ditetapkan secara
limitatif dalam wujud interval minimum maksimum.
Dalam segala keputusan
hukum, senantiasa melekat “nilai keadilan”, apalagi bila hukum yang
dipersoalkan adalah hukum pidana yang keberadaannya untuk melindungi
kepentingan hukum masyarakat. Ketika upaya perlindungan dilakukan, hukum pidana
menggunakan alat “pidana”. Inilah alat hukum
pidana yang tak akan pernah berhenti dipolemikkan. Di alat inilah “nilai
keadilan” ada; baik ketika dia dirumuskan, terlebih ketika dia diterapkan.
Adam Smith,[12]
seorang guru besar filsafat moral di Universitas of Glasgow, membagi keadilan
atas keadilan komutatif dan keadilan distributif. Keadilan komutatif ialah
keadilan yang berhubungan dengan persamaan yang diterima oleh setiap orang
tanpa melihat jasa seseorang. Keadilan ini boleh disebut keadilan hak asasi,
suatu keadilan yang secara alami dimiliki manusia. Misalnya, semua orang berhak
untuk hidup. Jikalau seseorang dengan atau tanpa sengaja merampas hak hidup
seseorang atau membatasi hak hidup seseorang, ia telah melanggar hak orang lain
dan bersalah menurut keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah bahwa
manusia secara kodrati mempunyai rasa setia kawan yang kuat yang tidak begitu
saja membiarkan sesamanya hidup menderita. Oleh karena itu usaha apapun untuk
menjamin suatu kehidupan yang layak bagi mereka yang secara obyektif tidak
beruntung akan sangat diterima sebagai hal yang sah dan adil. Keadilan
distributif ialah keadilan yang berhubungan dengan jasa, kemakmuran, atau
keberadaan menurut kerja, kemampuan, dan kondisi atau keberadaan seseorang.
Dari uraian di atas,
dapat diwacanakan dengan mengajukan pertanyaan; “apakah nilai keadilan juga
dapat dibagi” ?. Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada
korban senantiasa terkait dengan nilai, karena dalam pengambilan kebijakan
berarti ada aktifitas mempertimbangkan nilai. Berikut ini dikemukakan “teori nilai’
sebagai plengkap kajian ini. Teori Nilai yang dimaksud dikemukakan oleh : Pudjo Sumedi AS. dan Mustakim.[13]
Teori Nilai membahas dua
masalah yaitu masalah Etika dan Estetika. Etika membahas tentang baik
buruknya tingkah laku manusia sedangkan estetika membahas mengenai keindahan.
Ringkasnya dalam pembahasan teori nilai ini bukanlah membahas tentang nilai
kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga. Pengertian nilai itu adalah
harga dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu
itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai.
Nilai bersifat ide atau
abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh
indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah
yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Ilmu pengetahuan
membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika,
sedang persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan, dan kepuasan. Persoalan nilai bukanlah
membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah
soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak
terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai
adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika dimana pembahasan tentang nilai
ini banyak teori yang dikemukakan oleh beberapa golongan dan mepunyai pandangan
yang tidak sama terhadap nilai itu. Seperti nilai yang dikemukakan oleh agama,
positivisme, pragmatisme, fvtalisme, hindunisme dan sebagainya.
Etika berasal dari
bahasa Yunani yaitu dari kata ethos yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang
memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nosm yang
berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi pengertian etika dan moral ini
memiliki perbedaan satu sama lainnya. Etika ini bersifat teori sedangkan moral
bersifat praktek. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan
moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia itu. Etika hanya mempertimbangkan
tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum.
Secara singkat definisi
etika dan moral adalah suatu teori mengenai tingkah laku manusia yaitu baik dan
buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah
laku manusia (baik dan buruk) menurut situasi yang tertentu. Jelaslah bahwa
fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan
manusia (baik dan buruk akan tetapi dalam prakteknya etika banyak sekali mendapatkan
kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah
laku manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu tidal terlepas dari alam
masing-masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir untuk
menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima oleh
semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama
dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku
manusia itu dapat dinilai oleh etika. Tingkah laku manusia yang dapat dinilai
oleh etika itu haruslah mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu :
a. Perbuatan
manusia itu dikerjakan dengan penuh pengertian. Oleh karena itu orang-orang
yang mengerjakan sesuatu perbuatan jahat tetapi ia tidak mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan itu
jahat, maka perbuatan manusia semacam ini tidak mendapat sanksi dalam etika.
b. Perbuatan
yang dilakukan manusia itu dikerjakan dengan sengaja. Perbuatan manusia
(kejahatan) yang dikerjakan dalam keadaan tidak sengaja maka perbuatan manusia
semacam itu tidak akan dinilai atau dikenakan sanksi oleh etika.
c. Perbuatan
manusia dikerjakan dengan kebebasan atau dengan kehendak sendiri. Perbuatan
manusia yang dilakukan dengan paksaan (dalam keadaan terpaksa) maka perbuatan
itu tidak akan dikenakan sanksi etika.
Demikianlah persyaratan
perbuatan manusia yang dapat dikenakan sanksi (hukuman) dalam etika.
Estetika dan etika
sebenarnya hampir tidak berbeda. Etika membahas masalah tingkah laku perbuatan
manusia (baik dan buruk). Sedangkan estetika membahas tentang indah atau tidaknya
sesuatu. Tujuan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku umum
tentang apa yang indah dan tidak indah itu. Yang jelas dalam hal ini adalah
karya seni manusia atau mengenai alam semesta ini.
Seperti dalam etika dimana
kita sangat sukar untuk menemukan ukuran itu bahkan sampai sekarang belum dapat
ditemukan ukuran perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia. Estetika
juga menghadapi hal yang sama, sebab sampai sekarang belum dapat ditemukan
ukuran yang dapat berlaku umum mengenai ukuran indah itu. Dalam hal ini ternyata
banyak sekali teori yang membahas mengenai masalah ukuran indah itu. Zaman
dahulu kala, orang berkata bahwa keindahan itu bersifat metafisika (abstrak).
Sedangkan dalam teori modern, orang menyatakan bahwa keindahan itu adalah kenyataan
yang sesungguhnya atau sejenis dengan hakikat yang sebenarnya bersifat tetap. Jika
yang dibahas oleh nilai adalah masalah etika dan estetika; yang berkaitan
dengan baik dan buruk dan indah atau tidak indah, maka “nilai keadilan”itu
masuk masalah yang mana. Nilai-Nilai Islam144 yang dijadikan landasan
berdirinya Bank Syariah meliputi; nilai kejujuran, nilai kesetaraan, nilai keadilan
dan kebenaran. Nilai-Nilai tersebut merupakan nilai moral yang dalam menjalankan
bisnis/ Bank Syariah dilakukan oleh “norma dan etika”. Bila terjadi sengketa
perbankan syariah maka ditempuh penyelesaian melalui lembaga perdamaian (shuluh),
Tahkim (Arbitrase ) dan lembaga Pengadilan (Al Qadha ).
Al
Qadha berarti memutuskan atau menetapkan, menurut istilah syara “berarti
menetapkan hukum syara” pada suatu peristiwa atau sengketa untuk
menyelesaikannya secara adil dan mengikat”. Orang yang diberi wewenang untuk menyelesaikan
perkara di pengadilan disebut Qadhi (Hakim) Penyelesaian sengketa
melalui peradilan melewati beberapa proses, salah satu yang penting adalah
pembuktian.
Dengan demikian, dalam
Islam, nilai-nilai yang dijadikan dasar pijakan suatu kegiatan di antaranya ;
nilai keadilan dan kebenaran. Landasan mengatasi segala persoalan yang timbul dilakukan
dengan “penyelesaian melalui lembaga perdamaian”. Tentunya kebijakan menetapkan
kompensasi, jika ingin ditinjau ulang, maka lembaga perdamaian inilah yang
layak menjadi
acuan utama.
3. Kebijakan Hukum Pidana Materil Negara
Philippina
Kebijakan system pemidanaan
yang berorientasi pada korban terlihat dalam Pasal 251, ketentuan tentang “Kematian
akibat pertengkaran yang menggemparkan” menyebutkan, ketika beberapa orang
saling menyerang dengan kelompok lain secara timbal balik, dan dalam
perkelahian tersebut ada seseorang terbunuh, dan tidak dapat dipastikan siapa
pembunuhnya, tetapi seseorang yang menimbulkan luka-luka fisik teridentifikasi,
yang bersangkutandapat dipidana.
Jika dalam kasus
tersebut tidak dapat ditetapkan siapa yang menimbulkan luka-luka fisik
mengakibatkan kematian, maka pidana pemasyarakatan untuk jangka waktu menengah dan
maksimal dapat dijatuhkan kepada siapa saja yang menggunakan kekerasan terhadap
korban:
(Art. 251. Death caused in a tumultuous affray. When,
while several persons, not composing groups organized for the common
purpose of assaulting and attacking each other
reciprocally, quarrel and assault each other in a confused and
tumultuous manner, and in the course of the affray someone is killed, and it
cannot be ascertained who actually killed the deceased, but the person or
persons who inflicted serious physical injuries can be identified, such person
or persons shall be punished by prision mayor). If it cannot be determined who
inflicted the serious physical injuries on the deceased, the penalty of prision
correccional in its medium and maximum periods shall be imposed upon all those
who shall have used violence upon the person of the victim.
Dicantumkannya
upaya perlindungan korban dalam ketentuan tersebut “tidak terlihat dari sanksi
pidananya”, tetapi tampak dari ketentuan:
“shall be imposed upon all those who shall
have used violence upon the person of the victim”. Art. 356. Threatening to
publish and offer to present such publication for a compensation. — The penalty
of arresto mayor or a fine from 200 to 2,000 pesos, or both, shall be imposed
upon any person who threatens another to publish a libel concerning him or the
parents, spouse, child, or other members of the family of the latter or upon
anyone who shall offer to prevent the publication of such libel for a
compensation or money consideration”.
Pasal
356. Mengancam dan menawarkan melalui publikasi untuk memperoleh kompensasi.
Dipidana dengan pidana dari walikota atau denda minimal 200 maksimal 2.000 peso,
atau keduanya, bagi setiap orang yang mengancam melalui publikasi berisi fitnah
tentang dia atau orang tua, pasangan, anak, atau anggota keluarga yang terakhir
atau kepada siapa pun yang menawarkan untuk mencegah publikasi fitnah untuk
memeperoleh kompensasi atau upah.
Ketentuan “kompensasi”
dalam Pasal 356 KUHP Philippina ini, bukan merupakan sanksi bagi pelaku tindak pidana,
tetapi merupakan “tujuan” pelaku untuk mendapatkan kompensasi atas publikasi
tindak pidana “pengancaman” dan “penawaran mencegah tindak pidana fitnah yang dipublikasikan”.
Ketentuan Pasal 356 KUHP Philippina ini hampir mirip dengan ketentuan Pasal 368 KUHP/WvS Indonesia;
1.
Barangsiapa
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang
itu memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang,
diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
2.
Ketentuan
pasal 365 ayat (2), (3), dan (4) berlaku bagi kejahatan ini.
Pasal 369.
1.
Barangsiapa
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, memaksa seseorang dengan ancaman pencemaran, baik dengan lisan maupun
tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, supaya orang itu memberikan barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau
supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam
dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
2.
Kejahatan
ini dituntut hanya atas pengaduan orang yang terkena kejahatan itu. (KUHP 35,
310, 335, 370 dst., 486.)
Ketentuan di dua pasal
di atas berada di bawah Bab XXIII tentang “Pemerasan dan pengancaman”. Corak kesengajaan
dalam delik tersebut termasuk “kesengajaan dengan maksud”. Perbedaan formulasi
ada pada “tujuan dilakukannya tindak pidana”. Menurut KUHP Philippina, tujuan
tersebut untuk memperoleh kompensasi, sedang dalam KUHP/WvS Indonesia tujuan
tersebut dirumuskan secara “limitatif”, seperti “supaya orang itu memberikan
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang
lain”.
Terhadap delik
“penawaran”, KUHP/WS Indonesia ada dalam ketentuan :
Pasal
162. (s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.)
“Barangsiapa
dengan lisan atau dengan tulisan menawarkan di muka umum untuk memberi
keterangan, kesempatan atau sarana untuk melakukan tindak pidana, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah’.
Pasal 163 (1)(s.d. u. dg. UU No.
18/Prp/1960.) :
“Barangsiapa
menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan yang berisi penawaran di
muka umum untuk member keterangan, kesempatan atau sarana untuk melakukan
tindak pidana dengan maksud agar penawaran itu diketahui atau lebih diketahui
oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Dalam ketentuan tersebut,
terjadi perbedaan “tujuan” dari delik ini, artinya delik penawaran dalam KUHP
Philippina dimaksudkan untuk”mencegah terjadinya tindak pidana”, sedang KUHP/WvS
dimaksudkan “untuk melakukan tindak pidana”.
Kosep KUHP tahun 2008
Paragraf 2 “Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana”, dalam Pasal 291 “Setiap
orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi
keterangan, kesempatan, atau sarana untuk melakukan tindak pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling
banyak
Kategori
II”. Dengan demikian, dicantumkannya “kompensasi” dalam KUHP Philippina, bukannya
merupakan “keuntungan” korban, tetapi justru merupakan “beban” bagi korban dan ketentuan
seperti ini tidak terdapat dalam KUHP/WvS.
Setelah dilakukan
analisis melalui kaijan komparatif diatas antara Negara Bahamas dan Fliphina
dengan KUHP WvS Indonesia, yaitu KUHP WvS Indonesia sistemnya masih bersifat
limitative atau kaku, hanya sebagian kecil yang kebijakan system pemidanaanya
yang berorientasi kepada korban. Sementara Antara KUHP Negara Bahamas dan KUHP
Filphina mereka sudah memadukan ide keseimbangan antara perlindungan
kepentingan pelaku dengan perlindungan kepentingan korban yaitu “Upaya
Pemaafan”. Upaya pemaafan tersebut tercantum dalam “pedoman pemidanaan” berupa
”pemaafan dari korbandan/atau keluarganya”. Upaya Pemaafan tidak terpisahkan
dengan” tujuan pemidanaan” berupa “menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
Baik upaya permaafan dan
penyelesaian konflik dapat diakomodasi kedalam “Lembaga mediasi Penal atau
peradilan Restoratif”, karena dalam lembaga tersebut permaafan dan penyelesaian
konflik terwujud. Kalau dipadukan dengan teori pemidanaan, maka uapaya
permaafan dan penyelesaian konflik paralel dengan “Teori Absolut yang
relatif”/”Teori Gabungan” yang hakikatnya memadukan tujuan pidana sebagai
pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dengan “upaya penyelesaian konflik”
diantaranya “pemberian maaf” oleh korban atau keluarganya kepada pelaku tindak
pidana. Dengan demikian teori gabungan memadukan tujuan pidana sebagai upaya
perlindungan kepentingan individu tindak pidana dengan upaya perlindungan
kepentingan masyarakat/korban.
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis
terhadap Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban
Dalam Hukum Pidana Materiil Saat Ini dan Yang Akan Datang serta analisis
terhadap berbagai kelemahan dalam hukum positif, analisis komparasi terhadap
Konsep KUHP terhadap bahan-bahan KUHP Negara Bahamas, dan
Filiphina dengan KUHP/Wvs Indonesia maka
kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan
perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum pidana
materiil saat ini.
Yaitu Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang
berorientasi pada korban secara in concreto dalam hukum pidana materiil saat
ini tidak ada dalam ketentuan induk KUHP/WvS, namun hanya ada pada sebagian kecil
ketentuan perundang-undangan di luarnya, sedangkan pada sebagian besarnya masih
berorientasi pada pelaku tindak pidana. Terjadi kebijakan perumusan sistem
pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam ketentuan perundang-undangan di
luar KUHP/WvS merupakan bentuk kebijakan murni yang tidak terjalin secara
sistem dengan induknya. Ketentuan induk memang memberi peluang
bagi seluruh ketentuan perundang-undangan menentukan kebijakannya sendiri (
Pasal103 KUHP/WvS).
2. Kebijakan
perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum pidana
materiil yang akan datang.
Yaitu
Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum
pidana materiil yang terkait dengan perlindungan korban dapat dimasukkan/diatur
dalam ”aturan umum” (general rules) dan ”aturan khusus” (special
rules). Ruang lingkup ”aturan umum” (general rules) meliputi;
perumusan ”asas-asas Hukum Pidana”, perumusan ”jenis/bentuk-bentuk sanksi
pidana/tindakan” yg berorientasi pada korban, baik untuk pelaku orang maupun
korporasi; perumusan ”tujuan dan pedoman pemidanaan”; perumusan ”aturan
pemidanaan”. Ruang lingkup ”aturan khusus” (special rules) ada dalam
ketentuan perumusan delik/tindak pidana.
Keterpaduan antar
substansi dalam bidang hukum pidana materiil, dapat dijadikan “Standar
Kebijakan Ideal” dalam “Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi
pada korban dalam hukum pidana materiil yang akan datang”.
B. Saran
1.
Penyusunan RUU KUHP Baru didasarkan pada
“ide keseimbangan” nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu dalam penyusunan
kebijakan system pemidanaan yg
berorientasi pada korban, adalah sangat bijak apabila RUU. KUHP Baru juga berpedoman
pada nilai-nilai kearifan religius (tuntunan Ketuhanan YME) dalam memberikan
perlindungan kepada korban.
2.
Kebijakan perlindungan korban ke depan
lebih mengarah pada praktik “mediasi penal atau keadilan restoratif”, oleh
karena itu sudah saatnya pula pemerintah merespon kenyataan tersebut dengan
menyusun ketentuan perundang-undangan, seperti yang telah ada di bidang perdata
yaitu Undang - undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
DAFTAR PUSTAKA
B. Buku
Barda
Nawawi Arief, 2007, Perkembangan System Pemidanaan di Indonesia, Penerbit
Pustaka. Magister, Semarang
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
John
M. Echols dan Hassan Shadily, 2005, Kamus Indonesia-Inggris, Gramedia
Muladi,
1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Di Masa Datang, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Semarang.
Moeljatno,
1999, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.
Sudarto,
1979, Suatu Dilemma Dalam Pembaharuan
Sistim Pidana Indonesia, Semarang, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang
Simon
and Schuster , Webster’s New World
College Dictionary , Macmillan, Inc, Cleveland, Ohio.
C.
Website
http://www.ahmadheryawan.com/kolom/94-kolom/3293-keadilan-komutatif-dan-distributif.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/09/teori-nilai.
http://www.businessdictionary.com/definition/system.html
http://www.intelligent-systems.com.ar/intsyst/defsyst.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/System
http://eprints.undip.ac.id/12952/
D. Peraturan
Perundang-Undangan
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Wvs Indonesia
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Bahamas
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Filiphina
[1]
Simon and Schuster , Webster’s New World College Dictionary ,
Macmillan, Inc, Cleveland,
Ohio,
1997, hal 1045.
[2]
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta 1989 hal. 115
[3]
John M. Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Indonesia-Inggris,
Gramedia 2005 hal .437
[4] Simon and Schuster, op cit hal 1359.
[5]
http://www.intelligent-systems.com.ar/intsyst/defsyst.htm
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/System
[7] Ibid., Hal.2
[8]
Barda Nawawi Arief,
Perkembangan System Pemidanaan di Indonesia, Penerbit Pustaka.
Magister, Semarang 2007.
[9] ibid
Catatan, bahwa Bab IX Buku I KUHP/WvS
sebenarnya terdiri dari Pasal 86 sampai dengan Pasal
[11]
http://eprints.undip.ac.id/12952/
[12]
http://www.ahmadheryawan.com/kolom/94-kolom/3293-keadilan-komutatif-dan-distributif.
[13]
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/09/teori-nilai.
Online Casino Real Money No Deposit Casino Bonuses
BalasHapusOnline casino no deposit 메리트 카지노 bonus offers are all the same หารายได้เสริม - online casino no deposit bonus 인카지노 codes give you all of your favorite Are online casino real money casinos legal in the US?Do online casino win real money?