BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kejahatan, baik
dalam arti sebagai tindak pidana (konsepsi yuridis) maupun dalam arti sebagai
perilaku yang menyimpang (konsepsi sosiologis), eksistensinya diakui dan
diterima sebagai suatu fakta, baik oleh masyarakat yang paling sederhana maupun
oleh masyarakat yang paling modern. Salah satu alasan pengakuan terhadap
eksistensi kejahatan tersebut, karena kejahatan itu merupakan salah satu bentuk
tingkah laku manusia yang sangat merugikan masyarakat, seperti pemerkosaan,
pembunuhan, penganiayaan, perampokan dan lain-lain.
Kejahatan
sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat merugikan masyarakat
(karena mengancam norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial,
dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial),
tidak saja diakui oleh para ahli secara perorangan atau oleh masyarakat
tertentu, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa melalui kongres-kongres
internasional, antara lain dinyatakan di dalam :
a. Laporan
Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa, telah dinyatakan, bahwa tidak diragukan
lagi kejahatan telah membawa akibat-akibat sebagai berikut :
1)
Mengganggu atau merintangi tercapainya
tujuan nasional;
2)
Mencegah penggunaan optimal
sumber-sumber nasional.
b. Kongres
ke-6 tahun 1980 di Caracas, dalam salah satu pertimbangan deklarasinya, antara
lain dinyatakan :
“Bahwa fenomena
kejahatan melalui pengaruhnya terhadap masyarakat, mengganggu seluruh
pembangunan bangsa-bangsa, merusak kesejahteraan rakyat baik spiritual maupun material,
membahayakan martabat kemanusian dan menciptakan suasana takut dan kekerasan
yang merongrong kualitas lingkungan hidup”.
Berdasarkan
luasnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan, dapat dipahami apabila
bangsa-bangsa di dunia berupaya dengan segala daya yang ada untuk melakukan penanggulangan
terhadap kejahatan.
Salah satu upaya
penanggulangan terhadap kejahatan yang telah dilakukan selama ini bahkan
merupakan cara yang paling tua setua peradaban manusia itu sendiri, ialah
menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana. Beberapa alasan
penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, dikemukakan
oleh :
a.
Roeslan Saleh, menyatakan :
1)
Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan yang hendak
dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu
boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan
dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan dalam dari
batasbatas kebebasan pribadi masing-masing;
2)
Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali
bagi si terhukum dan disamping itu harus ada reaksi atas
pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat
dibiarkan begitu saja;
3)
Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan kepada si
penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga
masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
b. H.L. Packer, menyatakan :
1) Sanksi
pidana sangatlah dipelukan : kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa
yang akan datang tanpa pidana;
2) Sanksi
pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik yang tersedia, yang kita miliki
untuk menghadapi bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman
dari bahaya itu;
3) Sanksi
pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau terbaik” dan suatu
ketika merupakan “pengancaman yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan
penjamin apabila digunakan secara hemat-hemat dan digunakan secara manusiawi.
Sebaliknya ia merupakan pengancaman apabila digunakan secara sembarangan dan
secara paksa.
c.
Marc Ancel, menyatakan :
Sistem hukum
pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap sipelanggar dalam hubungannya
dengan hukum secara murni dan pidana merupakan lembaga-lembaga yang harus tetap
dipertahankan.
d. Muladi, menyatakan :
Hukum pidana dan
pidana masih tetap diperlukan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena
di dalamnya tidak saja terkandung aspek rehabilitasi dan koreksi, tetapi juga
aspek pengamanan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang berat.
Pengguna hukum
pidana dalam menanggulangi kejahatan, dalam kenyataanya bukan saja tidak mampu
menanggulangi kejahatan secara tuntas, tetapi lebih parah daripada itu telah
menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi yang terkena, baik sebagai
akibat dari proses menegakkannya (dalam arti sempit) maupun sebagai akibat dari
pengenaan pidananya. Tidak yang selalu bersifat sejahtera (welfare),
baik tujuan jangka pendek berupa resosialisasi terpidana, tujuan menengah
berupa pengendalian kejahatan, maupun tujuan jangka panjang berupa
kesejahteraan sosial, seringkali bersifat unwelfare sebagai dampak
penerapan sanksi negatif berupa pidana, baik hal ini berupa hilangnya
kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya harta benda, hilangnya nyawa, stigma
sosial, dan sebagainya[1].
Dengan kata
lain, dalam kenyataannya hukum pidana telah gagal melaksanakan fungsinya, yaitu
menanggulangi kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan pemerintah
dalam menanggulangi kejahatan (fungsi sekunder). Kegagalan hukum pidana dalam
menanggulangi kejahatan, terbukti dengan meningkatnya kejahatan dari tahun ke
tahun. Peningkatan itu tidak hanya dari segi kuantitasnya, tetapi juga pada
kualitasnya[2].
Misalnya penggunaan teknologi canggih dan perubahan pola modus operandi yang
melahirkan kejahatan white collar, seperti kejahatan korporasi,
kejahatan pemalsuan pajak, kejahatan komputer, pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup, penipuan konsumen dan sebagainya dengan korban yang tidak
hanya berorienasi kepada individu, tetapi juga kepada masyarakat dan bahkan
negara. Barda Nawawi Arief, menyatakan, bahwa “tindak pidana ekonomi dan tindak
piana lingkungan merupakan salah satu bentuk dan dimensi perkembangan kejahatan
yang ada di dunia internasional. Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa
membicarakan beberapa bentuk dan dimensi kejahatan[3],
antara lain :
a.
Crime as Business, yaitu bentuk kejahatan yang bertujuan mendapatkan
keuntungan material melalui kegiatan dalam bidang usaha (bisnis) atau industri,
yang pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang
mempunyai kedudukan terpandang di dalam masyarakat.
b.
Perbuatan kekerasan yang bersifat transnasional dan internasional yang bisa
disebut perbuatan “terorisme”.
c. Kejahatan
yang berhubungan dengan perpindahan tempat, misalnya mengenai pelanggaran
paspor dan visa, pelacuran dan sebagainya.
Masalah yang
berhubungan dengan pengungsi, antara lain pengalihan bantuan dan spionase.
Menurut Muladi, “Perkembangan kejahatan ini telah melewati batas-batas negara
dan menunjukkan adanya kerja sama kejahatan yang bersifat regional dan
internasional[4].
Hal ini nampaknya merupakan hasil sampingan dari perkembangan sarana
transportasi dan komunikasi modern”.
Terdapatnya
masalah dalam penanggulangan kejahatan melalui penegakan
hukum pidana, telah menimbulkan kritik
dan kecaman yang sangat pedas terhadap penggunaan hukum pidana dan pidana. Penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana oeh Gene Kassebaum disebut sebagai older
philosophy of control. Pendapat lain menyatakan, bahwa (hukum) pidana
merupakan “peninggalan dari K ebiadaban kita masa lalu (a vestige of our
savage past)” yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan
pada pandangan, bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan
penderitaan yang kejam. Memang sejarah hukum pidana menurut M. Cherif
Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh
ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Dikemukakan
selanjutnya bahwa gerakan pembaharuan pidana di Eropa Kontinental dan di
Inggris, terutama justru merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana.
Atas dasar
pandangan yang demikian pulalah kiranya, ada pendapat yang menyatakan bahwa
teori retirbutif atau teori pembalasan dalam hal pemindanaan merupakan a
relic of barbarism[5]. Disamping
kegagalan hukum pidana memenuhi fungsinya, dasar pemikiran lain yang menjadi
penyebab penolakan terhadap penggunaan hukum pidana dan pemidanaan dalam
menanggulangi kejahatan, yakni adanya paham “determinisme” yang menyatakan,
bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan,
karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun
faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian, kejahatan tidak dapat
dipersilahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena
seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organic
dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya, melainkan
tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki. Pandangan determinisme
inilah yang menjadi ide dasar dan sangat mempengaruhi aliran positif di dalam
kriminologi, dengan tokohnya antara lain Lambroso, Garofalo dan Ferri.
Kampanye anti
pidana tersebut masih terdengar di abad ke-20 ini, dengan slogan barunya yang
terkenal the struggle against punish atau abolition of punishment.
Ditemukan oleh seorang ahli psychiatry forensic sekaligus seorang
kriminolog bernama Olof Kingberg. Bahwa kejahatan pada umumnya merupakan
perwujudan dari ketidaknormalan atau ketidakmatangan si pelanggar (the
exoression of an offrenders abnormality or immaturity) dari pada (punishment).
kriminolog lainnya bernama Karl Mengatakan, “sikap memidana” (punitive
Attitude) harus diganti dengan :sikap mengobati” (therepeutic attitude)
Ide penghapusan pidana ini dikemukakan pula oleh Filippo Gramatica, seorang
tokoh ekstrim dari aliran defense sociale yang merupakan perkembangan
lebih lanjut dari aliran modern. Menurut Gramatica, hokum perlindungan sosial
harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang[6].
Tujuan utama
hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib
sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial
mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan tempatnya
digantikan oleh pandangan tentang perbuatan anti Berdasarkan uraian di atas
penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian yang dituangkan dalam sebuah
tesis yang diberi judul “Pelaksanaan Politik Hukum Pidana dalam upaya
Menanggulangi Kejahatan”.
B.
Perumusan Masalah :
Berdasarkan
uraian dalam bab pendahuluan di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan
dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud Politik Hukum Pidana ?
2.
Bagaimanakah Pelaksanaan Politik Hukum dalam Penanggulangan Kejahatan ?
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan
Penelitian
1. Tujuan
Penelitian :
a. Untuk
mengetahui dan menjelaskan pengertian dan ruang lingkup politik hukum pidana;
b. Untuk
mengetahui dan menjelaskan fungsi politik hukum pidana dalam penanggulangan
kejahatan.
2. Kegunaan Penelitian :
a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan bagiperkembangan ilmu hukum di Indonesia,
khususnya yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
hukum pidana[7].
b. Kegunaan
Praktis
Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan-masukan dan alternative bagi pemerintah dan
penegakan hukum dalam rangka penanggulangan terhadap kejahatan.
D.
Metode Penelitian
Metode
penelitian menurut Robert Mayer dan Ernest Greenwood adalah suatu pendekatan
umum kearah fenomena yang telah dipilih peneliti untuk diselidiki[8].
Dengan demikian metode penelitian ini melihat kepada pelaksanaan politik hokum
pidana dalam menanggulangi kejahatan di masyarakat. Dengan demikian metode
penelitian merupakan sejenis logika yang mengarahkan penelitian. Pokok-pokoknya
adalah sebagai berikut :
1. Pendekaan Masalah :
Pendekatan
masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normative dan pendekatan yuridis empiris karena penelitian ini melihat kepada
pelaksanaan politik hokum pidana dalam menanggulangi kejahatan.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis
data dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer yaitu
data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan, yang dilakukan terhadap
pihak-pihak yang terkait dalam masalah penegakan hokum pidana. Sedangkan data
sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, terbagi dalam
bahan hokum primer, bahan hokum sekunder dan bahan hokum tersier.
3. Penentuan Populasi dan Sampel
Penentuan
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah penyidik dan jaksa yang
ada di wilayah POLDA Sulawesi Tenggara. Dalam menentukan sample dari populasi
digunakan metode pengambilan sample secara purposive sampling yaitu berdasarkan
penunjukkan sesuai dengan kewenangan atau kedudukan sample. Adapun Responden
yang dijadikan sample adalah:
Penyidik di POLDA Sulawesi Tenggara 10 orang
Penuntut Umum di
Propinsi Sulawesi Tenggara 10 orang
Jadi Jumlah
Keseluruhan 20 orang
4. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam
mengumpulkan data, menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
a.
Untuk memperoleh data primer dilakukan melalui metode wawancara terhadap
seluruh responden yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dengan cara
bertanya secara langsung dengan mengunakan daftar pertanyaan yang telah disusun
terlebih dahulu (interview guiding);
b.
Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan serangkaian kegiatan studi
kepustakaan dan dokumentasi dengan cara membaca, mencatat dan mengutip serta
menelaah peraturan-peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya
yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.
5. Penyajian dan Analisis Data
Data yang
diperoleh secara kuantitatif dan kualitatif. Analisa data dilakukan secara
kualitatif dengan melakukan analisa deskriptif serta preskriptif. Analisis ini
bertolak dari bentuk pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris.
E. Kerangka Teoritis
Istilah “Politik
Hukum Pidana” dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy (Inggris)
atau Politiek (Belanda). Oleh karena itu, maka istilah “Politik Hukum
Pidana” dapat pula disebut dengan istilah “Kebijaksanaan Hukum Pidana”.
Dalam
kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain penal politik, criminal policy atau
strafrechtspolitiek. Pengertian politik hukum pidana, antara lain :
a.
Menurut Marcx Ancel, Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus
seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk member pedoman tidak hanya
kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan
undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan[9].
b.
Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk
menentukan:
1)
diperbaharui.
2)
Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3)
Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.
c.
Menurut Soerjono Soekanto, Politik hukum pidana pada dasarnya mencakup tindakan
memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya.
Politik untuk mencegah terjadinya delinkuensi dan kejahatan dengan lain perkattaan,
maka politik hokum pidana merupakan upaya untuk secara rasional
mengorganisasikan reaksireaksi sosial rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi
sosial terhadap delinkuensi dan kejahatan. 10
Disamping
beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian politik hukum
pidana dapat pula dikemukakan berdasarkan pengertian politik kriminal. Politik
kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi
kejahatan. Politik hukum pidana mengejawantah dalam bentuk Penal (hokum pidana)
dan Nonpenal (tanpa hukum pidana). Dengan demikian, sebagai bagian dari
politik kriminal, politik hukum pidana dapat diartikan sebagai
“suatu usaha yang rasional untuk
menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana”.
Bertolak dari
beberapa uraian mengenai pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan
diatas, maka secara umum dapat dinyatakan, bahwa politik hukum pidana adalah :
“suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang
rasional, yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Sebagaimana telah
dikemukakan diatas, bahwa politik gukum pidana sebagai salah satu usaha
penanggulangan kejahatan, mengejawantah dalam bentuk
penegakan hukum pidana yang rasional.
Ada tiga tahap dalam penegakan hukum pidana yaitu :
a.
Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana inabstracto oleh
badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan
kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini
yang akan datang. Kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat
pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b.
Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum
pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai
Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakan serta
menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat
undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus
berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap kedua ini dapat
pula disebut sebagai tahap kebijakan yudikatif.
c.
Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret
oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana
pidana bertugas menegakan peraturan perundangundangan pidana yang telah dibuat
oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam
putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam
putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana ini dalam menjalankan
tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang
dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.
Ketiga tahap
penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional
yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan
suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak terputus yang bersumber dari
nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.
Bertolak dari
uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penegakan hukum pidana yang
rasional sebagai pengejawantahan politik hukum pidana, melibatkan minimal tiga
faktor yang saling terkait, yaitu penegak hokum pidana, nilai-nilai dan hukum,
(perundang-undangan) pidana. Pembagian tiga faktor tersebut dapat dikaitkan
dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu “substansi hukum:, “struktur
hukum” dan“budaya hukum,”.
a. Faktor Penegak Hukum
Faktor ini
menunjukkan pada adanya kelembagaan yang mempunyai fungsi-fungsi tersendiri dan
bergerak didalam suatu mekanisme. Adapun faktor penegak hukum atau dapat pula
disebut komponen struktur hukum, meliputi :
1) Badan
pembentukan undang-undang atau lembaga legislatif.
2) Aparat
penegak hukum dalam arti sempit, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Penasehat Hukum
dan Pengadilan,
3) Aparat
pelaksanaan pidana.
Secara singkat
dapat dikatakan bahwa faktor penegak hukum merupakan tempat kita menggantungkan
harapan bagaimana suatu sistem hukum itu seharusnya bekerja (law in the
books) dan bagaimana bekerjanya suatu system hukum dalam kenyataan (law
in action). Di sini berlaku adagium yang berbunyi, bahwa “baik buruknya
sesuatu tergantung kepada baik buruknya manusianya”. Dalam kerangka penegakan
hukum pidana, hal ini mengandung makna bahwa baik buruknya penegakkan hukum
pidana tergantung kepada baik buruknya aparat penegak hukum. Jadi bukan tergantung
kepada hukumnya. Tegasnya, walaupun hukumnya baik, tetapi jika para penegaknya
(penegak hukum dalam arti sempit) tidak baik, maka penegakkannya pun tidak akan
baik, demikian pula sebaliknya. Adapun baik buruknya penegak hukum tergantung
kepada nilai-nilai yang diterima dan dipahaminya. Singkat kata, penegakan hukum
yang baik harus bermula darinilai yang baik[10].
b.
Faktor Nilai
Telah
dikemukakan diatas, bahwa faktor nilai merupakan sumber dari segala aktivitas
dalam penegakan hukum pidana. Jika nilanya baik, maka akan baik pula penegakan
hukum pidana, demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan betapa urgennya
kedudukan nilai dalam mewujudkan penegakan hukum yang baik. Sejauh mana urgensi
nilai dalam mewujudkan penegakan hukum pidana yang baik, Soerjono Soekanto11
menyatakan. Jika komponen yang bersifat struktur (baca : penegak hukum, pen)
dapat kita ibaratkan sebagai suatu mesin, maka komponen kedua (baca :
nilai.Pen.) dapat kita ibaratkan sebagai bensin, yang merupakan penggerak dari mesin
tadi. Jikalau bensin yang kita pakai untuk mengisi mesin tadi adalah bensin
campuran, maka hal ini akan mempengaruhi daya laju mesin tadi.
Apabila yang dibicarakan adalah tentang
bensin campuran sebagai pengisi mesin tadi, maka yang menjadi masalah adalah
nilai yang diterima oleh para penegak hukum yang bekerja dalam lingkungan penegakan
dan pelaksanaan hukum itu. Faktor nilai akan membentuk pemahaman dan sikap para
penegak hokum dalam melaksanakan tugasnya menegakkan hukum pidana, baik mengenai
bagaimana suatu sistem hukum itu seharusnya bekerja (law in the
books) maupun tentang bagaimana bekerjanya suatu sistem hokum dalam
kenyataan (law in action[11]).
Contoh populer mengenal hal ini adalah pemahaman para penegak hokum terhadap
asas legislatif.
Sebagaimana
diketahui, bahwa ada tiga pemahaman bentuk pemahaman terhadap asas legalitas,
yaitu :
1)
Asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang positif (positief
Wettelijke). Disini orang menterjemahkan asas legalitas semata-mata
didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Jadi sah (legal) atau tidaknya suatu
perbuatan semata-mata berpegang kepada ada atau tidaknya peraturan
perundang-undangan yang mengatur perbuatan itu, tanpa memperhitungkan sama
sekali hukum yang hidup (rasa keadilan) dalam masyarakat. Adapun perumusan asas
legalitas yang demikian ini dapat dibaca di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang
berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.
Contoh konkretnya adalah penanggulangan terhadap Tindak Pidana subversi. Para
penegak hukum berpegang teguh pada ketentuan Undang-undang No. 11/PNPS/1963
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, walaupun perbuatan-perbuatan yang
dirumuskan di dalam undang-undang tersebut oleh masyarakat tidak dianggap lagi
sebagai kejahatan, tetapi karena peraturan perundangundangan tersebut belum
dicabut, maka aparat penegak hukum akan tetap memproses dan menghukum orang
yang melakukan perbuatan tersebut. Disini yang dipegang hanya kepastian hukum,
sedangkan keadilan sama sekali tidak diperhatikan.
2)
Asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang negative (negatief
wettlelijke). Berbeda dengan pemahaman asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan
yang positif (positief wettelijke). Pemahaman asas legalitas dalam arti
peraturan perundang-undangan yang negative (negatief wettelijke) ini
memperluas hukum yang hidup (hukum yang tidak tertulis/hukum adat) sebagai
dasar
patut dipidananya suatu perbuatan, sepanjang perbuatan itu tidak ada
persamaannya atau tidak diatur di dalam undang-undang. Perluasan pemahaman
terhadap asas legalitas ini tidak dapat dilepaskan dari pokok pemikiran untuk mewujudkan
dan sekaligus menjamin asas keseimbangan antara kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum dengan keadilan. Adapun perumusan
asas legalitas yang demikian ini dapat dibaca di dalam Naskah Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (baru) Konsep tahun 1991/1992 yang telah disempurnakan oleh Tim
Kecil sampai dengan tanggal 13 Maret 1993, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal
1 ayat (1) :
“Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali perbuatan yang
dilakukannya atau tidak dilakukannya telah ditetapkan sebagai tindak pidana
dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan”.
Pasal 1 ayat (3) :
“Ketentuan dalam
ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup menentukan bahwa menurut
adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur di
dalam peaturan perundang-undangan”.
Ketentuan pasal
1 ayat (3) di atas sekilas memang terlihat menampung atau memperhatikan
aspirasi masyarakat karena member tempat bagi berlakunya hukum adat, tetapi
jika dikaitkan dengan salah satu tujuan keberadaan asas legalitas, yaitu untuk
melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang penguasa dalam menanggulangi
kejahatan, maka ketentuan Pasal 1 ayat (3) konsep tersebut justru merupakan
ancaman bagi warga masyarakat. Jika Pasal 1 ayat (3) tersebut betul-betul
dimaksudkan untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai keadilan, maka
rumusannya harus ditambah, sehingga berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan dalam
ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa
menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak
diatur dalam peraturan perundangundangan”, (tambahnya) “sebaliknya walaupun
suatu perbuatan telah dinyatakan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai
tindak pidana tetapi apabila karena perbuatan itu masyarakat tidak dirugikan dan
tidak ada hak yang dilanggar, maka perbuatan itu tidak patut dipidana”.
Ketentuan yang
terdapat di dalam pasal 1 ayat (3) konsep KUHP Baru tersebut diatas, sebenarnya
sudah sejak lama dan tersebar dalam produk legislatif selama ini, seperti
termuat di dalam : Pasal 5 ayat (3) Sub b Undang-undang No. 1 Drs. 1951 :
…bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan
atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman
adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian
yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum …,
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup dibandingnya dalam Kitab
Hukum Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman
bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman yang lama yaitu UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman, mengatur sebagai berikut :
Pasal 14 ayat (1) :
“Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya”.
Pasal 23 ayat (1) :
“Segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga
harus memuat pula pasal-pasal tertent dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis”.
Pasal
27 ayat (1) :
“Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup”. Walaupun pengakuan terhadap hokum yang hidup sudah sejak
lama ada di dalam peraturan perundang-undangan (hukum positif), tetapi kenyataannya
aparat penegak hukum (terutama Polisi, Jaksa dan Hakim) enggan memproses seseorang
yang menurut hukum yang hidup patut dipidana. Dengan kata lain, aparat penegak
huku, hanya bepegang kepada peraturan perundang-undangan (hukum positif)
saja.Khusus mengenai ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14
tahun 1970, kami
berpendapat bahwa ketentuan ini di samping memberi kebebasan kepada hakim untuk
memidana suatu perbuatan berdasarkan hukum yang hidup, juga memberi kebebasan
kepada hakim untuk tidak memidana suatu perbuatan yang menurut peraturan perundang-undangan
dapat dipidana, tetapi menurut hukum yang hidup tidak perlu dipidana. Mengapa
aparat penegak hukum (dalam arti sempit) dalam menegakan hukum tidak mau
menggunakan hukum yang hidup, padahal peraturan perundang-undangan
memperbolehkannya? Inilah yang merupakan masalah nilai. Disini aparat penegak
hukum sama sekali tidak memahami apa yang dimaksud dengan nilai dan sekaligus tidak
memahami makna sebenarnya dari asas legalitas. Aparat penegak hukum (Indonesia)
tidak lebih dari sekedar mulut atau kaki angan undang-undang, bahkan lebih
parah lagi merupakan mulut atau kaki tangan penguasa.
3)
Asas legalitas sebagai salah satu ciri negara hokum Negara hukum atau Rule of
law dalam arti menurut konsepsi dewasa ini, mempunyai sendi-sendi yang bersifat
universal, seperti : pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
(HAM).
Legalitas dalam
arti hukum dalam segala bentuknya, dan terjaminnya peradilan yang bebas. Konsepsi
negara hukum atau rule of law beserta sendi-sendinya
sebagaimana tersebut diatas, membawa
konsekuensi adanya keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi tersebut dalam
berbagai hukum, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Penceminan
sendi-sendi tersebut tersebut di bidang hukum pidana, akan menimbulkan
penciptaan asas-asass yang merupakan dasar hukum pidana yang bersangkutan.
Asas-asas tersebut pada dasarnya bersifat universal dan selalu dikaitkan dengan
sendi yang utama, yaitu pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Bertolak
dari uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa dalam kerangka negara hukum, asas
legilalitas harus dipahami sebagai sarana pengakuan dan perlindungan hak-hak
asasi manusia. Dengan demikian sah tidaknya suatu perbuatan tidak hanya diukur
dengan ada tidaknya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, melainkan
juga harus ada perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam perbuatan itu.
Disini nilai-nilai kemanusiaan merupakan dasar legalisasi perbuatan. Jika
faktor nilai dianggap sebagai sumber dari segala aktivitas dalam penegakan
hukum pidana, maka pemahaman yang sama aparat penegak hukum terhadap makna asas
legalitas merupakan prasyarat bagi terwujudnya penegakan hukum, pidana yang
berkeadilan.
c. Faktor Substansi Hukum
Faktor substansi
hukum ini merupakan hasil aktual (output) yang sekaligus merupakan dasar
bagi bekerjanya sistem hukum dalam kenyataan. Baik buruknya suatu substansi
hukum tergantung kepada baik buruknya sikap para penegak hukum, sedangkan baik
buruknya sikap para penegak hukum tergantung kepada baik buruknya nilai-nilai
yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum. Dengan demikian, baik
buruknya substansi hukum pada hakikatnya sangat ditentukan oleh baik buruknya nilai
yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum. Jadi, sebagai hasil aktual
dari bekerjanya sistem hukum, maka substansi hukum pada hakikatnya merupakan
aktualisasi nilai-nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum. Adapun
substansi hukum di bidang hukum pidana meliputi :
1)
Hukum pidana tertulis yang mencakup hukum pidana material, hukum pidana formal
dan hukum pelaksanaan pidana;
2) Hukum pidana tidak tertulis
Dari keseluruhan
uraian diatas secara ringkas dapat dinyatakan, bahwa ruang lingkup politik
hukum pidana mencakup: “Usaha atau kegiatan untuk memilih nilai nilai yang
diperkirakan mampu mengekspresikan apa yang terkandung di dalam masyarakat
serta usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataan sebagai
bentuk reaksi terhadap kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat”.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika
penulisan tesis ini dibagi menjadi 4 (empat) bab, yang terdiri dari : Bab I
yang berisi uraian tentang pendahuluan, Bab II yang berisi uraian tentang
tinjauan pustaka; dan Bab III yang berisi uraian tentang hasil penelitian dan
anlisisnya,. Bab I sebagai pendahuluan yang mengungkapkan latar belakang yang dipakai
sebagai titik tolak merumuskan permasalahan yang muncul dalalm kaitannya dengan
penegakan hukum terhadap politik hukumpidana . setelah perumusan masalah
dikemukakan, hal lain yang menentukan arah penelitian dalam tesis ini adalah
tujuan yang ingin dicapai dan kegunaan penelitian yang diharapkan, baik dari
segi teoritis maupun praktisnya. Untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan maupun tujuan dan kegunaan penelitian yang diharapkan, kerangka
teoritis perlu dipaparkan sebagai titik tolak bagi pemecahan masalah. Sedangkan
bagian lain yang sangat menentukan hasil akhir dari penelitian dan tesis ini
adalah metode penelitian yang dipergunakan. Bab I terdiri dari 7 Sub Bab . Sub
Bab yang pertama mengenai latar belakang masalah. Sub Bab yang ke dua mengenai
perumusan masalah. Sub Bab ketiga mengenai tujuan penelitian. Sub Bab yang ke
empat mengenai kegunaan penelitian. Sub Bab ke lima mengenai kerangka teoritis.
Sub Bab ke enam mengenai metode penelitian. Sub Bab ke tujuh mengenai
sistematika penulisan. Bab II berisi tinjauan pustaka sebagai dasar teoritis
dalam rangkap membahas permasalahan yang di teliti, terdiri dari 4 (empat)) sub
bab.
Sub
Bab pertama membahas urgensi penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, Sub
Bab kedua berisi uraian tentang dasar hukum politik hukum pidana, bab ketiga
berisi tentang tujuan dasar hukum, dan bab keempat tentang pembaharuan hukum
pidana Bab III merupakan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan , yaitu
melakukan analisis terhadap temuan atas hasil penelitian yang dikonsultasikan
dengan teori-teori yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, dalam bab
ini dibagi menjadi 8 (delapan) sub bab, Sub bab pertama tentang Pengertian
pelaksanaan politik hukum pidana, sub bab kedua tentang Pendekatan pelaksanaan
politik hukum pidana sub bab ketiga tentang Tahap Pelaksanaan Poltik Hukum
Pidana, sub bab keempat tentang dimensi Kemanusiaan dalam Pelaksanaan Politik
Hukum Pidana, sub bab kelima Keterpaduan dalam Pelaksanaan Politik Hukum
Pidana, sub bab ke enam tentang Pembinaan Struktur Hukum Pidana, sub Bab ketujuh
tentang Pembangunan Kultur Hukum Pidana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Urgensi Penanggulangan Kejahatan
Dengan Hukum Pidana.
Disatu sisi
muncul kampanye anti pidana dan hukum pidana sebagai reaksi terhadap kenyataan,
bahwa penggunaan hukum pidana dan sanksinya berupa pidana sebagai sarana
penanggulangan kejahatan bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara
tuntas, melainkan juga telah menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan
bagi yang terkena, tidak boleh diabaikan. Di sisi lain hukum pidana dan pidana
masih tetap diperlukan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena sampai
saat ini masih tetap dipergunakan dan sampai saat ini pula belum ada satu pun
negara yang tidak mempergunakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan
kejahatan. Bahkan penggunaan hukum pidana semakin berkembang sejalan dengan perkembangan
kejahatan itu sendiri, walaupun perdebatan mengenai hokum pidana menurut Ankeri
Anttilia.12 telah berlangsung beratus-ratus tahun. Bahkan menurut Muladi 13
dewasa ini masalah hukum pidana dan pidana menjadi sangat kompleks sebagai
akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut
hak-hak asasi manusia, serta menjadikan hukum pidana dan pidana bersifat
operasional dan fungsional. Persoalannya sekarang, apabila hukum pidana dengan
sanksinya berupa pidana ingin tetap dipergunakan sebagai sarana penanggulangan
kejahatan, maka tidak ada cara lain kecuali mengupayakan agar penegakan hokum pidana
disamping mampu menanggulangi kejahatan juga tidak boleh menimbulkan dampak
negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena. Untuk mewujudkan hukum pidana
dan pemidanaan yang mampu menanggulangi kejahatan dan tidak menimbulkan dampak
negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena, maka :
a.
Penegakan hukum pidana dan pemidanaan
tidak boleh lagi dilihat sebagai satu-satunya tumpuan harapan untuk dapat
menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan secara tuntas. Sebab, pada
hakikatnya kejahatan merupakan “masalah kemanusiaan” dan “masalah sosial”, yang
tidak dapat diatasi semata-mata dengan hukum pidana. Sebagai suatu masalah sosial,
kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis yang selalu
tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang
sangat kompleks.
b.
Penegakkan hukum pidana dan pemidanaan tidak boleh lagi dilihat sebagai masalah
hukum semata-mata (tidak boleh lagi berpegang pada asas legalitas yang rigit
dan tujuan pemidanaan yang sempit), tetapi juga merugikan masalah kebijakan (the
problem of policy). Sebagai suatu masalah-masalah kebijakan, maka
penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada
absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah
kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai
macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, hanya merupakan salah satu
alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan dari sekian
banyak alternatif yang dapat dilakukan. Sebagai salah satu alternatif yang
dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, maka penegakkan hukum pidana
harus dilihat sebagai bagian dari politik kriminal (criminal policy),
yakni usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Sebagai bagian dari politik
kriminal, maka penegakan hokum pidana sebagai suatu proses kebijakan dapat
diartikan sebagai “usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana”. Ini pulalah yang menjadi definisi dari “politik
hukum pidana”. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa latar belakang penggunaan
politik hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana adalah
keadaan penegakan hukum pidana yang bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan
secara tuntas, tetapi juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi
yang terkena, baik hal itu berupa hilangnya kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya
harta benda, hilangnya nyawa, stigma sosial dan lain sebagainya. Dengan kata
lain, hukum pidana telah gagal melaksanakan fungsinya, yaitu menanggulangi
kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan pemerintah dalam menaggulangi
kejahatan (fungsi sekunder). Kegagalan hukum pidana melaksanakan fungsinya
(baik fungsi primer maupun fungsi sekunder) merupakan akibat dari sikap aparat
penegak hokum yang memandang penegakan hukum pidana dan penerapan sanksinya
berupa pidana sebagai konsekuensi logis dari setiap kejahatan, sehingga apabila
hukum pidana dan pidana telah diterapkan, maka penanggulangan kejahatan dianggap
selesai. Pandangan yang demikian telah membentuk sikap para penegak hukum untuk
selalu menegakkan hukum pidana dengan mengenakan pidana yang berat terhadap
setiap kejahatan. Walaupun untuk menerapkan hukum pidana dan pidana tersebut,
aparat penegak hukum harus menempuh berbagai cara termasuk cara-cara yang
bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
Dengan menggunakan politik hukum pidana (pendekatan kebijakan), penegakan hukum
pidana dengan sanksinya berupa pidana tidak dilihat sebagai suatu keharusan
dalam menanggulangi kejahatan, melainkan dilihat sebagai suatu kebijakan yang menempatkan
hukum pidana dan sanksinya berupa pidana sebagai salah satu alternatif dari
sekian banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan.
Dengan pandangan yang demikian, maka penegakkan hukum pidana dengan sanksinya
berupa pidana hanya akan digunakan untuk dicapai dengan hukum pidana dan pidana
tersebut. Dengan kata lain, politik hukum melihat penegakan hukum pidana dan
pemidanaan sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan untuk mencapai
suatu tujuan. Sebagai salah satu sarana, maka penggunaan hukum pidana dan pidana
bukan suatu keharusan.
1. Tujuan
Politik Hukum Pidana
Telah
dikemukakan diatas, bahwa politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan
kejahatan (politik kriminal). Tujuan akhir politik kriminal ialah “pelindungan
masyarakat” (social deference) untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah
misalnya “Kebahagiaan warga
masyarakat/penduduk (happiness of the citizenz) : Kehidupan Kultural yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome
and cultural living)
: “kesejahteraan masyarakat” (sosial welfare) ; atau untuk mencapai “keseimbangan” (equality).
Dengan demikian politik hukum pidana yang merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat
(politik sosial). Sehubungan dengan itu, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan politik hukum pidana
adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat’.
Secara
sistematis hal diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
keseluruhan politik/kebijakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat,
maka wajarlah bila dikatakan bahwa penanggulangan kejahatan (termasuk politik
hukum pidana melalui penegakan hukum pidana) merupakan bagian integral dari
rencana pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan
(tujuan politik sosial). Oleh karena itu, maka ketiga tahap penegakan hukum
pidana, yaitu tahao formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi haruslah
merupakan perwujudan dari kebijakan (pembangunan) nasional. Jadi tegasnya,
kebijakan pembangunan harus diusahakan terwujud pada tiga tahap kebijakan
penegakan hukum pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan, bahwa
politik hukum pidana merupakan bagian integral dari politik sosial seperti
diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering
by criminal law. Konsekuensi semikian jelas menuntut “kemampuan yang lebih”
atau “kemampuan plus” Social Welfare Social Policy Social Defence Criminal Policy
Penal Penal Policy Nonpenal
Tujuan dari
setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan dibidang
yuridis, tetapi juga kesadaran kebijakan pembangunan yang menyeluruh. Tanpa
kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang pembangunan, sulit
diharapkan berhasilnya “pembangunan masyarakat dengan hukum pidana”. Selain
itu, karena pembangunan mengandung berbagai dimesi (multi-dimensi), maka juga
diperlukan peningkatan berbagai pengetahuan (multi-disiplin).
Disamping hal di
atas, agar penegakkan hukum pidana dapat menunjang program-program pembangunan,
maka patut diperhatikan Guiding Principle yang dikemukakan oleh Kongres
PBB ke-7, bahwa pelu dilakukan studi dan penelitian mengenai hubungan timbal
balik antara kejahatan dan beberapa aspek tertentu dari pembangunan. Ditegaskan
dalam Guiding principle tersebut, bahwa studi itu sejauh mungkin
dilakukan dari perspektif interdisipliner dan ditujukan untuk perumusan
kebijakan dan tindakan praktis. Studi demikian dimaksudkan untuk meningkatkan
sifat responsif dari kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam
rangka merubah kondisi-kondisi sosial, ekonomi, kultur dan politik. Dengan
demikian pengetahuan yang memadai dari para penegak hukum mengenai beberapa aspek
dari pembangunan dan hubungan timbal baliknya dengan kejahatan, tidak hanya
penting dalam merumuskan kebijakan penegakan hukum pidana pada tahap formulasi,
tetapi juga pada tahap aplikasi yang lebih bersifat operasional.
Sehubungan
dengan tahap aplikasi, sangat diharapkan perhatian para penegak hukum terhadap Guiding
principle dari Kongres PBB ke-7 yang menyatakan menyatakan, bahwa
“kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan
sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat structural termasuk sebab-sebab
sosio-ekonomis” (polities for crime prevention and criminal justice
should take structural including socio-economic causes of injustice).
Ini berarti, bahwa pengetahuan yang memadai dari penegak hokum mengenai
sebab-sebab ketidakadilan atau keimpangan (termasuk sebab-sebab terjadinya
kejahatan) yang bersifat struktural sebagai dampak dari kebijakan pembangunan,
dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk menyatakan suatu
perbuatan secara materiil tidak melawan hukum atau sebagai suatu alasan untuk
memperingan pidana. Bertolak dari konsepsi kebijakan integral yang demikian
itu, maka dapat dikatakan bahwa penegakan hukum pidana (sebagai pengejewantahan
politik hukum pidana) tidak banyak artinya apabila politik sosial atau
kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen
dan viktimogen. Sehubungan dengan masalah itu patut, kiranya diperhatikan Laporan
Komisi I Kongres PBB ke-6 yang membicarakan Crime trends and crime
prevention strategies, antara lain menegaskan, bahwa :
a.
Pembangunan itu sendiri pada hakikatnya
tidak bersifat kriminogen, khususnya apabila hasil pembangunan itu
didistribusikan secara pantas mdan adil kepada semua rakyat serta menunjang
kemajuan seluruh kondisi sosial;
b.
Pembangunan dapat bersifat kriminogen atau dapat meningkatkan kriminalitas,
apabila pembangunan itu direncanakan secara idak rasional, timpang atau tidak
seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural dan modal serta tidak mencakup
strategi perlindungan masyarakat yang integral. Dengan penegasan diatas jelas
terlihat, bahwa dilihat dari sudut politik kriminal masalah strategis yang
jusru harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi
sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh
suburkan kejahatan. Ini berarti dilihat dari sudut politik kriminal
masalah-masalah ini justru merupakan posisi kunci. Oleh karena itu adalah wajar
apabila Kongres PBBke-6 tahun 1980 sangat memperhatikan masalah-masalah itu
seperti terlihat didalam resolusi mengenai crime trends and crime prevention
strategies. Dalam pertimbangan resolusi itu antara lain dikemukakan :
1)
Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk mencapai kualitas hidup yang
pantas bagi semua orang ; (The crime problem impedes progress towards the
attainment of an aceptable quality of life for all people) ;
2)
Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab
dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan; (crime prevention strategies
should be based upon the elimination of causes and conditions giving
rise to crime);
3)
Bahwa penyebab utama kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial,
diskriminasi rasial dan nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan
kebutahurufan di antara golongan besar penduduk. (the main causes of crime
in many countaries are social in-equality, racial and nation
discrimination, law standard of living, unemployment and illiteracy
among broad sections of the population). Setelah mempertimbangkan hal-hal
diatas, maka dalam resolusi itu dinyatakan antara lain : Menghimbau semua
anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus
kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan
kejahatan, yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan,
diskriminasi rasial dan nasional dan bermacam-macam bentuk dari ketimpangan
sosial.
B. Dasar Hukum Politik Hukum Pidana
a.
Pengertian
Dasar Hukum
Sebagaimana
telah dikemukakan di dalam Bab I, bahwa politik hokum pidana mengejewantah
dalam bentuk penegakan hukum padana, sebagai pengejewantahan politik hukum
pidana, penegakan hukum pidana dilihat sebagai suatu proses dan kebijakan untuk
menanggulangi kejahatan secara rasional melalui sarana hukum pidana yang
dilaksanakan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap formulasi,
yaitu tahap pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang tahap pembuatan
oleh Badan Pembuat Undang-undang, kemudian tahap aplikasi, yaitu tahap
penerapan hukum pidana (penegakan hukum pidana dalam arti sempit) yang dilakukan
oleh aparat atau instansi penegak gukum, (dalam arti sempit), mulai dari kepolisian
sampai pengadilan, akhirnya tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh
aparat atau instansi pelaksana pidana. Agar penegakan hukum pidana dapat
mencapai tujuannya, maka masing-masing tahap penegakan hukum pidana tersebut
harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Untuk itu, dasar hukum atau landasan
hukum yang jelas ke arah itu sangat dibutuhkan sebagai acuan. Dasar hukum
penegakan hukum pidana inilah yang dimaksud dengan “Dasar Hukum Politik Hukum
Pidana”. Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa “Dasar hukum
politik hukum pidana adalah keseluruhan hukum yang menjadi acuan dalam pelaksanaan
politik hukum pidana sebagai upaya untuk mewujudkan penegakan hukum pidana yang
rasional dalam arti memenuhi rasa keadilan dan daya guna”. Adapun yang dimaksud
dengan “hukum” dalam arti “dasar ” dalam politik hukum pidana, penulis
sependapat dengan Yap Thiam Hiam. Dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Sebagai
Dasar dan Sistem Penertiban Pembangunan yang Merupakan Wahana Untuk Mewujudkan
Masyarakat yang Berperikemanusiaan, Adil, Damai dan Sejahtera” Thiam Hien[12]
menyatakan: Dalam konteks tulisan ini hukum dilihat sebagai kesauan peraturan
yang dibuat oleh semua kuasa membuat perundang-undangan (legislatif
authority), lembaga kekuasaan kehakiman dan putusannya; semua prosedur dan
proses pembuatan produk perundang-undangan dan penegakannya serta semua sumber
hukum; semua gagasan; asas; nilai dan norma yang memberi jiwa dan
landasan bagi tertib hukum; dan
prinsip-prinsip yang memperoleh pengakuan dunia internasional.
Pendapat
diatas mengandung arti, bahwa hukum (sebagai dasar hukum) tidak hanya mencakup
pengertian aturan atau peraturan baik formal maupun informal, melainkan
mencakup segala sesuatu yang (dapat) digunakan sebagai acuan dan ukuran untuk
melaksanakan suatu perbuatan yang baik. Dengan
demikian, istilah “dasar hukum” atau “landasan hukum” pada hakikatnya sama
dengan istilah “sumber hukum”. Mengenai istilah “sumber hukum”, ada
bermacam-macam pendapat. Kita dapat membedakan istilah sumber hukum formal dan
sumber material. Sumber hukum formal adalah bentuk hukum yang menyebabkan hukum
itu berlaku menjadi hukum positif dan diberi sanksi oleh pemerintah. Misalnya Undang-undang,
hukum adat, traktat, yurisprudensi dan doktrin. Sedangkan sumber hukum material
adalah sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum. Ahli sejarah beranggapan
bahwa yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang dan dokumen-dokumen yang bernilai
undang-undang, sedangkan ahli sosiolosi dan ahli antropologi budaya
beranggapan, bahwa yang menjadi sumber hukum adalah masyarakat seluruhnya. Bagi
ahli ekonomi, yang menjadi sumber hukum adalah apa yang tampak di lapangan ekonomi.
Kaum agama beranggapan, bahwa yang menjadi sumber hokum adalah kitab-kitab
suci. Tentunya masih banyak anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat tentang
sumber hukum ini. Adapun kalangan orang-orang filsafat, mengenai sumber hukum
ini menurut Bodenheimer, yang dipermasalahkan adalah ukuran apa yang dipakai
untuk menentukan suatu hukum itu adil, dan dapatkah kita membuat semacam grundnorm
atau Ursprungsnorm yang menjadi dasar ethis bagi berlakunya sistem hokum
formal.
Apabila
kita memperhatikan bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, maka ada
alasan pula untuk mengatakan, bahwa sumber hokum adalah masyarakat. Inipun
masih belum selesai, sebab sumber sebenarnya adalah kesadaran masyarakat
tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup tersebut harus mengalirkan
aturan-aturan hidup (kaidahkaidah hidup) yang adil dan sesuai dengan perasaan
atau kesadaran masyarakat yang dapat menciptakan suasana damai dan teratur
karena kepentingan mereka diperhatikan (dilindungi)[13].
Aliran hukum positif menganggap bahwa undang-undanglah satu-satunya sumber
hukum, karena hukum disamakan dengan undang-undang. Jadi yang ada hanya sumber
hukum formal saja. Pendapat ini tidak tepat. Sebab, hokum yang dirasakan adil
dan sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat tidak semuanya atau belum semuanya
berasal dari undang-undang yang telah ada. Bahkan sering kita jumpai
undang-undang yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena
itu, disamping hukum yang berwujud undang-undang masih diperlukan sumber hukum,
bahkan sumber dari segala sumber hukum yang dipergunakan sebagai ukuran atau
batu ujian terhadap hukum yang berlaku, agar hukum yang berlaku benar-benar
sesuai dengan rasa keadilan yang menciptakan suasana damai dan hidup tertib
dalam masyarakat.
b.
Latar Belakang
Perlunya Dasar Hukum
Membahas
masalah dasar hukum tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai negara
hukum. Negara hukum atau Rule of law menurut konsepsi dewasa ini mempunyai
sendi-sendi yang bersifat universal. Sendi-sendi tersebut antara lain :
1).
Adanya pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asas manusia (HAM) yang mengandung persamaan dalam bidang
politik, hukum, sosial, ekonomi dan budaya;
2).
Adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan dan kekuatan lain serta
tidak memihak;
c. Legalitas
dalam arti hukum dalam segala bentuknya
Konkretnya
demikian, bahwa negara hukum adalah negara yang mengakui dan melindungi HAM.
Untuk mewujudkan pengakuan dan perlindungan tersebut, maka kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam negara hukum diatur oleh
kaidah-kaidah hukum yang pada dasarnya berkesamaan (equality before the law).
Tidak ada orang yang berada di atas hukum, tidak ada perbuatan yang berada
diluar ketentuan hukum. Artinya semua semua gerak langkah kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hanya sah jika berlandaskan atau
berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk menjamin terwujudnya pengakuan dan
perlindungan HAM didalam hukum, maka perlu adanya peradilan yang bebas dan
tidak memihak. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa hakikat negara hukum
adalah pengakuan dan perlindungan HAM, sedangkan keberadaan hukum (sebagai
penjelmaan asas elegilitas) dan peradilan yang bebas serta tidak memihak
merupakan sarana untuk menjamin terwujudnya pengakuan dan perlindungan HAM dalam
kenyataan. Dengan kata lain, tujuan negara hukum adalah pengakuan dan
perlindungan HAM.
Adapun
ruang lingkup HAM (yang mencakup hak politik, hak hukum, hak sosial, hak
ekonomi dan hak budaya), secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian,
yaitu hak atas perlindungan (the right to defence) dan hak atas
kesejahteraan (the right to welfare). Hak-hak (HAM) ini adalah hak warga negara
yang wajib dipenuhi oleh negara. Untuk itulah, maka dalam tatanan negara hukum
yang dinamis, negara ikut terlibat secara aktif dalam usaha menciptakan
kesejahteraan masyarakat disamping melaksanakan kewajiban untuk melindungi
segenap warga negaranya[14].
Peranan negara yang bersifat ganda ini harus selalu selaras dalam
pelaksanaanya, mampu menjamin dan melindungi HAM dengan tujuan untuk
mensejahterakan rakyat itu sendiri. Bertolak dari uraian di atas dapat
dinyatakan, bahwa politik hukum pidana sebagai salah satu usaha rasional untuk
menanggulangi kejahatan dengan tujuan akhir perlindungan masyarakat untuk
mencapai tujuan utama
kesejahteraan
msyarakat, pada hakikatnya juga merupakan usaha untuk mewujudkan HAM. Sebagai
bagian dari usaha untuk mewujudkan HAM (Perlindungan masyarakat dalam rangka
kesejahteraan masyarakat), politik hukum pidana juga merupakan bagian dari
gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang harus
berdasarkan hukum.
d. Bentuk-bentuk Dasar Hukum
Dasar
suatu hukum biasanya berawal dari nilai-nilai yang di ilhami oleh suatu
masyarakt tertentu yang dalam prakteknya dominan sering terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai yang dalam bahasa Inggris disebut value adalah
termasuk pengertian filsafat. Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu untuk selanjutnya mengambil keputusan.
Keputusan nilai dapat mengatakan: “berguna atau tidak berguna:, :benar atau
baik”, “religius atau tidak religius”. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur
yang ada pada manusia, yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa dan kepercayaan. Pernyataan
ini mewujudkan, bahwa masalah nilai berkaitan erat dengan masalah manusia yang
menjadi subyek nilai tersebut. Artinya, baik buruknya nilai sesuatu sangat
tergantung kepada manusia yang melakukan penilaian terhadap sesuatu itu[15].
Menurut A.P. Sugiarto, “Ada dua faktor yang mempengaruhi penilitian manusia
terhadap sesuatu, pertama, faktor subyektif yang bersumber pada diri sendiri
meliputi kondisi sosial budaya, lingkungan dalam arti luas dan lain-lain”[16].
Dengan demikian dapat saja sesuatu itu bernilai buruk (tidak baik) bagi manusia
yang lain. Contoh konkretnya mengenai
(nilai) individualism bagi bangsa yang berpaham liberal, individulisme. Bagi
nilai luhur (baik), tetapi bangsa yang berpaham kebersamaan, individualisme
merupakan nilai buruk.
Jika
uraian diatas dikaitkan dengan nilai sebagai dasar hukum politik hukum pidana,
maka yang dimaksud dengan “nilai “ sebagai dasar hukum politik hukum pidana
adalah “nilai luhur” atau “nilai baik” yang berguna bagi upaya mewujudkan
politik hukum pidana sebagai salah satu usaha rasional untuk menanggulangi
kejahatan dengan tujuan akhir perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan
utama kesejahteraan masyarakat. Adapun nilai-nilai luhur yang menjadi dasar
hukum politik hukum pidana adalah nilai-nilai mengenai kebenaran (logis).
Keindahan (esthetis), kebaikan (ethis) dan agama (religius) yang merupakan
prinsip hidup dan prinsippikiran bangsa[17].
Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai luhur tersebut menurut Kansil telah
dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atas nama rakyat
Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia yang dinamakan Pancasila,
dengan rumusan lengkap sebagai berikut :
1. Ke-Tuhanan
Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab
3. Persatuan
Indonesia
4.Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
5.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Pancasila sebagai dasar hukum
nasional (termasuk sebagai dasar politik hukum pidana) berfungsi sebagai
patokan/ukuran sekaligus sebagai tujuan hukum nasional Indonesia.
e. Beberapa dasar Hukum Politik Hukum Pidana
1)
Undang-Undang
Dasar
Telah
dikemukakan dalam uraian terdahulu, bahwa nilai-nilai yang dijadikan dasar
hukum bagi setiap tata hukum (termasuk didalamnya politik hokum pidana) oleh
suatu bangsa, merupakan hasil penghayatan religius, etik dan moral yang diterima
dan dianut oleh bangsa tersebut dengan kondisi sosial, budaya dan
lingkungannya. Sebagai dasar hukum, nilai-nilai tersebut menjelma menjadi cita hokum
(Rechtsidee). Menurut karl Larenz, cita hukum adalah cita-cita yang
terdiri dari perangkat nilai-nilai intrinsik, bersifat normatif dan
konstitutif, merupakan prasyarat transendental yang mendasari hukum. Tanpa cita
hukum tak akan ada hukum yang memiliki watak normatif (De rechtsidee is het
Normative en Conxtitutieve apriori, dat als een Trancendentalem Voorwaarde
aan elk Wezenlijk recht in Gronslagligt buiten haar bestaat geen recht
in Normatieve zin)22 . Undang-undang Dasar (UUD) merupakan perwujudan cita
hukum yang tersimpul dalam dasar falsafah negara, hanya menggambarkan beberapa prinsip
dalam garis besarnya saja tentang bagaimana arah dan sasaran politik hukum
(pidana) nasional suatu bangsa.
2)
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) mengandung political will bangsa
Indonesia, termasuk pedoman untuk menyusun politik hokum pidana nasional
seperti yang tercantum dalam TAP MPR tentang GBHN. Dalam GBHN 1993 –
1998 sebagaimana termuat dalam TAP MPR No. II/MPR/1993, dinyatakan,
bahwa arah dan kebijaksanaan pembangunan nasional di bidang hukum
sebagai berikut :
1)
Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem nasional yang
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang mencakup pembangunan
materi dalam rangka pembangunan Negara hukum untuk menciptakan kehidupan
masyarakat yang aman dan tenteram. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui
pembaharuan hukum yang berlaku yang mencakup upaya untuk meningkatkan kesadaran
hukum, kepastian hukum dan pelayanan hukum yang beintikan keadilan dan
kebenaran dalam rangka menyelenggarakan negara yang maski tertib dan teratur,
serta penyelenggaraan pembangunan nasional yang makin lancar (Bab IV F Butir
37).
2)
Hukum nasional sebagai sarana ketertiban dan kesejahteraan yang berintikan
keadilan dan kebenaran, harus dapat berperan mengayomi masyarakat serta
mengabdi pada kepentingan nasional (Bab II Huruf G Butir 3).
3)
Pembangunan hukum dan perundang-undangan telah menciptakan system hukum dan
produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasanhukum bagi kegiatan masyarakat
dan pembangunan. Kesadaran hukum yang makin meningkat dan makin lajunya
nasional dan produk hukum yang mendukung dan bersumber pada Pancasila dan
Undangundang Dasar 1945[18].
Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu memperhatikan peningkatan pemasyarakatan
hukum, peningkatan pelaksanaan penegakan hukum yang berkualias dan bertanggung
jawab, serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung yang memadai (bab III
Huruf A Butir 9).
4)
Pembangunan hukum yang menuju terbentuknya sistem hukum nasional yang bersumber
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 masih menghadapi berbagai macam
tantangan yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang ada dan
berlaku. Kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap hukum telah makin
meningkat, di lain pihak tuntutan masyarakat terhadap kepastian dan pengayoman
hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran meningkat lebih cepat, sehingga pembangunan
hukum pembangunan hukum yang menuju terwujudnya sistem hukum nasional perlu
sungguh-sungguh diperhatikan (bab IV Huruf A Butir 18). Dari prinsip-prinsip
tersebut diatas dapat dinyatakan, bahwa politik hokum (pidana) nasional harus
mengandung mutiara-mutiara tertib hukum stimulant pembangunan di segala bidang
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (HAM) . sebagai pedoman
dalam menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana dengan tujuan akhir
perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat,
maka politik hokum pidana nasional harus pula berdasarkan prinsip-prinsip dasar
manusia Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pancasila, baik sebagai falsafah maupun
sebagai ideologi negara. Pedoman yang bersedikan ideologi itu harus pula
menampung materai utama hukum nasional sebagai penjabaran dari tujuan hukum UUD
1945 dan TAP – MPR.
3)
Peraturan
Perundang-undangan Pidana
Adapun
peraturan perundang-undangan pidana sebagai dasar hukum politik hukum pidana,
mencakup :
1)
Hukum pidana material (hukum pidana substansi), yaitu hukum pidana yang
berisikan petunjuk dan uraian tentang tindak pidana (delik), peraturan tentang
syarat-syarat dapat dipidanya suatu perbuatan, petunjuk tentang orang-orang
yang dapat dipidana dan aturan-aturan tentang pemidanaan serta mengatur tentang
kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan.
2)
Hukum pidana formal (hukum acara pidana), yaitu hukum pidana yang mengatur
tentang cara bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan hak dan
kewajibannya untuk menegakkan hukum pidana material.
3)
Hukum pelaksanaan pidana, yaitu peraturan hukum tentang mekanisme pelaksanaan
pidana dan organisasi lembaga-lembaga pelaksanaan pidana Ketiga hukum pidana
diatas dikatakan sebagai dasar hukum politik hokum pidana, karena secara
yuridis ketiga hukum pidana itu yang menjadi dasar utama segala aktivitas
aparat penegak hukum pidana (dalam arti sempit, mulai dari kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan serta pelaksana pidana) dimulai dan dilaksanakan.
Dengan kata lain politik hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan
kejahatan, secara konkret terwujud dalam bentuk penegakan hukum pidana (dalam
arti sempit), yaitu penanggulangan kejahatan berdasarkan hukum pidana material,
hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Agar penegakan hukum pidana
dalam arti sempit dapat mencapai sasaran yang diinginkan oleh politik hukum
pidana, maka berdasarkan nilai-nilai dan tujuan yang telah ditentukan oleh
Pancasila, UUD 1945 dan GBHN.
4)
Keputusan
Hakim dan Yurisprudensi
Karena
politik hukum pidana mengejewantah dalam bentuk penegakan hukum pidana yang
mencakup tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi, maka keputusan
hakim sebagai dasar hukum utama(karena eksekusi didasarkan/berdasarkan pada
keputusan hakim) pelaksanaan eksekusi dapat dikategorikan sebagai dasar hukum
politik pidana. Untuk menelaah keputusan hakim, lebih banyak berpangkal pada
nilai-nilai serta norma-norma hukum yang mendasari pendirian dan pengetahuan
dalam menetapkan keputusan/putusannya, ada juga yang secara politis dikaitkan dengan
upaya untuk :
1)
Menguji materi politik hukum
nasional;
2)
Menguji secara pasif keputusan
hakim itu sendiri;
3)
Meneliti hal-hal yang baru dalam
keputusan hakim itu untuk diselaraskan dengan materi hukum nasional yang akan
datang.
Keputusan
hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan
dijadikan sebagai dokumen. Dokumen ini dinamakan yurisprudensi. Yurisprudensi
banyak mengandung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan ternyata
kebenarannya. Bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pertimbangan-pertimbangan
kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum. Suatu yurisprudensi memuat pula
petunjuk bagi praktisi hukum, aparat penegak hukum maupun pencari keadilan,
sehingga memungkinkan diselidiki lebih lanjut untuk diambil saripatinya sebagai
dasar politik hukum (pidana) nasional.
5) Hukum Adat
Dari
berbagai kepustakaan jelas sekali peranan hukum adat, disamping sebagai hukum
kebiasaan (hukum yang hidup) yang tidak tertulis yang berlaku dan mengikat
suatu masyarakat hukum adat. Oleh karena itu di Indonesia hukum adat pun
menjadi salah satu dasar hukum. Beberapa peraturan perundang-undangan dengan
tegas menyatakan hal ini. Pasal 27 ayat (1) (3) Undang-undang No. 1 drt. Tahun
1951, pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 dan pasal 3 ayat (1)
Konsep KUHP Baru tahun 1991/1992, sehingga banyak proses peradilan dan
keputusan hakim dipedomani oleh norma-norma hukum adat.
Sehubungan
dengan uraian diatas, maka untuk mewujudkan politik hokum pidana yang mampu
mempedomani para penegak hukum pidana khususnya dan warga negara (masyarakat)
pada umunya, maka kaidah kaidah hokum adat (berdasarkan seleksi) perlu
dijadikan dasar hukum (ditampung) oleh politik hukum (pidana) nasional,
khususnya kaidah-kaidah hukum adat yang menyangkut
1)
Kepentingan umum;
2)
Kesamaan dan kepentingan hukum
dasar dan hukum positif tertulis yang telah ada maupun yang akan datang;
3)
Perwujudan kaidah-kaidah moral;
4)
Tertib hukum yang ditujukan kepada
seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali;
5)
Keselarasan dan keselarasan untuk
menumbuhkan kesadaran hokum bersama serta manunjang dan kesatuan bangsa.
Perkembangan
hukum adat ditinjau dari segi pembangunan hukum nasional adalah saling
melengkapi, sehingga dapat mengisi arah politik hokum nasional baik secara umum
maupun secara khusus. Hal ini sangat penting untuk merintis jalan bagi para
penegak hukum, dalam arti luas yang mencakup pembuat dirinya dengan pengetahuan
hukum yang mendalam dan terarah, sehingga mencakup segala aspek hukum yang
terpadu.
Sebagai
dasar hukum, hukum adat banyak mengandung norma-norma susila/moral yang banyak
dipengaruhi oleh ajaran agama, bahkan ada diantaranya yang menyatu dengan hukum
adat (Aceh, Bali, Toraja dan Kalimantan Tengah). Dengan demikian akan
memperkaya materi yang dapat ditampung dalam politik hukum (pidana) nasional.
6) Doktrin
Doktrin
adalah ajaran para sarjana ahli hukum yang lebih banyak mengandalkan teori
hukum untuk berusaha menyadarkan masyarakat tentang kebenaran suatu doktrin
tertentu. Karena sifatnya ilmiah, tentunya banyak pula yang tidak sesuai dengan
praktik dan pola dasar hukum positif. Namun tidak sedikit pula yang mengandung
ajaran hukum sebagai politik hukum. Dalam hal ini perlu dikaji terlebih dahulu
titik-titik temu yang meyakinkan bahwa dalam doktrin cukup terdapat nilai-nilai
hukum yang sesuai dengan kepentingan pembangunan hukum nasional dalam rangka
melaksanakannya disalurkan melalui lembaga perguruan tinggi dan terutama sekali
para ilmuan dan praktisi hukum.
7) Asas
Telah
diketahui bahwa dasar hukum yang tertinggi adalah nilai-nilai yang merupakan
hasil penghayatan religius, etik dan moral yang dilakukan oleh suatu bangsa
berdasarkan kondisi sosial budaya dan lingkungannya yang menjelma menjadi cita
hukum (rechtsidee). Cita hukum atau rechtsidee beserta
nilai-nilai yang terkandung didalamnya membawa konsekuensi adanya keharusan
untuk mencerminkan nilai-nilai tersebut dalam berbagai hukum, termasuk hukum
pidana melalui pelaksanaan politik hukum pidana. Pencerminan nilai-nilai
tersebut dalam bidang hokum pidana menimbulkan penciptaan asas-asas yang
merupakan dasar bagi hokum pidana yang bersangkutan terlepas dari sistem hukum
yang dianut. Apakah sistem Civil Law sebagai mana yang dianut oleh
negara-negara Eropa Kontinental atau sistem Common Law sebagaimana yang dianut
oleh negaranegara Anglo Saxon maupun sistem hukum lainnya yang digunakan oleh negara
tertentu. Asas-asas tersebut pada dasarnya bersifat universal dan selalu
dikaitkan dengan tujuan nasional, yaitu perlindungan masyarakat dan kesejahteraan
masarakat.
Adapun
asas-asas tersebut antara lain :
1)
Asas legalitas;
2)
Asas kesamaan;
3)
Asas proporsionalitas;
4)
Asas publisitas; dan
5)
Asas subsidiaritas.
Pembangunan
asas-asas ini sebagai dasar politik hukum pidana, semata-mata ditunjukan untuk
mewujudkan perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka
penempatan asas-asas tersebut sebagai dasar politik hukum pidana tidak boleh
terlepas antara yang satu dengan yang lain.
8) Instrumen Internasional
Politik
hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan yang
mengejawantah dalam bentuk penegakkan hukum pidana, sarat dengan masalah HAM,
jelas tidak akan mampu mencapai tujuannya jika hanya mendasarkan diri pada
nilai-nilai dan peraturan perundang-perundangan yang bersifat lokal. Oleh
karena itu menjadikan instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan
HAM (terutama yang menyangkut hak politik dan hak sipil) dan
instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan HAM (terutama yang
penyangkut hak politik dan hak sipil) dan instrumeninstrumen internasional yang
berkaitan dengan penanggulangan kejahatan dan peradilan pidana sebagai dasar
hukum politik hukum pidana, merupakan keharusan yang bersifat etis terlepas
dari apakah instrumen internasional itu sudah diratifikasi atau belum[19].
Frank Newman, seorang pengajar Hukum Internasional di Unversitas California,
Berkeley selalu mengatakan, bahwa ratifikasi instrumen-instrumen internasional
bukan merupakan syarat mutlak untuk berlakunya instrumen-instrumen tersebut.
Keberadaan sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saja sudah cukup
untuk mengikat Negara tersebut agar tunduk kepada keputusan-keputusan yang
dibuat oleh PBB. Dalam praktis kehidupan masyarakat internasional,
insrumen-instrumen internasional yang dikeluarkan oleh PBB sering menjadi
barometer atau pengukur pelaksanaan kegiatan yang bersifat umum, baik untuk
menilai hasil kerja organisasi PBB umum, baik untuk memantau gerak-gerik dan
perilaku negara-negara berdaulat yang menjadi anggota PBB. Demikian pula dalam kerangka
penanggulangan kejahatan dan peradilan pidana. Sebagaimana dinyatakan didalam
Keputusan Menteri Kehakiman RI. No. M. 01.PW.07.03 tahun 1982 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi
sebagai berikut : Namun dalam sehubungan dengan hukum acara pidana baru, yang
lebih memberi jaminan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang
dalam hal ini memunyai sifat yang universal, maka deklarasi maupun konvensi-konvensi
internasional seperti The Universal Declaration of Human Rights yang
diterima dan disahkan oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 10 Desember 198 dan the
International Cenvenant on Civil and Political Rights beserta Optional
Protocal-nya yang diterima 16 Desember 1966 dapat digunakan untuk mengukur
nilai hukum acara pidana baru ini. Berkaitan dengan uraian diatas, uraian dibawah
ini dapat menjadi bahan renungan bagi bangsa Indonesia yang harus diterima
dengan kepala dingin. Penilaian internasional ini didasarkan atas laporan Mr.
P. Kooijmans, Special Repporteur yang ditunjuk oleh Commission on Human Rights
untuk mempelajari tuduhan terhadap Indonesia tentang terjadinya pelanggaran HAM
di Indonesia.
Setelah
mengunjungi Jakarta dan mengadakan dialog dengan berbagai pihak, sepanjang
menyangkut hukum acara pidana Indonesia, ia mengemukakan evaluasi, konklusi dan
rekomendasi sebagai berikut :
1)
Administrasi peradilan pidana di
Indonesia bersifat kontroversial dan merupakan political issue. Hal ini
dibuktikan dengan adanya dua organisasi pengacara, yang satu terdaftar dan
diakui pemerintah, sedangkan yang lain bebas. Bukti lain adalah keberadaan dua
lembaga bantuan hukum, satu terdaftar pada pemerintah dan yang lain independen,
dengan segala konsekuensinya.
2)
Pelaksanaan KUHAP sudah maksimal
tetapi praktik-praktik pelanggaran HAM (torture) tetap terjadi.
3)
Perlu penjelasan apakah ketentuan
KUHAP masih berlaku apabila jaksa Agung telah memutuskan bahwa seseorang
tersangka akan diproses atas dasar Undang-undang No. 11 PNPS tahun 1963.
4)
Kedudukan hukum dari penahanan dan
introgasi terhadap pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan nasional
yang dilakukan BAKORSTRANAS perlu diperjelas sehubungan dengan KUHAP. Perlu pula
dipikirkan kemungkinan bantuan hukum dan perlindungan hokum terhadap terdakwa.
5)
Salah satu kelemahan utama di dalam
struktur administrasi peradilan pidana berkaitan dengan pelaksanaan
fungsi-fungsi peradilan, tidak ada kewajiban yang ditetapkan oleh hukum agar
penyidik menghargai hokum dengan konsekuensi menolak segala pembuktian yang
diperoleh melalui penahanan yang tidak sah dan penangkapan illegal. Tidak ada
kasus dimana pengadilan berkesimpulan bahwa suatu penahanan bersifat illegal.
Demikian pula kasus yang menyatakan adanya pernyataan yang diperoleh karena
paksaan.
6)
Kelamahan lain dari administrasi
peradilan pidana khususnya dalamstruktur pencegahan penganiayaan atau perlakuan
salah lainnya.
7)
Kenyataan bahwa polisi mempunyai
kewenangan penuh selama 20 hari penahanan, memungkinkan terjadinya pelanggaran
terhadap HAM.
C. Tujuan Dasar Hukum
Keharusan
adanya dasar hukum bagi setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara dalam negara hukum termasuk pelaksanaan politik hukum pidana,
merupakan konsekuensi logis dari penempatan asas legalitas sebagai salah satu
sendi negara hukum dalam rangka mewujudkan pengakuan dan perlindungan HAM dalam
kenyataan sebagai sendi utama sekaligus sebagai tujuan negara hukum[20].
Sebagai sarana untuk mewujudkan pengakuan dan perlindungan HAM dalam kenyataan,
asas legalitas dalam kerangka negara hukum mengandung tiga hal. Pertama,
supremasi hukum. Artinya setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat berbangsa
dan bernegara dalam negara hukum haruslah berdasarkan hukum dan memperoleh
legalisasi hukum. Kedua, hukum yang dipergunakan sebagai dasar bagi setiap
gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hanyalah hukum
yang mengandung motivasi dan memberi ruang gerak bagi terwujudnya pengakuan dan
perlindungan HAM. Ketiga, menolak keberadaan hukum yang bertentangan dengan
pengakuan dan perlindungan HAM. Artinya, asas legalitas melarang rakyat dan pemerintah
menggunakan hukum yang bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan HAM
sebagai dasar hukum bagi setiap langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Berkaitan dengan uraian diatas, sangatlah tidak etis jika masih ada
warga masyarakat atau aparatur pemerintah apalagi aparat penegak hokum melakukan
tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan HAM dengan dalih sesuai
ketentuan hukum yang berlaku. Bagi politik hukum pidana sesuai dengan yang
diharapkan, yaitu mampu melindungi warga masyarakat. Hal ini
dimungkinkan
karena dasar hukum tersebut berfungsi sebagai pedoman, tolak ukur keadilan,
rambu-rambu dan alasan pembenaran bagi pelaksanaan politik hukum pidana. Bertolak
dari fungsi dasar hukum tersebut diatas, dapat dinyatakan, bahwa tujuan dasar
hukum politik hukum pidana adalah “terlaksananya politik hukum pidana yang
mampu melindungi warga masyarakat dari kejahatan dalam rangka mensejahterakan
warga masyarakat.
D. Pembaharuan Substansi Hukum Pidana
a.
Pengertian
Pembaharuan Hukum Pidana
“Pembaharuan”
atau “Pembaruan” dalam kamus umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S.
Poerwadarminta[21]
diartikan sebagai “perbuatan atau cara membarui”. “Membarui” mempunyai tiga
pengertian, yaitu (1) Memperbaiki supaya menjadi baru (merehab, pen.); (2) Mengulang
sekali lagi/memulai lagi; (3) Mengganti dengan yang baru. Menghubungkan ketiga
pengertian di atas dengan hukum pidana sebagai obyek pembaharuan, maka
pengertian yang paling tepat untuk digunakan untuk pembaharuan hukum pidana
adalah pengertian yang ketiga, yaitu “mengganti dengan yang baru”. Sebab,
menurut Gustav Radbruch 27membarui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum
pidana, akan tetapi menggantikannya dengan yang lebih baik Bertolak dari
pendapat Gustav Radbruch diatas dikaitkan dengan pembahruan hukum pidana Indonesia,
khususnya KUHP, Sudarto mengatakan, bahwa cukup banyak yang telah dilakukan,
amun apa yang telah dikerjakan itu sama sekali tidak bisa dikatakan suatu law
Reform secara total seperti yang dimaksud oleh Gustav Radbrrch[22].
Apa yang telah dilakukan adalah tambal sulam. Berdasarkan uraian tentang
pengertian “pembaharuan” yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dinyatakan
bahwa pembaharuan diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana
diartikan sebagai usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada
dengan hokum pidana yang lebih baik, yang sesuai dengan keadilan dan
perkembanganmasyarakat.
Hukum
pidana meliputi hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum
pelaksanaan pidana atau sering juga disebut hukum pidana substantif, hukum
acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa ruang lingkup pidana tersebut, yaitu hukum pidana material atau hukum
pidana
substantif, hukum pidana formal atau hokum acara pidana dan hukum pelaksanaan
pidana.
Sehubungan
dengan ruang lingkup pembaharuan hukum pidana tersebut, Sudarto[23]
menyatakan : Pelaksanaan pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus
meliputi pembaharuan hukum pidana material (substantif). Hukum pidana formal (hukum
acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana (strafvillsteckuenggesterz).
Ketiga bidang hukum pidana itu harus bersamasama dibaharui. Kalau hanya salah
satu timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan itu
tidak akan tercapai sepenuhnya. Adapun tujuan utama dari pembaharuan itu ialah penanggulangan
kejahatan. Ketiga bidang hukum itu erat sekali hubungannya.
Oleh
karena itu menurut Barda Nawawi Arief30 Dengan direncanakannya pembaharuan
hukum pidana material, yaitu dengan telah disiapkannya konsep KUHP Baru, perlu
kiranya dilakukan pengkajian seberapa jauh beberapa aspek baru tersebut
menimbulkan permasalahan dilihat dari sudut hukum acara pidana. Seberapa jauh
pula konsep KUHP baru dalam konsep tersebut memerlukan dukungan aturan-aturan
bari dibidang hukum acara pidana, atau sebaliknya seberapa jauh hukum acara pidana
yang saat ini berlaku (khususnya yang terdapat didalam KUHAP) memerlukan
peninjauan dan penyesuaian kembali dengan ketentuanketentuan yang terdapat di
dalam konsep KUHP Baru tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa
pembaharuan hukum pidana diartikan sebagai suatu usaha atau cara untuk
menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik, yang
sesuai dengan keadilan dan perkembangan masyarakat. Ini berarti bahwa
pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari politik hukum pidana
sebagai bagian
dari politik hukum, yang mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat
dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik. Dilihat dari tujuannya,
pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari politik kriminal (dalam arti
penal). Sebab menurut Sudarto 31 tujuan utama
dari
pembaharuan
hukum pidana adalah penanggulangan kejahatan. Pengertian ini
sama
dengan pengertian politik kriminal.
Sebagai
bagian dari upaya penanggulangan kejahatan (melalui sarana penal), maka
pembaharuan hukum pidana juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan
masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
tujuan akhir dari pembaharuan hukum pidana ialah perlindungan masyarakat (social
defence). Sehubungan dengan social defence, Barda Nawawi Arief[24]
mengemukakan dua interprestasi pokok mengenai social defence :
1) Interprestasi
yang kuno tradisional, yang membatasi pengertian perlindungan masyarakat itu
dalam arti “penindasan kejahatan” (repression of crime).
2) Konsepsi
modern, yang menafsirkan perlindungan masyarakat dalam arti “pencegahan
kejahatan dan pembinaan pada pelanggar” (the prevention of crime and
the treatment of offenders).
Dari
uraian di atas, ternyatakan pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan
bagian integral dari politik sosial.
b.
Alasan Pembaharuan Hukum Pidana
Timbulnya
keadaan yang menuntut usaha untuk menciptakan hukum pidana yang sebaik-baiknya
atau melakukan pembaharuan hukum pidana, tentunya karena hukum pidana yang ada
sekarang dianggap belum baik dan tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan
masyarakat sekarang. Timbulnya keadaan yang demikian itu tidak lain karena
adanya perkembangan masyarakat, baik nasional, regional maupun global dan
perkembangan hukum pidana itu sendiri (dalam arti luas yang menyangkut
perkembangan teori-teori, ide-ide dan asas-asas serta perkembangan hukum pidana
Negara lain). Sehubungan dengan perkembangan masyarakat internasional, Muladi[25]
menyatakan bahwa perkambangan internasional ini pada hakikatnya mencakup
perkembangan dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan modern tentang kejahatan (modern
criminal science), kriminologi maupun dalam bidang politik hukum pidana
Alasan
pembaharuan hukum pidana yang dikemukakan diatas, oleh Muladi disebut dengan
istilah alasan “adaftif”, yakni bahwa KUHP nasional di masamasa yang akan
datang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru, khususnya
perkembangan internasional yang telah disepakati oleh masyarakat beradab.
Urgensi
untuk melakukan pembaharuan hukum pidana, sehubungan dengan perkembangan
masyarakat (termasuk juga meningkatnya kriminalitas), menjadi topik pembicaraan
dalam forum internasional, yaitu dalam Kongres PBB mengenai Prevention of crime
and the Treatment af Offenders. Pada Kongres ke-4 tahun 1970 di Kyoto antara
lain dikemukakan, bahwa perbedaan telah terjadi antara perubahan-perubahan yang
cepat didalam pola-pola kejahatan pada dua puluh lima tahun yang lalu dengan perubahanperubahan
yang relatif lembat dan konvensional di dalam perundangundanganpidana. Keadaan
ini menuntut suatu pembaharuan hukum apabila negara-negara akan secara efektif
menghadapi tantangan-tantangan dari masyarakat modern. Kemudian pada tahun
1975, PBB melalui Kongresnya di Jenewa mengemukakan suatu penilaian mengenai
sistem peradilan pidana, antara lain dinyatakan dalam salah satu laporannya,
bahwa mekanisme hukum dan peradilan pidana dibanyak negara telah menjadi
ketinggalan zaman atau tidak sesuai dengan kenyataan.
Disamping
alasan perkembangan masyarakat, masih ada alasan lain yang menuntut perlunya
dilakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu alasan politis, alasan sosiologis dan alasan praktis[26].
Ketiga alasan ini sebenarnya merupakan alasan klasik yang menuntut perlunya
suatu negara melakukan pembaharuan hukum. Alasan politik dilandasi oleh
pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang
bersifat nasional. Alasan sosiologi menghendaki adanya hukum yang mencerminkan
nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, sedangkan alasan praktis, antara lain
bersumber pada kenyataan bahwa biasanya bekas-bekas negara jajahan mewarisi
hukum negara yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, yang kemudian banyak tidak
dipahami oleh generasi mudai dari negara yang baru merdeka tersebut. Hal ini disebabkan
oleh keinginan bangsa yang baru merdeka untuk menjadikan bahasanya sendiri
sebagai bahasa kesatuan. Demikian juga halnya dengan bangsa Indonesia yang
berusaha untuk melakukan pembaharuan hukumnya secara menyeluruh, baik hukum
perdata, hukum administrasi, maupun hukum pidana.
Di
dalam TAP MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN tersurat beberapa pedoman yang dapat
dijadikan landasan bagi pembangunan di bdiang hukum. Pertama, ialah yang
terdapat didalam Pola dasar Pembangunan Nasional, khususnya mengenai Wawasan
Nusantara (Bab II Huruf E) yang antara lain menegaskan, bahwa seluruh kepulauan
Nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam artibahwa hanya ada satu Hukum
Nasional yag mengabdi kepada Kepentingan Nasional. Kedua, adalah pedoman yang
terdapat didalam Sasaran Bidang Pembangunan Jangka Panjang Kedua Bidang Hukum
(Bab III Huruf E Butir 5) yang berbunyi :Terbentuknya dan berfungsinya sistem
hukum nasional yang mantap bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
dengan memperhatikan Kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjalani
kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan
keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan
nasional, yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum.
Dari
kutipan diatas, ternyata pembaharuan hukum pidana Indonesia tidak saja didasarkan
pada alasan politik, alasan sosiologis, alasan praktis, serta alasan adaptif,
tetapi juga didasarkan pada alasan pembangunan nasional. Dibidang hukum pidana
sejak lama telah dilakukan usaha-usaha untuk memperbaharui hukum pidana
material (hukum pidana substantif), yang harus dilakukan bersama-sama dengan
hukum pidana yang lain, yakni hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan
hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckunsdgesetz). Semuanya dalam
kerangka mewujudkan satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan
nasional.
Dibidang
hukum pidana material, usaha pembaharuan tersebut dalam arti pembentukan KUHP
baru untuk menggantikan Wetboekvan Strafrevht (WvS) yang sering disebut Kitab
Undang-undang Hukium Pidana (KUHP) yang telah bertahan selama hampir 100 tahun
sejak dinyatakan berlaku pada tangal 1 Januari 1918, telah dimulai sejak tahun
1963, yaitu sejak adanya rekomendasi Seminar Hukum Nasional I, yang menegaskan
agar pembuatan Rancangan Kodifikasi Hukum Pidana baru segera dilaksanakan, maka
dimulai penyusunan Rancangan Konsep) KUHP Baru tahun 1964 sebagai rancangan
yang pertama. Kemudian berturut-turut tahun 1968, Rancangan tahun 1971/1972,
Rancangan tahun 1982/1983, Rancangan tahun 1987/1988 dan terakhir sampai saat
ini dengan melalui pengkajian dan penyempurnaan dihasilkan Rancangan tahun
1991/1992.
Menganalisis
pengertian kelima alasan pembaharuan hukum pidana diatas,
dapat
dinyatakan bahwa kelima alasan pembaharuan hukum tersebut mengandung makna yang
sangat penting dalam mewujudkan hukum pidana yang lebih baik dari pada hukum
pidana yang ada sebelumnya. Penting, artinya sebagai ukuran dalam menentukan
baik atau tidaknya hukum pidana sebagai hasil pembaharuan itu. Dikatakan baik
apabila hukum pidana yang dihasilkan oleh pembaharuan itu sesuai dengan arti
dan hakikat kelima alasan tersebut. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa
kelima alasan pembaharuan hukum pidana tersebut, disamping sebagai alasan
sekaligus berperan sebagai tujuan. Untuk mengetahui tentang sejauhmana peranan
kelima alasan pembaharuan hukum pidana tersebut dalam mewujudkan hukum pidana
yang baik, dapat dilihat dalam uraian berikut ini. Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, bahwa pembaharuan hukum pidana dapat diartikan sebagai usaha
atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang
lebih baik. Menjadi pertanyaan sekarang, apa yang dimaksud dengan lebih baik
itu? Apakah yang dimaksud dengan lebih baik itu adalah sesuai dengan tujuan
pembaharuan, yaitu penanggulangan kejahatan. Jika demikian, maka bukan tidak
mungkin hukum pidana yang baru justru akan lebih buruk daripada yang ada
sekarang. Sebab, menurut barda Nawawi Arief[27]
penanggulangan kejahatan sebagai tujuan sering digunakan dengan berbagai
istilah seperti “penindasan kejahatan” (repression of crime), “pengurangan
kejahatan” (reduction of crime), dan “pengendalian kejahatan”(control of
crime).
Melihat
banyaknya istilah yang dapat digunakan terhadap “penanggulangan kejahatan”
disatu sisi, dan belum adanya definisi istilah “lebih baik” disisi lain, maka
bukan tidak mungkin dalam rangka mewujudkan tujuan pembaharuan hukum pidana
(penanggulangan kejahatan), hukum pidaba yang akan datang (sebagai hasil
pembaharuan) lebih tidak manusiawi daripada hukum pidana yang ada sekarang,
sebab hukum pidana yang ada sekarang tidak mungkin menanggulangi kejahaan
karena ketidakmampuannya. Oleh karena itu hukum pidana yang akan datang harus lebih
keras lagi. Kalau demikian, maka produk pembaharuan bukannya yang lebih baik,
tetapi yang lebih buruk dan tidak manusiawi. Untuk menghindari kemungkinan
terciptanya hukum pidana yang hanya berorientasi terciptanya hukum pidana yang
hanya berorientasi pada tujuan pembaharuan hukum pidana, yaitu penanggulangan
kejahatan, maka penempatan kelima alasan pembaharuan hukum pidana sebagai acuan
untuk menentukan baik buruknya suatu hukum pidana merupakan kebijakan yang sangat
tepat. Bagaimana tidak, alasan politik yang dilandasi oleh pemikiran bahwa
suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional, akan
menuntut penciptaan hukum yang lebih baik, lebih manusiawi daripada hukum
kolonial, karena subyek hukum bukan lagi bangsa jajahan, tetapi bangsa sendiri
yang merdeka. Demikian pula dengan pembuat hukumnya, bukan lagi bangsa
penjajah, melainkan bangsa sendiri yang merdeka.
Alasan
sosiologi menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai kebudayaan bangsa,
jelas menuntut penciptaan hukum sesuai dengan nilainilai Pancasila. Ini berarti
bahwa hukum harus melihat subyeknya sebagai manusia pribadi, anggota masyarakat
dan makhluk Tuhan. Alasan praktis menuntut penciptaan hukum yang mudah
dimengerti, singkat, jelas dan tidak berbelit-belit bahasanya, sehingga
masyarakat umum mudah memahaminya. Alasan adaptif menuntut penciptaan hukum
yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat, baik nasional,
regional maupun internasional. Kecenderungan internasional saat ini lebih banyak
melihat kejahatan sebagai masalah sosial daripada kejahatan sebagai masalah kemanusiaan.
Oleh karena itu kecenderungan internasional saat ini dalam menanggulangi
kejahatan lebih menitikberatkan pada upaya preventif. Kecenderungan
internasional itu harus benar-benar diperhatikan dalam melaksanakan pembaharuan
hukum pidana, jika bangsa Indonesia tidak ingin dikatakan sebagai bangsa
terbelakang. Terakhir adalah alasan ini menuntut penciptaan hukum pidana yang
mengabdi kepada kepentingan nasional, dalam arti hukum harus mampu memantapkan
dan mengamankan pelaksanaan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya. Dalam hal
ini hukum berfungsi sebagai instrumen, alasan ini nampaknya lebih mengedepankan
dalam pelaksanaan politik hukum pidana selama ini.
c. Pelaksanaan Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia
Dengan
keluarnya Undang-undang No. 1 tahun 1946, pembaharuan hukum pidana di Indonesia
dimulai. Undang-undang ini ditetapkan pada tanggal 26 Februari 1946 di
Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia, oleh Presiden Republik Indonesia
Soekarno dan Menteri Kehakiman Soewardi. Satusatunya konsideran dari
Undang-undang ini berbunyi : “Menimbang, bahwa hukum pidana baru, perlu
peraturan hukum pidana disesuaikan dengan keadaan sekarang”. Dengan demikian
maka undang-undang ini merupakan peraturan peralihan, yang memuat hukum
transitoir, dan hal ini tampak dalam Pasal 1, yang menetapkan, “Bahwa
peraturan-peraturan hukum perdata yang
sekarang
berlaku dan peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan
hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1945”[28].
Beberapa hal yang perlu diketahui dalam undang-undang No. 1 tahun 1946 sebagai
berikut :
1) Pasal
V yang mendandai undang-undang tersebut sebagai aturan peralihan menetapkan,
bahwa “peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak
dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai
negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi harus dianggap seluruhnya atau
sebagian sementara tidak berlaku lagi”. Pasal ini menurut Sudarto 38 merupakan
pasal penguji apakah suatu ketentuan peraturan perundang-undangan pidana masih dapat
diterapkan oleh hakim atau tidak. Jadi pasal ini dapat digunakan untuk
mendekriminalisasikan atau mendepenalisasikan suatu ketentuan dalam hukum
pidana.
2) Pasal
VI merubah secara resmi nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie
menjadi Wetboek van Strafrecht saja, yang disebut “Kitab Undang-undang Hukum
Pidana” (KUHP
3) Pasal
VII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan berbagai pasal dalam KUHP.Adanya
penciptaan delik-delik baru yang dianut dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI.
Dari delik-delik baru itu, yang menarik perhatian ialah delik yang dimuat dalam
Pasal XVI, ialah “dengan sengaja menjalankan suatu perbuatan terhadap bendera
kebangsaan Indonesia yang dapat menimbulkan perasaan penghinaan-penghinaan
kebangsaan”. Pasal ini kemudian dicabut pengaturan di dalam {pasal 154a KUHP).
Selain
Undang-undang No. 1 tahun 1946, masih banyak undang-undang yang lain yang
dianggap produk pembaharuan hukum pidana di Indonesia, yaitu antara lain
Undang-undang No. 20 tahun 1946, Undang-undang No. 73 tahun 1958, Undang-undang
No. 1 PNPS tahun 1965, Undang-undang No. 11 PNPS tahun 1963, Undang-undang No.
7 tahun 1955 dan lain-lain. Undang-undang No. 20 tahun 1946 menambahkan jenis
pidana pokok. Dalam Pasal 10a KUHP dan Pasal 6a KUHPT dengan satu pidana pokok
baru ialah hukuman tutupan. Undang-undang No. 73 tahun 1958 mencabut Pasal XVI Undang-undang
No. 1 tahun 1946 dan memasukkan beberapa Pasal dalam KUHP, yaitu pasal 5a,
Pasal 142a, dan Pasal 154a, yang semuanya menyangkut bendera Indonesia. Pada
awal tahun 1965, dalam KUHP disisipkan satu pasal, yaitu Pasal 156a berdasarkan
Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965. PNPS ini bertujuan untuk melindungi agama
terhadap ucapan-ucapan dan praktik-praktik yang dipandang dapat mengurangi
kesucian agama. Undang-undang No. 11 PNPS tahun 1963 tentang Pemberitahuan Kegiatan
Subversi ini merupakan peraturan dalam keadaan darurat. Hal ini dapat disimpulkan
dari bentuknya semula sebagai Penetapan Presiden.
d. Dilema
Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Sistem
hukum pidana Indonesia menampakkan diri sebagai suatu dilema. Disatu pihak ia
menghendaki pembaharuan, dilain pihak terdapat keadaan yang kurang mendukung
pembaharuan itu. Sementara itu dengan tidak terasa Wetboek (selanjutnya
disingkat WvS atau KUHP) yang sehari-hari digunakan di pengadilan-pengadilan,
telah berusia hampir 100 tahun. Selama itu ia mengalami penambahan, pengurangan
atau perubahan. Namun jiwanya tetap tidak beruhan. Kedudukan WvS ini dalam
sistem hukum pidana Indonesia penting sekali, bahkan bersifat sentral. Pertama,
karena di dalamnya terdapat penyebutan tindak pidana-tindak pidana yang
meliputi hampir seluruh kehidupan negara, masyarakat umum dan orang perorangan.
Kenyataan
ini sesuai dengan sifatnya sebagai kodifikasi hukum pidana, yang menghendaki
pembukuan hukum pidana secara sistematis, lengkap dan tuntas. Kedua, karena
ketentuan umum yang terdapat di dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku
kesatu berlaku juga untuk tindak pidana-tindak pidana yang dirumuskan di dalam
peraturan di luar WvS, kecuali apabila oleh undang-undang ditentukan lain.
Sehubungan dengan kedudukan sentral tersebut, maka pembaharuan hukum pidana mau
tidak mau harus menyangkut pembaharuan WvS atau KUHP. Hanya saja masih menjadi masalah
apakah pembaharuan itu hanya berupa suatu revisi atau perombakan sama sekali.
Dalam hal ini baik juga untuk diperhatikan apa yang dikatakan oleh Gustav
Radbruch, bahwa membaharui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana,
melainkan menggantikannya dengan yang lebih
baik
(Das Strafrecht re formieren heiszt nicht das Strafrecht verbesser, sondern
er ersetzen durch etwas Besseres)[29]
Usaha pembaharuan itu tidak begitu saja timbul, melainkan didorong oleh perubahan-perubahan
dalam masyarakat yang terjadi sesudah perang dunia II, baik nasional, regional
maupun internasional, dan untuk negara yang baru merdeka juga karena ada
peruahan di bidang ketatanegaraan. Hukum pidana sebagai sistem sanksi yang
negatif, memberi sanksi terhadap perbuatanperbuatan yang tidak dikehendaki oleh
masyarakat. Hal ini berhubungan dengan pandangan hidup, tata susila dan moral
keagamaan serta kepentingan dari bangsa yang bersangkutan. Tidak salah kiranya
kalau sampai batas tertentu dapat dikatakan bahwa hukum pidana suatu bangsa
dapat merupakan indikasi dari peradaban bangsa itu.
Di
Indonesia telah sejak lama dilakukan usaha-usaha untuk melakukan pembaharuan
hukum pidana, baik hukum pidana material (hukum pidana substantif), hukum
pidana formal (hukum acara pidana) maupun hukum pelaksanaan pidana. Semuanya
ini di dalam suatu kerangka untuk mewujudkan suatu hukum nasional yang mengabdi
kepada kepentingan nasional berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
194542 Selanjutnya dikemukakan oleh Muladi, bahwa pembangunan dalam bidang hukum
tersebut dan khususnya dalam hal ini pembangunan hukum pidana, tidak hanya
mencakup pembangunan yang bersifat struktual, yakni pembangunan lembaga-lembaga
hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme, tetapi harus pula mencakup
pembangunan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil suatu sistem
hukum dalam bentuk peraturan-peraturan hukum pidana dan yang bersifat kultural,
yakni sikapsikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya suatu sistem
hukum. Pembaharuan hukum pidana sebagai perwujudan pembangunan hukum pada hakikatnya
merupakan upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masma yang
akan datang dalam rangka menjamin terwujudnya negara hukum, menjamin
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah makna
pembangunan hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di bidang
hukum pidana formal (hukum acara pidana), makna pembangunan hukum yang demikian
itu dapat dianggap telah terwujud dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), walaupun di sana sini masih
terdapat banyak kelemahan dan kekurangan. Di bidang hukum pidana material
(hukum pidana substantif), usaha pertama untuk mengadakan pembaharuan ialah
dengan dibentuknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana. Dalam Seminar Hukum Nasional ke-1 tahun 1963 diterima resolusi yang
antara lain “menyerukan dengan sangat agar rancangan kodifikasi Hukum Pidana
nasional selekas mungkin diselesaikan”. Kemudian pada tahun 1964 keluarlah
Konsep Rancangan Undang-undang tentang asas-asas dan dasar-dasar pokok tata hukum
dan hukum pidana Indonesia, yang dimaksudkan untuk menggantikan asas-asas dan
dasar-dasar serta Pasal 1 sampai dengan 103 WvS. Pada tahun 1968 keluarlah
penerbitan dari Lembaga Pembinaan Hukujm Nasional yang memuat Konsep Rancangan
Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku I, di samping
konsep ruangan rancangan undangundang yang lain. Konsep Rancangan KUHP tahun
1968 itu, pada tahun 1971 mendapat meninjau dari suatu kelompok yang disebut
TIM Penyusun Rencana Undang-undang KUHP dari Lembaga Pembinaan Hukum Nasional.
BAB III
HASIL PENELITIAN
A.
Pengertian Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa yang ditertibkan oleh Balai Pustaka Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Cetakan ke-3 tahun 1990. “Pelaksanaan adalah proses
atau cara perbuatan melaksanakan”. Menurut Sudarto[30]
“Melaksanakan Politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai
hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna”. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan[31]
“Bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa yang akan datang”. Dengan demikian pelaksanaan politik
hukum pidana dapat diartikan sebagai proses atau cara mewujudkan peraturan
perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi saat ini dan
masa yang akan datang dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Adapun
proses atau cara mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana tersebut dalam
kenyataan, mencakup tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap
eksekusi yang melibatkan tiga komponen atau faktor yang terkait dalam penegakan
hukum, yaitu komponen kultur atau nilai hukum, komponen struktur hukum dan
komponen substansi hukum.
B. Pendekatan Dalam Pelaksanaan Politik
Hukum Pidana
1. Pendekatan Integral Antara Kebijaksanaan Penal
dan Nonpenal
Usaha-usaha
yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik
kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana), tetapi juga dapat menggunakan sarana nonpenal. Usaha-usaha nonpenal
ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan
tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat
melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha
kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara
terus-menerus oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Usaha-usaha ini dapat
meliputi bidang yang sangat luas sekali mencakup seluruh sektor kehidupan
nasional.
Tujuan
uatama usaha nonpenal tersebut adalah memperbaiki kondisi-kondisisosial
tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap
kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan
kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat
strategis, memegang posisi kunci yang harus diefektifan dan diiternsifkan.
Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat
fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu, suatu politik
kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan
negara yang teratur dan terpadu.
Dengan
pendekatan politik yang integral inilah diharapkan social defence planning
benar-benar dapat berhasil dan dengan demikian diharapkan pula tercapai hakikat
tujuan politik sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional, yaitu
kualitas lingkungan hidup yang sehat dan bermakna.
2. Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai
Tiga
masalah sentral dalam politik kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana
(politik hukum pidana), yaitu masalah penentuan:
1) Perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
2) Siapa
yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana; dan
3) Sanksi
apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan
terhadap ketiga masalah sentral diatas tidak dapat dilepaskan dari konsepsi,
bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari politik sosial. Ini
berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut diatas harus pula diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari politik sosial yang telah
ditetapkan. Dngan demikian politik hukum pidana (termasuk pula dalam menangani
tiga masalah sentral di atas) harus pula dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach). Berdasarkan pada
pendekatan yang berorientasi pada politik sosial inilah kiranya Sudarto[32]
berpendapat, bahwa dalam mengatasi masalah sentral di atas yang sering disebut
masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai
berikut:
1) Penggunaan
hukum pidana harus memperhatikan tujuan nasional, yaitu
mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata material dan
spiritual
berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka
penggunaan
hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan
pengangguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri
demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2) Perbuatan
yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan
ketugian baik material maupun spiritual atas warganya. Penggunaan hukum pidana
harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan
penegak hukum, yaitu jangan kelampauan beban tugas (overbelasting)
Penggunaan sarana penal atau (hukum)
pidana dalam suatu politik criminal memang bukan merupakan posisi strategis dan
memang banyak menimbulkan persoalan. Sebaliknya bukan pula suatu langkah
kebijakan yang dapat disederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan
saja hukum pidana dan pidana sama sekali. Persoalannya tidak terletak pada
masalah eksistensinya. Tetapi terletak pada masalah kebijakan penggunaannya.
Oleh karena itu, sebagai suatu masalah kebijaksan/politik, sudah barang tentu
penggunaannyapun tidak dilakukan seara absolut, karena pada hakikatnya tidak
ada absolutisme dalam bidang kebijakan/politik.
C. Tahap Pelaksanaan Politik Hukum
Pidana
Upaya
penanggulangannya kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan
bagian dari upaya penegakan hukum. Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa
politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari politik atau
kebijakan penegakan hukum. Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dilihat sebagai
suatu proses kebijakan, pelaksanaan politik hukum pidana pada
hakikatnya merupakan penegakan kebijakan
melalui beberapa tahap:
1)
Tahap formulasi, yaitu tahap
penegakan/pelaksanaan politik hukum pidana
inabstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini sering
pula
disebut tahap kebijakan legislatif.
2)
Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan
politik hukum pidana oleh para penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai
dengan pengadilan. Tahap kadua ini sering pula disebut tahap kebijakan
yudikatif.
3)
Tahap aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan
politik hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini
sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau administrasi.
Ketiga tahap
tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja
direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan
mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Jadi
tegasnya, kebijakan (pembangunan) nasional harus diusahakan terwujudnya pada
ketiga tahap pelaksanaan politik hukum pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi
dari pernyataan bahwa politik hukum pidana merupakan bagian integral dari
politik sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian
social engineering by “kemampuan yang lebih” atau “kemampuan plus” dari setiap
aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis,
tetapi juga kesadaran, pengetahuanb dan kemampuanyang memadai di bidang pembangunan,
sulit diharapkan berhasilnya “pembagunan masyarakat denganmhukum pidana”.
Disamping itu, karena pambangunan mengandung berbagai dimensi (multi dimensi),
maka juga peningkatan berbagai pengetahuan (multidisiplin).
D.
Dimensi Kemanusiaan Dalam Pelaksanaan Politik Hukum
Menurut Mulyana
W. Kusumah[33]
Proses penegakan hukum dapat dilihat melalui dua sudut pandang :
1) Dari
sudut pandang kultural, penegakan hukum adalah upaya yang dilaksanakan oleh
alat-alat sosial kontrol (pengendalian sosial) resmi untuk melaksanakan
internalisasi hukum pada warga masyarakat.
2) Dari
sudut pandang struktural, penegakan hukum adalah bekerjanya berbagai organisasi
yang mewakili pola kepentingan dan konstelasi nilai-nilai dominan untuk
menciptakan “keamanan dan ketertiban” sesuai dengan ideologi hukum yang
berkuasa.
Selanjutnya
dinyatakan oleh Mulyana W. Kusumah, bahwa pada suatu masyarakat yang
menampilkan kondisi hukum represif, terlihat bahwa dasar keabsahannya terutama
terletak pada social defence (perlindungan sosial) dengan
ciri-ciri antara lain pranata hukum tunduk pada politik kekuasaan dalam arti
kelestarian adalah tugas penegakan hukum dengan sifat-sifat
paksaan
yang meluas. Dalam kondisi ini, seringkali terjadi apa yang disebut
“keadilan
kelas” (class justice) dengan kecenderungan kuat kearah
kriminalisasi
tindakan golongan masyarakat yang dipandang membahayakan
pusat-pusat
kekuasaan. Dalam hal ini ,unsur-unsur sistem peradilan pidana
(misalnya),
bekerja melalui proses sangat selektif dan melibatkan suatu
jaringan
diskresi yang luas oleh aparat penegak hukum. Prinsip
penegakan hukum yang berpijak pada gagasan tentang negara hukum
dan
the rule of law, pada dasarnya telah meletakkan syarat-syarat bagi
transpormasi hukum represif (yang merupakan ciri hukum kolonial) ke kondisi
dasar hukum otonom yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritasnya
sendiri serta hukum responsif yang merupakan sarana respon atas kebutuhan dan
aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, aparat penegak hukum di Indonesia
sesungguhnya telah mempunyai landasan yang kokoh, oleh karena prinsip tersebut
telah terkandung di dalam UUD 1945.
Persoalan
yang utama dalam proses penegakan hukum berkisar antara lain pada efektifitas
dan dampak sosialnya. Efektivitas penegakan hukum jelas tidak dapat diukur
semata-mata berdasarkan kriteria rancu, seperti jumlah warga negara yang
terkena sasaran penegakan hukum dan sebagainya. Penilaian terhadap efektivitas
penegakan hukum ditentukan oleh seberapa jauh rangkaian upaya penegakan hukum
dalam kurun waktu tertentu sudah mendekatkan pada tujuan hukum, yakni keadilan,
atau seberapa jauh nilainilai hukum proses-proses maupun nilai-nilai hukum
substansi telah terimplementasi melalui penegakan hukum.
E.
Keterpaduan Dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
Untuk
dapat menilai keterpaduan dalam pelaksanaan politik hukum pidana, maka
komponen-komponen yang terdapat dalam politik hukum pidana harus benar-benar
diinventarisasikan, baik komponen yang bersifat substansial,
komponen yang
bersifat struktural maupun komponen yang bersifat kultural. Sistem peradilan
pidana sebagai pelaksanaan politik hukum pidana dalam arti sempit, merupakan
suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utamanya, baik hukum pidana material, hukum pidana formal maupun pelaksanaan
pidana. Namun demikian, Kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam
kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi
hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja, akan membawa bencana berupa
ketidakadilan. Dengan demikian apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka
ukuran yang bersifat material yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas
keadilan yang bersifat umum benar-benar harus dipehatikan dalam penegakan hukum
pidana. Untuk itu, Oemar Senoaji pernah memperkenalkan apa yang dinamakan
penafsiran yang bersifat futuristik. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini
apa yang dinamakan batas umur minimal pertanggungjawaban pidana (minimum age criminal
responsibility). Apabila kita hanya mengacu pada Pasal 45 KUHP, maka bayi yang
baru lahir pun dapat dijatuhi pidana. Hal ini tidak akan terjadi apabila aparat
penegak hukum berani, mau dan mampu berpikir maju, sebagaimana sudah dirumuskan
dalam Konsep Rancangan KUHP baru, bahwa “Batas minimum pertanggungjawaban
pidana adalah 12 tahun”. Rumusan ini sekalipun masih bersifat konsep, namun
menurut Muladi[34] “merupakan
kristalisasi pandangan yang sudah diakui oleh legal community Indonesia”.
Menerapkan hukum pidana yang diciptakan lebih dari 100 tahun yang lalu secara
yuridis dogmatis dalam konteks sosial sekarang, jelas akan memberikan citra
buruk bagi sistem peradilan pidana Indonesia.
Secara
struktural pertama-tama harus dilihat lembaga atau badan pembuat
hukum. Sejauh
mana lembaga legislatif ini mampu mengekspresikan nilai-nilai
yang diakui dan
diterima oleh masyarakat kedalam substansi hukum pidana, baik hukum pidana
material. Kemudian lembaga atau badan pelaksana hukum pidana, mulai dari
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga-lembaga koreksi, baik yang bersifat
institusional maupun noninstitusional. Dalam hal ini lembaga penasehat hukum
harus ditambahkan. Demikian pula apabila yang dibicarakan kelembagaan yang bersifat
kultural. Dalam hal ini harus ada konsistensi terhadap pandangan, sikap dan
bahkan falsafah yang mendasari sistem peradilan pidana.
F. Pembinaan Struktur Hukum Pidana
1. Pengertian
Pembinaan Struktur Hukum Pidana
Sebelum
merumuskan pengertian pembinaan struktur hukum pidana, terletih dahulu perlu
diketahui apa yang dimaksud dengan pembinaan. Menurut
Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa
Cetakan ke-3 tahun 1990. 117), Pembinaan diartikan sebagai:
1) Proses,
perbuatan, cara membina;
2) Pembaharuan,
penyempurnaan;
3) Usaha,
tindakan, kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk
memperoleh hasil yang lebih baik.
Bertolak
dari pengertian pembinaan tersebut, maka pembinaan struktur hukum pidana dapat
diartikan sebagai usaha atau kegiatan penyempurnaan struktur hukum pidana yang
dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil berupa
struktur hukum pidana yang benar dan adil sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat.
Bertolak
dari pengertian di atas dapat dinyatakan, bahwa penempatan istilah pembinaan
dalam istilah struktur hukum pidana memberi bebagai macam interprestasi
terhadap struktur hukum pidana. Berbagai macam interprestasi tersebut antara
lain :
1) Bahwa
struktur hukum pidana belum baik, oleh karena itu perlu dibina agar menjadi
baik.
2) Bahwa
struktur hukum pidana sudah baik, tetapi belum maksimal, oleh karena itu masih
perlu dibina agar lebih baik.
3) Bahwa
struktur hukum pidana sudah baik, agar tetap baik maka perlu dibina.
Ketiga
interprestasi diatas menunjukkan bahwa apapun keadaan struktur hukum pidana
(belum baik, sudah baik atau lebih baik), pembinaan tetap diperlukan. Menurut
Soetjipto Rahardjo[35]
istilah pembinaan hukum (baca struktur hukum, lebih mengacu kepada efisiensi,
sehingga istilah tersebut hukum. Namun apakah dengan demikian ia lalu
meninggalkan segi pembuatan hukum? Apabila kita ingin berbicara mengenai
pembinaan struktur hukum dalam arti yang lengkap, masalah pembuatan hukum pun termasuk
di dalamnya. Tentukanlah kita tidak dapat mengharapkan berbicara tentang
pembinaan struktur hukum secara bersungguh-sungguh apabila kita hanya
mempersoalkan tentang bagaimana meningkatkan efisiensi kerja dari lembaga-lembaga
penegak hukum. Pada suatu ketika, usaha untuk meningkatkan efisiensi hukum juga
dimulai dari pembuatan peraturannya sendiri. Dengan demikian, kita akan
menjumpai wilayah-wilayah tempat kaitan antara pembaharuan (substansi) hukum, pembinaan
(struktur) hukum dan pembangunan (kultur) hukum tersebut bertemu.
Untuk
Indonesia, masalah pembinaan (struktur) hukum dalam kaitan dengan pembaharuan
(substansi) hukum, perlu mendapat tempat yang seksama dalam pembicaraan.
Pembaharuan hukum mempunyai kaitan yang kuat dengan
pengertian
politik, mulai dari pembentukannya sampai kepada pelembagaannya melalui
berbagai lembaga dan kekuatan di Indonesia, yang ingin dimulai dari landasannya
yang paling fundamental, yaitu pembuatan atau penyusunan tata hukum Indonesia
baru. Hal ini berarti usaha perubahan secara fundamental terhadap tatanan hukum
yang lama untuk digantikan dengan tatanan yang baru sama sekali. Oleh karena
itu pembahasan mengenai pembinaan struktur hukum pidana tidak hanya terbatas
pada lembaga atau badan penegak hukum dalam arti sempit saja (kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakat dan lain-lain), melainkan
juga mencakup lembaga atau badan pembuat hukum (undang-undang). Masing-masing
komponen struktur hukum ini mempunyai fungsi-fungsi tersendiri di dalam
bekerjanya sistem hukum, dnegan satu tujuan, yaitu terwujudnya penegakan hukum
yang benar dan adil. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum bekerja melalui
manusia (aparat penegak hukum). Oleh karena itu tidak dapat disangkal apa yang
dikatakan oleh Soerjoino Soekanto, Hengkie Liklikuwata dan Mulyana W. Kusumah[36]
bahwa komponen yang bersifat struktur ini memungkinkan kita untuk mengharapkan
bagaimana suatu system hukum itu seharusnya bekerja (law in the books).
2. Alasan Pembinaan
Struktur Hukum Pidana
Dalam
ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok Reformasi
Pembangunan
Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan
Negara, dinyatakan : Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru,
pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan
organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi dan
nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan
selera penguasa telah terjadi penyalahgunaan wewenang , pelecehan hukum,
pengabdian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat.
Selanjutnya
dinyatakan di dalam TAP MPR No. X/MPR/1998 diatas, bahwa : Pembinaan lembaga
peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi
ke dalam proses peradilan sertaberkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif
pada proses peradilan. Penegakkan hukum belum memberi rasa keadilan dan
kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang
kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pda posisi yang lemah.
Dilihat
dari segi hukum sebagai suatu sistem di mana komponen structural dapat
diibaratkan sebagai suatu mesin yang menjadikan hukum itu bekerja, maka dapat
dinyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya kenyataan sebagaimana dinyatakan di
dalam Ketetapan MPR diatas, adalah karena komponen struktur hukum belum
berfungsi dengan baik. Artinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berfungsi
sebagai pembuat hukum belum melaksanakan tugasnya dengan baik; demikian juga
halnya dengan kepolisian yang berfungsi sebagai penyidik dan penyelidik;
kejaksaan yang berfungsi sebagai penuntut; pengadilan yang berfungsi mengadili
dan lainlain lembaga yang termasuk dalam kategori komponen struktural hukum, belum
melaksanakan fungsinya dengan baik. Secara umum ada dua faktor yang menyebabkan
komponen struktural belum berfungsi dengan baik :
1)
Lembaga atau badan yang termasuk
dalam kategori komponen struktural belum memahami fungsinya yang sebenarnya.
2)
Lembaga atau badan yang termasuk
dalam kategori komponen struktural sudah mengerti dan memahami fungsinya
masing-masing, tetapi enggan melaksanakannya.
3)
Untuk mengatasi permasalahan
diatas, maka tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembinan secara benar
terhadap kelembagaan struktural tersebut.
3. Keadaan
Struktur Hukum Pidana
Dewasa
ini perundang-undangan dan pemerintah memegang peranan dalam berbagai bidang
pengaturan kehidupan sehari-hari yang semakin hari semakin besar pula. Proses
sosial ekonomi tidak lagi dibiarkan kepada percaturan kekuatan-kekuatan bebas
dalam masyarakat. Pemerintah mencampuri hal-hal ini dengan jalan memeliharanya,
mengaturnya, bahkan membagi-bagi diantara mereka. Dikatakan pula, bahwa
tendensi liberal “dari status kepada kontrak”, ternyata dapat dibalik. Semakin
banyak bidang yang menghapuskan kebebasan berkontrak dan secara paksa pembentuk
undang-undang masuk diantaranya. Hubungan-hubungan kerja diatur dengan undangun
dan dan berbagi kewajiban-kewjiban jaminan sosial lahir berturut-turut.
Masalah
lingkungan dan kesehatan masyarakat ditangani dengan perundang-undangan. Begitu
pula politik moneter dan kebijakan penanaman modal. Pemerintah berusaha
memelihara keseimbangan dalam pasar. Perhatian diarahkan kepada persoalan seberapa
jauhkah hukum mampu mempengaruhi hubungan-hubungan kemasyarakatan. Pemerintah
berusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan alat-alat
yang ada padanya. Salah satu alat-alat itu adalah hukum pidana. Tidak seorang
pun dewasa ini meragukan, bahwa pemerintah mempunyai fungsi mengatur yang
penting sekali dan bahwa ia harus melindungi kesehatan dan lingkundan hidup,
bahwa ia harus menjaga agar terbuka kesempatan kerja, bahwa ia menjaga agar
terjadi pembagian yang baik atas barang-barang. Namun adalah penting pula untuk
diketahui bagaimanakah dia melakukan segala sesuatunya itu dan kenapa dia telah
menetapkan prioritas-prioritas atas hal-hal tertentu. Apakah peranan pemerintah
yang telah merubah itu memang dapat menimbulkan perubahan yang mendalam menganai
hubungan kekuasaan yang bersifat sosial ekonomi, adalah suatu pertanyaan yang
tidak dapat secara positif dijawab dengan sama. Politik pemerintah dalam bidang
sosial ekonomi pasti bukan hanya hasil dari suatu usaha yang bersifat kolektif,
yang keseimbangannya tidak dapat lagi dijamin oleh pasar bebas dari
barang-barang dan jasa-jasa. Ekploitasi modal dapat dipertahankan jika
pemerintah menjalankan politik sosial dan ekonomi yang dapat menstabilkan jalan
ekonomi itu. Diadakannya jaminan sosial, dijaminnya kesejahteraan minimal,
dijadikannya upah yang dapat memberikan kesejahteraan, semua ini membuat masa
setia kepada suatu sistem sosial ekonomi.
Dalam
bidang peradilan pidana menonjol suatu kenyataan yang melenyapkan kepastian-kepastian
yang selama ini didasarkan rasionalisme. Gambaran tentang manusia yang rasional
dan individual yang dipandang dapat dengan bebas menguasai dirinya sendiri dan
dengan bebas pula menentukan perbuatan-perbuatan apa yang akan dilakukannya
yang tahu benar tentang segala akibat dari kelakuan yang dilakukannya atas
dasar pilihannya sendiri itu, dan dengan demikian ia sendiri pula akan
bertanggung jawab, ternyata tidak cocok dengan apa yang ditemukan oleh
ilmu-ilmu tentang kelakuan manusia. Perhatian lalu bergeser dari delik sebagai
hasil pilihan yang bebas oleh pelaku itu sendiri, yang sejak Lambroso dan
Gorafalo dipandang sebagai suatu produk dari pengaruh-pengaruh bioantropologis,
psikologis dan sosial. Suatu hukum pidana yang didasarkan kepada pembalasan
terhadap kesalahan yang bersifat proporsional, ternyata tidak mampu melindungi
masyarakat.
Pada
bagian akhir dari abad ke-19 semakin kenara tentang adanya gerakan dalam hukum
pidana yang mempengaruhi pikiran hukum pidana abad ke-20, yaitu yang disebut Defense
Sociale. Jelas sekali diterangkan, bahwa perhatian haruslah terutama
“ditujukan kepada perlindungan masyarakat”. Pembalasan kesalahan yang bersifat
proporsional tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang suci. Pembalasan
kesalahan yang bersifatproporsional tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang
suci. Pembalasan kesalahan yang bersifat proporsional tidak dapat memberikan
perlindungan dari penjahat-penjahat yang “berbahaya”. Terhadap
penjahat-penjahat seperti itu orang dapat bertindak dengan menggunakan ketentuan-ketentuan
yang bersifat mengamankan dan jika perlu untuk waktu tidak tertentu. Juga
“pikiran-pikiran untuk merawat dan memelihara” masuk ke dalam hukum pidana. Paralel
dengan pertumbuhan dan perkembangan negara kesejahteraan yang bersifat sosial,
hukum pidana berkambang menjadi hukum yang bersifat “memelihara”,
“resosialisasi”, “memberikan bentuan” dan sebagainya. Akhirnya hukum pidana
lalu menutup wajahnya yang bersifat represif itu dengan usaha-usaha membuat
penjahat dapat lebih baik menyesuaikan diri. Akhir-akhir ini dibanyak negara
semakin banyak perhatian tertuju kepada masalah penentuan perbuatan sebagai
delik (kriminalisasi) hukum penghapusan penentuan perbuatan sebagai delik
(dekriminalisasi). Perhatian yang demikian ini adalah akibat dari keresahan
yang ditimbulkan oleh caracara hukum pidana melakukan tugasnya. Juga karena
bertambahnya pengetahuan orang-orang tentang akibat-akibat dari penggunaan
hukum pidana, baik terhadap mereka yang dinyatakan sebagai penjahat (misalnya stigmatisasi),
terhadap korban kejahatan maupun terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Teori-teori
kriminalitas yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya
perbuatan dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang
mempengaruhi proses ini, ternyata masih terbatas sekali. Sampai saat ini masih
terlalu sedikit teori yang diversifisikaasi secara empiris. Disamping hukum
pidana tradisional telah tumbuh cabang-cabang hukum pidana yang lain, seperti
hukum pidana tentang perlindungan lingkungan dan hukum pidana internasional.
Dengan memperhatikan hal-hal yang dikemukakan diatas, kiranya jelas bahwa asas
subsidiaritas ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hukum pidana
tidak merupakan ultimatum remedium melainkan sebagai primum remedium.
Sementara itu dalam keadaan yang bagaimanakah pada umumnya hukum pidana masih dapat
berfungsi sebagai remedium? Waktu penentuan-penentuan pidana itu telah
menimbulkan beban-benan terlalu berat terhadap para penegak hukum dan
lembaga-lembaga hukum pidana dan beban-beban ini langsung menimbulkan
akibat-akibat yang tidak baik terhadap bobot dari “kegunaan” hukum pidana itu
dan bobot dari “ketetapan” hukum pidana. Beberapa contoh tentang hal ini dapat
dikemukakan sebagai berikut[37]
:
1)
Menurut pandangan tradisional,
dalam asas legalitas telah tersimpul hal, bahwa dari penentuan pidana di dalam
undang-undang terpancar daya kerja yang bersifat prevensi umum terhadap pda
penegak hukum. Tandansi kriminalisasi yang tidak dapat disangkal lagi dan
menjadi keyakinan dari hukum pidana modern, menunjukkan pikiran picik penguasa
mengenai dapat dengan sendirinya ia bekerja untuk mempengaruhi
kelakuan-kelakuan orang yang ditimbulkan oleh penentuan dari undang-undang itu.
2)
Bahwa pembentuk undang-undang tidak
menduga-duga tentang apa yang dikerjakan itu. Semakin jelas kita dapat
mengemukakan bahwa ia sama sekali tidak memperhitungkan tentang akibat-akibat
yang dapat ditimbulkan oleh “penyidikan” dan “penentuan” terhadap penentuan pidana
itu. Oleh karena kemungkinan-kemungkinan dan tenaga lembagalembaga penyidikan
dan penuntutan sangat terbatas, maka mereka terpaksa melakukan autoregulasi.
Hal ini juga karena semakin bertambahnya penentuan pidana itu. Tidak semua
perbuatan pidana akan ada akibatnya. Memang hal ini tidak merupakan suatu
masalah, dan dilihat dari asas subsidiaritas pun hal ini bukalnah yang
diharapkan. Yang merupakan masalah adalah bagaimana caranya hal ini sampai
terjadi.
3)
Jika ingin menggu8nakan hukum
oidana sebagai ultimum remedium, maka pertama sekali yang harus diselidiki
adalah apakah tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan hukum pidana
itu tidak dapat dicapai juga dengan cara-cara lain yang lebih kecil
ongkos-ongkos social dan individualnya? Ini menghendaki agar kita mengetahui
tentang akibatakibat dari penentuan pidana itu, dan kita dapat menjamin bahwa
campur tangan hukum pidana itu memang sangat berguna. Namun dilihat dari segi
perundang-undangan ternyata, bahwa tidak satupun pertanyaanpertanyaan itu
terpikirkan.
Bertambahnya penentuan pidana disamping
telah merusak dimensi asas legalitas (tiga dimensi asa legalitas, yaitu dimensi
politik hukum, dimensi politik kriminal dan dimensi organisasi) juga telah
mendesak asas perlindungan hukum.
4. Arah
Pembinaan Struktur Hukum Pidana
a. Menahan Diri dan Teliti Dalam Menggunakan Hukum
Pidana
Pada tahun 1921
seorang pun sarjana terkenuka bernama Leo Polak pernah mengemukakan pada halaman-halaman pertama dari bukunya tentang persoalan-persoalan dasar dari hukum
pidana yang belum terpecahkan. Yang dimaksud
adalah mengenai kegunaan, tujuan dan lebih-lebih lagi ukuran derita pidana yang dipandang
“pantas”. Sekarang telah lebih dari setengah abad sejak Leo Polak mengemukakan hal ini, orang masih juga belum
teguh dengan pendapat mengenai
persoalan dasar dari hukum pidana itu. Oleh karena itu Van Veen, seorang sarjana lain mengatakan, bahwa hanya
karena sopan santunlah maka
dikatakan bahwa hukum pidana itu masih mempunyai arti. Maksud sopan santun itu adalah sopan santun terhadap mereka
yang bekerja dilingkungan hukum
pidana.
b. Menahan Diri dan Teliti Dalam Menggunakan Hukum
Pidana diBidang Pembuatan Hukum
Pidana.
Menahan diri dan
teliti itu, pertama-tama harus dilakukan dalam bidang perundang-undangan. Telah
diketahui bahwa mengenai perbuatan pidana ini pertama-tama yang diperlukan
adalah adanya suatu undang-undang hukum pidana. Untuk menetapkan undang-undang
ini memang memerlukan ahli-ahli hukum sebagai perencana undang-undang.
Merekalah yang akan menyusun aturan-aturan hukum dan mereka pulalah nanti yang
akan mengusahakan agar aturan-aturan hukum ini berfungsi dengan baik. Namun
orang mempertanyakan, apakah cukup dengan ahli-ahli hukum saja? Dikatakan, bahwa
tidaklah bijaksana jika pendapat dan keterangan-keterangan dari ahli-ahli ilmu
sosial lainnya terutama ahli-ahli sosiologi hukum dan ahli kriminologi tidak
didengar. Ketentuan-ketentuan pidana yang telah diadakan itu harus
sewaktu-waktu diteliti lagi, apakah masih mempunyai nilai kemasyarakatan untuk
diberlakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan pandangan-pandangan dari
berbagai segi. Apakah telah dapat dikatakan, bahwa pembentuk undang-undang
telah sangat teliti sekali dalam menetapkan aturan-aturan hukum pidana ini?
Sukar untuk mengatakan “ya” dengan cukup alasan dan tepat pula. Banyak ketentuanketentuan
pidana yang dapat ditunjukkan mengandung ketentuan-ketentuan pidana yang dapat
ditunjukkan mengandung kelemahan-kelemahan karena pengaruh “waktu” yang
mengusahakan daya manfaatnya itu.
Di samping itu perlu
diketahui, bahwa justru pertumbuhan hukum pidana itu pula yang memaksa kita
untuk melihat secara kritis dan rasional, apakah yang seharusnya ditentukan
oleh pembentuk undang-undang sebagai perbuatan yang dapat pidana. Apa pulakah
yang seharusnya dibiarkan untuk tetap tidak dipidana atau menjadi tidak
dipidana. Dalam hubungan ini suatu penilaian yang diperbaharui kembali mengenai
kelakuan-kelakuan tertentu memainkan peranannya yang penting. Ini adalah
persoalan mengenai apakah hukum pidana memang adalah suatu alat untuk mengatur
hal-hal seperti itu.
Kenyataan telah
memperingatkan dan menunjukkan pula, bahwa banyak kelakuan-kelakuan yang
sebenarnya “tidak diinginkan” juga akan lebih tepat memberantasnya dengan
sanksi-sanksi yang tidak bersifat pidana. Tegasnya sanksi-sanksi yang tidak
mengancam pidana, yang dapat memberantas kelakuan-kelakuan seperti itu dengan
baik pula.
Agar menahan
diri dan teliti dalam menggunakan hukum pidana ini benarbenar dapat terwujud di
bidang perundang-undangan, maka para pembentuk undang-undang hendaknya benar-benar
berpegang teguh kepada hal-hal sebagai berikut :
(a) Tujuan
dan fungsi hukum pidana;
(b) Asas-asas
hukum pidana;
(c) Perkembangan
ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi;
(d)Perlindungan
hak-hak asasi manusia berdasarkan instrumen-instrumen internasional yang diakui
oleh bangsa-bangsa beradab;
(e) Pertimbangan
biaya dan hasil;
(f) Kemampuan
aparat penegah hukum;
(g) Lain-lain
factor yang berpengaruh pada efektivitas dan kegunaan hukum pidana.
Beberapa hal
yang dikemukakan di atas pada intinya mengandung makna,bahwa para pembentuk
undang-undang dalam melaksanakan tugasnya harus sadar sesadarnya akan akibat
yang ditimbulkan oleh undang-undang yang dibuatnya. Telah disoroti pula
mengenai pembentukan undang-undang yang tidak hanya menetapkan mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dikenai hukum pidana, tetapi juga menunjuk
macam-macam pidana yang dapat diterapkan. Begitu pula maksimum ukuran pidana.
Sekedar mengenai hukum pidana umum tentu telah diketahui, bahwa untuk kejahatan
yang dilakukan dengan kesengajaan sampai saat ini yang ditentukan sebagai
hukuman pokoknya adalah pidana penjara. Tentu saja ada beberapa pengecualian,
tetapi bukanlah tidak terbuka jalan untuk hukum-hukuman lain. Misalnya tentang kemungkinan
dijatuhkannya pidana bersyarat. Kemungkinan-kemungkinan ini dalam praktik hukum
pidana ternyata banyak sekali digunakan.
Sementara itu
banyak laporan penelitian yang telah mengungkapkan, bahwa selagi pidana penjara
itu dijalani masih banyak akibat-akibat sampingan yang negatif. Oleh karena
itu, pembentuk undang-undang seharusnyalah berhemat dengan jenis pidana penjara
ini. di lain pihak, pembentuk undang-undang seharusnya pula bersikap hati-hati
dan menahan diri dalam memberikan wewenang yang besar kepada alat-alat
kekuasaan yang menerapkan hukum pidana. Juga alat-alat kekuasaan yang
melaksanakan pemidanaan. Suatu kenyataan akhir-akhir ini, banyak bahkan hampir
seluruh alat-alat kekuasaan yang menghadapi protes masyarakat selalu
“menyanyikan lagu” yang sama, bahwa mereka telah berbuat dan bertindak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Menahan Diri dan Teliti Dalam Menggunakan Hukum
Pidana di Bidang Penerapan dan Pelaksanaan Hukum Pidana.
Melaksanakan
hukum pidana berarti menegakkan hukum pidana dalam arti sempit, yaitu
menerapkan aturan-aturan pidana jika terjadi atau diperkirakan terjadi
perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur hukum pidana. Penegakan hukum pidana
dalam arti sempit pula, yaitu polisi, jaksa hakim dan aparat pelaksana pidana
termasuk juga penasehat hukum. Pertanyaan sekarang, dengan cara bagaimana
aparat penegak hukum dalam arti sempit itu dapat dan harus berusaha untuk
menahan diri dan teliti dalam menggunakan hukum pidana? Seperti diketahui,
menurut sistem peradilan pidana Indonesia, suatu perkara pidana pada dasarnya
tidak akan sampai kepada kejaksaan tanpa terlebih dahulu meliwati kepolisian,
sedangkan hakim akan diikutsertakan dalam peradilan pidana hanyalah bilamana
kejaksaan berpendapat, bahwa perkara itu perlu diadili. Dalam hubungan ini asas
subsidiaritas merupakan pegangan.
Untuk hal-hal
yang sekarang dibicarakan, asas ini dapat diterapkan pada tiga jurusan.
Pertama, aparat penegak hukum yang melaksanakan hukum pidana itu tidak sampai
bergerak bilamana melalui sanksi yang bersifat sosial, tujuan yang sama telah
dicapai atau dapat dicapai. Dengan kata lain, hal tidak hukum sebanyak mungkin
diusahakan untuk diselesaikan melalui cara-cara diluar hukum pidana. Hal ini
berarti pula, bahwa aparat penegak hukum berikutnya hanyalah bilamana, baik
dari segi prevensi umum maupun dari segi prevensi khusus benar-benar perlu
diteruskan untuk diselesaikan dengan menggunakan hukum pidana. Jika tidak perlu
diteruskan, maka polisi akan memberikan peringatan kepada yang bersangkutan
tanpa meneruskan perkara itu kepada kejaksaan. Seperti bagaimanakah hakim dapat
sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa hukuman yang merampas kemerdekaan itu
tidaklah diperlukan atau sudah cukup dengan suatu pidana bersyarat saja? Inilah
persoalan yang pelik. Si pembuat mempunyai kesalahan ternyata tidak banyak
membantu hakim untuk mencapai kesimpulan mengenai hal itu. Memang kesalahan
adalah suatu yang penting dalam menentukan ukuran pidana, tetapi bukanlah suatu
alat untuk mencari ukuran pidana itu. Faktor manfaat ternyata juga merupakan
suatu syarat bagi kepatutan pidana, baik dilihat dari segi ancaman maupun dari
segi ukuran dan bentuk pelaksanaannya. Semua yang dikemukakan terakhir ini
merupakan pandangan baru di masa akhir-akhir ini. kebetulan sudah sejak dulu
perihal pidana penjara ini menjadi persoalan yang terpenting dalam hukum
pidana, bahkan banyak penulis mengatakan, bahwa persoalan pidana penjara ini
pulalah yang memberi warna pada hukum pidana dalam gerak dan pertumbuhannya.
G. Pembangunan Kultur Hukum Pidana
1. Pengertian
Pembangunan Kultur Hukum Pidana
Untuk
merumuskan pengertian pembangunan kultur hukum pidana, terlebihdahulu perlu
diketahui rumusan pengertian pembangunan dan rumusan pengertian kultur hukum
pidana. Pembangunan adalah segenap tindakan dan kebijakan manusia yang
berencana, terpadu dan kontinyu dengan merombak keadaan lama yang menghambat
dan mendirikan yang baru yang menopang tujuan itu, sebagai wahana untuk
meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohaniah bagi semua individu dan kelompok
social[38].
Adapun kultur hukum pidana adalah nilai dan sikap para penegak hukum yang
bekerja dalam lingkungan penegakan dan pelaksanaan hukum pidana, yang mengikat system
hukum tentang bekerjanya sistem hukum pidana dalam kenyataan.
Bertolak
dari pengertian pembangunan dan pengertian kultur hukum pidana diatas, maka
pengertian pembangunan kultur hukum pidana dapat dirumuskan sebagai segenap
tindakan dan kebijakan manusia yang berencana, terpadu dan kontinyu dengan
merombak keadaan kultur hukum pidana yang lama yang menghambat dan mendirikan
kultur hukum pidana yang baru yang menopang tujuan penegakan hukum pidana,
sebagai wahana untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohaniah bagi semua
individu dan bagi masyarakat.
2. Alasan
Pembangunan Kultur Hukum Pidana
Kalau
kita membaca rumusan tujuan kita bernegara sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945, maka pembangunan hukum paling tidak bertujuan menegakan
hukum dalam rangka mewujudkan hak-hak asas manusia, yaitu melindungi dan
mensejahterakan segenap bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya selama 32
tahun pemerintahan Orde baru, pembangunan hukum jangankan menghasilkan
perlindungan dan kesejahteraan bagi segenap bangsa Indonesia, tetapi yang
tejadi jusru sebaliknya. Pembangunan hukum telah menumbuhsuburkan
praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyimpangan berupa
penafsiran hukum yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah tejadi
penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum pengabaian rasa keadilan, kurangnya pelindungan
dan kepastian hukum bagi warga masyarakat. Bertolak dari kenyataan yang
dihasilkan oleh pembangunan hukum selama 32 tahun pemerintahan Orde baru,
timbul pertanyaan, bagaimana arah dan kebijaksan pembangunan hukum kita selama
32 tahun itu? Sehingga bukannya perlindungan dan kesejahteraan rakyat yang
dihasilkan, melainkan sebaliknya, yaitu penindasan dan kemiskinan.
Dengan
rumusan yang demikian ini, pembangunan hukum yang mengutamakan pembangunan
materi hukum, member keleluasaan kepada pemerintah untuk menciptakan materi
hukum yang memberi legitimasi dan mengamankan kebijakan pemerintahan. Sehingga setiap
kebijakan dan tindakan pemerintah, sekalipun bertentangan dengan kepentingan
(perlindungan dan kesejahteraan) rakyat, tetapi jika sudah ada undang-undang
yang mengaturnya (ada dasar hukumnya), maka rakyat wajib menerimanya dan
mendukungnya. Penentangan terhadap tindakan dan
kebijakan
pemerintah (sekalipun kebijakan dan tindakan itu bertentangan dengan hal-hak
asasi manusia) merupakan perbuatan salah dan oleh karena itu (dengan cara apa
pun) harus dihukum. Disini kegunaan hukum yang sebenarnya (sesuai dengan makna
dan jakikat negara hukum) sama sekali tidak ada.
Menurut
konsepsi negara hukum, kegunaan hukum adalah sebagai sarana pengakuan dan
perlindungan hak-hak asasi manusia. Penegakan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
di dalam Pembukaan UUD 1945 telah dirumuskan dalam bentuk tujuan negara, yang
terangkum dalam istilah “perlindungan dan kesejahteraan segenap bangsa
Indonesia”. Dibidang hukum pidana, jika sejak awal pemerintahan Orde Baru telah
dilaksanakan pembangunan kultur hukum yang sesuai dengan konsepsi negara hukum,
maka segala peraturan perundang-perundang, kebijakan dan
tindakan
pemerintah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan hak-hak
asasi manusia dalam menanggulangi kejahatan tidak akan terjadi. Kalaupun
terjadi, rakyat akan menolak dan menggugatnya.
. Untuk mengejawantahkan kultur hukum yang
sesuai dengan konsepsi dan sendi-sendi negara hukum dalam kenyataan, maka
kultur itu perlu diformulasikan, disosialisasikan dan dituangkan kedalam mesin
hukum yang disebut struktur hukum yang berintikan penegak hukum. Untuk itu, pembangunan
kultur hukum (pidana) merupakan suatu keharusan.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kultur Hukum Pidana
Telah
dikemukakan, bahwa kultur hukum pidana adalah nilai dan sikap para penegak hukum
yang bekerja dalam lingkungan penegakan dan pelaksanaan hukum pidana. Nilai dan
sikap ini akan memberi pemahaman tentang bekerjanya suatu sistem hukum dalam
kenyataan (law in action). Dengan demikian, faktor-faktor yang mempengaruhi
kultur hukum pidana adalah faktor-faktor yang mempengaruhi nilai dan sikap para
penegak hukum pidana.
Jadi Sebagai
suatu proses kebijakan, pelaksanaan politik hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan
kebijakan melalui beberapa tahap :
1) Tahap
formulasi, yaitu tahap penegakan/pelaksanaan politik hukum pidana inabstracto
oleh badan pembuat undangundang. Tahap ini sering pula disebut tahap
kebijakanlegislatif.
2) Tahap
aplikasi, yaitu tahap penerapan politik hukum pidana oleh para penegak hukum,
mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kedua ini sering pula
disebut tahap kebijakan yudikatif.
3) Tahap
aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik hukum pidana secara konkret oleh
aparat pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan
aksekutif atau administrasi.
Ketiga tahap
tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, harus
merupakan suatu jalinan mata rantai
aktivitas yang merupakan perwujudan dari
kebijakan nasional. Kebijakan (pembangunan) nasional harus diusahakan terwujudnya pada ketiga tahap
pelaksanaan politik hukum pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa politik hukum pidana merupakan bagian integral dari politik
sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul
di dalamnya pengertian social engineering by “kemampuan yang lebih” atau “kemampuan plus” dari
setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu
tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai
di bidang pembangunan, sulit diharapkan
berhasilnya “pembangunan masyarakat dengan hukum pidana”.Disamping itu, karena
pambangunan mengandung berbagai dimensi (multi dimensi), maka juga peningkatan berbagai pengetahuan (multi
disiplin).
DAFTAR PUSTAKA
Barda
Nawawi Arief, Kebijakan sanksi Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan, hal.
28-41 Fakultas Hukum Undip Semarang, 1991;
Muladi,
Stelsel Pidana dan Tindakan dalam Konsep KUHP Baru, Makalah yang disajikan
dalam penataran Nasional Kriminologi yang diselenggarakan oleh Universitas
Andalas Padang Tanggal 30 Oktober -11 November
Barda
Nawawi. Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Ekonomi
dan Lingkungan Hidup”, Makalah yang disajikan dalam Penataran Hukum Pidana
Angkatan IV yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Unsud di Purwokerto
tanggal 25 Maret – 10 April 1990;
Muladi,
Sistem Peradilan Pidana dan Relevansinya dengan Instrumen-instrumen
Internasional, Makalah yang disajikan dalam penataran Nasional Hukum Pidana.
Tanggal 20 april 1990
Barda
Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Undip semarang, hal. 24,
tanpa tahun
Sudarto,
Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, hal. 5,
PidatoPengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, 1974;
Sudarto,
Hukum dan Perkembangan Masyarakat, hal 62, Sinar Baru, Bandung.
1983
Satjipto
Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan
Hukum Nasional, hal. 11, Sinar Baru, Bandung, 1985
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hal . 273
– 286 Alumni Bandung, 1986
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Hal.
140.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia Hal. 215
[1] Barda Nawawi
Arief, Kebijakan sanksi Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan, hal. 28-
41
Fakultas Hukum Undip Semarang, 1991;
[2] Muladi, Stelsel
Pidana dan Tindakan dalam Konsep KUHP Baru, Makalah yang disajikan
dalam
penataran Nasional Kriminologi yang diselenggarakan oleh Universitas Andalas
Padang
Tanggal 30 Oktober -11 November[2]
[3] Barda
Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Ekonomi dan
Lingkungan Hidup”, Makalah yang disajikan dalam Penataran Hukum Pidana Angkatan
IV yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Unsud di Purwokerto tanggal 25
Maret – 10 April 1990;
[4]
Muladi, Sistem Peradilan Pidana dan Relevansinya dengan Instrumen-instrumen
Internasional, Makalah yang disajikan
dalam penataran Nasional Hukum Pidana dan
[5] Muladi dan Barda
Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, hal. 149-150
[6] Kriminologi
yang diselenggaran oleh Undip disSemarang, tanggal 12 – 31 Januari 1993;
[8] Mulyana W.
Kusuma, Op. Cit, hal 14-16
[9] Barda Nawawi
Arief, Kebijakan Hukum Pidana, hal. 1, Fakultas Hukum Undip Semarang,
[10] Satjipto
Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan
Hukum
Nasional, hal. 11, Sinar Baru, Bandung, 1985
[11]
soejono soekanto. Penegakan hokum.ghalilea Indonesia, Jakarta
[12] Yap Thian Hin,
Hukum sebagai Dasar dan Sistem Penertiban Pembangunan Yang Merupakan Wahana
Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berperikemanusiaan, Adil, Damai dan Sejahtera. 19=20 dalam FH. UKI (ed) Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era Pembangunan
Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Erlangga Jakarta, 1983;
[13] Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, hal . 273 – 286 Alumni Bandung, 1986
[14] Ramdon Naning,
Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, hal. 27 – 28
Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,
Jakarta.
Tahun 1983;
[15]Dardji
Darmodihadjo, Sumber dari Segala Sumber Hukum (Suatu Tinjauan dari segi
Filsafat)
hal.
[16] Pidato Pengukuhan
Guru Besar pada Universitas Brawidjaja Malang, 1976;
[17]Kansil. Sekelumit
tentang Ketetapan MPR Tahun 1960 – 1983. Hal 14-15. Dalam FH UKI
(ed)
Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila
dan
UUD 1945, Erlangga Jakarta, 1983
[18] Bambang Purnomo,
Perkembangan dan Paradigma Baru Hukum Pelaksanaan Pidana
Dalam
Subbidang Hukum Pidana, hal. 10, Makalah disajikan dalam Penataran Nasional
Hukum
Pidana dan Kriminologi yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro di
Semarang
tanggal 12 – 31 Januaari 1993;
[19] T. Mulya Lubis,
Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, hal. 86, Yayasan Lembaga
Bantuan
Hukum Indonesia, Jakarta, 1976;
[22] Sudarto, Op. Cit,
hal 94
[23]Sudarto, Op. Cit,
hal. 60;
30
Barda
Nawawi Arief, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pidana dalam Mengantisipasi
Berlakunya
Konsep KUHP Baru. hal. 1, Makalah disajikan dalam Penataran Nasional
Hukum
Pidana dan Kriminologi yang diselenggarakan Undip Semarang tanggal 12-31
Januari
1993;
31
Sudarto,
Op. Cit, hal. 60;
Rangka
Usaha Penanggulangan Kejahatan, hal. 149, Disertasi Doktor Universitas
Padjadjaran,
1986;
[25] Muladi, Proyeksi
Hukum Pidana Materiil di Masa Datang, hal 3, Pengukuhan Guru Besar
Universitas
Diponegoro Semarang1990;
34
Ibid;
[26] Sudarto Op. Cit,
hal. 66 – 68;
[27] Barda Nawawi
Arief, Op. Cit, hal. 153;
[29] Sudarto, Suatu
Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, hal. 5, Pidato
Pengukuhan
Guru Besar Universitas Diponegoro, 1974;
41
Sudarto,
Op.Cit. hal 6;
42
Muladi,
Lembaga Pidana Bersyarat, hal. 4, Alumni Bandung, 1985;
[30]Sudarto, Hukum
dan Hukum Pidana, hal. 159, Alumni Bandung, 1981;
[34]
Muladi,
Sinkronisasi Pelaksnaan Penegakan Hukum Dalam Mewujudkan integrated Criminal
Justice system, hal. 8, Makalah disajikan dalam Penataran Nasional Hukum Pidana
dan Kriminologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Undip Semarang, 1990;
Hukum Nasional,
hal. 11, Sinar Baru, Bandung, 1985;
[36] Soerjono Soekanto, Hengkie LikLikkuata dan
Mulyana W. Kusuma, Kriminologi SuatuPengantar, hal. 32, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1981;
Jakarta,
1981;
sangat membantu dan menarik , jangan lupa kunjungi Diskusi Kiat Sukses Kuliah
BalasHapus