BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang
tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
perbuatan yang bersifat melawan hukum. Hal ini berarti bahwa meskipun perbuatan
tersebut memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak
dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk adanya penjatuhan
pidana terhadap pelaku. Untuk adanya pemidanaan, masih diperlukan syarat bahwa
orang yang melakukan perbuatan tersebut mempunyai kesalahan atau bersalah.
Dengan demikian orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya atau perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang
tersebut.
Dalam
hukum pidana berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” atau “nulla poena
sine culpa” yang berarti tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali
orang tersebut telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan pada dirinya.
Negara
Indonesia mengakui bahwa keberadaan bangsa Indonesia merupakan campur tangan
dan kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Pengakuan ini tertuang dalam Pembukaan UUD
1945 (kalimat “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”) dan Sila pertama
Pancasila (kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”).
Pengakuan ini
membawa konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar filosofis bangsa, yang
berarti bahwa dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia
harus menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis yang menjiwai setiap
langkah pembangunan termasuk pembangunan di
bidang hukum. Prinsip atau asas tiada pidana tanpa kesalahan untuk
menentukan pemidanaan dalam hukum Islam terdapat dalam Al Quran surat Al Ahzab
(surat 33) ayat 5 yang artinya :
“Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudarasaudaramu seagama dan
maulana-maulanamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf
padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dalam
membangun kerangka dasar hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945, maka postulat moral dari kalimat “atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan unsur
rohaniah dalam pembangunan di negara Indonesia perlu dihayati dan dipahami
agar setiap usaha pembangunan hukum tidak menyimpang dari spirit perjuangan
dan landasan moral yang dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945 tersebut.
Berdasarkan
dari ilustrasi latar belakang di atas, sehingga Penulis tertarik mengangkat
judul Makalah ini tentang “Implementasi Prinsip
Individualisasi Pidana Dalam Konsep KUHP Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka permasalahan yang hendak di angkat dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagamana
Pengertian Prinsip Indualisasi pidana?
2. Bagamana
Bentuk Individualisasi dalam Konsep KUHP Indonesia?
C.
Tujuan
Perumusan tujuan makalah ini yaitu
Untuk menambah wawasan dan mengetahui dan memahami secara umum tentang
pengertian dan Bentuk Individualisasi dalam Konsep KUHP Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Prinsip Individualisasi Pidana
Menurut Sudarto,
individualisasi pidana artinya dalam memberikan sanksi pidana selalu
memperhatikan sifat-sifat dan keadaan-keadaan si pelaku. Beberapa karakteristik
prinsip individualisasi pidana menurut Barda Nawawi Arief adalah :
1.
Pertanggungjawaban
(pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal). Orang yang bersalah
melakukan tindak pidanalah yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan
tidak dapat diwakili oleh orang lain.
2.
Pidana
hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas). Hal ini berarti
bahwa orang yang melakukan tindak pidana dengan kesalahanlah yang dapat
dipidana. Kesalahan tersebut baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kealpaan.
3.
Pidana
harus disesuaikan dengan karakteristik dan keadaan si pelaku. Hal ini berarti
harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana
(jenis maupun berat ringannya pidana) dan harus ada kemungkinan modifikasi
pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.
Berdasar penegrtian diatas
penulis mengambil keputusan bahwa prinsip individualisasi pidana ini berorientasi
pada nilai-nilai kemanusiaan khususnya pada individu (pelaku) kejahatan juga
sesuai dengan teori utilitarian (teori tujuan) dari pemidanaan, yang menyatakan
bahwa pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada pelaku tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Hal ini prinsip individualisasi ini sama juga dengan Teori Johannes
Andenaes disebut dengan teori perlindungan masyarakat.
Prinsip individualisasi pidana bertolak
pada pentingnya perlindungan individu (pelaku tindak pidana) dalam sistem hukum
pidana. Prinsip ini juga menjadi salah satu karakteristik aliran modern hukum
pidana sebagai reaksi dari aliran klasik yang menghendaki hukum pidana yang
berorientasi pada perbuatan (daadstrafrecht). Pandangan modern mendasarkan pada pandangan bahwa karena
kejahatan merupakan kenyataan sosial dan sebagai perbuatan manusia, maka proses
memperlakukan pelaku kejahatan tidaklah selesai dengan merumuskan perbuatan
tersebut dan sanksi pidana dalam undang-undang. Melainkan masih diperlukan
pemahaman terhadap terjadinya kejahatan dan upaya penanggulangannya, dan pada
akhirnya perlu menanyakan pada diri sendiri mengenai apakah sikap kita terhadap
si pelaku tersebut melampaui kualifikasi yang ditetapkan undang-undang.
Akhirnya pada prinsip individualisasi
pidana ini bersifat sosiologis, ideologis dan filosofis masyarakat Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dengan mengutamakan keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara kehidupan masyarakat dan kehidupan individu disebut sebagai
pandangan integratif dalam tujuan pemidanaan.
B.
Bentuk
Individualisasi dalam Konsep KUHP Indonesia
1.
Asas
Kesalahan (Asas Culpabilitas)
Asas
kesalahan (asas culpabilitas) merupakan salah satu asas pokok dalam hukum
pidana dan merupakan salah satu problem pokok dalam hukum pidana selain sifat
melawan hukum perbuatan dan pidana. Asas ini mengajarkan bahwa hanya orang yang
bersalahlah yang dapat dikenai pidana. Dalam bahasa asing, asas ini sering
disebut dengan adagium nulla poena sine culpa, atau Keine Strafe ohne
Schuld (bahasa Jerman) dan Geen straf zonder schuld (bahasa Belanda)
yang berarti “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Dengan
demikian dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah
nyata-nyata melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum. Jadi walaupun ditinjau secara obyektif perbuatan seseorang telah
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, namun hal tersebut belum memenuhi
syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih diperlukan syarat bahwa
orang yang melakukan perbuatan terlarang tersebut mempunyai kesalahan atau
bersalah (subjective guilt).
Sebenarnya
asas kesalahan ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia saat ini (baca: Wetboek
van Strafrecht). Asas kesalahan hanya dicantumkan dalam MvT (Memory van
Toelichting) sebagai penjelasan dari Wetboek van Starfrecht. Padahal
masalah kesalahan dalam hukum pidana termasuk salah satu ajaran-ajaran umum
hukum pidana. Akan tetapi, asas kesalahan teidak mendapatkan tempatnya dalam
Buku I KUHP mengenai Ketentuan Umum. Namun demikian, jelas akan bertentangan
dengan keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal sama sekali ia
tidak bersalah.
Untuk
itulah, dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan asas kesalahan ini. Selengkapnya, Pasal 6 ayat
(2) tersebut berbunyi:
“Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila Pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang
mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
Asas
kesalahan tidak terlepas dari sejarah hukum pidana itu sendiri. Pada awalnya,
hukum pidana menitikberatkan pada perbuatan orang beserta akibatnya (Daadstrafrecht).
Pada perkembangan selanjutnya, arah hukum pidana berpijak pada orang yang
melakukan tindak pidana (Daderstrafrecht), tanpa meninggalkan sama
sekali sifat dari Daadstrafrecht. Oleh karena itu, hukum pidana masa
kini dapat disebut Daad-Daderstrafrecht, yaitu hukum pidana yang
berpijak pada perbuatan maupun pada orang/pelakunya. Karena penjatuhan pidana
disyaratkan adanya kesalahan dari pelakunya, maka ada juga yang menyebut bahwa
hukum pidana dewasa ini disebut sebagai Sculdstrafrecht.
Dengan
tidak dicantumkannya asas kesalahan dalam KUHP sekarang, maka di dalam Konsep
KUHP asas kesalahan dicantumkan dengan pertimbangan bahwa asas kesalahan
merupakan asas fundamental dalam hukum pidana. Pasal 34 Konsep KUHP menyatakan “Tiada
pidana atau tindakan tanpa kesalahan”.
Menurut
Barda Nawawi Arief, pencantuman asas kesalahan dalam Konsep KUHP bertitik tolak
pada pokok pemikiran keseimbangan mono-dualisti. Pandangan mono-dualistik inilah yang dalam hukum
pidana dikenal dengan istilah Daad-daderstrafrech yaitu hukum pidana
yang memperhatikan segi obyektif (perbuatan/daad) dan segi sobyektif
(pelaku/dader).
Bertolak
dari pandangan keseimbangan mono-dualistik ini, Konsep KUHP mencantumkan secara
eksplisit asas legalitas sebagai “asas kemasyarakatan”, serta asas kesalahan
sebagai “asas kemanusiaan”. Sedangkan dalam KUHP sekarang, asas yang tercantum
secara eksplisit hanyalah asas legalitas, yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP.
Asas
legalitas disebut sebagai asas kemasyarakatan berarti, bahwa suatu pidana dapat
dijatuhkan terhadap perbuatan yang menurut masyarakat dianggap sebagai
kejahatan atau patut mendapatkan pidana. Ukuran “menurut masyarakat” dapat
diartikan perbuatan-perbuatan yang dipidana tersebut telah tercantum dalam
undang-undang sebagai tindak pidana (ukuran formil/legalitas formil), atau yang
menurut masyarakat setempat (walaupun tidak tercantum dalam perundang-undangan)
dianggap sebagai perbuatan terlarang dan patut mendapatkan sanksi pidana
(ukuran materiel/legalitas materiel).
Sedangkan
asas kesalahan disebut sebagai asas kemanusiaan berarti pidana yang dijatuhkan
terhadap pelaku harus dipertimbangkan bahwa pelaku memang benar-benar bersalah
melakukan tindak pidana yang bersangkutan.
Namun
demikian, walaupun pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana berdasar pada
kesalahan, hal baru yang diatur oleh Konsep KUHP berkaitan dengan kesalahan ini
adalah adanya kemungkinan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability)
dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).
Pasal
35 Konsep KUHP menyebutkan tentang pertanggungjawaban pengganti: “Suatu
undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.”
Sedangkan
pertanggungjawaban yang ketat disebutkan dalam Pasal 36 Konsep KUHP sebagai
berikut:
“Undang-undang dapat menentukan bahwa pelaku tindak pidana
tertentu dapat dipidana semata-mata karena telah terpenuhinya unsur-unsur
tindak pidana atas perbuatannya, tanpa memperhatikan lebih dahulu kesalahan
dalam melakukan tindak pidana tersebut”.
Jika
membandingkan asas kesalahan dengan hukum pidana asing, ternyata tidak banyak
hukum pidana asing yang mencantumkan secara eksplisit asas kesalahannya.
Biasanya perumusan asas ini terlihat dalam perumusan mengenai
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility/liability), khususnya
yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
Dalam
KUHP Uni Soviet (1958) Pasal 3 merumuskan secara tegas the Basis for
Criminal Responsibility (Dasar pertanggungjawaban pidana), yaitu:
“Only person gulty of the commision of a crime. that is who
has, either deliberately or by negligence, commited any of the socially
dangerous acts defined by the criminal law, is deemed liable to criminal
responsibility and to punishment”.
Artinya:
“Hanya orang yang bersalah melakukan kejahatan, yaitu orang yang dengan sengaja
atau dengan kealpaan melakukan suatu perbuatan yang berbahaya bagi masyarakat
yang ditetapkan oleh undang-undang pidana, dapat dipertimbangkan untuk pertanggungjawaban
pidana dan pidana”.
KUHP
Republik Demokrasi Jerman (1968) menyatakan asas kesalahan dalam Pasal II
Aturan Umum: “the proper application of criminal law demands that every
criminal act is detected and that guilty person is called to accoun”.
Artinya:
(Penerapan hukum pidana yang tepat menuntut, bahwa setiap tindak pidana diusut
dan orang yang bersalah dipertanggungjawabkan).
KUHP
Greenland mengatur asas kesalahan dalam Pasal 86 yang termasuk dalam aturan
umum mengenai penerapan sanksi: “Upon the finding of guiltthe court shall
indicate which one or ones of the above sanctions shal be imposed.”
Artinya:
(Berdasarkan penemuan kesalahan, pengadilan akan menunjuk/menyatakan mana di
antara satu atau beberapa sanksi di atas yang akan dikenakan kepada si pelaku
tindak pidana).
2.
Penambahan
Alasan Penghapus Pidana
Alasan
penghapus pidana yang dikenal dalam KUHP adalah tidak mampu bertanggung jawab
(Pasal 44), daya paksa atau overmacht (Pasal 48), pembelaan
darurat atau noodweer (Pasal 49 ayat (1)), pembelaan darurat yang
melampaui batas atau noodweer exces (Pasal 49 ayat (2)), menjalankan
perintah undang-undang (Pasal 50), dan melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51
ayat (1) dan (2)).
Namun
dengan dasar prinsip/ide individualisasi pidana ini, Konsep KUHP menambah
beberapa alasan penghapus pidana lagi serta membedakan secara jelas antara
alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pemaaf” dan alasan penghapus
pidana dalam kategori “alasan pembenar”.
Selengkapnya,
alasan-alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pemaaf” yang baru dalam
Konsep KUHP dan membedakannya dari KUHP lama adalah sebagai berikut:
1. Error atau sesat
Kesesatan
(error) adalah alasan penghapus pidana baru yang dalam KUHP sebelumnya
tidak dimuat. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sebenarnya terdapat adagium
bahwa error facti non nocet, eror iuris nocet (kesesatan mengenai
faktanya tidak dipidana, sedangkan kesesatan mengenai hukumnya tetap dipidana).
Akan
tetapi Konsep KUHP tidak berpendirian demikian. Walaupun kesesatan dianggap
sebagai alasan penghapus pidana, akan tetapi jika pelaku patut dipersalahkan
karena kesesatan tersebut, maka pelaku tetap dapat dipidana. Namun, ancaman
pidananya maksimum dikurangi atau tidak melebihi separuh dari maksimum pidana
untuk tindak pidana yang dilakukan.
Selengkapnya
Pasal 40 Konsep KUHP menyebutkan:
(1)
Tidak dipidana, jika pelaku tindak
pidana tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak
pidana atau jika pelaku berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu
tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya tersebut
patut dipersalahkan.
(2)
Jika pembuat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) patut dipersalahkan atau dipidana, maka maksimum pidananya
dikurangi dan tidak melebihi separuh dari maksimum pidana untuk tindak pidana
yang dilakukan.”
2. Anak di bawah umur 12 tahun.
Anak
di bawah umur 12 tahun, merupakan alasan pidana yang baru, yang berbeda dengan
aturan alasan penghapus pidana dalam KUHP. Dalam KUHP, anak di bawah umur 16
tahun bukanlah sebagai alasan penghapus pidana walaupun bila dicermati pasal
yang mengatur dalam KUHP dikelompokkan kepada pasal-pasal yang mengatur tentang
alasan penghapus pidana. Pasal 45-47 yang mengatur anak di bawah umur 16 tahun
tersebut, hanya mengatur mengenai aturan pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak
berumur di bawah 16 tahun.
Pasal 45-47 itu sebagai berikut:
Pasal 45
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum
dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim
dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang
tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun.
Atau
memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana
apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasarkan paal-pasal 489, 490, 496, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 531,
532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena
melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran di atas, dan putusannya telah
menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Pasal 46
(1)
Jika hakim memerintahkan supaya yang
beralah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan
negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan
cara lain, atau diserahkan kepada sorang tertentu yang bertempat tinggal di
Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang
berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di
kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di
atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas
tahun.
(2)
Aturan yang melaksanakan ayat (1)
pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 47
(1)
Jika hakim menjatuhkan pidana, maka
maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
(2)
Jika perbuatan itu merupakan
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3)
Pidana tambahan dalam Pasal 10 butir
b, nomor 1 dan 3 tidak dapat diterapkan.
Memperhatikan
Pasal 45-47 KUHP di atas, dapat disimpulkan bahwa jika terdakwanya seorang anak
di bawah umur 16 tahun, maka hakim diberikan alternatif sebagai berikut:
a. mengembalikan kepada orang tua,
wali, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun;
b. menyerahkan kepada pemerintah tanpa
pidana apapun jika melakukan tindak pidana tertentu; dan
c. menjatuhkan pidana
Dengan
tidak diakuinya anak di bawah umur sebagai salah satu alasan penghapus pidana
dalam KUHP, maka dengan mendasrkan diri pada ide-ide individualisasi pidana,
maka Konsep KUHP kemudian memasukkan anak di bawah umur tertentu sebagai alasan
penghapus pidana.
Hal
ini merupakan perkembangan baru dalam dunia ilmu hukum pidana. Sebelumnya,
apabila kejahatan itu dilakukan oleh seseorang yang berusia anak-anak atau di
bawah umur, maka pemidanaan pelaku anak-anak akan disamakan dengan pemidanaan
orang tua/dewasa. Padahal secara psikologis tentunya berbeda motif orang dewasa
dan anak-anak dalam melakukan tindak pidana.
Pada
saat ini, pandangan dunia semakin bijak dalam memandang anak dan perilakunya.
Hal ini dikarenakan aliran modern hukum pidana memberikan individualisasi dan
differesiansi dalam pemberian pidana, yaitu pemidanaan yang sesuai dengan
keadaan dan diri si pembuat. Termasuk
pula dalam kenakalan-kenakalan anak yang termasuk dalam tindak pidana
(kejahatan). Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak kemudian harus
diselesaikan dengan proses peradilan pidana yang disesuaikan dengan kondisi
psikologis anak. Hal ini jelas menunjukkan adanya perkembangan dalam
perlindungan anak.
Di
negara Belanda, Undang-undang Anak (Kinderwetten) telah ada sejak 1901
dan mulai berlaku pada tahun 1905. Sedangkan di Indonesia, awalnya hanya tiga
pasal ini, yaitu Pasal 45-47 KUHP yang mengatur mengenai pidana anak.
Selanjutnya, ternyata perlindungan anak di Indonesia juga menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Ini ditandai dengan adanya aturan khusus proses
peradilan pidana yang memperhatikan psikologi anak dalam acara peradilan.
Dengan
dasar ide individulaisasi ini pula kemudian dalam Konsep KUHP diatur mengenai
batas umur yang tidak dapat dipertanggungjkawabkan secara pidana yaitu umur 12
(dua belas) tahun.
Pasal 111 Konsep KUHP menyatakan
sebagai berikut:
Pasal 111
(1)
Anak yang belum mencapai umur 12
(dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(2)
Pidana dan tindakan bagi anak hanya
berlaku bagi orang yang berumur antara 12 tahun dan 18 tahun yang melakukan
tindak pidana.
Dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Pasal 3 juga
menyebutkan bahwa batas anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak
sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun, dengan pengecualian
anak yang belum umur 8 tahun dapat juga diajukan ke sidang anak apabila
berdasarkan pemeriksanaan, anak itu sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang
tuanya (Pasal 5 ayat (3)).
Sedangkan
batas usia minimal untuk dapat dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana dan
tindakan) adalah 12 tahun ke atas, di bawah 12 tahun hanya dapat dikenakan
tindakan dengan ketentuan (Pasal 26 ayat (3) dan (4)):
a.
apabila melakukan tidank pidana yang
diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup hanya dikenakan tindakan
menurut Pasal 24 ayat (1) b yaitu diserahkan kepada negara untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
b.
apabila melakukan tindak pidana yang
tidak diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka dijatuhi salah
satu tindakan dalam Pasal 24, yaitu dikembalikan kepada orang tua, wali atau
orang tua asuh, diserahkan kepada negara atau diserahkan kepada organisasi
sosial.
Mencermati
batas umur pertanggungjawaban pidana demikian memang telah memenuhi
himbauan-himbauan internasional yang tercantum dalam dokumen internasional. United
Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(Beijing Rules) yang disepakati 6 September 1985 menyebutkan dalam
prinsip-prinsip umum (General principles) ke-4 tentang age of
criminal responsibility bahwa:
“In those legal systems recognizing the concept of the age
of criminal responsibility for juveniles, the beginning of that age shal not be
fixed at too low an age level, bearing in mind the facts of emotional, mental
and intellectual maturity.
3.
Tujuan
dan Pedoman Pemidanaan
Tujuan
dan pedoman pemidanaan merupakan implementasi ide individualisasi pidana.
Tujuan dan pedoman pemidanaan ini belum dikenal (belum dicantumkan) dalam KUHP
sekarang. Oleh karena itu, Konsep KUHP mengakomodir dan mengimplementasikan
tujuan dan pedoman pemidanaan dalam Pasal 54 dan 55.
Pasal 54
(1)
Pemidanaan dimaksudkan untuk:
a.
mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.
menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oelh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat;
c.
memasyarakatkan terpidana dengan
mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; dan
d.
membebaskan rasa bersalah pada
terpidana.
(2) Pemidanaan tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Pasal 55
(1)
Dalam pemidanaan wajib
dipertimbangkan:
a.
kesalahan pelaku tindak pidana
b.
motif dan tujuan melakukan tindak
pidana;
c.
cara melakukan tindak pidana;
d.
sikap batin pelaku tindak pidana;
e.
riwayat hidup dam keadaan sosial
ekonomi pelaku tindak pidana;
f.
sikap dan tindakan pelaku sesudah
melakukan tindak pidana;
g.
pengaruh pidana terhadap masa depan
pelaku tindak pidana;
h.
pandangan masyarakat terhadap tindak
pidana yang dilakukan;
i.
pengaruh tindak pidana terhadap korban
atau keluarga korban; dan atau
j.
apakah tindak pidana dilakukan
dengan berencana.
Dirumuskannya
pedoman pemidanaan dalam Konsep KUHP menurut Barda Nawawi Arief, bertolak dari
pokok pemikiran sebagai berikut:
a. Pada hakikatnya undang-unang
merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive system). Dirumuskannya
pidana aturan pemidanaan dalam undang-undang pada hakikatnya hany merupakan
sarana untuk mencapai tujuan, oleh karena itu perlu dirumuskan tujuan dan
pedoman pemidanaan.
b. Dilihat secara fungsional dan
operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijaksanaan ynag
konkretisasinya sengaja dirancanakan melalaui tahap “formulasi” oleh pembuat
undang-undang, tahap “aplikasi” oleh aparat yang berwenang dan tahap “eksekusi”
atau aparat pelaksana pidana. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara
ketiga tahap itusebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan
tujuan dan pedoman pemidanaan.
c. Sistem pemidanaan yang bertolak dari
individualisasi pidana tidak berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim
dan aprat-aparat lainnya tanpa pedoman atau kendali/kontrol. Perumusan tujuan
dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendali/kontrol” dan
sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi
pemidanaan yang jelas dan terarah.
4.
Pedoman
Pemberian Pengampunan oleh Hakim
Di
samping memuat tujuan dan pedoman pemidanaan, Konsep KUHP juga memuat adanya
ketentuan mengenai pedoman pengampunan hakim (rechtelijk pardon). Pedoman
pengampunan hakim merupakan implementasi dari ide individualisasi pidana.
Pedoman
pengampunan hakim disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) sebagai berikut:
“Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku atau keadaan
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan
dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.
Dengan
dasar ini maka hakim masa mendatang diperbolehkan memaafkan orang yang
nyata-nyata melakukan tindak pidana dengan alasan keadaan pribadi si pembuat
dan pertimbangan kemanusiaan. Aturan pengampunan hakim tersebut tidak ada dalam
KUHP.
5.
Alasan
Peringanan dan Pemberatan Pidana
Alasan
yang memperingan dan memperberat pidana pada umumnya menjadi dasar putusan
hakim dalam memutuskan jenis dan berat/ringannya pidana. Selama ini, dengan
tidak dicantumkannya alasan peringanan dan pemberatan pidana secara khusus
dalam KUHP. hakim dalam memutuskan
putusannya berdasarkan jurisprudensi mengenai beberapa hal yang dapat menjadi
alasan peringanan dan pemberatan tersebut.
Oleh
karena itu, dengan berpijak pada ide individualisasi pidana, maka dalam Konsep
KUHP dicantumkan beberapa alasan/faktor yang dapat memperingan dan memperberat
pidana, sebagai acuan formal bagi hakim dalam memutuskan putusan pidana,
seperti penyerahan diri secara sukarela, pemberian ganti kerugian yang layak,
dan tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang hebat.
Selengkapnya
Pasal 128 Konsep KUHP menyebutkan:
Pasal 128 “Faktor-faktor yang
memperingan pidana meliputi:
a. percobaan melakukan tindak pidana;
b. pembantuan terjadinya tindak pidana;
c. penyerahan diri secara sukarela
kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan oleh
wanita hamil;
e. pemberian ganti kerugian yang layak
atau perbaikan kerusakan secara sukarela, akibat tindak pidana yang dilakukan;
f. tindak pidana yang dilakukan karena
kegoncangan jiwa yang sangat hebat; atau
g. tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 (kurang dapat dipertanggungjawabkan,).
6.
Elastisitas
Pemidanaan
Ide
individualisasi pidana berupa elastisitas pemidanaan (elasticity of
sentencing) dalam Konsep KUHP telah diimplementasikan dalam beberapa pasal,
yang intinya adanya keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi
(pidana atau tindakan) yang sekiranya tepat untuk individu atau pelaku tindak
pidana. Namun demikian, keleluasaan hakim tersebut tetap dalam dalam
batas-batas kebebasan menurut undang-undang.
Konsep
KUHP mengimplementasikan ide individualisasi pidana berupa elasticity of
sentencing sebagai berikut:
1. Sanksi yang tersedia dalam Konsep
KUHP adalah berupa “pidana” (yaitu pidana pokok dan pidana tambahan), serta
“tindakan”. Walaupun demikian, dalam penerapannya hakim dapat menjatuhkan
beberapa alternatif sanksi sebagai berikut:
a. menjatuhkan pidana pokok saja;
b. menjatuhkan pidana tambahan saja;
c. menjatuhkan tindakan saja
d. menjatuhkan pidana pokok dan pidana
tambahan;
e. menjatuhkan pidana pokok dan
tindakan;
f. menjatuhkan pidana pokok, pidana tambahan, dan
tindakan.
2.
Walaupun
pada prinsipnya sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pidana pokok saja yang
diancamkan dalam perumusan delik yang bersangkutan (dalam Buku II Konsep KUHP),
namun hakim dapat juga menjatuhkan jenis sanksi lainnya (pidana pokok/pidana
tambahan/tindakan) yang tidak tercantum, sepanjang dimungkinkan menurut Buku I
aturan umum Konsep KUHP. Sebagai contoh pidana yang diancamkan berupa pidana
penjara, namun mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dan tindak pidana
yang dilakukan terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim dapat
menjatuhkan pidana tutupan (Pasal 77). Hakim dapat juga menjatuhkan pidana
pengawasan, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya (Pasal 78 dan 79) dengan
catatan bahwa tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara paling lama 7
tahun. Jika pidana penjara diancamkan secara tunggal, setelah memperhatikan
tujuan dan pedoman pemidanaan serta pedoman penjatuhan pidana penjara, maka
hakim dapat menjatuhkan pidana denda (Pasal 58). Hakim dapat juga menjatuhkan
pidana kerja sosial jika ancaman pidana yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6
bulan (Pasal 85).
3.
Hakim
diperbolehkan memilih alternatif pidana lain, jika sanksi pidana diancamkan
secara tunggal (Pasal 58 untuk pidana penjara tunggal, dan Pasal 60 untuk
pidana denda tunggal).
4.
Hakim
dapat menjatuhkan pidana secara kumulatif, walaupun sanksi pidana diancamkan
secara alternatif (Pasal 61).
7.
Modifikasi
Pemidanaan
Sisi
lain dari ide individualisasi pidana yang dituangkan dalam Konsep KUHP adalah
adanya ketentuan mengenai modifikasi/perubahan/penyesuaian atau peninjauan
kembali putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang didasarkan
pada adanya perubahan/perkembangan/perbaikan pada diri pelaku sendiri.
Dengan
demikian Konsep KUHP mempunyai pemikiran mengenai ide individualisasi pidana
tidak hanya pada tataran pidana yang akan dijatuhkan harus disesuaikan dengan
kondisi pribadi/individu, namun pidana yang telah dijatuhkan dan telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde) dapat pula dilakukan
perubahan atau penyesuaian berdasarkan pada perkembangan atau perbaikan
individu terpidana serta mempertimbangkan pada tujuan pemidanaan
BAB III
PENUTUP
Prinsip individualisasi
pidana menjadi dasar dalam pemidanaan, agar dapat memberikan perlindungan
secara integratif kepada individu dan masyarakat. Artinya
untuk perlindungan masyarakat dan melakukan pembinaan kepada pelaku.
Hal
ini tercermin dari 4 tujuan pemidanaan yang lebih banyak menitikberatkan pada
bagaimana mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak
pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. Tujuan
pemidanaan yang bermaksud untuk merehabilitir pelaku ini dikuatkan dengan
ketentuan bahwa tujuan pemidanaan bukan dimaksudkan untuk menderitakan atau
merendahkan martabat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Nawawi Arief,
Barda, 1996, Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana , Citra Aditya Bakti, Bandung.
1998, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung,
Citra Aditya Bakti.
H.A.Djazuli,
1997, Fiqh Jinayah (Upaya
Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), 1997, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Ichtiyanto,
1997, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve.
Muladi
dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
B.
Website
C. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Konsep
Rancangan KUHP 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar