“Praktek oligopoli terjadi pada
lima komoditas pertanian. Berdampak kelangkaan, mahalnya harga, dan iklim usaha
yang tidak sehat. Butuh ketegasan pemerintah untuk mengatasinya”.
Laporan itu disampaikan ke Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kamis pekan lalu. Pelapornya adalah Komite
Ekonomi Nasional (KEN), yang menilai telah terjadi praktek oligopoli dalam lima
komoditas pertanian: Beras, Kedelai, Gula, Jagung, dan Daging Sapi. Oligopoli
adalah struktur pasar yang hanya dikuasai beberapa pemain. Akibatnya, mereka
pun bisa mengendalikan volume, produksi, bahkan harga.
Laporan ke KPPU itu adalah tindak
lanjut laporan sebelumnya. Sepekan sebelumnya mendatangi KPPU, KEN yang secara
hukum memang berada di bawah presiden dan bertugas memberi masukan mengenai
situasi ekonomi nasional, lebih dulu menghadap Presiden Susilo Bambang Yudoyono
(SBY). Dipimpin ketua KEN, Chaerul Tanjung, mereka melaporkan hal yang sama
kepada presiden.
Indikatornya kuat. Misalnya harga
gula. Benny Kusbini, Ketua dewan kedelai nasional, mencontohkan pada tahun 2009
harga gula per kilogram masih Rp 2.900,-. Tapi sekarang harganya sudah
dikisaran Rp 12.000,-. Pada hal harga gula masih US$ 489 per ton atau 4.700,- per kilogram. Ini berarti harga gula Indonesia
hampir 3 kali lipat harga gula dunia.
Padahal, dalam laporan tertulis
itu, KEN menyebutkan bahwa kelompok masyarakat yang sangat rentan mencapai 70 juta jiwa. Ini
kelompok masyarakat yang miskin atau agak miskin hingga menghabiskan dua
pertiga penghasilan mereka untuk membeli
pangan. Karena itulah, Chaerul meminta pemerintah segera bertindak membenahi
pasar lima komoditas pangan tersebut. Sebab ada kebutuhan pokok 70 juta jiwa
yang jadi taruhan. ”KEN mengusulkan agar komoditas yang tata niaganya
oligopolistik diambil tindakan untuk mengontrol tata niaga komoditas tersebut,
“katanya dalam jumpa pers usai menghadap SBY.
Pertemuan KEN dengan SBY itu juga
di hadiri wakil presiden, dan anggota komite Inovasi Nasional. Menurut Chaerul
Tanjung, Presiden menyetujui rekomendasi yang disampaikan KEN dan menugasi
Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, untuk mengimplementasikannya ke dalam agenda
aksi. Namun butuh kerja keras untuk mengubah tata niaga komoditas pangan yang
oligopolistik itu. Sebab KEN menyebutkan, oligopoli pangan tidak hanya terjadi
di pasar domestik, melainkan juga di pasar internasional. Dalam laporannya
Chaerul Tanjung, antara lain menyebutkan pasar bahwa pasar serealia (biji-bijian)
internasional cuman dikuasai empat perusahaan yang besar yang lazim disebut
“ABCD”. Mereka adalah Acher Daniels Midland, Bunge, Cargil, dan Louis Dreyfus.
Oligopoli serupa terjadi dipasar
agrokimia dan bibit. Laporan KEN menyebutkan bahwa industri agrokimia global
hanya di mainkan 6 perusahaan yakni Dupont, Monsanto, Sygenta, Dow Bayer, dan
BASF, yang menguasai 75% pasar dunia. Sedangkan industri bibit, pemainya cuman
empat, yakni Monsanto, Dupont, Sygenta, dan Limagrain, Dengan penguasaan pasar
sampai 50%.
Indonesia, sayangnya, seperti
mulai ketularan gejala oligopoli internasional tersebut. Untuk komoditas
kedelai, misalnya laporan KEN menyebutkan bahwa hanya ada tiga importir
kedelai. Yakni PT Teluk Intan ( menggunakan PT Gerbang Cahaya), PT Sungai Budi,
dan PT Cargill Indonesia. Sedangkan komoditas gula, yang dulu dikuasai sembilan
pengusaha (kerap disebut “sembilan samurai”), kini menyusut hanya di kuasai
enam pengusaha.
Praktek serupa terjadi
dikomoditas jagung, yang merupakan bahan baku untuk industri pakan unggas.
Laporan KEN menyebut empat perusahaan
yang menguasai sampai 40% pasar pakan unggas. Salah satu anggota KEN yang ikut
menyusun laporan itu, Hermanto Siregar, ekonom yang juga Guru Besar Fakultas
Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor, kepada GATRA bercerita lebih detail
mengenai struktur oligopolistik lima komoditas ini.
Hermanto lalu mencontohkan
struktur oligopoli kedelai. Saat ini setengah dari kebutuhan indonesia, sekkitar
500.000 ton, dipenuhi dengan impor.
Namun setelah dicek impor
setengah juta ton kedelai tadi hanya dilakukan tiga perusahaan. Pengimpor lain
memang masih ada tapi porsinya kecil. “Cuman tiga importir yang pemain
utama,”katanya. KEN pun lalu mengecek mengapa Cuma tiga pemain itu yang besar.
Mengapa cuman tiga pemain itu yang lain tidak bisa masuk? Apakah ada yang di
halang-halangi hingga bisa mengimpor
sedikit? Tanyanya.
Kebijakan impor kedelai
sebenarnya bersifat terbuka. Hanya masalahnya, untuk mengimpor kedelai dalam
jumlah besar, dibutuhkan modal besar juga, sampai puluhan miliar pula. Inilah
yang ternyata membuat pengimpor bermodal kecil kalah. Sehingga hanya pengimpor
bermodal besar yang bisa masuk. “Oligopoli terjadi karena kebutuhan modal yang sangat besar hingga pemain yang bisa
masuk sedikit, “ungkapnya. Hal ini sama juga terjadi beberapa komoditas pangan
lainnya. Sampai disini, kata Hermanto, KEN pun masih mengecek apakah masih
banyak praktek-praktek lain yang terjadi di dalam wilayah ekonomi Indonesia.
KOMENTAR DAN
SOLUSI UNTUK KELUAR DARI KASUS DI ATAS
SEBAGAI BERIKUT:
Menurut penulis, bercerita
mengenai struktur oligopolistik lima komoditas pangan ini salah satu indikator
munculnya oligopoli, adalah kecenderungan harga terus naik. Kalau kita
perhatikan, dalam kurun tiga tahun terakhir ini, harga lima komoditas pangan merangkak naik. Hal ini disebabkan bermainnya
para pemodal besar, dalam bursa impor, hingga pemodal kecil kalah. Sehingga
hanya ada beberapa perusahaan saja yang bisa beroperasi. Mereka pemodal besar
ini semakin kuat dalam usahanya, meraka tidak
memberikan kesempatan pemodal kecil untuk mengambil kesempatan dalam
menjalankan usahanya. Dan ini sudah melanggar tata aturan dalam
berusaha dan berinfestasi yang baik. Semua sudah dikendalikan dan di pengaruhi
politik dan sistem perekonomian Kapital asing.
Sebagai faktanya, Lima komoditas
pangan tersebut merangkak naik di
sebabkan beberapa alasan. Sebagai contoh Kedelai, pengusaha kedelai ini
ternyata sesuai yang di informasikan oleh majalah GATRA ini hanya di pegang
oleh tiga perusahaan saja, sehingga menyebabkan
harganya semakin melambung. Komoditas gula juga hanya di kuasai oleh
empat penrusahaan seperti PT.Perkebunan Nusantara (PT.PN) IX, X, XI, dan PT.
Rajawali Nusntara Indonesia (RNI), yang menguasai 67% pangsa pasar, dalam hal
ini menurut Hermanto penulis majalah GATRA ini, adalah berarti ada kecederungan
oligopoli. Oligopoli lain juga terjadi pada komoditas jagung yng dpegang oleh
empat perusahaan saja, tetapi kata Hermanto tidak terjadi diwilayah produksi,
melainkan distribusi dan juga tidak terlalu ramai karena konsumennya bukan masyarakat, melainkan
pabrik yang membutuhkan pakan ternak. Sehingga mempunyai dampak mahalnya pakan
ternak yang dibeli masyarakat.
Menurut penulis dengan melihat gambaran
mengenai kondisi ekonomi yang dihadapi negara kita sekarang ini
beserta implikasinya sepeti kasus di atas di sebabkan melemahnya daya saing perekonomian nasional,
yang diakibatkan, antara lain, oleh lemahnya kinerja dunia usaha swasta dan
lembaga perbankan, termasuk kelemahan dalam hal pengawasan sistem keuangan,
peningkatan upah/gaji yang tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas kerja
sehingga muncul praktek oligopoli pada komoditas pangan kita.
Kondisi
ekonomi dengan berbagai dampak negatif di atas menurut penulis mempunyai solusi
untuk bisa diupayakan pemerintah untuk mengatasinya
yaitu “dengan melaksanakan kebijaksanaan ekonomi baik yang bersifat makro
maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut yang memiliki
dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak negatif dari krisis
tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan kedua,
pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi. serta ketiga,
dengan usaha melakukan langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi yang, antara lain,
menghilangkan subsidi tersembunyi dan perlakuan-perlakuan khusus kepada
perorangan dan kelompok usaha tertentu.
Kemudian itu menurut penulis, pemerintah juga untuk menjerat para pelaku
oligopoli pada usaha perdagangan ini cukup pemerintah menerapkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Akhirnya dengan demikian semua jalanya usaha perekonomian akan bisa
berjalan dengan normal kembali.
TERIMAKASIH
Sumber : Majalah Gatra
Tanggal Terbit : 13 Februari 2013
Hal : 34-36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar