A. MENGENAL HUKUM INDONESIA
Ketika manusia hidup bersama, salah satu
bentuk sifat manusia yaitu zoon politicon (manusia makhluk sosial) dimana
saling membutuhkan, dan sifat yang lebih kontradiktif adalah homo humini lupus
dimana manusia adalah srigala bagi manusia yang lain, agar tidak terjadi yang
demikian maka di bentuklah hukum sehingga hukum tersebut lahir, tumbuh dan
berkembang dalam suatu masyarakat sebab tidak ada suatu masyarakat dan negara
yang beradab tidak memerlukan hukum (ubi sosiates ubius),. Hal ini dalam islam
juga sangat menginginkan umatnya teratur maka, tak heran dahulu setiap kaum itu
Allah SWT menurunkan kitab tersendiri yang tujuannya untuk meciptakan
ketentraman bagi kaum atau golongan-golongan kaum tersebut.
Di Indonesia sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat dan sebagai negara hukum, maka
sudah menjadi suatu kenyataan menentukan sendirinya sistem atau tata aturan hukumnya, tetapi hal ini tidak
menjadikan hukumnya murni dari hasil pemikiran dan teori atau
pemikir-pemikirnya dari Indonesia sendiri, hal ini yang menjadi fakta bahwa
hukum dimana sistem hukum di negara kita ini merupakan campuran dari sistem
hukum-hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang
dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya
dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah
jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena
sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau
Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan
warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang
merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
1. Bentuk Hukum Indonesia
a.
Hukum Tertulis, misalnya: UUD
1945, UU Pokok Agraria, Hukum Pidana (KHUP), Hukum Perdata (KUHPerdata)
b.
Tidak Tertulis, misalnya: Hukum Adat, Hukum Kebiasaan.
Kedua kelompok hukum
tersebut merupakan Hukum Indonesia atau Hukum Positif Indonesia, yaitu Hukum
yang berlaku pada waktu saat ini, dibentuk oleh badan-badan kenegaraan yang
diberi wewenang membentuknya.
Hukum positif itu dikatakan oleh Hans Kelsen sebagai teori hukum murni,
merupakan teori tentang hukum positif umum bukan tentang tatanan hukum khusus,
ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional
atau internasional tertentu, namun menyajikan teori penafsiran.
Badan-badan kenegaraan lainnya yang kedudukannya di bawah Presiden dalam membentuk hukum
dipengaruhi oleh alam pikiran bangsa Indonesia atau filsafat hidup bangsa
Indonesia. Dasar filsafat dalam pembentukkan hukum Indonesia adalah Pancasila,
karenanya Pancasila disebut Filsafat Hukum Indonesia. Bagaimana Pancasila
memperoleh legalitas hukumnya sehingga merupakan suatu kaidah yang normatif,
yang mengikat, yang mempengaruhi tingkah laku manusia Indonesia, baik sebagai
individu dalam masyarakat maupun sebagai pendapat negara yang diserahi tugas
membentuk Undang-Undang ditambah peraturan-peraturan lainnya.
Selain
itu agar Pancasila merupakan kaidah yang mengikat, maka Pancasila harus
merupakan kaidah yang mengikat. Untuk menjadi norma yang mengikat, Pancasila harus
mempunyai ”Bentuk”dan ”Isi”, dan tercermin dalam
pembukaan UUD 1945. Bentuk : Tertulis. Isinya sebagi berikut:
1.
Ketuhanan yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.
Persatuan Indonesia
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta
5.
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Adapun yang berhak mengisi sila-sila Pancasila adalah
Rakyat Indonesia yang mendelegasikannya kepada sebuah badan yang
anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, yang membawakan suara dan kehendak
rakyat Indonesia. Tampaknya Pancasila masih menjadi kaidah dasar dalam tertib
hukum Indonesia.
Sebenarnya
Pembentukan nilai-nilai sila pancasila tersebut sangat kuat pengaruhnya dengan
pandangan islam. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa
indonesia walaupun bukan negara islam di tambah lagi banyak pengaruh-pengaruh
teori hukum barat tetapi tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang
berpaham barat.
2. Isi Hukum Indonesia
Menurut isinya hukum Indonesia dibedakan antara Hukum
Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik adalah hukum yang melindungi kepentingan
Umum/Negara. Hukum Privat adalah hukum yang melindungi kepentingan Privat/
Perorangan, Misalnya: jual beli, sewa menyewa. Hal ini dalam pemerintahan menurut pandangan
islam sangat bagus, karena dalam islam juga sangat mengargai hak setiap kaum
dan setiap golongan ummat-Nya.
Hukum Privat disebut juga Hukum Perdata dalam arti
luas, mencakup:
a.
Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu ketentuan
yang dimuat dalam KUHS, Octrooi dan UU Auteur. UU Octrooi adalah UU yang
melindungi hak cipta dalam bidang industri, perdagangan. UU Auteur adalah UU
yang melindungi hak cipta dalam bidang kesenian dan kesusastraan.
b.
KUHD: Kitab UU hukum dagang. Sebagian hukum
dagang masuk dalam hukum perdata, karena semula hanya terdapat hukum perdata,
kemudian dirasakan perlu ada perbedaan antara keduanya, sehingga dampaknya
terdapat campuran dalam kedua kitab UU tersebut. Sebagian hukum dagang masuk ke
dalam kitab UU hukum perdata, sebagian hukum perdata masuk ke dalam hukum
dagang.
Sesudah Indonesia merdeka terdapat 3 kodifikasi hukum,
yaitu: Kitab UU Hukum Pidana, Kitab UU Hukum Perdata, Kitab UU Hukum Dagang. Dari
perkembangan selanjutnya terdapat pandangan
bahwa Kitab UU Hukum Perdata mestinya seperti semula, hukum dagang masuk ke
dalam hukum perdata, karena hukum dagang tidak ada landasan ilmunya. Adapun yang dimaksud dengan
kodifikasi adalah membukukan hukum ke dalam kitab UU secara sistematis dan
lengkap.
3. Tujuan Hukum
Tujuan hukum
adalah untuk mencapai masyarakat yang tertib, adil dan damai, selain tujuan
tersebut di Indonesia ditambahkan pengayoman, sama juga dalam pemerintahan menurut
pandagan islam, hal ini sebagi wujud aturannya terdapat dalam Al-Q ur’an
surat An-Nisa’ ayat 135 sebagai mana artinya bahwa ” Wahai
orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tau kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S. An-Nisa’: 135)
(Q.S. An-Nisa’: 135)
UUD 1945 sebagai dasar, berisi instruksi-instruksi
untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Ini berarti
bahwa hukum adalah alat untuk mendapatkan ketertiban dan alat untuk mencapai
kesejahteraan sosial.
Filosofis-ideologis
UUD 1945 adalah untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara,
yaitu:
1.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia;
2.
Meningkatkan kesejahteraan umum;
3.
Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Selain yang di bahas di atas indonesia
juga menganut sistem trias politika barat seperti yang di kemukakan teori
Montesqui, tetapi hal itu Yang menjadi poin penting dalam demokrasi bukan
sistem trias politiknya, yang membagi pemerintahan kedalam tiga lembaga
(eksekutif, yudikatif dan legislatif), melainkan dalam sisitem checks and balances yang berlangsung dalam pemerintahan itu. Tentunya agar bisa berjalan
maka, harus ada keterbukaan dari masing-masing elemen dalam pemerintahan itu.
Dan keterbukaan itu dapat diwujudkan dalam sebuah bentuk musyawarah yang
efisien, efektif dan egaliter. Tentu saja tujuan adalah kesejahteraan rakyat sehinga
keadilan dapat terwujud, karena Islam mengharuskan keadilan secara mutlak dalam
surat An-Nisa (4). 58 tentang keadilan tuhan menyatakan Artinya “apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”, Q.s
An-Nisa (4).
B. PENGARUH
TEORI HANS KELSEN TERHADAP SUSUNAN ATAU STRUKTUR PERUNDANG-UNDANGAN DI
INDONESIA
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari
akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa
yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan
berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa
apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat
dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu
terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang
dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum
Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat
dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk
terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baru.
Sebenarnya berbicara tentang persoalan hukum dan negara, jauh sebelumnya itu telah
mendapat perhatian dan menjadi obyek kegiatan intelektual dari para pemikir
dunia sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu sampai sekarang. Plato (429-347
S.M) dan Cicerio (106-43 S.M) merupakan pemikir-pemikir besar tentang negara
dan hukum pada zaman purbakala, Thomas Aquinas (1225 – 1274) sebagai pemikir
pada zaman pertengahan serta Montesquieu (1689-1755), Jean Jacques Rousseau
(1712-1778) dan Hans Kelsen sebagai pemikir setelah pada zaman
pertengahan.
Pemikiran hukum ini berkembang setelah abad
pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali
Indonesia. Aliran ini mengidentikan hukum dengan undang-undang. Tidak ada hukum
di luar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Hal
inilah yang di namakan dengan aliran positivisme hukum, yang mana salah satu
tokoh yang mengemukakan aliaran ini adalah Hans Kelsen.
Sebagai penganut
aliran positivisme hukum, Hans Kelsen terkenal dengan konsep hukum murninya (reine
rechtslehre, the pure theory of law), yang ingin membersihkan ilmu hukum
dari anasir-anasir yang sifatnya nonhukum, seperti kultur, moral, politik,
sosiologis, dan sebagainya.
Menurut Hans Kelsen
tentang positivisme dinyatakan bahwa “Law is a coercive order of human
behavior, it is the primary norm which stipulates the sanction.” (Hukum
adalah sesuatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah kaidah
primer yang menetapkan sanksi-sanksi).
Karakteristik
postivistis dari Hans Kelsen, sangat kental dalam tiga ajarannya yang utama,
yang sangat menekankan pengakuannya hanya pada eksistensi hukum positif. Ada
tiga ajaran utama dari Hans Kelsen, yaitu :
a.
Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre)
Hans
Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya nonhukum,
Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum.
Bagi Kelsen, keadilan masalah ideologi yang ideal-rasional. Kelsen hanya ingin
menerima hukum apa adanya.
b.
Ajaran Tentang Grundnorm
Bertolak dari pemikiran yang hanya mengakui
undang-undang sebagai hukum, maka Kelsen mengajarkan adanya grundnorm yang
merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum, dalam suatu tatanan
sistem hukum tertentu. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar
mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
c.
Ajaran Tentang Stufenbautheorie
Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan
dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin
beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin
ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang
“seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut, bagi penganut positivisme, analisis mereka
melibatkan pengkosenterasian pada kajian tentang undang-undang sebagai
keberadaannya, yakni undang-undang yang diberlakukan bagi warga negate. Jadi
bagi kaum postivis, hukum di pahami sebagai berikut:
1. Hukum adalah seperangkat perintah.
2. Yang dibuat oleh penguasa tertinggi (negara).
3. Ditujukan kepada warga masyarakat.
4. Hukum berlaku local (dalam yurisdiksi negara
pembuatnya).
5. Hukum harus dipisahkan dari moralitas.
6. Selalu tersedia sanksi eksternal bagi
pelanggar hukum.
Menyimak dari pemahaman aliran filsafat hukum
positivistik adalah : pertama, ia memisahkan hubungan antara moral dan hukum;
kedua, ia tidak mampu menjelaskan realitas hukum secara lebih holistik,
sehingga orang akan mempelajari atau mengkaji hukum terlepas dari ikatannya
dengan masyarakat tempat ia beroperasi, Inilah batas yang membedakan antara
sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya dalam seperti membangun hukum atas persetujuan umat,
pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan
dengan Islam.
Di dalam khazanah
Indonesia menjadi negara hukum, meskipun demikian tetapi sebenarnya hukum di Indonesia itu merupakan
paduan dari norma dan moralitas yang hidup di masyarakat. Selain itu juga di
Indonesia tidak sepenuhnya memberlakukan setiap putusan hakim itu sesuai dengan
Undang-Undang yang tertulis saja, tetapi Hakim harus mampu menggali nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat, agar keadilan dan kepastian hukum itu
tetap di tegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supermasi
hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan.
Sistem pemerintahan dalam negara
sebenarnya Menurut Muhammad Imarah
Islam tidak menerima sistem pemerintahan barat secara mutlak dan juga tidak
menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan
menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam
sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah
pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan
merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad
untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Bertolak dari
pemikiran di atas bahwa pemikiran teori hukum hans Kelsen yang terkenal dengan
teori piramida hukumnya, maka sebagai bentuk pengaruhnya adalah sebagai
berikut:
a. Kedudukan Pancasila
Dalam Hukum Nasional (pandangan Kalsen dan Nawiaski dalam bentuk piramida)
1. Kedudukan Pancasila
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia,
Pancasila adalah filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa. Pancasila adalah dasar negara.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan Pancasila dalam tata hukum
nasional?
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan
Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih
menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada
di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental
negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans
Kelsen dan Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah
hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie), artinya Peraturan hukum keseluruhannya
diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah
semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan
semakin ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa
sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan. salah seorang tokoh yang
mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky.
Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der
rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan
otonom (verordnung en autonome
satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum
dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi
berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari
konstitusi suatu negara.
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen
disebut sebagai norma dasar (basicnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental
negara. Grund norm pada dasarnya tidak berubah-ubah,
sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi, inilah karya manusia, tetapi pandangan islam
bahwa norma tertinggi adalah Al-Qur’an yang menjadi sumber semua hukum dalam
mengatur hidup manusia dan tidak bisa di ganggu gugat selain Allah SWT.
Berdasarkan teori Hans Nawiaky, A. Hamid S. Attamimi
membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata
hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia
dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata
hukum Indonesia adalah:
1)
Staats fundamental norm: Pancasila
(Pembukaan UUD 1945).
2)
Staats grundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR,
dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)
Formell gesetz: Undang-Undang.
4)
Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis
mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staats fundamental norm pertama kali disampaikan oleh
Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi
ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam
Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan
ditetapkannya Pancasila sebagai Staats
fundamental norm maka
pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari
nilai-nilai Pancasila.
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamental norm berarti menempatkannya di atas
Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian
konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini
dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi
menurut Hans Kelsen dan pengembangan
yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD
1945.
Hans Kelsen membahas
validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai
validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa
konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya
mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh
individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi
terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan
hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah
konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi
dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical
pressuposition.
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum
yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau
tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum
yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi
tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu
norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar
tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid
tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena
dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini
tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma
pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut
sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi
validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamentalnorm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak
berubah sedangkan staatsfundamentalnorm dapat berubah seperti melalui
kudeta atau revolusi.
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan
pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit
untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.
Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan
validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif.
Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang
ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta
hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan
presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru
meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky
tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky
adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen
sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya
Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya
adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau merupakan bagian dari
konstitusi.
2. Pancasila Dalam
Lintasan sejarah
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas
dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno Tanggal 1 Juni 1945. Soekarno
menyebut dasar negara sebagai Philosofische
grondslag sebagai fondamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan
negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup.
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah
rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno,
anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan
maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan
tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir.
Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto
Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim.
Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan
diterima oleh BPUPKI pada Tanggal 10 Juli 1945. Dokumen inilah yang menjadi
Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata.
Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun
dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya
merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping
memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat
pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari
persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi
dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai
dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia,
termasuk di dalamnya Pancasila.
3. Pokok Pikiran dan subtansi Penjelasan
UUD 1945
Selain Pancasila, telah dikenal adanya empat pokok
pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara
yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2)
bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya;
(3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk
dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara
Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia
mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan
sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan
bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena
itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses
perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya
berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan
pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang
memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan
perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia
mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam
rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat
inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang
kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk
pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa
Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara
umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi
Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut
sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamentalnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari
pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma
yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam
bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD
1945.
Jimli Asiddiq mengatakan UUD 1945 merupakan sumber
hukum tertinggi yang harus tercermin dalam segala peraturan perundang-undangan
dan kebijakan-kebijakan kenegaraan, dan harus ditegakkan sebagaimana mestinya
dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari
keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi
suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok
pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang
tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang
Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan
masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk(Gelstaltung).
Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan
pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan
tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 termasuk pancasila merupakan satu
kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses
penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan
masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk
negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat. Status
Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat
tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan
ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.”
Jika Pembukaan UUD 1945 dan
pasal-pasalnya merupakan satu kesatuan, tentu tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD
1945 adalah dasar pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD
1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945
(termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis
bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran
yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan
dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi
validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah
postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu
tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari
Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan
sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah.
Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan
konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi,
maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila,
benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum
Indonesia.
Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms, lalu
apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang
mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi
menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena
dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum.
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia,
yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya
Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic
thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara
Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi
validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata
hukum lama sebagai sebuah sistem.
b. Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2011 Yang (Sesuai Pandangan Teory Piramida Hukum Hans
Kelsen).
Hierarki atau tata
urutan peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia (Pasal 7) adalah sebagai berikut
:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan
Pemerintah;
e. Peraturan
Presiden;
f. Peraturan Daerah
Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan
sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi
Peraturan Perundangundangan di Indonesia,
sebenarnya bukanlah merupakan suatu konsep baru, melainkan sudah berjalan atau dilaksanakan cukup lama oleh
pembuat kebijakan (penyusun peraturan perundang-undangan/law maker),
yaitu telah ada sebelum dilakukannya perubahan/amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”).
Perubahan/amandemen
atau pengharmonisasian dalam peraturan perundang-undangan boleh-boleh saja
tetapi dengan tujuan untuk menciptakan suatu keadilan hukum bagi masyarakat,
hal ini sejalan dengan ajaran islam, karena kita patut mencontoh Allah SWT
banyak menurunkan kitab-kitab sampai yang terakhir kitab A-Qur’an, Hal ini
dengan tujuan tidak lain hanya untuk mewujudkan suatu keadilan dan jalan terang
bagi semua ummat-Nya yang ada di dunia ini dan sebagimana di tuangkan dalam
Al-Qur’an surat al-maidah ayat 48.
Kebijakan mengenai harmonisasi peraturan
perundang-undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun
pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait
harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang
Tatacara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupakan pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.
Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor
188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan amanat dari
Pasal 22A UUD 1945. Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran
praktik empririkal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR bersama
Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan penyempurnaan melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Pengaturan terkait pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih lengkap
pengaturannya dibandingkan kebijakan-kebijakan sebelumnya. Seperti mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi RUU, baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal
dari DPR. Selain itu diatur pula pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan
konsepsi semua rancangan peraturan perundang-undangan, dari RUU, RPP, Perpres,
sampai dengan Raperda, baik Raperda Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
A. Kesimpulan
Berkaitan dengan pandangan aliran hukum positivisme yang
mengedepankan pada prinsip hukum itu ada apabila di wujudkan dalam
undang-undang, Hukum itu di buat oleh penguasa, selain itu hukum bersifat
memaksa. Dalam aliran hukum positivisme adanya pemisahan antara hukum
dengan moral. Inilah batas yang membedakan antara sistem Syariah Islam
dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas
persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan
sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Selain itu peraturan hukum keseluruhannya
diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak priamida, dan semakin ke
bawah semakin beragam dalam artian hukum itu berjenjang. Berkaitan dengan ini
jika dikaitkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia
jelaslah bahwa aliran ini diterapkan. Hal ini dapat kita lihat pada
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
B. Saran
Melihat pada perkembangan dan kemajuan
masyarakat Indonesia hukum juga mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam hal
ini hukum di Indonesia masih jauh tertinggal pada perkembangan masyarakat
dan kemajuan zaman. Dikarenakan masih diberlakukanya produk-produk
hukum yang lama dan sistem hukum yang tidak sesuai lagi jika diterapkan pada
masyarakat Indonesia pada masa kini. Diharapkn dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan lebih mengedepankan kepada keseimbangan antara hukum dengan
moral dan hukum harus diposisikan sebagai
variabel yang berubah seiring dengan perubahan masyarakat, hukum untuk
masyarakat bukan masyarakat untuk hukum (The Legal science is always changing).
Dan tak lupa pula muda-mudahan konsep pembentukan peraturan
perundang-undangannya tetap tidak jauh beda dengan konsep Islami agar aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajaran-Nya,
dengan cara yang sangat mungkin bisa dilakukan dimana dalam parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus
diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam
secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.DR.Moh.Mahfud MD,SH.,S.U”Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia”
edisi revisi, PT.rineka cipta,Jakarta,2001,hal,3.
Prof.DR.H.Dahlan
Thaib,S.H.,M.Si.dkk ”Teori dan hukum Konstitusi”,PT.Raja grafindo persada,
Jakarta,1999,hlm.75.
Prof.DR.Moh.Mahfud MD,SH.,S.U”Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia”
edisi revisi, PT.rineka cipta,Jakarta,2001, hlm.4
Hans Kelsen “Teori hukum
murni-dasar-dasar ilmu hukum normative” terjemahan The fure of teory :Barkely
University of California press :1978 : Nusa Media,bandung,2010, hlm “Teori ini
di kritik oleh hari chand :konsep norma dasar yg di kemukakan kelsen tidak jelas. Yang di sebut dengan norma dasar
itu bukan mrupakan hukum positif tapi suatu presuposisi pengetahuan yuridis.
Piramida hukum hans
kelsen dan nawiaski dalam bentuk piramida hukum nasional Indonesia”
Aziz, Abdul, Alqur’anul
karim wa tarjamatu ma’anihi ila allughati al indunisiyah,( Arab Saudi:
Maktabah Malik, 1420 h)
“Piagam Jakarta dalam perumusan dasar Negara
oleh tim 8 dalam perjalanannya setelah rumusan tersebut di serahkan kepada
BPUPKI masi terdapat beberapa pertentangan antara nasionalis dengan agamawan”
Jimly Asiddiq “ UUD 1945 adalah sumber
hukum/staatfundamentalnorm”
Undang-undang RI
nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan ketentuan umum pasal 1
Dalam undang
undang-undang nomor 10 Tahun 2004 Tap MPR tidak masuk dalam struktur peraturan perundangan-undangan
hal itu kemudian di masukkan dalam amndemen tahun 2011 dan sebelum tahun 2004
tap MPR masih berlaku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar