BAGIAN PERTAMA : CITA
HUKUM
1.
Hukum sebagai Sistem Norma dan Fungsi-fungsinya
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya dipakai untuk mengatur tingkah laku dan mempertahankan
pola-pola kebiasaan yang sudah ada di masyarakat. Lebih dari itu, hukum mengarah kepada penggunaannya sebagai suatu sarana, seperti
untuk merealisasi
kebijaksanaan negara dalam bidang-bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan-keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dalam pembangunan nasional”
yang semua di mulai dan berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat yang didasarkan pada perencanaan.
Pengertian Hukum
Pengertian
hukum memiliki banyak segi dan bentuk sehingga sampai sekarang belum diperoleh
suatu pengertian hukum yang memadai.
Hukum, secara
garis besar, dapat dikelompokkan dalam tiga pengertian dasar
sbb:
1.
Hukum dipandang
sebagai kumpulan
ide atau
nilai
abstrak. Konsekuensinya, metodologi hukum bersifat filosofis.
2.
Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan yang
abstrak. Pusat perhatian terfokus pada
hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom,
yang bisa
dibicarakan sebagai
subjek
tersendiri yang terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan
tersebut.
Metodologi hukum
bersifat normatif-analitis.
3.
Hukum dipahami sebagai sarana untuk mengatur masyarakat. Metode yang digunakan adalah metode sosiologis. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkret dalam masyarakat.
D isisi lain hukum hendaknya dipandang
sebagai tidak lagi menjadi sosok yang terkotak-kotak atau terfragmentasikan, maka
hukum harus dilihat secara holistik dan
diharapkan juga wajah hukum akan tampak dari sisi filosofis, normatif dan
sosiologis
Tujuan Hukum
Ada
beberapa tujuan hukum sebagai berikut:
1. Teori etis
Teori ini mengajukan
tesis bahwa hukum itu semata-mata bertujuan untuk
menemukan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil
dan
tidak adil. Hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan. Salah satu
pendukung teori
ini adalah Geny.
Menurut teori
ini,
hakikat keadilan
itu terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan.
2. Teori utilitas
Penganut teori ini, antara lain, adalah Jeremy
Bentham. Ia berpendapat
bahwa tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam
jumlah yang
sebanyak-banyaknya.Pada hakikatnya,
hukum dimanfaatkan untuk
menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi sejumlah orang.
3. Teori campuran
Teori ini berpandangan bahwa tujuan pokok hukum adalah ketertiban dan, oleh karena
itu, ketertiban merupakan
syarat bagi adanya suatu masyarakat yang
teratur. Mochtar Kusumaatmadja, salah seorang penganut teori ini, berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda,
baik
isi
maupun ukurannya, menurut masyarakat dan zamannya.
Selain
diatas tujuan hukum menurut pendapat para ahli yaitu:
1.
Purnadi purbacaraka dan
soejono soekanto
Bahwa
tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi
ketertibaan ekstern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi.
2.
Van Apeldoorn
Bahwa
pada dasarnya hukum bertujuan untuki mengatur pergaulan hidup manusia secra
damai.
3.
Soebekti
Bahwa
hukum itu mengabdi kepada tujuan negara untuk mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan bagi rakyatnya .
Fungsi-fungsi Hukum
Hoebel menyimpulkan empat fungsi dasar hukum sebagai berikut:
1.
Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukan jenis-jenis tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang.
2.
Menentukan
pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh melakukan
paksaan serta siapakah yang
harus menaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya
yang tepat dan
efektif.
3.
Menyelesaikan sengketa.
4.
Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi
kehidupan yang berubah, yakni
dengan
cara
merumuskan kembali hubungan esensial
di
antara anggota-anggota masyarakat.
Penyelenggaraan
keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan tingkat kemampuan
masyarakatnya.
Pada masyarakat sederhana,
masyarakat
yang masih kecil jumlahnya hubungan-hubungan
atau pola hubungan antaranggota masyarakat terjalin sangat erat
berdasarkan asas kekerabatan. Dalam suasana kekerabatan itu,
keterperincian tata-aturan tidak
terlalu diutamakan. Hart menyebutkan tatanan hukum seperti itu sebagai primary rules of
obligation. Kelemahan yang dijumpai pada peraturan demikian adalah ketidakpastian, karena
ikatan peraturan yang tidak merupakan satu sistem, peraturan-peraturannya bersifat statis dan cara-cara mempertahankan tatanan hukun itu pun tidak dilakukan secara
efisien.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang sudah semakin kompleks,
tidak cukup dibutuhkan tatanan hukum primer, melainkan sudah mulai membutuhkan
tatanan hukum sekunder (secondary rules of obligation).
Peraturan-peraturan
sekunder itu
berisi
tentang
norma
tertentu, peraturan-peraturan yang menggarap perubahan-perubahan, dan peraturan bagi penyelesaian sengketa. Maka, perlu pengaturan dalam penyelenggaraan keadilan lebih
terorganisasi.
Hukum sebagai Suatu Sistem Norma
Apapun
namanya maupun fungsi apa saja yang hendak dilakukan oleh hukum tetap tidak
terlepas dari pengertian hukum sebgai
sistem norma. Berbagai pengertian hukum
sebagai sistem
hukum
dikemukakan antara
lain oleh Lawrence M Friedman. Ia mengatakan bahwa hukum merupakan gabungan antara komponen struktur, substansi, dan kultur.
1.
Komponen
struktur yakni
lembaga
yang
diciptakan
oleh
sistem hukum
dengan pelbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.
2.
Komponen
substansi yakni keluaran (output) dari sistem hukum, berupa peraturan-
peraturan dan keputusan-keputusan
yang digunakan, baik oleh pihak yang mengatur maupun
yang diatur.
3.
Komponen kultur
terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang memengaruhi bekerjanya
hukum. Kultur hukum berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan
hukum dan tingkah laku
hukum seluruh warga masyarakat.
Selain
itu, Lon L Fuller berpendapat bahwa sistem harus memenuhi delapan asas.
1.
Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan.
Artinya, ia tidak boleh
mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat sementara (ad hoc).
2.
Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
3.
Peraturan tidak boleh berlaku surut.
4.
Peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5.
Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.
6.
Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan.
7.
Peraturan tidak boleh sering diubah-rubah.
8.
Harus
ada kecocokan antara peraturan yang
diundangkan dengan pelaksanaannya
sehari-hari.
Hans Kelsen berpendapat bahwa suatu norma dibuat menurut norma yang lebih tinggi
dan merupaknan norma dasar (grundnorm) yang tidak berubah-ubah. Dan dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya
sampai berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi,
melainkan ditetapkan terlebih dulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat.
2. Fungsi Cita Hukum dalam Pembangunan Hukum yang Demokratis
Dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan yang bersifat demokratis harus mempresentasikan peran hukum sebgai alat untuk
mendinamisasikan masyarakat, sebab hukum merupakan the normative life of the state and its citizens. Hukum menentukan
serta mengatur bagaimana hubungan itu dilakukan dan bagaimana akibatnya. Hukum
memberikan pedoman tingkah laku, baik tingkah laku yang dilarang, dibutuhkan, maupun yang diizinkan, yang di wujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada,
Selain itu hukum sebagai suatu konsep yang modern hendaknya
tidak hanya dilihat sebagai sarana pengendalian
sosial, melainkan lebih dari itu: sebagai sarana untuk melakukan perubahan-
perubahan.
Elemen-elemen Pembentukan Hukum
Menurut Burkhardt Krems, sebagaimana dikutip oleh Attamimi, pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan isi atau substansi peraturan, metode pembentukan, serta proses dan prosedur
pembentukan peraturan,
yang merupakan bukan hanya kegiatan yuridis semata,
melainkan suatu kegiatan yang bersifat interdisipliner.
Pembentukan peraturan perundang-undangan
menentukan apakah suatu peraturan dapat
mencapai sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Masalah pengaturan hukum, ilmu
pengetahuan
tata-hukum, dan ilmu
tentang perencanaan
sangat diperlukan. Itu artinya, masalah pengaturan oleh hukum bukanlah semata-mata persoalan-persoalan
legalitas formal,
yakni tentang bagaimana mengatur sesuatu sesuai dengan prosedur
hukum, melainkan juga tentang bagaimana mengatur sehingga
dalam masyarakat timbul efek-efek yang
memang dikehendaki oleh hukum.
Peran Produk Hukum
Hukum merupakan elemen penting
bagi perkembangan
politik dan, dengan demikian menjadikan
hubungannya dengan kebijakan pemerintah semakin jelas,
sebab Keeratan keberadaan institusi hukum
merupakan indikator atau kunci pengimplementasian dari suatu kebijaksanaan.
Dalam penjelasan umum UUD NKRI 1945 secara tegas dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar
atas hukum.
Itu
berarti
hukum
bukanlah produk yang dibentuk oleh lembaga tertinggi
dan/atau lembaga tinggi negara saja, melainkan juga yang
mendasari dan mengarahkan
tindakan-tindakan lembaga-lembaga tersebut.
Kejelasan Konsep dan Bahasa Hukum
Untuk melakukan
proses perancangan
perundang-undangan secara lebih baik, pembentuk peraturan perundang-undangan hendaknya menyadari dan memahami secara sungguh-
sungguh dua hal pokok, yakni “konsep” dan “bahasa” hukum, terutama bagaimana mencari kata-kata dan konsep yang tepat. Hal-hal yang
sifatnya mendasar dan konseptual dari suatu produk hukum itu hendaknya
ditelaah dan dikaji dari berbagai sudut pandang filsafat hukum, teori hukum dan sosiologi hukum, sejarah hukum, maupun dogmatika hukum.
Memahami Hukum sebagai Sistem
Suatu sistem menekankan kepada beberapa hal.
1.
Sistem itu berorientasi kepada tujuan
(Purposive behavior the system is
objektive oriented).
2.
Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya
(Holism the whole is more than the sum of
allthe part).
3.
Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yakni lingkungan
(Opennes the systen intracts with a
larger system, namely its environment).
4.
Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (Transformation
the working of the parts creates something of vallue).
5.
Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain
(Interrelatedness the various parts must
fit together).
6.
Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu
(Control mechanism-there is a unifying
force that holds the system together).
Jika institusi hukum dipahami sebagai
suatu sistem, maka seluruh tata-aturan yang berada di dalamnya
tidak boleh bertentangan. Jika dipahami sebagai suatu sistem norma, maka setiap
peraturan perundang-undangan yang paling tinggi sampai yang paling rendah haruslah merupakan suatu jalinan
sistem yang tidak boleh saling bertentangan satu sama lain.
Cita Hukum: Kunci Pembentukan Hukum
Pembukaan UUD NKRI 1945 secara tegas dan mengandung cita
hukum yang tidak lain adalah “Pancasila”. Cita hukum haruslah dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan
perundang-undangan. Tiadanya kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum akan menimbulkan kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum yang
dibuat
Model Pembentukan Hukum yang Demokratis
Sebelum memasuki tahapan yuridis, proses pembentukan suatu peraturan harus sudah
melalui tahapan sosio-politis secara final
sebagai berikut:
1.
Secara
makro,
proses
penyusunan suatu produk
hukum
dalam
tahapan sosiologis berlangsung dalam masyarakat dan ditentukan oleh tersedianya bahan-bahan di dalamnya. Dalam konteks sosiologis, faktor masyarakat merupakan tempat timbulnya suatu kejadian, permasalahan, atau tujuan sosial.
2.
Tahapan politis. Tahapan ini berusaha mengidentifikasi problem dan kemudian merumuskannya lebih lanjut. Di sini, seluruh ide atau gagasan yang berhasil diidentifikasi dalam proses sosiologis itu dipertajam lebih lanjut dalam wacana yang lebih kritis oleh
kekuatan yang ada dalam masyarakat. Tahapan politis inilah yang sangat menentukan apakah ide
atau gagasan itu perlu dilanjutkan atau
diubah untuk selanjutnya memasuki tahapan
yuridis.
Proses Transformasi Sosial dalam Hukum
Proses-proses transformasi dari keinginan-keinginan sosial menjadi peraturan-peraturan perundang-undangan, baik dalam konteks politis maupun sosiologis, tidak hanya terjadi pada
saat pembentukan peraturan. Dalam tahap bekerjanya pun, proses-proses tersebut berlangsung dan mengoreksi secara terus-menerus produk hukum yang telah dihasilkan tersebut.
Setelah tahapan sosiologis dan politis
dilalui,
barulah proses
pembuatan hukum memasuki tahapan ketiga, yang disebut tahapan yuridis. Tahapan ini memfokuskan diri pada masalah penyusunan dan pengorganisasian
masalah-masalah yang diatur dalam rumusan- rumusan hukum. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam proses pengorganisasian
dan penyusunan rumusan-rumusan bukum
itu antara lain consistency, sound
arrangement, dan
normal usage.
3.
Pergeseran Paradigma Hukum: Dari Paradigma Kekuasaan menuju Paradigma Moral
Menuju perombakan suatu paradigma
yaitu paradigma kekuasaan dengan paradigma moral di harapkan agar hukum tampil
lebih demokratis dan dapat merespon kebutuhan dan harapan bangsa Indonesia saat
ini. Artinya Indonesia harus bisa
menyesuaikan dan menata hukumnya bukan hanya memperhatikan
karakteristik-karateristik lokal, melainkan juga perubahan-perubahan yang
terjadi di tingkat global.
Dinamika Pembangunan di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah, terjadi beberapa hal mendasar dalam pembangunan.
1.
Strategi dan implementasi pembangunan
dengan model pertumbuhan ternyata membawa
implikasi yang terlalu jauh, yakni tidak berjalannya trickle down effects,
melebarnya jurang
pemisah antara
strata
sosial dan
antardaerah, serta
kehancuran sektor-sektor usaha kecil
termasuk sektor industri rumah tangga dan sektor informal.
2.
Tumbuh dan berkembangnya
rezim-rezim yang represif, yang menurut Herbert
Feithdisebut
sebagai repressive developmentalist
regimes,yangcenderung
korup;
terhapusnya partisipasi politik rakyat; terbatasnya kebebasan pers; sangat minimnya peran serta masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan, pelanggaran
hak
asasi manusia (HAM); dan perampasan hak-hak rakyat.
Tipologi Kekuasaan dan Hukum Orde Baru
Potret hukum yang diwarnai oleh sistem politik menyebabkan hukum
hanyalah sebagai
alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Tatanan hukum yang dikembangkan
menjadi
sangat elitis dan konservatif, karena proses pembentukannya sangat sentralistik dan tidak partisipatif. Otonomi politik tampak lebih mendominasi.
Kekuasaan pemerintah Orde Baru yang besar dan bahkan sudah di luar proporsi terus berusaha menumbuhkan
hegemoni kekuasaan yang luar biasa dengan berbagai cara, di
antaranya:
1.
Membangun sistem kepartaian yang hegemonik.
2.
Tumpuan kekuatan Orde Baru ditopang oleh menyatunya Presiden Soeharto, ABRI,
Golkar, dan
Birokrasi.
3.
Membangun konfigurasi otoriter melalui penciptaan justifikasi konstitusional
sehingga otoriterisme diciptakan berdasarkan peraturan yang secara formal ada atau dibuat.
Keadaan yang demikian itu menyebabkan
hukum
kehilangan otonomi, otentisitas, dan profesionalisme dalam bekerjanya. Hukum menjadi terkooptasi oleh kekuasaan dan tidak
mampu bekerja dan menyelesaikan pekerjaannya dengan benar.
Paradigma Kekuasaan dan Tatanan Hukum
Hukum yang dilandasi paradigma kekuasaan menghadirkan hukum yang tidak
demokratis, yakni suatu sistem hukum yang totaliter. Sistem hukum seperti itu memiliki cirri- ciri antara lain:
1. Sistem hukumnya terdiri dari peraturan
mengikat yang isinya berubah-ubah tergantung putusan penguasa yang dibuat secara manasuka.
2.
Dengan
teknik tertentu, hukum dipakai sebagai “kedok”
untuk menutupi penggunaan kekuasaan secara manasuka. Hukum diterima berdasarkan kesadaran palsu dan menurunkan derajat manusia.
3.
Penerimaan sosial terhadap hukum didasarkan pada kesadaran
palsu dan merendahkan
derajat manusia.
4.
Sanksi-sanksi hukum mengandung
perusakan terhadap ikatan-ikatan sosial serta
menciptakan suatu suasana nihilisme sosial yang menyebar.
5.
Tujuan akhirnya, suatu legitimasi institusional,
terlepas dari seberapa besar diterima
oleh masyarakat.
Tatanan hukum yang demikian itu juga
menunjukan adanya
hierarki. Tetapi
hiearki
tersebut tidak didasarkan pada logika hukum, melainkan logika kekuasaan. Tanpa disadari
atau tanpa melalui jalur formal, negara kita telah berubah dari “negara hukum”
menjadi
“negara kekuasaan”. Kualitas hukum kita menjadi hukum otoriter dengan memperlihatkan
ciri-ciri otoritarian antara lain:
1. Kaidah dasar totaliter
2. Kaidah dasar di atas konstitusi.
3. Hukum yang membudak.
4. Birokrasi totalitarian.
5. Trias politika pro-forma.
6. Kepatuhan terpaksa.
7. Tipe rekayasa merusak.
Reformasi
dan Pergeseran Paradigma Hukum
Menyadari
segala kelemahan penataan hukum pada masa lalu, maka tatanan hukum yang
dibentuk memenuhi criteria berikut ini:
1.
Hukum
tidak boleh hanya merupakan alat bantu untuk mencapai rasionalitas ,akan tetapi
hukum itu sendiri harus rasionalitas.
2.
Untuk
menjamin agar karya hukum yang rasional dapat mewujudkan tujuannya ,harus
didukung oleh tindakan yang efisien oleh perangkat pelaksanaan hukumnnya.
3.
Tentang
pentingnya memasukan substansi kedalam bentuk hukum berkaitan sangat erat dengan
struktur sosial masyarakat,karena hukum seharusnya mewujdkan tujuan-tujuannya.
Oleh sebab
itu, kalau tidak ingin gagal maka reformasi hukum harus mengacu pada kerangka
pemikiran di atas agar menjadikan hukum sebagai institusi yang mampu
menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan zaman.
Transformasi
Hukum dalam Era Global
Berbicara
tentang transformasi sosial, Umar Kayam
mengartikan pembangunan sebagai
suatu proses pengalihan total menuju sosok yang baru semakin mapan.
Penataan terhadap
tatanan hukum agar tidak menghambat proses global tersebut. Dalam penataan
hukum itu, tidak hanya memperhatikan cita hukum dan politik hukum nasional
serta karateristik lokal (local
characteistic). Akan tetapi, hendaknya juga memperhatiakan kecenderungan
yang telah diakui negara yang telah mengikuti global trend, yang tampak dalam instrumen-instrumen internasional,
seperti deklarasi, konvensi, code of conduct, dsb.
BAGIAN KEDUA: BUDAYA HUKUM
1.
Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum
Pada
hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang abstrak. Sekalipun
abstrak, tapi ia dibuat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sosial
sehari-hari .
Oleh sebab
Karena itu penegakan hukum hendaknya tidak dilihat sebagai suatu yang berdiri
sendiri,melainkan selalu berada diantara berbagai faktor (interchange). Dalam konteks yang demikian itu,titik tolak pemahaman
terhadap hukum tidak hanya sekedar sebagai suatu “rumusan hitam putih” (blue print) yang ditetapkan dalam
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Hukum hendaknya dilihat sebagi
suatu gejala yang dapat diamati di dalam masyarakat antar lain melalui tingkah
laku warga masyarakatnya.
Hukum
Sebagai Suatu Sistem
Bicara soal
hukum sebagai suatu sistem, Lawrence M. Friedman mengemukakan adanya
komponen-komponen yang terkandung didalam hukum itu:
1.
Komponen
yang disebut dengan struktur. Ia adalah kelembagaan yang diciptakanoleh sistem
hukum seperti pengadilan negeri,pengadilan administrasi yang mempunyai fungsi
untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini
memungkinkan pemberian pelayanan dan penggarapan hukum secara teratur.
2.
Komponen
substansi yang berupa norma-norma hukum, baik itu peraturan-peraturan,
keputusan-keputusan dan sebagainya yang semmuanya dipergunakan oleh para
penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur.
3.
Komponen
hukum yang bersifat struktural. Ia terdiri dari ide-ide, sikap-sikap, harapan
dan pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini dibedakan antara internal legal culture yakni kultur
hukumnya lawyers dan judged’s, dan External legal culture yakni kultur
hukum mmasyarakat pada umunya.
Semuanya
merupakan pengikat sistem serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah
kultur bangsa secara keseluruhan.
Komponen-komponen
yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Hukum
senantiasa di batasi oleh situasi atau lingkungan diman ia berada, sehingga
tidak heran kalau terjadi ketidakcocokan antar apa yang seharusnya (das sollen) dan ap yang senyatanya (das sein). Dengan kata lain, muncul
diskrepansi antara law in the books
dan law in action.
Apa bila
hendak melihat hukum sebagi suatu sistem,maka penegakan hukum sebagai suatu proses akan melibatkan bebagai
macam komponen yang saling berhubungan,dan bahkan ada yang memiliki tingkat
ketergantungan yang cukup erat. Akibatnya ketiadaan salah satu komponen dapat
menyebabkan inefficient maupun useless sehingga tujuan hukum yang
dicita-citakan itu sulit terwujud. Komponen-komponen tersebut meliputi personel, information, budget, facilities
substantive law, procedural law , decision rules, dan decision habits. Sealin itu
komponen “manusia” perlu mendapat perhatian juga karena manusia yang yang
membuat, melaksanakan, maupun yang terkena sasaran peraturan.
Hukum
dan Struktur Masyarakat
Hubungan
fungsional antara sistem hukum dan masyarakatnya diuraikan oleh Emile Durkheim
yang membedakan antara masyarakat dengan “solidaritas mekanik” dengsn
masyarakat “solidaritas organik”. Masyarakat solidaritas mekanik mendasarkan
diri pada sifat kebersamaan antara anggota-anggotanya. Di sini tipe hukumnya
bersifat represif, karena hukum demikian itu mampu mempertahankan kebersamaan
tersebut. Sebaliknya masyarakat, dengan solidaritas organik mendasarkan diri
pada individualisme dan kebebasan-kebebasan para anggota-anggotanya. Sistem hukum “restitutif” merupakan hukum yang
sesuai untuk menjaga kelangsungan masyarakat dengan solidaritas organik.
Hubungan
antara perkembangan hukum dengan perkembangan masyarakat ini juga diuraikan
oleh H.L.A Hart, yang memperkenalkan dua tipe masyarakat yaitu:
1.
Tipe
masyarakat yang didasarkan atas primary
rules of obligation.
Dalam tipe
ini kita tidak menemukan peraturan yang terperinci dan resmi, dan tidak juga
dijumpai adanya diferensiasi dan spesialisasi badan-badan penegak hukum. Hal
ini disebabkan masyarakatnya masih merupakan komunitas kecil yang didasarkan atas kekerabatan.
2.
Tipe
masyarakat secondary of obligation
Dalam tipe
ini sudah ditemui adanya diferensiasi dan institusionalisasi di bidang hukum
seperti rules of recogniton yang
menentukan apa yang merupakan hukum,
rules of change yaitu bagaimana melakukan perubahan, rules of adjudication yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa.
Dengan
beberapa tipe model masyarakat tersebut dapatlah dikatakan bahwa, perkembangan
masyarakat ikut menetukan tipe hukum mana yang berlaku. Hubungan fungsional
keduanya merupakan dasar bagi penegak hukum. Itu berarti, apabila tipe
masyarakatnya sudah tergolong modern, maka pola penegakkan hukumnya pun
ditandai oleh adanya unsur birokrasi yang merupakan salah satu ciri masyarakat
tersebut .
2.
Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum
Fungsi hukum
yang diharapkan dewasa ini adalah melakukan usaha untuk menggerakan rakyat agar
bertingkah laku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu tujuan yang
dicita-citakan. Kesadaran hukum
masyarakat itu menurut Lawrence M.Friedman, terkait erat dengan masalah
budaya hukum, sebab ini yang sangat mempengaruhi sikap-sikap bekerjanya hukum.
Hukum
Modern dan Budaya Hukum
Menurut Marc
Galanter, sistem hukum yang modern mempunai ciri-ciri tertentu, seperti di
antaranya adalah bersifat territorial, tidak bersifat personal, universal,
rasional; hukum dinilai sudut kegunaanya sebagai sarana untuk menggarap
masyarakat.
Prinsip
legalitas pembuatan hukum menurut Lon Fuller sbb:
1. Harus ada
peraturannya terlebih dahulu.
2. Peraturan itu
harus diumumkan.
3. Peraturan itu
tidak boleh berlaku surut.
4. Perumusan
peraturan-peraturan harus dapat dimengerti oleh masyarakat.
5. Hukum tidak
boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin.
6. Diantara sesama
peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
7.
Peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering dirubah-rubah.
8. Harus
terdapat kesesuaian antar tindakan-tindakan para pejabat hukum dan
peraturan-peraturan yang telah di buat.
Kegagalan untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut dapat
menimbulkan hasil-hasil yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari
isi peraturan itu. Namun demikian, sebaik apapun hukum yang dibuat, pada
akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum masyarakat yang bersangkutan.
Kegagalan
Hukum Modern: Kasus Bagi Hasil
Untuk menjamin dan menjaga agar kegagalan hukum modern khususnya pada
kasus bagi hasil ini, maka pemerintah mengeluarkan UUPBH dengan tujuan untuk
mengangkat kedudukan petani penggarap dengan melindungi hak-haknya. UUPBH
menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi sebagai berikut:
a.
Tanah
garapan tidak boleh melebihi 3 ha.
b.
Perjanjian
dibuat secara tertulis dihadapan kepala desa dengan 2 orang saksi.
c.
Batas
waktu minimum untuk masa perjanjian adalah 3 tahun untuk tanah biasa, dan 5
tahun untuk tanah kering.
d.
Besarnya
bagi hasil tanah bagi penggarap dan pemilik ditetapkan oleh Bupati.
e.
Pembayaran
atau pemberian benda apapun kepada pemilik dengan maksud untuk memperoleh tanah
garapan adalah terlarang.
f.
Penuntutan
perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu hanya mungkin dengan persetujuan
kedua bela pihak atau atas permintaan pemilik dalam hal penggarap tidak
mengusahakan tanah sebagaimana mestinya.
g.
Kewajiban
untuk membayar pajak dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.
Hubungan antara kedua bela pihak, yaitu pihak yang satu menyerahkan
tanahnya untuk digarap oleh pihak yang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya
akan dibagi. Sistem bagi hasil ini disebut maro,
mertelu yaitu institusi bagi hasil tradisional yang telah dikenal dan
hingga saat ini masih dijalankan didalam masyarakat. Dengan lahirnya UUPSH tersebut
adalah untuk melakukan perubahan terhadap suatu lembaga yang telah ada didalam
masyarakat. Perubahan yang dilkukan melalui
UU tersebut adalah:
a.
Mengenai
batas waktu minimum bagi perjanjian.,
b.
Adanya
syarat formal bagi pembuatan perjanjian.,
c.
Masuknya
unsur pemerintahan kedalam unsur perjanjian; dan
d.
Adanya
larangan untuk memberikaan sesuatu kepada pemilik guna memperoleh tanah
garapan.
Keempat hal tersebut digunakan sebagai indikator, untuk mengetahui
bagaimanakah pengetahuan masyarakat terhadap UU itu ternyata, dari laporan
penelitian menunjukan bahwa “Tingkat Kebutaan UU melampaui 75% , oleh karena
itu agar hukum dapat dipakai sebagi sarana untuk merubah tingkah laku
masyarakat , maka komunikasi badan mpembuat UU dengan masyarakat sebagai adresat merupakan faktor yang amat
penting. Namun demikian, hasilnya hanya mencapai 6,13% dari seluruh proses
komunikasi.
Kegagalan
Hukum Moderen: Kasus perkawinan
Suatu ilustrasi yang sangat
menarik akan di tampilkan disini yaitu tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Penelitian yang dilakukan oleh PSHP Fakultas Hukum
Airlangga tentang efektifitas ketentuan umur minimal untuk kawin (19 tahun
untuk pria dan 16 tahun untuk wanita) di Bangkalan, Madura. Penelitian ini
ingin mengetahui bagaimanakah bekerjanya
ketentuan hukum yang baru itu
khususnya mengenai batas umum untuk kawin. Untuk dapat mentaati ketentuan
tersebut tentunya masyarakat sasaran pengaturan UU itu terlebih dahulu harus
mengetahui isinya. Pada kenyataan, laporan penelitian justru memberikan data
yang sebaliknya.
Temuan-temuan sebagaimana di uraikan diatas mengisyaratkan, bahwa untuk
memasukan nilai-nilai yang baru kedalam masyarakat memerlukan perunahan sikap
dari anggota-anggota masyarakatnya. Oleh karena itu, pengembangan berbagai
strategi untuk menanamkan konsep-konsep dan persepsi baru perlu dilakukan untuk
mempermudah dan membantu masyarakat beradaptasi dengan realitas baru itu. Jadi
disini kita berhadapan dengan usaha untuk merombak cara pandang maupun
nilai-nilai yang selama ini telah berfungsi dengan baik.
Hukum
Sebagai Karya Kebudayaan
Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan
suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat selalu mengahsilkan kebudayaan,
maka hukum pun selalu ada disetiap masyarakat , dan tampil dengan kekhassanya
masing-masing. Setiap bangsa mengembangkan sendiri kebiasaan hukumnya sebagaimana
mereka mempunyai bahasanya sendiri juga. Tidak ada hukum dari suatu negara
tertentu dipakaikan untuk bangsa dan negara lain dan merupakan pencerminan volksgeit, jiwa rakyat, yang tidak
mudah diterjemahkan melalui perbuatan
hukum dewsa ini.
Komponen
Budaya Hukum
. Budaya hukum merupakan unsur yang paling penting untuk memahami
perbedaan-perbedaan yang terdapat di
antara sistem hukum yang satu dangan yang lain. Adapun budaya hukum diperinci
kedalam “nilai-nilai hukum prosedural” dan “nilai-nilai hukum substantif
Dalam pemahaman yang lebih luas Lawrence M.Friedman memasukan komponen
budaya hukum sebagai bagian integral
dari suatu sistem hukum. Friedman membedakan unsur sistem kedalam 3 macam
yaitu:
1.
Struktur
Yaitu komponen kelembagaan yang diciptakan
oleh sistem hukum dengan berabgai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya
sistem hukum.
2.
Substansi
Yaitu komponen luaran dari suatu sistem
hukum ,termasuk didalamnya norma-norma yang antara lain berwujud peraturan
perundang-undangan.
3.
Kultur
(buadaya)
Yaitu komponen nilai-nilai dan sikap-sikap
yang merupakan pengikat sistem itu,serta menentukan tempat sistem itu di
tengah-tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.
Menuju
Efektifitas Hukum
Sitem hukum efektif menurut Fuller terjadi “bila perilaku-perilaku
manusia didalamn masyarakat sesuai apa yang di tentukan di dalam aturan-aturan
hukum yang berlaku”, selain itu untuk
mengefektifkan sistem hukum menurut menurut Paul dan Dias mengajukan 5 syarat
yang harus dipenuhi yaitu:
1.
Mudah
tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami.
2.
Luas
tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum
yang bersangkutan itu.
3.
Efisien
dan efektifnya mobilisasi aturan-aturan hukum.
4.
Adanaya
mekanisme peneyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki
oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa.
5.
Adanya
anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa
aturan-aturan dan pranata-pranata hukum memang sesungguhnya berdaya kemampuan
yang efektif.
Komunikasi hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar
hukum berlaku efektif. Selain itu,faktor sarana juga perlu diperhatikan dalam
penyampaian isi suatu peraturan.
Melembagakan
Nilai Hukum Baru
Untuk dapat menanamkan nilai-nilai hukum baru sehingga dapat melembaga
sebagi pola-pola tingkah laku yang baru di masyarakat, maka perlu adanya proses
pelembagaan dan internalisasi dalam rangka pembentukan kesadaran hukum masyarakat.
Sistem pengawasan yang rapi harus pula di kembangkan, serta usaha-usaha
untuk menyadarkan mereka tentang unsur-unsur baru tersebut terus ditanamkan dan
ditegaskan serta di butuhkan komitmen
yang tulus dan kemampuan yang tinggi dari para petugas dalam
mengimplementasikan kebijaksanaan yang tertuang dalam hukum itu.
3.
Pembinaan Kesadaran Hukum
Membina kesadaran hukum adalah suatu pembaharuan sosial yang dewasa ini
menjadi perhatian pemerintah dan mulai digalakan dalam berbagai usaha
pembangunan. Hal itu penegasannya dituangkan dalam ketetapan MPR NO.
IV/MPR/1978 mengenai GBHN dalam hal hukum tertib hukum dan penegakan hukum.
Penegasan hal ini dirumuskan sebagai berikut:
a.
Pembangunan
di bidang hukum didasarkan atas landasan tertib hukum seperti terkandung dalam
pancasila dan UUD 1945.,
b.
Guna
meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam mengayomi masyarakat, yang
merupakan masyarakat bagi terciptanya stabilitas nasional yang mantap, maka
aparatur pemerintah pada umumnya dan aparatur penegak hukum pada khususnya
perlu terus menerus dibina dan dikembangkan untuk peningkatan kemampuan serta
kewibawaanya.
c.
Pembangunan
dan pembinaan di bidang hukum diarahkan agar hukum mampu memenuhi kebutuhan
sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan, sehingga dapat diciptakan
ketertibaan dan kepastian umum.
d.
Usaha-usaha
penertiban badan-badan penegak hukum perlu dilanjutkan.
e.
Meningkatkan
kesadaran hukum sehingga masyarakat menghayati hak dan kewajibannya.
f.
Meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana
penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan pembinaan perlindungan harkat
dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum sesuai UUD 1945.
Jadi, tegaknya suatu peraturan hukum baru akan menjadi kenyataan
bilamana didukung oleh adanya kesadaran hukum dari segenap masyarakat.
Terminologi
Kesadaran Hukum
Keadaran hukum masyarakat merupakan semacam jembatan yang menghubungkan
antara peraturan-peraturan hukum dengan
tingkah laku hukum anggota masyarakatnya.
Lawrence M. Friedman menyebutnya sebagai bagian dari “kultur hukum”
yaitu nilai-nilai, sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Selain itu
menurut Sunaryati hartono betapaun kesadaran hukum itu berakar di dalam
masyarakat, ia merupakan abstraksi yang lebih rasional daripada perasaan hukum
yang hidup didalam masyarakat.
Uraian di atas telah menjelaskan tenetang berbagai pendapat tentang
terminologi kesadaran hukum . Tampak bahwa kesadaran bahwa konsep
kesadaran hukum itu sendiri mengandung
unsur nilai yang tentunya sudah dihayati oleh warga masyarakat semenjak kecil
dan sudah melembaga serta mendarah daging . Proses pelembagaan hukum ini
akhirnya menjadi pedoman yang dipertahankan oleh masyarakat dan ditanamkan
melalui proses sosialisasi , selanjutnya apa yang dihayati dan dilembagakan itu
diwujudkan dalam bentuk norma-norma yang menjadi patokan bagi warga
masyarakatnya dalam bertingkah laku.
Sikap
Moral : Kunci Kesadaran Hukum
Kesadaran hukum ini timbul
apabila nilai-nilai yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu merupakan
nilai-nilai yang baru. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari meluasnya fungsi
hukum yang tidak sekedar merekam kembali pola-pola tingkah laku yang sudah ada
di dalam masyarakat. Ia justru menjadi sarana penyalur
kebijaksanan-kebijaksanaan pemrintah, sehingga terbuka kemungkinan akan muncul
keadaan-keadaan baru untuk merubah sesuatu yang ada.
Motifasi
Bertingkah Laku
Masyarakat bertindak sesuai ketentuan hukum, sangat tergantung pada
pengefektifan bebrapa variabel dibawah ini sebagai berikut:
1. Apakah
normanya telah disampaikan.
2. apakah
normanya serasi dengan tujuan-tujuan yang diterapkan bagi posisi itu.
3. Apakah si
pemegang peran digerakan oleh motivasi yang menyimpang.
Pendapat Seidman tersebut menunjukan bahwa selain sosialisasi dan
singkronisasi produk hukum, faktor motifasi juga ikut menentukan tingkah laku
sesorang pemegang peran dalam menaati isi produk hukum tersebut.
Fungsi hukum tidak hanya sebagi sosial kontrol melainkan jug a sebagai
saran umtuk mewujudkan suatu masyarakat (baru) yang dicita-citakan. Jadi
sebenarnya hukum sedang di pahami sebagi sesuatu konsepsi yang modern, dimana hukum di gunakan sebagi
sarana untuk melakukan social engineering. Itu artinya, hukum
diharapkan untuk dapat membentuk, mengarahkan, dan pada saat-saat tertentu juga
merubah masyarakat menuju sesuatu yang dicita-citakan .
Faktor
Penentu Kesadaran Hukum
Salah satu sumber bagi tidak di taatinya suatu peraturan adalah faktor
inkonsistensi dalam pelaksanan hukum disamping faktor komunikasi hukumnya juga.
Pengimplementasian sanksi juga sangat ditentukn oleh faktor komunikasi yang
baik untuk memperkenalkan produk hukum itu kepada masyarakat dan seluruh
perngkat pelaksanaanya. Selain faktor komunikasi, pelaksanaan hukum yang
dilakukan secara bersungguh-sungguh dan konsekuen juga akan sangat menentukan
proses bekerjanya hukum itu.
Pertimbangan
Pembuatan Hukum
Perlu kita pahami bersama bahwa
sebenarnya pembuatan hukum itu merupakan suatu “rencana bertindak” (plan of action) . Artinya apa yang
disebut sebagi UU itu hanyalah sekedar kerangka atau pedoman bertindak, dan
oleh karena itu masih harus dilengkapi
dengan segala macam sarana yang dibutuhkan agar dapat dijalankan
semestinya. Kita juga harus menaruh
perhatian kepada berbagai faktor maupun
kekuatan sosial yang melingkupinya
. A. Podgorecki mengembangkan empat asas pokok yang perlu diperhatikan
dalam mewujudkan tujuan sosial yang dikehendaki, yakni:
1. Suatu
penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi.
2. Membuat
suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan menempatkannya dalam
suatu urutan hirarki . Analisis di sini meliputi pula perkiraan mengenai apakah
cara-cara yang akan dipakai tidak akan lebih menimbulkan suatu efek yang baik
malah memperburuk keadaan.
3. Melakukan
verifikasi hipotesis-hipotesis, seperti apakah suatu cara yang dipikirkan untuk
dilakukan itu pada akhirnya membawa kita kepada tujuan sebagaimana yang
dikehendaki.
4. Pengukuran
terhadapa efek peraturan-peraturan yang ada.
Pembinaan
Kesadaran Hukum
Masalah pembinaan kesadaran ini menjadi penting artinya bila kita
bicara soal hukum sebagi suatu konsep yang modern. Di sini kita tidak hanya
melihat masalah pengaturan hukum itu dari segi legitimasinya, melainkan juga
dari segi efektifitasnya. Oleh karena itu, jika kita ingin agar hukum (modern)
itu dapat terlaksana dengan baik, maka struktur masyarakat pun perlu
dikembangkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan hukum yang
demikian itu. Ini penting mengingat struktur masyarakat Indonesia hingga saat
ini belum seluruhnya memenuhi tuntutan sistem hukum modern
Tidak ada komentar:
Posting Komentar