BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kondisi hukum pidana materiel khususnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) Indonesia yang masih berlaku saat ini, masih merupakan KUHP peninggalan
kolonial Belanda yang masih menyisakan pelbagai persoalan. Hal inilah yang
menyebabkan KUHP kita masih dianggap tidak sejalan dengan rasa keadilan dan
perkembangan zaman.
Berkenaan dengan kondisi KUHP kita, Kongres PBB menyebutkan bahwa KUHP
sebagai hasil peninggalan masa kolonial bersifat telah usang, tidak adil.
Bahkan ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan.[1]
Kondisi yang demikian menurut Barda Nawawi Arief mengharuskan adanya
re-orientasi dan re-evaluasi terhadap KUHP kita dengan mendasarkan pada
nilai-nilai sosiopoloitik, sosiofolosofis dan sosiokultural bangsa Indonesia,
sebab bukan merupakan refoermasi (pembaharuan) hukum pidana jika reorientasi
dan re-evaluasi masih mendasarkan pada KUHP lama warisan penjajah.[2]
Namun
dalam melakukan kajian perbandingan ini
, hal yang paling utama dalam melakukan kajian ini, diperlukan tehnik atau metode
perbandingan terhadap KUHP yang berlaku di berbagai negara, sehingga
pembaharuan terhadap KUHP Indonesia, nilai-nilai keadilan dan kesesuai dengan
perkembangan zaman dapat diwujudkan.
Olenhya
itu dalam tugas mata kuliah kapita selekta Hukum pidana ini, penulis mencoba
melakukan kajian perbandingan hukum dengan pada “Pasal 1 (3), pasal 15 (2) KUHP Korea, Pasal 51 KUHP Norwegia, selanjunya
penulias melakukan telaah tentang ide dasar/konsep filosofis yang terkandung
dalam KUHP Greenland”.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka permasalahan yang hendak di angkat dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a.
Jelaskan dan bandingkan dengan KUHP
Indonesia materi yang diatur dalam pasal-pasal di Pasal1 (3) KUHP Korea, 15 (2)
KUHP Korea, dan pasal 51 Norwegia?
b.
Bagaimana ide dasar/konsep filosofis
yang terkandung dalam KUHP Greenland?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Materi
Yang Diatur Dalam Pasal-Pasal Negara Asing Dan Perbandingannya Dengan KUHP
Indonesia.
1. Pasal
1 (3) KUHP Korea
“Where a statute is changed after a sentence
imposed under it upon a criminal conduct has become final, with the effect that
such conduct no longer constitutes a crime, the execution of the punishment
shall be remitted”.
Komentar:
Dalam pasal ini dikatakan bahwa
“ Apabila suatu undang-undang berubah setelah pidana yang dijatuhkan
(berdasarkan Undang-undang itu) terhadap suatu perbuatan jahat berkekuatan
tetap, dengan akibat bahwa perbuatan itu tidak lagi merupakan suatu kejahatan,
maka pelaksanaan pidana itu akan dibatalkan/dihapuskan.[3]
Pasal 1 Ayat (3) KUHP Korea ini merupakan pengaturan tentang adanya suatu
perubahan undang-undang karena adanya putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum
tetap, di mana suatu perbuatan yang menurut undang-undang yang lama yang
dijadikan dasar putusan dianggap sebagai kejahatan, akan tetapi oleh
undang-undang yang baru perbuatan tersebut tidak lagi dianggap sebagai suatu
tindak pidana atau kejahatan, maka pelaksanaan atau eksekusi pidana itu
dibatalkan atau dihapuskan.
Pasal 1 ayat (3) KUHP Korea tersebut menunjukkan bahwa Undang-undang
Hukum Pidana Korea telah menganut aliran modern, di mana sanksi pidana berorientasi
pada individualisasi pidana yang menitik beratkan pada perbaikan atau
rehabilitasi, yang dalam hal ini mengadung asas modification of sanction, “the
Alteration/annulment/revocation of sanction atau ide redetermining of punishment.[4]
Ketentuan sebagaimana dalam pasal 1 ayat (3) KUHP Korea tersebut tidak
dijumpai dalam KUHP Indonesia yang saat ini berlaku. Kalau pun ada perubahan
terhadap undang-undang mengenai suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana
maka jangkauannya tidak sampai pada penghapusan pidana atau pembatalan terhadap
pelaksanaan pidana, tetapi hanya pada berat ringannya suatu sanksi yang
diterapkan. Itu pun tidak pada putusan hakim yang sudah berkekuatan tetap, Hal
demikian ditegaskan dalam pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia yang menyatakan “
jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam undang-undang, dipakai
aturan yang paling ringan bagi terdakwa.[5]
Jadi sekalipun ada perubahan terhadap undang-undang yang baru yang
menyatakan bahwa perbuatan yang pernah diputus itu tidak lagi merupakan tindak
pidana, dan hakim telah memutus suatu perkara dengan berkekuatan hukum tetap
berdasarkan undang-undang yang lama yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai
tindak pidana, maka putusan hakim itu harus tetap dijalankan atau dieksekusi. Dengan
demikian terpidana yang sedang menjalani masa pidananya tidak dapat dibebaskan.
Ini berbeda dengan di Korea, terpidana itu harus dibebaskan.
2. Pasal 15 (2) KUHP Korea
“Where a more severe punishment
is imposed upon a crime because of certain results, such higher punishment
shall not be applied if these results Wet not foreseable”
Komentar:
Dalam pasal tersebut ditegaskan
bahwa “apabila pidana yang lebih berat diancamkan terhadap akibat-akibat
tertentu dari suatu kejahatan, pidana yang lebih berat itu tidak diterapkan
apabila akibat-akibat itu tidak dibayangkan atau diduga sebelumnya.[6]
Pasal 15 ayat (2) KUHP Korea ini merupakan penegasan atas ajaran Erfolgshaftung yang tidak murni(
mengalami penghalusan atau modifikasi) Pasal ini hendak menegaskan bahwa untuk
dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan seseorang terhadap akibat yang
sebenarnya tidak dikehendaki tetap memerlukan unsur kesalahan (dolus atau
culpa) walaupun dalam bentuknya yang paling ringan.
Dalam KUHP Indonesia yang
berlaku perumusan tersebut tercermin dalam Pasal 187 yang menegaskan Barang
siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir diancam :
Ke-2. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karenanya
timbul bahaya bagi barang;
Ke-3. dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama
dua puluh tahun jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain
dan mengakibatkan matinya orang.[7]
Kemudian dalam Pasal 333 ayat
(3) jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama dua belas
tahun,[8]
dan dalam Pasal 354 ayat (2) jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.[9]
Pasal-Pasal dalam KUHP
Indonesia tersebut di atas menunjukkan perumusan delik-delik yang dikualifisir
atau yang diperberat oleh akibatnya.
3. Pasal 51 Norwegia
“An attempt shall be punished
by a milder penalty than a completed felony. The penalty may be reduced to less
than the minimum provided for such felony and to a milder form of punishment”.
Komentar:
Dalam Pasal 51 KUHP Norwegia tersebut dikatakan bahwa “percobaan dipidana
lebih ringan dari pada kejahatan selesai; pidana itu dapat dikurangi lebih
ringan dari pidana minimal yang ditetapkan untuk kejahatan yang bersangkutan
atau dikenakan jenis pidana yang lebih ringan.[10]
Pasal 51 Norwegia ini mengatur bahwa sanksi pidana percobaan ini lebih
ringan dari kejahatan yang selesai, jika dibandingkan dengan KUHP Indonesia ada
beberapa perbedaan mengenai pengaturan percobaan ini yaitu:
a. Dalam KUHP Norwegia berdasarkan Pasal 51 ini lamanya jumlah pidana yang
“lebih ringan” untuk percobaan tidak ditentukan secara pasti dalam
undang-undang, sedangkan dalam KUHP Indonesia ditentukan yaitu dapat dikurangi
sepertiga sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2). Jadi KUHP Indonesia dapat
dikatakan lebih pasti sekalipun terdapat kata dapat (sesuai terjemahan
Moeljatno)
b. Pemidanaan mengenai percobaan dalam KUHP Norwegia mengenai adanya
pengurangan berdasarkan minimum khusus sedang dalam KUHP Indonesia tidak
mengenal pidana minimum khusus jadi sanksi terhadap tindak pidana percobaan pun
tidak mengenal pengurangan berdasarkan sanksi pidana minimum khusus
c. Dalam penjatuhan sanksi berdasarkan pasal 51 KUHP Norwegia tidak hanya
pada jumlah atau lamanya pidana tetapi juga pada jenis pidananya, dalam KUHP
Indonesia hanya pada jumlah pidana saja.
B. Ide
Dasar/Konsep Filosofis Yang Terkandung Dalam KUHP Greenland
Konsep
dalam KUHP Greenland:
a. Perumusan delik tidak disertai dengan ancaman sanksi
à tidak digunakan istilah “pidana” (punishment),
tetapi “sanksi” (sanctions);
b. Sanksi ditempatkan dalam bagian lain secara umum
(ada 9 jenis) & berlaku untuk semua jenis tindak pidana.
c. Hakim bebas memilih satu atau beberapa sanksi, dan
juga bisa tidak memberikan sanksi apapun (Psl. 86).
Komentar:
Menurut Pendapat penulis bahwa dalam KUHP Greendland
ini untuk jenis verbal sanction menggunakan istilah “Warning” . Jenis sanksi
ini dimasukan sebagai jenis sanksi yang diatur dalam Bab 23 mengenai “sanctions” yang ada dalam ururtan
pertama dari Sembilan jenis sanksi yang disebut dalam pasal 85.
Selanjutnya dalam Bab 24 pasal 94 diatur khusus
mengenai “Warning”. Dalam pasal 94
dikemukakan:
“Where the court finds the accused guilty but
does not think it expedient ether to apply an authorized sancitonor to abstain
complete from the use of any sanction, it my deliver a warni g to the accused”.
Pasal 94 tersebut dapat diartikan sebagai berikut: “
Apabila pengadilan menemukan kesalahan terdakwa tetapi berpendapat bahwa adalah
bijaksana untuk menerapkan sanksi apapun, maka pengadilan dapat
menyampaikan/memberikan peringatan (Warning)
kepada terdakwa.
Bila diperhatikan
berdasarkan pasal 94 tersebut, sanksi “warning”
dapat diberikan apabila;
a. Hakim
menemukan kesalahan pada diri terdakwa,
b. Namun
hakim berpendirian bahwa tidak bijaksana baik untuk menerapkan sanksi apapun
Dari Pedoman yang demikian umum, demikian pula
pengaturan sebagai jenis pidana pertama dari 9 jenis sanksi yang tersedia,
terkesan bahwa sanksi peringatan (warning)
ini dapat diberikan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana apapun . Pasal
94 ini hanya memeberikan dasar kewenangan kepada hakim sekaligus pedoman dalam
memberikan “warning” tanpa
syarat-syarat untuk penjatuhannya.
Kesan Bahwa sanksi peringatan ( Warning) ini dapat diberikan kepada terdakwa yang melakukan tindak
pidana apapun dapat ditangkap pula dari orientasi pemidanaan yang dianut dalam
KUHP Greendland, yaitu sama sekali tidak mengatur mengenai jenis-jenis pidana
yang diterapkan secara khusus dalam pasal-pasal menegenai tindak pidana. Jadi
dalam hal ini hakim bebas untuk menukar jenis pidana apapun yang diatur dalam
KUHP Greendland.
Sehubungan dengan hal ini, dalam introduksi KUHP
Greendland yang ditulis secara bersama-sama oleh Le3onard Kaplan, Michael
Merrit dan Norval Morris dikemukakan bahwa:[11]
The Greendland
Criminal Code is Unique in is creation of a system of sanction which are
inspired not by the gravity of the offence it self, but by a desire to
rehabilitatie the offender and to protech society.... Our criminal code was
intended to preserve the existing pattrern of individualized treatment of
criminals without isolating them from society ....The outstanding
characteristic of the informal system of sanctions was its flexibility and its reflection
of the prison.
Syarat-syarat untuk penjatuhan “Warning” tidak diatur dalam KUHP ini. Pasal 94 hanya memberikan
dasar kewenangan kepada hakim sekaligus pedoman dalam memberikan “Warning” yaitu apabila pengadilan
menemukan kesalahan terdakwa tetapi berpendapat bahwa adalah tidak bijaksana
baik untuk menerapkan sanksi ataupun tidak menerapkan sanksi apapun.
Jadi dalam KUHP Greendland ini dalam menerapkan “warning” ini hanya sebagai perwujudan verbal sanction sebagai pidana non- custodial.
Jika dibandingkan dengan KUHP Indonesia “Warning”
ini hanya sebagai perwujudan verbal
sanction sebagai pidana non custodial
belum diatur dalam system pemidanaan di Indonesia pada saat ini (Ius constitutum), karena memang pada
saat dibuat KUHP belum mengantisipasi perkembangan tersebut, maka seyogyanya
perlu dipikirkan untuk merekomendasikan sanksi tersebut dalam kebijakan
formulasi hukum pidana di Indonesia yang akan dating (Ius constituendum).
Sebenarnya Menerapkan “warning” sebagai verbal sanction sebagai pidana non custodial, telah disebutkan dalam
KUHP Indonesia tetapi itu hanya sebagai pidana tambahan dari tindakan yang
dapat diberikan oleh hakim. Jadi sifatnya bukan sebagai pidana, juga sebagai
tindakan, hanya sebagai tambahan saja dari tindakan yang dapat dilakukan oleh
sipelaku tindak pidana tersebut seperti
yang di atur dalam pasala 24 UU No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak.
BAB III
PENUTUP
Dari penulisan Artikel ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang
diambil adalah berdasar pembahasan permasalahan disertai dengan uraian
penjelasannya, bahwa KUHP Korea,
Norwegia, dan Greenland ini tersebut
menunjukkan/telah menganut aliran modern,
di mana sanksi pidana/pemidannanya berorientasi
pada individualisasi pidana yang menitikberatkan pada perbaikan atau
rehabilitasi, yang dalam hal ini mengadung asas modification of sanction, “the
Alteration/annulment/revocation of sanction atau ide redetermining of punishment.
DAFTAR PUSTAKA
Barda
Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
, Kebijakan Hukum Pidana, 2008, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana ,
Jakarta.
, 2008, Perbandingan Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta.
, 2009, Tujuan dan pedoman pemidanaan, perspektif Pembaharuan Hukum Pidana
dan Perbandingan Beberap Negara, , Badan Penerbit Undip,
Semarang.
Moljatno, 1999, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.
[1]
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan
Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 2005:8
[2] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana, 2008:26
[4] Barda Nawawi
Arief, 2009, Tujuan dan pedoman pemidanaan, perspektif Pembaharuan Hukum Pidana
dan Perbandingan Beberap Negara,Semarang, Badan Penerbit Undip, h. 19
[11] Leonard Kaplan, Michael Merrit, Noval Merris, 1970,
Introduction of the Greendland Criminal
Code, London, Sweet &Maxwel Limited, , hal.1-3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar