BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sistem
hukum di dunia terbagi menjadi dua bagian yakni Common Law System dan Civil Law
System, keduanya mempunyai ciri khas yang berbeda. Dengan adanya
perbedaan tersebut maka timbul suatu metode perbandingan hukum.
Metode perbandingan hukum Mulai
berkembang abad 19. Berawal dari minat perseorangan, kemudian didukung oleh
kelembagaan seperti Institut Perbandingan Hukum di College de France tahun 1832
dan di University of Paris tahun 1846
Metode perbandingan hukum memiliki beberapa
tujuan diantaranya adalah untuk menemukan jawaban-jawaban yang tepat atas
problem-problem yang konkrit manakala adanya perbedaan system hukum di berbagai
belahan dunia yang sebenarnya memiliki tujuan yang paling hakiki adalah
untuk memberikan ketertiban dan kedamaian kepada masyarakat di suatu negara.
Sinzheimer mengatakan bahwa hukum
tidak bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang
abstrak melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu
dan manusia-manusia yang hidup maka diharapkan disaat melihat negara yang
berdasarkan hukum perbedaan system tidaklah menjadi masalah jika dapat
memberikan kebahagiaan bagi masyarakatnya.
Adanya dua
system hukum ini dapat berpengaruh pada hubungan-hubungan setiap
individu-individu dalam bermasyarakat, sebab hubungan antara
individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat
manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis,
makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon).[1]
Semua hubungan tersebut diatur oleh
hukum, semuanya adalah hubungan hukum (rechtsbetrekkingen).[2]
Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan hukum pada masyarakat
diadakan suatu kodifikasi seperti pada Civil Law System maupun tidak terkodifikasi
seperti pada Common Law System tetapi semuanya mempunyai tujuan luhur yaitu
menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi
hukum tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, ataupun tidak terkodifikasi,
hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan
masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan
langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum. Olehnya itu
kita dalam memulai merumuskan suatu peraturan atau perundang-undangan yang akan
diberlakukan, hal yang utama untuk memulainya yaitu kita perlu mengidentifikasi
suatu system hukum ada dalam masyarakat tersebut, selanjutnya memulai memahami
asas-asas pada system hukum tersebut. Jika hal ini dilaksanakan maka
hubungan-hubungan hukum dalam bermasyarakat akan kembali normal dan teratur.
Berangkat dari ilustrasi latar belakang di
atas, sehingga Penulis tertarik mengangkat judul Makalah ini tentang “Asas-asas
Hukum Pidana Menurut Civil Law System Dan Common Law System”.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka permasalahan yang hendak di angkat dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana
Pengertian Civi Law System dan Common Law System?
2. Bagaimana
asas-asas hukum pidana menurut Civil Law System Dan Common Law System?
C. Tujuan
Perumusan
tujuan makalah ini yaitu Untuk menambah wawasan dan mengetahui secara umum
tentang asas-asas hukum pidana menurut Civil Law System Dan Common Law System
terutama bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Civi Law System dan Common Law System
a. Pengertian
Civil Law System
“Civil Law” merupakan sistem hukum yang tertua dan paling
berpengaruh di dunia. Sistem hukum ini berasal dari tradisi Roman-Germania. Sekitar abad 450 SM,
Kerajaan Romawi membuat kumpulan peraturan tertulis mereka yang pertama yang
disebut sebagai “Twelve Tables of Rome”. Sistem hukum Romawi ini
menyebar ke berbagai belahan dunia bersama dengan meluasnya Kerajaan Romawi. Sistem hukum ini kemudian dikodifikasikan oleh Kaisar
Yustinus di abad ke 6. The Corpus Juris Civilis diselesaikan pada tahun
534 M. Sebagaimana istilah dalam bahasa asingnya yaitu:
“
Civil Lawmay be defined as that legal tradition which has its origin in Roman
Law, as codified in the Corpus Juris Civilis of Justinian, and subsequently
developed in Continental Europe and around the world. Civil Law eventually
divided into two streams: The codified Roman Law ( French Civil Code 1804 and
its progeny and imitators-continental Europe, Quebec and Louisiana ) and
uncodified Roman Law ( Scotland and South Africa ). Civil Law is highly
systematized and structured and relies on declarations of board, general
principles, often ignoring details.”
Apabila
diterjemahkan lebih kurang demikian: Civil Law (hukum sipil) dapat
didefinisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari Hukum Roma yang
terkodifikasi dalam Corpus Juris Civilis Justinian dan tersebar keseluruh benua
Eropa dan seluruh Dunia. Kode sipil terbagi ke dalam dua cabang, yaitu:
1. Hukum
romawi yang terkodifikasi ( Kode sipil Prancis 1804 ) dan daerah lainnya di
benua Eropa yang mengadopsinya, Quebec dan Lousiana; dan
2. Hukum
Romawi yang tidak dikodifikasi ( Skotlandia dan Afrika Selatan ). Hukum Kode
sipil sangat sistematis, terstruktur yang berdasarkan deklarasi para dewan,
prinsip-prinsip umum dan sering menghindari hal-hal yang detail.
System hukum sipil ini atau Civil Law System terus
berkembang sampai ketika Eropa mulai mempunyai pemerintahan sendiri, hukum
Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara.
Napoleon Bonaparte di Prancis dengan Code Napoleonnya di tahun 1804 dan
Jerman dengan Civil Codenya di tahun 1896. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat
Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius.[3]
Sistem
Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak
terikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang
terutama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Inkuisitorial maksudnya,
bahwa dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan besar dalam mengarahkan dan
memutuskan perkara. Hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai
alat bukti. Hakim dalam civil law berusaha mendapatkan gambaran lengkap dari
peristiwa yang dihadapinya sejak awal.
Bentuk-bentuk
sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan
perundang-undangan, hukum kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam
rangka menemukan keadilan, para yuris dan lembaga-lembaga yudisial maupun
quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber tersebut. Dari sumber-sumber itu,
yang menjadi rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum Civil Law adalah sebagai
berikut:
1. Peraturan
perundang-undangan.
Negara-negara penganut
civil law menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan
perundang-undangan. Semua negara penganut civil law mempunyai konstitusi
tertulis. Peraturan perundang-undangan mempunyai dua karakteristik, yaitu
berlaku umum dan isinya mengikat keluar. Sifat yang berlaku umum itulah yang
membedakan antara perundang-undangan dan penetapan. Penetapan berlaku secara
individual tetapi harus dihormati oleh orang lain. Sebagai contoh penetapan,
misalnya, pemberian grasi oleh Presiden Republik Indonesia melalui suatu
keputusan presiden ( Keppres ) kepada seorang terpidana yang putusan
pemidanaannya telah memiliki kekuatan yang tetap.
2.
Kebiasaan
Sumber hukum yang kedua
yang dirujuk oleh para yuris di negara-negara penganut Civil Law System dalam
memecahkan masalah adalah kebiasaan-kebiasaan. Pada kenyataannya, undang-undang
tidak pernah lengkap. Kehidupan masyarakat begitu kompleks sehingga undang-undang
tidak mungkin dapat menjangkau semua aspek kehidupan tersebut. Sedangkan dilain
pihak, dibutuhkan aturan-aturan yang dijadikan pedoman manusia dalam bertingkah
laku untuk hidup bermasyarakat. Dalam hal inilah dibutuhkan hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber hukum bukanlah kebiasaan, melainkan hukum kebiasaan.
Kebiasaan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Agar kebiasaan menjadi hukum
kebiasaan diperlukan dua hal, yaitu:
· Tindakan
itu dilakukan secara berulang-ulang dan;
· Adanya
unsur psikologis mengenai pengakuan bahwa apa yang dilakukan secara
terus-menerus dan berulang-ulang itu aturan hukum.
Unsur ini mempunyai
relevansi yuridis, yaitu tindakan itu bukan sekadar dilakukan secara
berulang-ulang, melainkan tindakan itu harus disebabkan oleh suatu kewajiban
hukum yang menurut pengalaman manusia harus dilakukan. Unsur psikologis itu
dalam bahasa latin disebut Opinio Necessitatis, yang berarti pendapat mengenai
keharusan bahwa orang bertindak sesuai dengan norma yang berlaku akibat adanya
kewajiban hukum.
3. Yurisprudensi
Ketika mengemukakan
bahwa suatu hukum kebiasaan berlaku bagi semua anggota masyarakat secara tidak
langsung, melainkan melalui yurisprudensi. Posisi yurisprudensi sebagai sumber
hukum di dalam sistem hukum Civil Law belum lama diterima. Hal itu disebabkan
oleh pandangan bahwa aturan-aturan tingkah laku, terutama aturan
perundang-undangan, ditujukan untuk mengatur situasi yang ada dan menghindari
konflik; dengan demikian, aturan-aturan itu dibuat untuk hal-hal setelah
undang-undang itu diundangkan. Undang-undang dalam hal demikian merupakan suatu
pedoman mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
b. Pengertian
Common Law System
Paham the rule of law
bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system.[4] Common Law System
lahir berdasarkan tradisi, costum dan berkembang dari preseden yang
dipergunakan oleh hakim untuk menyelesaikan masalah.
Sistem ini berlaku di Inggris dan sebagian besar negara jajahannya,
negara-negara persemakmuran antara lain Bahama, Barbados, Kanada, Dominica,
Kep. Fiji, Gibraltar, Jamaika, Selandia Baru, Togo, Amerika Serikat, dan
lain-lain. Dengan persentase sekitar 6,5% penduduk dunia atau sekitar 350 juta
jiwa.
Dalam
sistem ini tidak dikenal sumber hukum baku. Sumber hukum tertinggi hanyalah
kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan / telah menjadi keputusan
pengadilan. Sumber hukum yang berasal dari kebiasaan inilah yang kemudian
menjadikan sistem hukum ini disebut Common Law System atau Uri Written Law
(hukum tidak tertulis). Sumber-sumber hukum dalam sistem Anglo-Saxon pun
memiliki perbedaan fundamental dengan tidak tersusun secara sistematik dalam
hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental.[5]
Adapun
sumber-sumber hukum dalam sistem Common Law System, meliputi:[6]
1.
Yurisprudensi (judicial decisions)
Yakni hakim mempunyai
wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan
prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim–hakim lain
dalam memutuskan perkara sejenis (hukum hakim, rechterrecht, judge made law).
Dalam hal ini hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang
sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
2.
Statute Law
Yakni peraturan yang
dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-undang dalam sistem
kontinental. Statute Law merupakan sumber hukum kedua setelah yurisprudensi.
Untuk melaksanakan Statute Law dibuat perangkat peraturan pelaksanaan oleh
instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan. Fungsi Statute Law sebatas pelengkap
common law yang terkadang memiliki celah-celah, dan tidak ditujukan untuk
mengatur suatu permasalahan secara menyeluruh.
3.
Custom,
Yakni kebiasaan yang
sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga menjadi sumber
nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta membentuk norma-norma
hukum. Custom ini kemudian dituangkan dalam putusan pengadilan. Di Inggris
dikenal dua macam custom, yaitu local custom (kebiasaan setempat) dan
commercial custom (kebiasaan yang menyangkut perdagangan).
4.
Reason (akal sehat)
Reason atau common
senses berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber hukum yang lain tidak
memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani oleh hakim,
artinya tidak didapatkan norma hukum yang mampu memberikan penyelesaian
mengenai perkara yang sedang diperiksa. Reason merupakan cara penemuan hukum
dalam sistem common law ketika menghadapi masalah-masalah hukum yang tidak
ditemukan norma-norma hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain. Dengan
reason, para hakim dibantu untuk menemukan norma-norma hukum untuk memberikan
keputusan.
Prinsip
umum Common Law adalah sumber-sumber hukumnya tidak tersusun secara sistematik
dalam hirarki tertentu seperti pada sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam
sistem hukum Common Law System (Anglo Saxon) adanya ‘peranan’ yang diberikan kepada seorang hakim
yang berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan
menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar
yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang
yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan
prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain
untuk memutuskan perkara yang sejenis (pola pikir induktif). Dalam sisitem ini,
diberikan prioritas yang besar pada yurisprudensi dan menganut prinsip judge
made precedent sebagai hal utama dari hukum.
B. Asas-asas
Hukum
Pidana Menurut Civil Law System Dan Common Law System
Apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan mengenai
asas hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur penting dari peraturan
hukum. Barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini
merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan
hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali
disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya
peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum
ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan peraturan-peraturan
selanjutnya.
Menurut
van Elkema Hommes, asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma
hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu
berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum ialah
dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
Sedangkan
menurut P. Scholten, asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan
oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan
segala keterbatasannya sebagai pembawaan umum itu, tetapi yang tidak boleh
tidak harus ada.
Kalau peraturan hukum yang konkrit itu dapat diterapkan secara langsung pada peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak langsung. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkrit. Ini berarti menunjuk kepada kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang konkrit itu.
Kalau peraturan hukum yang konkrit itu dapat diterapkan secara langsung pada peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak langsung. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkrit. Ini berarti menunjuk kepada kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang konkrit itu.
Jadi,
dapatlah disimpulkan bahwa asas hukum pidana adalah pikiran dasar yang umum
sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan-peraturan yang konkrit
pada hukum pidana.
Dalam
membahas asas-asas hukum ini saya akan mencoba menjelaskan beberapa asas saja
yang utama dalam hukum pidana menurut kedua system hukum ini. Adapun asas-asas
system hukum tersebut sebagai berikut:
a. Asas-Asas
Hukum Pidana Civil Law System
1. Asas
Legalitas
Asas legalitas atau Nullum crimen
sine lege dan nulla poena sine lege. Asas ini lebih cocok untuk
hukum pidana tertulis (civil law). Sistem Civil Law System (Eropa continental)
cenderung menerapkan asas legalitas lebih kaku daripada penerapannya di negara
yang menganut system common law. Di Negara kontinental, asas legalitas
menjadi alat untuk membatasi kekuasaan negara.
2.
Asas Hakim tidak harus terikat pada putusan
pengadilan sebelumnya
Yaitu Hakim dalam memutuskan
perkara tidak selalu terikat kepada putusan-putusan hakim seblumnya, atau hakim
bebas memutuskan perkara sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
3.
Asas Hakim Terikat kepada Hukum Tertulis.
Yaitu Hakim dalam memutuskan
perkara harus berdasarkan hukum yang tertulis atau hakim tidak bisa memutus
suatu perkara jika dalam hukum tidak ada yang mengaturnya.
4.
Asas Kepastian
Kepastian hukumlah
yang menjadi tujuan hukum, dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis.
5.
Asas “tidak ada
hukum selain undang-undang”
Dengan kata
lain, hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang.
6.
Asas Adversary System
Pada Civil
Law system ini, hanya dalam perkara perdata yang melihat adanya dua pihak yang
bertentangan (penggugat dan tergugat) dan pada perkara pidana keberadaan
terdakwa bukan sebagai pihak penentang.
7.
Asas bebas
Yaitu kebalikan dari
azas precedent yaitu hakim tidak terikat kepada keputusan-keputusan Hakim
sebelumnya pada tingkat sejajar atau kepada Hakim yang lebih tinggi. Azas ini
dianut dinegara Belanda dan Perancis. Dalam praktek seperti dinegeri Belanda
azas ini tidak dilakukan secara konsekwen, banyak hakim-hakim masih menggunakan
keputusan-keputusan hakim yang lebih tinggi dengan beberapa alasan antara lain
:
a. Mencegah
terjadinya kesimpang siuran keputusan hakim sehingga mengaburkan atau tidak
tercapainya tujuan kepastian hukum.
b. Mencegah
terjadinya pengeluaran biaya yang tidak perlu karena pihak yang tidak puas akan
naik banding.
c. Mencegah
pandangan yang kurang baik dari atasan.
Kelebihan
system Civil Law System (Eropa Kontinental) , sistem hukumnya tertulis dan
terkodifikasi dengan terkodifikasi tersebut tujuannya supaya ketentuan yang
berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap
terjadi peristiwa hukum (kepastian hukum yang lebih ditonjolkan). Contoh tata
hukum pidana yang sudah dikodifikasikan (KUHP) di Indonesia , jika terjadi
pelanggaran tehadap hukum pidana maka dapat dilihat dalam KUHPidana yang sudah
dikodifikasikan tersebut. Sedangkan kelemahannya adalah sistemnya terlalu kaku,
tidak bisa mengikuti perkembangan zaman karena hakim harus tunduk terhadap
perundang-undang yang sudah berlaku (hukum positif). Padahal untuk mencapai
keadilan masyarakat hukum harus dinamis.
b.
Asas-Asas Hukum Pidana Common Law System.
Ciri
utama dari sistem Common Law System/Anglo Saxon Berdasar Asas Stare decesis/The
binding force of Precedent : yaitu azas
ini hakim terikat kepada keputusan-keputusan yang lebih dahulu dari hakim-hakim
yang sederajat atau oleh hakim yang lebih tinggi. Azas ini dianut oleh Negara
anglo saxon seperti Inggris, Amerika Serikat. zas ini berlaku berdasarkan 4
faktor yaitu :
a. Bahwa
penerapan pada peraturan-peraturan yang sama pada kasus-kasus yang sama
menghasilkan perlakuan yang sama bagi siapa saja yang datang ke Pengadilan;
b. Bahwa
mengikuti preceden secara konsisten dapat menyumbangkan pendapat untuk masalah-masalah
di kemudian hari;
c. Bahwa
penggunaan kriteria yang mantap untuk menempatkan masalah-masalah baru dapat
menghemat tenaga dan waktu;
d. Bahwa
pemakaian putusan-putusan yang terdahulu menunjukkan adanya kewajiban untuk
menghormati kebijaksanaan dan pengalaman Pengadilan generasi sebelumnya;
Dengan
demikian asas-asas hukum pidana dalam Common Law System (anglo saxon) ini dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Asas
Legalitas
Di Negara Common Law asas legalitas tidak begitu menonjol, karena
prinsip rule of law telah tercapai dengan berkembangnya konsep due
process of law.
2. Bertitik
tolak dari doktrin precedent dimaksud maka kekuasaan hakim di sistem Comman Law
(anglo saxon) sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan
yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan salah satu negara yang mengaut
sistem ini yaitu Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan
suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan dimaksud tidak dapat
diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian hakim
dapat menjatuhkan putusan sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan
asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari kekuasaan hakim pada sistem ini sangat
luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru,
maka nampaknya sistem hukum Comman Law System (anglo saxon) kurang memperhatikan kepastian
hukum. [7]
3. Ajaran
kesalahan dalam sistem hukum comman law dikenal dengan Mens-Rea yang
dilandaskan pada maxim “Actus non est reus mens rea” yang berarti suatu
perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah, kecuali jika pikiran orang
itu jahat.
4. Dalam
sistem hukum Comman Law atau Anglo Saxon pertanggungjawaban pidana tergantung dari
ada atau tidaknya “berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan sikap bathin yang
jahat. Namun demikian unsur sikap bathin yang jahat tersebut merupakan unsur
yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dahulu pada
perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan. Dalam perkembangan selanjutnya
unsur sikap bathin yang jahat tersebut tidak lagi dianggap sebagai syarat yang
utama, misalnya pada delik-delik tentang ketertiban umum atau kesejahteraan
umum.
5. Sistem
hukum yang menganut sistem Comman Law System atau anglo saxon tidak mengenal
adanya perbedaan kejahatan dan pelanggaran, sebagaimana halnya di negara-negara
yang menganut civil law atau eropa continental. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUH Pidana) sebagai hukum positif di negara Indonesia mengenal adanya
perbedaan di atas.
6. Sistem
hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara comman law atau anglo saxon
pada prinsipnya menganut sistem Acusatoir.
7. Asas
Adversary system yaitu pandangan bahwa di dalam pemeriksaaan peradilan selalu ada
dua pihak yang saling bertentangan, baik dalam perkara perdata maupun perkara
pidana.
Kelebihan
sistem hukum Common Law System (Anglo Saxon) adalah hakim diberi wewenang untuk
melakukan penciptaan hukum melalui yurisprudensi (judge made law). Berdasarkan
keyakinan hati nurani dan akal sehatnya keputusannya lebih dinamis dan up to
date karena senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Kelemahannya
adalah tidak ada jaminan kepastian hukumnya. Jika hakim diberi kebebasan untuk
melakukan penciptaan hukum dikhawatirkan ada unsur subjektifnya. Kecuali hakim
tersebut sudah dibekali dengan integritas dan rasa keadilan yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat membuat suatu kesimpulan
sebagai berikut ;
1. Pada
Umumnya antara dua system hukum ini mempunyai kelemahan dan kelebihan
masing-masing;
2. Pada
sistem hukum pidana civi law system dipengaruhi oleh sistem dari luar terutama
oleh sistem hukum adat.
3. Pada
hakikatnyapada Civil Law System ini, dalam menjalankan hukum secara sistematis,
kritis dan harmonis sesuai dengan dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam
politik hukum pidananya yang berlaku
4. Pada
system Common Law System sangat dipengaruhi asas Precendentnya.
5. Pada
sistem hukum Common Law System adalah hakim diberi wewenang untuk melakukan
penciptaan hukum melalui yurisprudensi (judge made law). Berdasarkan keyakinan
hati nurani dan akal sehatnya keputusannya lebih dinamis dan up to date karena
senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat..
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Barda nawawi arif, 2012, Perkembangan asas-asas hukum pidana
Indonesia, Badan penerbit Undip, semarang
Darji Darmodiharjo & Shidarta, 1995,
Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
L.J. van Apeldoorn, 2000, pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya
Paramita, Jakarta,
Miriam Budiardjo, 1998,
Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia; Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh
Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya.
B. Majalah/Makalah
Achmad syauqi et all, 2012, Sejarah
dan politik hukum, Makalah Fakultas Hukum Universitas Mataram.
C.
Website
[1]
Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 73.
[2]
L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum,
P.T. Pradnya Paramita, Jakarta,
2000, hlm. 6.
[3]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 57.
[4]
Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi
Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh
Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi
Negara, Bina Ilmu, Surabaya, h. 72.
[5] Achmad syauqi
et all, 2012, Sejarah dan politik hukum, Makalah Fakultas Hukum Universitas
Mataram, h.13
[6]
Ibid.
[7] http://hukum-on.blogspot.com/2013/01/Perbandingan-Sistem-Hukum-Pidana-Anglo-Saxon-Dan-Sistem-Hukum-Pidana-Nasional.html
salam Pak La Jaudi, S.H.,M.H, perkenalkan saya Harris Mahasiswa Fakultas Hukum Unikarta di Tenggarong Kutai Kartanegara,saya mau tanya apakah bapak ada tulisan di Blog Bapak yang menjelaskan khusus mengenai Sistem Hukum Civil Law.
BalasHapus