USULAN PENELITIAN
PROPOSAL
TESIS
Diajukan
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Fakultas
Universitas Islam Sultan Agung
Oleh
:
La Jaudi, SH
N.I.M. : MH.12.21.1339
Program
Studi : Ilmu Hukum
|
PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
PERSETUJUAN
MENEMPUH UJIAN TESIS
Tesis ini
telah di periksa dan di setujui oleh pembimbing untuk diajukan dalam ujian
Tesis pada program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam
Sultan Agung.
Nama :
LA JAUDI, SH
Satambuk :
MH.12.21.1339
Program Studi :
Ilmu Hukum/Hukum Pidana
Fakultas :
Hukum
Judul Tesis : BUKTI PERMULAAN
DALAM MELAKUKAN PENANGKAPAN TINDAK PIDANA TERORISME
Semarang, April 2014
Menegetahui
Pembimbing I Pembimbing
II
DR....... DR......
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Ketua
Bagian Ilmu Hukum
H. JAWADE HAFIDZ,
SH., MH LATIFAH HANIM,SH., M.Hum, M.Kn
HALAMAN
PENGESAHAN
BUKTI
PERMULAAN DALAM MELAKUKAN PENANGKAPAN TINDAK PIDANA TERORISME
Disusun
Oleh:
Nama : LA JAUDI
Stambuk : MH.12.21.1339
Telah dipertahankan di hadapan panitia Ujian Tesis Pada
Program kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
Guna memperoleh Gelar Magister Hukum Strata dua (S2) pada hari.........,
Tanggal ..Bulan.. tahun.. dan di nyatakan Lulus dengan Nilai Yang sangat
Memuaskan.
PANITIA
UJIAN
Ketua :
Sekretaris :
Pembimbing
I :
Pembimbing
II :
Tim
Penguji :
Semarang, April 2014
Disahkan
Oleh
Dekan
Fakultas Hukum
Univesrsitas
Islam Sultan Agung
H.
JAWADE HAFIDZ, SH., MH
ABSTRAK
LA
JAUDI, SH (MH 12.21 1339) dengan judul “ Bukti Permulaan dalam melakukan penangkapan Tindak Pidana Terorisme”
di bawah bimbingan Bapak................sebagai Pembimbing I dan Bapak .............
sebagai Pembimbing II.
Penelitian
inibertujuan untuk menegetahui bukti permulaan dalam melakukan tindak pidana
terorisme di Indonesia.
Metode
yang di gunakan dalam penelitian ini adlalah metode penelitian hokum normatif
dengan menggunakan data sekunder sebagai acuan utama dalam menganalisis data,
penulis menggunakan teknik analisis deskriptip kualitatif yakni teknik analisis
yang tidak didasarkan ats angka-angka akan tetapi pada peraturan yang berlaku.
Selanjutnya dalam penarikan kesimpulan dilakaukan dengan metode deduktif, yaitu
metode analisa yang dimualai dengan pengetahuan yang di mulai bersifat umum
untuk menyimpulkan suatu peristiwa secara umum.
Hasil penelitian menunjukan bahwa laporan intelijen dapat
dijadikan sebagai bukti permulaan dalam melakukan penangkapan sesuai dengan
pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dengan melalui mekanisme/proses
hearing oleh Ketua/Wakil Ketua pengadilan Negeri dan tidak semua laporan
intelijen di gunakan sebagai bukti permulaan, hanya laporan intelijen yang bersifat factual dan di sampaikan secara
kelembagaan. Walaupun ketentuan dalam pasal tersebut merupakan penyimpangan
dari KUHP/aturan hokum umum atas bukti permulaan, dimana bukti permulaan di
artikan sebagai batas minimum pembuktian diajukan ke muka persidangan sesuai
ketentuan pasal 183 KUHP dengan alat bukti seperti yang terdapat dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP,
maka di pakai asas “Spesial Derogate Lex
Generalis” sehingga ketentuan pasal tersebut dapat di berlakukan, jadi KUHP
sebagai atuaran umum sedangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemeberantasan tindak pidana
Terorisme sebagai aturan khusus untuk mencegah dan menaggulangi tindakan
terorisme di Indonesia yang dapat menimbulakan kehancuran serta kerusakan bagi
masyarakat banyak.
KATA PENGANTAR
Tiada kata selain mengucapkan Puji Syukur kepada Allah SWT
atas terselesaikannya Tesis ini Dengan Judul “BUKTI PERMULAAN DALAM MELAKUKAN PENANGKAPAN TINDAK PIDANA TERORISME
DI INDONESIA”.
Penyususn Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat mencapai gelar Magister Hukum Pada Fakultas Hukum Jurusan
Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
Penulis Menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan oleh karena keterbatasan kemampuan dan penegetahuan yang penulis
dapatkan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penuli mohon maaf atas segala
kekurangan.
Penyusunan Tesis ini tidak akan berhasil tanpa ada bantuan
dan kerjasama dari pihak lain. Oleh karena itu pada kesemoatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendorong terwujudnya Tesis ini.
Segala kerendahan hati, Penulis mengucapakan terima kasih
khususnya Kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. Laode
M. Kamaluddin, MSC., M.Eng , Selaku Rektor
Universitas Islam Sultan Agung.
2.
Bapak H. Jawade
Hafidz, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
3.
Ibu Latifah Hanim,
SH.,M.Hum., M.Kn, Selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Islam Sultan Agung.
4.
Bapak.....................................................,
selaku Dosen Pembimbing I, dan Bapak ..........,selaku pembimbing II, yang
telah benar-benar Penulis Rasakan penuh dedikasi membantu untuk penyelesaian
Tesis ini.
5.
Bapak/Ibu Dosen
Pengajar pada fakultas hokum yang telah memberikan ilmunya demi memperluas
wawasan terhadap dunia ilmu pengetahuan terhadap dunia ilmu pengetahuan pada
umumnya dan disiplin ilmu pada khusunya.
6.
Seluruh Karyawan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Islam
Sultan Agung yang telah membantu kelancaran dalam bidang administrasi.
7.
Terspesial
kudedikasikan Tesis ini kepada kedua orang tuaku, LA MEDI selaku ayah saya
tercinta, dan WA DAWI selaku Ibunda tercinta saya, yang telah memberikan kasih
dan sayangnya selama ini.
8.
Saudara-saudaraku
tercinta TAJUDDIN, POPI MARDIYANTI, dan IRFAN yang selalu memberi semangat
dalam penulisan Tesis ini.
9.
Semua
sahabat-sahabatku seangakatan program magister hokum Universitas Islam Sultan
Agung yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, Penulis berharap semoga hasil pemikiran yang
tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat sebagaimana di harapkan.
Aminn........!!!!!
Hormat
Saya
Penulis
BAB I
PENDHAULUAN
A. Latar
Belakang
Hak
untuk hidup merupakan hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia, Hak
untuk hidup adalah bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat di
tawar lagi ( Non Derigable) artinya
hak ini mutlak harus di miliki oleh setiap umat orang, karena tanpa adanya hak
untuk hidup maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan
setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak
mengambil hak hidupnya dalam hal ini terdapat beberapa pengeculian seperti
tujuan untuk penegakan hokum.
Pengecualian
tehadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup
seseorang oleh orang lainnya tanpa ada alasan hak yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa
alasan hak adalah pembunuhan melalui aksi teror, aksi terror jelas telah
melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah
menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia ( Abdul Wahid,
Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004:2).
Terorisme
adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah
satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara karena terorisme sudah
merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya
terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat
sehingga perlu di lakukan pemeberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga
hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan
tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia
yang termaksud dalam Undang-Undang 1945 yaitu melindungi segenap
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertibaan dunia.
Aksi
terorisme menjadi salah satu wacana yang akrab di telinga kita, di Indonesia
terorisme mencuat kepermukaan setelah terjadinya bom Bali I pada 12 Okktober 2002,
Peristiwa ini tepatnya terjadi di Sari
Club dan Peddy’s Club, Kuta Bali. Sebelumnya tercatat juga beberapa aksi terror
di Indonesia antara lain Bom Istiqlal pada 1999, bom malam natal pada 24
Desenber 2000 yang terjadi di dua puluh Gereja, bom di Bursa Efek Jakarta pada
September 2000, serta yang masih hangat didengar ledakan bom di Masjid At Takwa
yang berada di area Markas Kepolisisan Resor Cirebon, pada hari Jumat 15 April
2011 sangat mengguncang hati kita dengan kengerian yang luar bisa, ribuan orang
meninggal, trauma, cacat seumur hidup dalam waktu seketika.
Indonesia
sebagai Negara hokum (Reschtstaat) memiliki
kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal
perlindungan warga Negara dari tindakan aksi terorisme adalah melalui penegakan
hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hokum yang sesuai. Upaya
itu diwujudkan pemerintah dengan mnegeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian di setujui oleh DPR menjadi
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemeberantasan tindak pidana
terorisme.
Di
perlukannya Undang-Undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana
terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime, sehingga membutuhkan penanganan yang luar
bisa pula (extraordinary measures). Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek materil juga mengatur formil.
Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang khusus (lex specislis) dari kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
Undang-Undang Hukum Acra Pidana. Dengan adanya Undang-Undang ini dii harapkan
menyelesaikan perkara pidana yang terkait dengam terorisme dari aspek materil
dan formil dpat segera di lakukan.
Sebagaimana
pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasa 25 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hokum acara berlaku
adalah sebagaimana ketentuan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana ( Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana/ KUHAP). Pelaksanaan
Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas hokum pidana dan
hokum acara pidana yang telah ada. Nmaun
pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan pasal dalam Undang-Undang tersebut
yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.
Penyimpangan tersebut Mengurangi hak asasi manusia, apabila di bandingkan
asas-asas yang terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan
apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar
penyimpangan tersebut karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan
hak asasi manusia atau mungkin karena sifatnya sebagai undang-undang yang
khusus, maka buan penyimpangan asas yang terjadi disini, melainkan pengkhususan
asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun di khususkan sesuai
dengan ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang- Undang khusus
tersebut.
Sesuai
pengaturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP),
penyelesaian suatu perkara tindak pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di
pengadilan, dimulai dari penyelidikan dan penyidikan, diikuti dengan penyerahan
berkas kepada Jaksa Penuntut Umum. Pada pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum
acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah penangkapan hanya dapat
dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah mmelakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Menegenai
batasan dari pengertian bukti permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada
ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan hokum pidana karena masih
terdapat perbedaan pendapat di antara para penegaka hokum. Sedangkan menegenai
bukti permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 26 yang berbunyi:
1.
Untuk memperoleh
bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan
intelijen.
2.
Penetapan bahwa sudah
dapat atau di peroleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua Dan Wakil Ketua
Pengadilan Negeri.
3.
Proses pemeriksaan
yang dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling
lama 3 (tiga) hari.
4.
Jika dalam
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di tetapkan adanya bukti
permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan di
laksanakan penyidikan.
Bahwa Ketentuan dalam
pasal 26 tersebut diatas masih terdapat kesimpangsiuran tentang bukti permulaan
itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai
bukti permulaan. Selanjutnya, pasal tersebut memeberikan wewenang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan
perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah
melakukan suatu tindak pidana terorisme.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka permaslaahan yang hendak di angkat dapat
dorumuskan sebgai berikut:
1.
Bagaimana Laporan
Intelijen dapat dijadikan bukti permulaan untuk melakukan penangkapan dalam
pemberantasan tindak pidana terorisme?
2.
Bagaiamana Laporan Intelijen dapat dijadikan.
C. Tujuan
Penelitian
Perumusan
tujuan penelitian terbagi menjadi tujuan secara umum dan Tujuan Secara Khusus.
1.
Tujuan Secara Umum
yaitu:
Untuk menambah
wawasan hokum acara pidana dalam prakteknya di
Indonesia teerutama bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.
2.
Tujuan Secara Khusus
Yaitu:
Untuk mengetahui
dengan jelas laporan intelijen yang dijadikan alat bukti permulaan yang cukup
untuk melakukan penangkapan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di
Indonesia.
D. Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat
dari penelitian adalah:
1.
Dengan adanya
penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan kepada masyarakat
khususnya mengenai masalah Laporan Intelijen yang dijadikan sebgai bukti
permulaan untuk melakukan penangkapan dalam pemeberantasan tindak pidana
terorisme.
2.
Dengan adanya
penelitian ini dapat memeberikan sumbangan dan masukan guna mengembangkan ilmu
hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penegrtian
terorisme
1. Pengertian
Terorisme Secara Umum
Asas
hokum menyatakan Nullum crimen sine
poena, artinya tiada kejahatan yang boleh di biarkan begitu saja tanpa
hukuman. Demeikian pula dengan kejahatan terorisme yang harus dibuatkan suatu instrument
hukumnya. Saat ini terorisme telah menjadi suatu kejahatan lintas Negara,
terorganisir, dan bahkan merupakan tindak pidanan internasional yang
mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional
maupun internasional.(soeharto,2007:2).
Hingga
saat ini defenisi mengenai terorisme sendiri sampai saat ini masih menimbulkan
silang pendapat, akan tetapi untuk memperoleh pemahaman terhadap terorisme yang
konsisten dalam penulisan tetaplah perlua adanya suatu defenisi. Agar dapat
mendapatkan suatu defenisi tentang terorisme, perlu di kaji berbagai defenisi
mengenai terorisme.
Kata
terorisme bersal dari bahasa latin terrere
yang kurang lebih di artikan sebagai
kegiatan atau tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan (Lukman Hakim,
2004:9).
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk
menimbulkan rasa ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1990:1094).
Menurut Muladi,“tindak pidana terorisme dapat di
kategorikan sebagai mala per se atau mala in se, tergolong kejahatan hati
nurani (crmes against conscience), menjadi
sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau
di larang oleh undang-undang”. (Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik,
2004:2).
Menurut Wikipedia Indonesia terorisme adalah
serangan-serangan terkoordinasi yang bertjuan untuk membangkitkan serangan
terror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme
tidak unduk pada tata cara peperangan sperti waktu pelaksanaan yang selalu
tiba-tiba dan target korban jiwa yang seringkali merupakan warga sipil
(http/id.wikipedia.org/wiki/terorisme).
Secara bebas, defenisi terorisme tersebut dapat diartikan
kekerasan namun tidak setiap bentuk kekerasan adalah terorisme (walter Laqueur,
2005:7).
Kekerasan (violence) merujuk
pada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang,
baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan
memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau
mengakibatkan kematian pada seseorang (Romli Atasasmita, 2005:66).
Terorisme juga dapat diartikan sebagai suatu ancaman teror
untuk melakukan kejahatan dan kekerasan dengan tujuan meneror orang lain,
menimbulkan ketidaknyamanan atau gangguan terhadap publik, dengan mengabaikan
akibat yang tindul dari teror tersebut. Dilihat dari tujuannya yaitu
menimbulkan gangguan terhadap publik, terhadap kesamaan antara kejahatan biasa,
peperangan, dan terorisme, tetapi sesungguhnya terdapat parameter perbedaan
antara terorisme, peperangan, dan nuansa criminal biasa (ordinary crime).
Wilian G. Cunningham, menggambarkan parameter yang berbeda
dari terorisme, peperangan, dan kejahatan biasa. Sebuah kejahatan biasa
terutama memiliki motif ekonomi, yang
bentuknya dapat berupa teror untuk mendapatkan harta orang lain, atau
dapat berupa pembunuhan dengan alasan balas dendam atau untuk mempertahankan
harta yang telah di rampas (Lukman Hakim, 2004:11).
Dalam hal peperangan, terdapat motif serta tujuan yang
lebih bersifat instrumental dan juga banyak aturan, salah satunya tidak boleh
menyerang rakyat yang tidak bersenjata (non-combantans).
Selain itu, para pihak yang berperang merupakan suatu instansi resmi di
masing-masing pihak. Sedangkan dalam terorisme hamper tidak ada aturan dan
penyerangan dilakukan secara membabi buta.
Seorang ahli bernama Jack Gibbs menyatakan, suatu tindakan
dapat di definisikan sebagi terorisme apabila merupakan suatu kejahatan atau
suatu ancaman secara langsung terhadap kemanusiaan atau terhadap objek tertentu
(Jack Gibbs, http//en.wikipedia.org/wiki/Defenition of terrorism).
Namun hal tersebut menurut Gibbs masih merupakan defenisi
yang umum, artinya cakupan dari defenisi tersebut masih terlalu luas dan masih
mencakup juga defenisi dari kejahatan biasa.
Untuk mempermudah pemahaman terhadap terorisme, Gibbs
menambahkan bebeapa cirri perbutan yang merupakan terorisme dengan merujuk
pada:
1.
Perbuatan yang
dilaksanakan atau ditujukan dengan maksud untuk mengubah atau mempertahankan
paling sedikit suatu norma dalam suatu wilayah atau suatu populasi. Dengan
pengertian tersebut tersebut, defenisi itu mencakup kejahatan biasa seperti
pembunuhan atau perusakan gedung, sehingga tidak terlihat perbedaan antara
kejahatan biasa (ordinary crime) dengan
terorisme.
2.
Memiliki kerahasiaan,
tersembunyi tentang keberadaan partisipan, identitas anggota , dan tempat
persembunyian.
3.
Tidak bersifat
menetap pada suatu area tertentu .
4.
Bukan merupakan
tindakan peperangan biasa karena mereka menyembunyikan identitas mereka, lokasi
penyerangan, berikut ancaman dan pergerakan mereka.
5.
Adanya partisipasi
yang memiliki pikiran dan ideology yang sejalan konseptor teror, dan pemberian
kontribusi untuk memperjuangkan norma yang dianggap benar oleh kelompok
tersebut tetap memperhitungkan kerusakan atau akibat yang ditimbulkan (Jack
Gibbs,http/en.wikipedia.org/wiki/definition of terrorism).
Berdasarkan
cirri tersebut, suatu peristiwa dapat dirumuskan menjadi suatu deskripsi tentang
terorisme yang paling mendekati nilai objektifitas. Disamping hal tersebut,
untuk itu terorisme perlu pula dipandang dari dua pendekatan, yaitu pendekatan
secara spesifik dan pendekatan secara umum.
Pendekatan
spesifik mengkalsifikasikan kejahatan biasa yang telah ada sebagai terorisme,
contohnya adalah mengklasifikasikan sebuah pembajakan pesawat atau penyanderaan
yang semula sebagai kejahatan biasa menjdai terorisme. Dengan kata lain, dalam
defenisi ini peristiwa umum dijadikan hal khusus, sehingga pendekatan ini
sering juga disebut sebgai pendekatan induktif. Sementara itu, pendekatan
secara umum berusaha memberikan penjelasan umum mengenai terorisme, berdasarkan
suatu kriteria seperti intensi, motivasi, dan tujuan. Pendekatan ini merupakan
penjabaran peristiwa umum (metode deduktif).
2. Pengertian
Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
Setelah menguraikan pengertian terorisme secara umum,maka
perlu diketahui pengetahuan terorisme menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003. Pada konsinderan undang-undang tersebut bagian menimbang, dijelaskan
terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan
ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian
harta benda, oleh karena itu perlu dilakukan langkah pemberantasan.
Namun, peraturan perundang-undangan yang berlaku samapai
saat ini belum secara komprehesif dan memnadai untuk memberantas tindak pidana terorisme,
sehingga Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini mutlak diperlukan. Tujuan utama
lahirnya Undang-Undang ini adalah menjadikan terorisme sebgai suatu tindak
pidana di Indonesia. Agar kejahatan terorisme dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana, perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai unsur tindak pidana dan
subyeknya.
a.
Tindak Pidana
Jika melihat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yaitu
tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, terdapat suatu istilah yang
menunjukan peristiwa terorisme merupakan kejahatan, yakni istilah “Tindak
Pidana”. Istilah tersebut telah digunakanoleh masing-masing penerjemah telah
memberikan sandaran perumusan dari istilah strfbaarfeit
tersebut.
Dalam kepustakaan hokum pidana, istilah “tindak pidana”
merupakan istilah Belanda. Sebenarnya banyak istilah yang digunakan untuk
menunjuk pada penegrtian “strafbaarfeit”.
Istilah “het strabare
feit” telah di terjemahkan kedalam bahsa Indonesia sebagai:
1)
Perbuatana yang
dapat/boleh dihukum,
2)
Peristiwa pidana,
3)
Perbuatan pidana,
4)
Tindak pidana.
Lebih lanjut pembentuk undang-undang kita
telah menyebut strafbaarfeit sebgai
tindak pidana (P.A.F. Lamintang, 1990: 172).
Sedangkan menurut
Moeljanto (2000: 54) memakai istilah perbuatan pidan meskipun tidak
menerjemahkan strafbaarfeit itu, mereka menolak istilah peristiwa pidana karena
pengertian yang konkret yang hanya penunjuk pada suatu peristiwa tertentu saja,
misalnya matinya orang, hokum pidana tidak melarang oranng mati tetapi melarang
adanya rang mati karena perbuatan orang lain. Utrecht, menyalin istilah strafbaarfeit menjadi peristiwa pidana.
Simons merumuskan
bahwa strafbaarfeit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yangbersifat
melawan hokum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggungjawab. Jonkers dan Utrecht memandang rumusan Simons
meruapakann rumusan yang lengkap, yang meliputi:
1)
Diancam dengan pidana
oleh hokum,
2)
Bertentangan dengan
hokum,
3)
Dilakukan oleh orang
yang bersalah,
4)
Orang itu dianggap
bertanggungjawab atas perbuatanya.
Van Hammel merumuskan
delik (strafbaarfeit) itu sebagai
berikut: Eene wetelijke, omschreven
menschelijke gedraging, onrecchtmating, strafwaarding en aan schuld tewitjen (kelakuan
manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hokum, yang patut dipidana,
dan dilakukan dengan kesalahan) (Andi Hamzah, 2008: 88).
Jika
mengkalasifikasikan terorisme sebagai tindak pidana, maka unsur tersebut
tersebut harus melekat dalam tindakan terorisme. Unsur yang pertama yaitu
melawan hukum, unsur melawan hokum dapat memiliki dua penegertian yaitu melawan
hokum secara formal dengan melakukan sesuatu terbatas pada yang dilarang
undang-undang dan melawan hokum secara materil adalah melakukan sesuatu yang
dilarang dalam perundang-undangan maupun berdasarkan asas hokum yang tidak
tertulis (A.Fuad Usfa, 2006: 73-74).
Pencantuman unsur
melawan hokum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian.
Unsur yang kedua, yaitu unsure kesalahan (schuld).
Kesalahan disamakan artinya dengan kesengajaan (opzet) atau kehendak (voomawen),
geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan) ini berarti orang
yang dihukum harus terbukti bersalah. Kesalahan mengandung dua pengertian,
dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet)
yang berarti berbuat dengan hendak dan maksud, sedangkan dalam arti luas
berarti luas berarti dolus dan culpa. Culpa sendiri berarti kealpaan,
dimana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan,
dan kekurangan kebijakasanaan yang diperlukan. Unsur ketiga yaitu
pertanggungjawaban subjek. Agar dapat dipidana, dalam diri subjek dalam dan
pelaku pidana tidak dapat dasr pengahpusan pidana, baik dasar pembenar maupun
dasar pemaaf (Jan Remmelink, 2003: 173).
Mengenai masalah
unsur tindak pidana ini menurut Lamintang (900: 173) secara umum di bedakan
atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsure-unsur
yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan diri si pelaku, dan termaksud
didalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya.
Sedangkan unsure
objektif adalah unsure-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu
didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan.
b.
Subyek Tindak Pidana
Dalam
hokum tindak pidana yang dianggap sebagai subyek tindak pidana adalah manusia
sebagai natuurlijke-persoonen, dan
badan hokum atau rechts persooneen. Terkait
dengan tindak pidana bahwa pertanggungjawaban pidana, bersifat pribadi artinya
barang siapa melakukan tindak pidana maka ia harus mempertanggungjawabkan
sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapusan pidana.
Selanjutnya dalam hokum pidana dikenal
juga adanya konsep penyertaan (deelneming),
konsep penyertaan ini berarti dua orang atau lebih mengambil bagian untuk
mewujudkan atau melakukan tindak pidana.
Masalah
yang berkaitan dengan pelaku dan keturutsertaan diatur dalam ketentuan pasal 55
dan 56 KUHP. Dalam KUHP terdapat lima bentuk penyertaan yaitu sebagai berikut:
1.
Mereka yang melakukan
(dader) satu orang atau lebih
melakukan tindak pidana.
2.
Menyuruh melakukan (doen plegen, pada prinsip orang yang
mau disuruh tidak mampu bertanggungjawabkan perbuatannya.
3.
Mereka turut serta (medeplegen), beberapa orang yang
mempunyai niat yang sama untuk melakukan tindak pidana.
4.
Pergerakan (uritlokking0, membujuk orang lain untuk
melakukan tindak pidana.
5.
Pembantuan (medeplichtigheid), pihak yang melakukan
membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu. Pertanggungjawaban
pidana pembantu hanya sebatas pada kejahatan yang dibantunya saja (H.K.
Moch.Anwar, 1981: 39).
Setelah menguraikan menegenai tindak pidana dan subyek
tindak pidana, berikut akan diuraikan kedua unsure tersebut dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perumusan
tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terbagi menjadi dua,
yaitu tindak pidana terorisme yang di atur dalam BAB III, dan tindak pidana
lain yang terkait dengan tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB IV
Undang-Undang tersebut.
Untuk merumuskan tindak pidana dalam hokum pidana biasaxnya
dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1.
Menguraikan atau
menyebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan.
2.
Hnaya disebut
kualifikasi dari delik, tanpa menguraikan unsure-unsurnya.
3.
Penggunaan cara
pertama dan kedua yaitu menyebutkan unsure-unsurnya serta diikuti pula dengan
penyebutan kualifikasi dari delik yang bersangkutan.
Contoh dari pasal yang menggunakan cara perumusan tindak
pidana dengan menguraikan unsure-unsurnya saja tanpa memberikan kualifikasi
tindak pidananya adalah pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang isinya
sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror dan rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjaara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
Pasal
tersebut dapat di uraikan sebagai berikut berdasarkan unsure subjektifnya dan
unsure objektifnya.
1.
Unsur subjektif.
-
Setiap orang.
-
Dengan sengaja.
-
Menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal.
2.
Unsur objektif.
-
Merampas kemerdekaan
atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain.
-
Atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang stretegis.
-
Atau lingkungan hidup
atau fasilitas public.
-
Atau fasilitas
Internasional.
Pada pasal ini hanya menguraikan unsure-unsur tindak
pidana, tetapi tidak memberikan klasifikasi tindakan tersebut sebagai tindakan
terorisme, hal yang sama juga terdapat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 15
Tahun2003, yaitu:
“Setiap orang
yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud
menimbulkan suasana teror dan rasa takut terhadap orang secara meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran alat-alat vital yang strategis dan lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana seumur hidup”.
Pengaturan
pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut hamper sama dengan ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003, akan tetapi terdapat perbedaan yaitu unsur “bermaksud.......”.
Unsur tersebut menandakan pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan
pasal percobaan tindak pidana. Sehingga yanh harus dibuktikan adalah adanya
maksud untukmenimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas atau
menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun ancaman kekerasan belum
dilakukan.
Syarat
percobaan tindak pidana pada ketentuan pasal 53 KUHP adalah:
1)
Adanya niat (voormeken), dalam arti orang itulah
haruslah mempunyai niat untuk melakukan suatu kejahatan.
2)
Adanya permulaan
pelaksanaan, dalam arti bahwa niat orang tesebut telah diwujudkan dalam suatu
permulaan untuk melakukan kejahatan yang dikehendaki itu.
3)
Pelaksanakan untuk
melakukan kejahatan yang dikehendaki itu kemudian tidak selesai, dimana tidak
selesainya pelaksanaan itudisebabkan oleh keadaan-keadaan yang tidak bergantung
pada kemauannya, atau dengan kata lain tidak selesainya pelaksanaan untuk
melakukan kejahatan itu disebabkan oleh hal-hal berada diluar kkehendaknya
sendiri ( A Fuad Usfa, 2006: 100-104).
Pasal
7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah contoh pasal yang dalam
Undang-Undang tersebut cara merumuskannya hanya menguraikan unsure-unsur
pidananya. Kedua pasal tersebut juga menggunakan pendekatan secara umum, yaitu
menjadikan serangkaian tindak pidana menjadi tindak pidana terorisme.
Untuk
pasal yang menggunakan cara perumusan dengan menguraikan unsur dan dan
memberikan klasifikasi tindak pidana terdapat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 yang terdiri dari delapan belas tindak pidana yang dikategorikan
tindak pidana terorisme. Sebagai contoh, dikutip dalam pasal 8 huruf a
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 :
“Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan
pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6, setiap orang yang:
a.
Menghancurkan,
membuat tidak dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan laulintas udara
atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut”.
Dalam pasal tersebut, terdapat uraian unsure-unsur yaitu
menghancurkan membuat tidak dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan laulintas
udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut, hal mana
perbuatan tersebut diklasifikasikan sebagai tindak pidana atau disamakan dengan
tindak pidana terorisme. Pasal ini menggunakan pendekatan spesifik, yaitu
menjadikan tindak pidana biasa sebagai atau disamakan dengan tindak pidana
terorisme.
Selanjutnya, selain tindak pidanna terorisme dalam BAB III
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 juga di atur mengenai pidana yangberkaitan
dengan terorisme contohnya hal intimidasi terhadap aparat penegaka hukum yang
sedang memeriksa atau mengadili kasus terorisme, kesaksian, barang bukti, dan
alat bukti palsu serta menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana terorisme.
Dengan demikian, pasal yang termasuk tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana teroris pada dasarnya merupakan tindakan yang
terkait dalam upaya proses hukum dalam
kasusu tindak pidana terorisme, dan tidak berkaitan langsung dengan tindak
pidana terorisme itu sendiri.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai subyek dari tindak
pidana terorisme yang termaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menurut
pasal 1 butir 2 dan pasal 3 dapat dilakukan oleh manusia/perorangan. Dalam rumusan
pasal tersebut menyatakan bahwa subyek pelaku dalam tindak pidana terorime
adalah setiap orang, yang didefifnisikan sebagai seorang, beberapa orang atau
korporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari orang sipil ataupun militer
maupun polisi yang bertanggungjawab secara individual atau korporasi (badan
hukum , perseroan, perserikatan, organisasi, yayasan, dan laini-lain
organisasi).
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini
jugaterdapat pengaturan menegenai konsep penyertaan. Hal ini terlihat dalam
pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, sebagai beriukut:
“setiap orang yang
dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana
terorisme, dengan:
a.
Memberikan atau
meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak
pidana terorisme.
b.
Menyembunyikan pelaku
tindak pidana terorisme, atau
c.
Menyembunyikan
informasi tentang tindak pidana terorisme”.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini mengatur
hukuman terhadap tindak pidana dalam hal terjadi penyertaan berbentuk perbuatan
(medeplichtigheid), bentuk penyertaan yang lainnya juga terlihat dalam pasal
14.
Pengaturan hukuman terhadap pembantuan dalam pasal 57 ayat
(2) KUHP tidak ditentukan batas minimum pemidanaan. Berbdea dengan pasal 13
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menentukan batas minimum dan maksimum
pemidanaan.
Demikian aspek pidana materil dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003, hal lain terkait ketentuan pidana materil yang tidak diatur dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tetap merujuk kepada KUHP berdasarkan penafsiran aturan
penutup KUHP dalam pasal 103 KUHP yang menyatakan ketentuan dalam KUHP berlaku
juga bagi Undang-Undang lain kecuali jika Undang-Undang lain ditentukan lain (Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam
Sidik, 2004: 82).
B. Tinjauan
Tentang Laporan Intelijen
1. Pengertian
Intelijen
Pengertian
Intelijen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
orang-orang yang bertugas mencari keterangan
(mengamat-amati) seseorang; dinas rahasia. (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1990: 52).
Menurut
ringkasan pengertian defenisi intelijen dalam buku intelijen, adalah perkiraan,
merupakan informasi terpercaya untuk digunakan sebagai bahan pengambilan
keputusan (Kunarto, 1999:335).
Menurut
Kunarto (1999: 24), penegertian intelijen sebagai berikut:
a)
Intelijen sebagai
bahan keterangan yang diolah (intel sebagai produk) adalah suatu hasil akhir
atau produk dari pengoalahan bahan-bahan keterangan tentang berbagai penyusunan
masalah yang di perguanakan sebagai bahan penyusun rencana penentuan
kebijaksanaan pengambilan keputusan atau tindakan.
b)
Intelijen sebagai
organisasi adalah badan atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan intelijen.
c)
Intelijen sebagai
kegiatan adalah penyelenggaraan fungsi-fungsi intelijen berupa penyelidikan,
pengamatan, dan penggalangan yang mencakup pengertian kegiatan yang bersifat
terus-menerus dan kegiatan bersifat operasi intel, yaitu kegiatan intelijen
yang dilakukan secara selektif terhadap sarana-sarana tertentu atas dasar perintah
dari pimpinan yang berwenang dan dalam batas waktu yang telah di tentukan
sebelumnya.
d)
Kesimpulan, intelijen
merupakan usaha kegiatan meruapakan usaha kegiatan yang dilakukan dengan
menggunakan metode-metode tertentu dan secara terorganisir untuk mendapatkan
pengetahuan tentang masalah-masalah yang akan dihadapi kemudian disajikan
kepada pemimpin sebagai bahan untuk mengambil suatu keputusan atau tindakan
atau perumusan kebijaksanaan.
Menurut AC Manullang (2001:48) menyatakan bahwa intelijen
adalah produk yang dihasilkan dari usaha pengumpulan, penilaian, analisis,
pengintegrasian, dan penafsiran terhadap semua informasi yang tersedia
berkaitan dengan satu atau beberapa aspek Negara asing (negara akreditasi) atau
daerah operasi, dimana informasi tersebut secara langsung bermanfaat bagi
pengembangan dan pelaksanaan renacana, kebijaksanaan dan operasi lebih lanjut.
Jadi, hakekat intelijen adalah kegiatan yang dilakukan
secara rahasia. Berdasarkan rumusan hakekat intelijen tersebut dan pendapat
para ahli, maka penegertian intelijen meliputi:
a)
Kemampuan untuk
memecahkan masalah.
b)
Suatu badan yang erat
kaitannya dengan Angkatan Bersenjata, yang bertugas mencegah dan mengatasi
suatu keadaan yang dianggap membahayakan Negara/kepala Negara.
c)
Suatu kegiatan yang
dilakukan secara rahasia, untuk memperoleh data/fakta menegenai suatu hal
tertentu.
d)
Produk itu sendiri,
yang berupa informasi terpercaya, sebagai hasil dari kegiatan yang dilakukan
secara rahasia.
2. Kegiatan Intelijen
Intelijen dilakukan melalui kegiatan mencari, mengumpulkan
data, mengolah dan mengamankan organisasi dan informasi, serta pengkondisian
agar diperoleh suasana yang menguntungkan organisasi, dengan melakukan
penggalangan (AC Manullang, 2001:51).
Penugasan kegiatan intelijen adalah tindakan yang tidak
dapat disamakan dengan pendekatan tugas polisi secara konsensus. Meskipun dari
sisi fungsi, pengumpulan data-data intelijen merupakan salah satu aspek utama
dan penting dalam kerja polisi setiap hari, dalam konteks kegiatan tersebut
intelijen criminal tidak memiliki fungsi politik secara eksplisit (G Ambar
Wulan, 2009: 62-63).
Sedangkan proses kegiatan intelijen meliputi:
a)
Pengumpulan data
intelijen, yang dikumpulkan dari dua sumber utama yaitu sumber terbuka dan
sumber tertutup.
b)
Evaluasi dan
interpretasi serta produksi dalam bentuk laporan kepada pengambilan keputusan,
berupa laporan deskriptif dasar, laporan penting, atau perkiraan spekulasi
(Kunarto, 1999: 38).
Dalam hal penugasan kegiatan intelijen adalah tindakan yang
tidak dapat disamakan dengan pendekatan tugas polisi secara consensus. Meskipun
dari sisi fungsi, pengumpulan data-data intelijen merupakan salah satu aspek
utama dan penting dalam kerja polisi setiap hari. Walaupun demikian, kegiatan
intelijen sebagai salah satu fungsi kepolisian memilki proporsi kerja yang
memberikan peluang besar terkait dengan pelaksanaan tugasnya terhadap
tindakan-tindakan infiltrasi dalam semua jenis institusi dan aspek kehidupan
masyarakat.
Pengumpulan bahan intelijen yang dilakukan dalam kegiatan
intelijen terdiri lima tahap, yaitu:
a)
Menyusun pertanyaan,
apa yang ingin diketahui untuk dipakai sebagai bahan pengambilan keputusan,
untuk ditentukan kebutuhan konkretnya.
b)
Mengumpulkan
informasi yang dibutuhkan dengan menemukan dimana dan dari siapa suatu
informasi yang paling tepat diperoleh.
c)
Produksi intelijen,
dimana kumpulan data kasar dibentuk, dievaluasi, disusun, diperiksa dan
dibandingkan untuk dijadikan jawaban terbaik atas pertanyaan awal.
d)
Mengomunikasikan
pemrosesan informasi dengan pengambilan keputusan agar benar-benar bermanfaat,
informasi harus disajikan tepat waktu, akurat dan mudah dipahami.
e)
Penggunaan intelijen,
pengambilan keputusan dapat mengabaikan infprmasi yang disajikan, atau menggunakan
informasi yang diperoleh sebagi dasar pengambilan tindakan selanjutnya
(Kunarto: 1999: 27).
3. Produk
Intelijen
Tahapan untuk mengahsilkan suatu produk intelijen meliputi
kegiatan:
a)
Perencanaan, Meliputi:
1)
Pemberian arahan
kepada kegiatan peneyelidikan dalam bentuk perintah/permintaan dilakukannya
penyelidikan secara tertutup atau terbuka.
2)
Bahan keterangan apa
yang harus dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan .
3)
Harus selesai tepat
waktu.
4)
Badan pengumpul mana
yang digunakan, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
b.
Pengumpulan
Informasi/Keterangan
1)
Secara terbuka atau
tertutup.
2)
Cara penelitian,
pengamatan, deteksi, penyusupan Badan Pengumpul Keterangan.
3)
Badan Pengumpul
Keterangan organik berada dibawah komando langsung mengumpulkan keterangan atas
perintah.
4)
Badan pengumpul
keterangan non organik dan badan pengumpul Keterangan lain bekerja sesuai
permintaan.
c.
Pengolahan
Proses
pengolahan meliputi:
Pencatatan-penilaian-analisa-integrasi-kesimpulan
dan penafsiran. Sehingga bahan keterangan yang pada mulanya masih merupakan
bahan mentah ditransformasikan menjadi produk intelijen (Kunarto, 1999: 27).
Sebagai hasil dari proses kegiatan intelijen tersebut,
diperoleh suatu hasil yaitu laporan intelijen. Pada umunya laporan intelijen
dikategorikan kedalam dua karakteristik, yaitu berdasarkan ketelitian sumber
berita dan berdasarkan ketelitian informasi. Berdasrkan sumber berita dan
berdasrkan ketelitian informasi. Berdasarkan sumber berita, terdiri dari
beberapa tingkatan yaitu:
a)
A= sangat dipercaya
b)
B= dapat dipercaya
c)
C= biasanya dapat
dipercaya
d)
D= diragukan/biasanya
tidak dapat dipercaya
e)
E= tidak dapat
dipercaya
f)
F= kepercayaanya
tidak dapat dinilai.
Sedangkan berdasarkan ketelitian informasi, terdiri dari:
a)
1 = berita yang
dibenarkan dengan adanya berita yang serupa
b)
2 = berita yang
mengandung kebenaran
c)
3 = berita yang
mungkin mengandung kebenaran
d)
4 = kebenaran yang di
ragukan
e)
5 = kebenaran berita
tidak dapat dinlai.
Laporan intelijen yang mempunyai kualifikasi sangat dapat
dipercaya dan dianggap sahih adalah laporan intelijen kualifikasi A1 dan A2.
Pengertian laporan intelijen A1 adalah laporan intelijen yang diperoleh dari
sumber yang sepenuhnya dipercaya dan kebenarannya diperkuat dengan adanya bukti
lain. Sedangkan laporan intelijen dengan kualifikasi A2 adalah laporan
intelijen yang diperoleh dari sumber yang biasanya dapat dipercaya dan tingkat
kebenaran laporannya sangat mungkin benar.
Kegiatan intelijen ditujukan untuk menghasilkan suatu
produk intelijen yang berupa laporan intelijen yang mempunyai nilai keakuratan
tinggi setelah melalui proses pengolahan dan analisa secara komprehensif yang
dilakuka n oleh suatu badan resmi yang dipakai sebagai dasar pengambilan
keputusan oleh pemerintah.
Keputusan pemrintah atas laporan intelijen mempunyai 2
(dua) fungsi. Fungsi preventif ditujukan untuk upaya pencegahan yang meliputi
bagaimana seandainya terjadi suatu peristiwa dan menentukan langkah yang tepat
untuk menangani peristiwa tersebut. Selanjutnya, fungsi reperesif yang
menitikberatkan pada upaya penyelesaian yang meliputi tindakan-tindakan konkret
yang harus secepatnya di ambil agar sesuatu yang bertentangan dengan hkum
sehingga lebih dapat diisesaikan, secepat (http. Lintangsurya ningtias. Blogsopt.com)
C. Tinjauan
Tentang Bukti Permulaan
Defenisi bukti permulaan yang cukup berdasarkan penjelasan
pasal 17 KUHAP, bukti permulaan yang cukup adalah “Bukti permulaan untuk
menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14”. Sementara
pasal butir 14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena
perbuatan dan keadaanya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebgai pelaku
tindak pidana. Berdasarkan hasil rapat tenaga kerja gabungan mahkamah agung,
kehakiman, kejaksaan, kepolisian (Rakergap Makehgapol), dirumuskan bahwa yang
dimaksud dengan bukti permulan yang cukup, seyogyanya minimal laporan polisi
ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya (Harun M.Husein,1991:112).
Menurut Kapolri dalam SKEP/04/1982 tanggal 18 Februari 1982
ditentukan bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan
keterangan dan data yang terkandung didalam dua diantara:
1.
Laporan Polisi
2.
Berkas Acara
Pemeriksaan ditempat Kejadian Perkara (TKP)
3.
Laporan Hasil
Penyelidikan
4.
Keterangan
Saksi/Ahli, dan
5.
Barang Bukti.
Sedangkan menurut Rapat Kerja Makehjapol tanggal 21 Maret
1984 menyimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal Laporan
Polisi ditambah salah satu alat bukkti lainnya. Karena penangkapan ini adalah
bentuk pelanggaran hak bebas seseorang yang belum terbukti bersalah,
berdasarkan ketentuan pasal 19 ayat (1)KUHAP waktu penangkapan dapat dilakukan
untuk paling lama satu hari. Apabila penangkapan dilakukan lewat lewat dari
satu hari, berarti telah terjadi pelanggaran hokum dengan sendirinya
penangkapan dianggap tidak sah.
Mengenai Bukti Permulaan Lamintang menyatakan bahwa “secara
paraktisi bukti permulaan yang cukup dalam pasal 17 KUHAP itu harus diartikan
sebagai”bukti minimal” berupa alat bukti seperti yang termaksud dalam pasal 184
(1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk
menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak
pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan” (Harun M.Huesin,
19991: 113).
Menurut M. Yahya Harahap (2007:158), mengenai apa yang
dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup, pembuat Undang-Undang menyerahkan
sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara
penerapan yang demikian bisa menimbulkan “ketidakpastian” dalam ooraktek hokum
serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperaadlian untuk menilai tentang ada
atau tidak permulaan bukti yang cukup. Yang paling rasional dan realistis,
apabila perkataan “permulaan” yang dibuang, sehingga kalimat itu berbunyi
“diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup”. Jika
seperti ini rumusan pasal 17, pengertian dan penerapan itu lebih pasti.
Jika ditelaah bukti permulaan yang cukup, pengertiannya
hamper serupa dengan apa yang dirumuskan pasal 183 KUHAP, yakni harus berdasar
prinsip “batas minimal pembuktian” yang terdiri dari sekurang-kurangnya dua
alat bukti bisa terdiri dari dua orang saksi atau di tambah saksi ditambah satu
alat bukti lain.
Metode kerja penyidik menurut KUHAP harus dibalik,
lakukan penyelidikan yang cermat dengan
tehnik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan alat bukti, baru
dilakukan pemeriksaan penyidikan ataupun penangkapan dan penahanan.
Sementara berdasarkan pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 dijelaskana sebagai berikut:
1.
Untuk memperoleh
bukti permulaan yang cukup, penyidik dapatkan menggunakan setiap laporan
intelijen.
2.
Penetapan bahwa sudah
dapat atau di peroleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua
Pengadilan Negeri.
3.
Proses pemeriksaan
sebagaiman yang dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4.
Jika dalam
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti
permulaan yang cukup, maka ketua pengadilan negeri segera memerintahkan
dilaksanakan penyidikan.
Berdasarkan pasal tersebut, terdapat pengaturan baru yaitu
penggunaan laporan intelijen sebagai bukti permulaan yang cukup.
Dari uraian tersebut diatas, dengan mengacu pengertian
tentang bukti permulaan menurut undang-undang maupun para ahli maka penulis
menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan adalah bukti
permulaan untuk menduga adanya tindak pidana, dimana bukti tersebut memenuhi
batas minimal pembuktian yakni apabila telah ditemukan sekurang-kurangya dua
alat bukti yang sah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP
(Sumitro, 1994: 61).
D. Penyelidikan,
penyidikan, dan Upaya Paksa: Penangkapan, Penggeledahan, dan Penahanan dalam
Tindak PidanaTerorisme.
Dalam rangka penanganan tindak pidana terorisme, pemerintah
Indonesia telah membuat aturan dalam bentuk hukum acara pidana khusus dimana
ada beberapa ketentuan yang tidak ada ataupun berbeda dengan KUHAP. Pada
dasarnya, dibentuknya hokum acara yang berbeda bertujuan disatu pihak,
memberikan landasan bagi alat kekuasaan negarauntuk melakukan tindakan
pemeberantasan dan pencegahan terhadap terorisme, namun di lain pihak
memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hukum acara pidana yang dipergunakan
untuk menangani tindak pidana terorisme, pada dasarnya berlaku ketentuan yang
tercantum dalam KUHAP kecuali undang-undang Pemberantasan tindak Pidana
Terorisme sendiri menentukan lain. Atau dengan perkataan lain hukum acara yang
dimuat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme adalah hokum acara pidana khusus (lex spesialis) (Abdull Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004:
103).
Untuk memperjelas letak Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorismedalam hokum pidana Indonesia,
dapat dilihat berikut ini:
1. Penyelidikan
Pasal 1 butir 5 KUHAP, dinyatakan penyelidikan berarti
serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang
berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga
sebagai perbuatan tindak pidana. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari fungsi penyidikan meskipun penyidikan berdiri sendiri (Djoko
Prakoso, 1986: 110).
Peneyelidikan juga merupakan salah satu cara atau metode
atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahuui tindakan lain, yaitu
penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan
surat , pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada
penuntut umum.
Fungsi dan wewenang dari penyelidik tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, sehingga baik fungs maupun wewenangnya tunduk terhadap pengaturan
yang diatur dalam KUHAP, adapun fungsi dan wewenang dari penyelidik diatur
dalam pasal 5 KUHAP, yaitu sebagai berikut:
1)
Menerima laporan atau
pengaduan,
2)
Mencari keterangan
dan barang bukti,
3)
Menyuruh berhenti
orang yang dicurigai,
4)
Tindakan lain menurut
hakim.
Penyelidikan dalam kasus terorisme berarti serangakaian
tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan
dengan terorisme atau yang diduga sebagai terorisme, dilakukan untuk melakukan
penyelidik, apakah terhadap peristiwa yang ditemukan itu dapat dilakukan
“penyelidikan”atau tidak. Penyelidikan itu dapat disebut pula “pengusutan”,
yakni merupakan usaha mencari menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti
sesuatu peristiwa yang diduga sebagai terorisme/aksi terorisme (Koesno, 2003:5
dalam Abdul wahid, Sunardi, Muhammad Imam sidik, 2004: 104).
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tidak diatur secara khusus mengenai
siapa yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan dalam undang-undang ini
juga memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi
tersangka/terdakwa yang disebut safeguarding
rules.
Ketentuan tersebut antara lain memperkenalkan lembaga hokum
baru dalam hokum acara pidana yang disebut dengan hearing dan berfungsi sebagai
lembaga yang melakukan legal audit terhadap seluruh dokumen atau laporan
intelijen yang disampaikan oleh penyelidik atau menetapkan diteruskan atau
tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindak pidana terorisme (Abdul
Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004: 106).
2. Penyidikan
Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu
membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus
menentukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya (Sumitro, 1994: 56).
Terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
suatu tindak pidana, dapat diketahui oleh penyelidik dengan berbagai cara,
mengetahui sendiri, atau menerima laporan atau pengaduan dari seseorang. Dalam
hal demikian, penyidik perlu segera melakukan tindakan penyidikan yang
diperlukan seperti yang dotentukan dalam pasal 106 KUHAP. Pada tahap penyidikan
titik berat tekananya diletakan pada
tindakan mencari serta mengumpulkna bukti supaya tindak pidana atau peristiwa pidana
yang ditemukan menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan
pelakunya (Soetomo, 1990: 20).
Dalam pasal 7 KUHAP lebih lanjut dijelaskan menegenai
wewenang dari penyidik antara lain melakukan serangkaian upaya paksa yang
berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan serta melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat. Selanjutnya dalam undang-Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 terdapat ketentuan dengan pengatuaran secara khusus terkait
penyidikan jika dibandingkan dalam KUHAP. Hal ini terlihat dalam pasal 25 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
sebagai berikut:
“penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hokum
acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalalm peraturan pemerintah
pengganti undang-undang ini”.
Adapun yang
membedakan yang membedakan pengaturan dalam KUHAP dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 adalah terkait dengan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, dan
penggeledahan.
Dalam pasal 6 ayat(1)
huruf a KUHAP dinyatakan yang berhak menjadi penyidik adalah sebagai berikut:
a)
Pejabat penyidik
Polri,
b)
Penyidik pegawai
Negeri Sipil.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, tidak diatur
secara khusus mengenai siapa yang berwenang melakukan penyidikan sehingga
ketentuan menegenai yang berhak menjadi penyidik mengikuti ketentuan yang diatur
dalam KUHAP (Abdul Wahid, Sunardi, Munhammad Imam Sidik,2004: 106).
3. Upaya
Paksa: Penangkapan, penggeledahan, dan Penahanan.
Upaya paksa adalah bentuk upaya dalam mencari dan
mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi
sekaligus menemukan siapa tersangkanya dan tersangka dan terkadang mengurangi
kemerdekaan seseorang serta mengganggu kebebasan seseorang (Soetomo, 1990:20).
a)
Penangkapan
Salah
satu tindakan yang mungkin tidak bisa dihindarkan sebgai langkah permulaan
dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan ataupun mengadili adalah
“penangkapan” (Atang Ranaemiharja), 1983: 39).
Pengertian
penangkapan ditinjau dari etimologi berasal dari kata tangkap. Kata tangkap
menurut pendapat Sutan Mohammad Zain adalah memegang suatu yang bergerak cepat,
lepas, jadi penangkapan adalah perbuatan mengangkap (Sumitro, 1994: 60).
Pengertian
penangkapan juga dapat dijumpai pada pasal 1 butir 20 KUHP:
“Penangkapan
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Penangkapan
(arrest) memang berbeda dengan
penahanan (detention) baik dalam hal
tugas, syarat, waktu, maupun prosedurnya.
Pasal
16 KUHAP menyebutkan penyidik dalam hal ini mempunyai wewenang untuk melakukan
terhadap tersangka dilakukan:
1)
Untuk kepentingan
penyelidikan.
2)
Untuk kepentingan
penyelidikan (Djoko Prakoso, 1986: 117).
Jadi
yang berwenang untuk melakukan penangkapan adalah:
1)
Penyelidik atas
perintah penyidik, yang dimaksud penyelidik adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan.
2)
Penyidik yaitu Pejabat
Polisi Negara Republik Inodnesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
yang diberi khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
3)
Penyidik Pembantu
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang tertentu
dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
4)
Siapa saja yang
melihat, mendengar serta menyaksikan terjadinya tindak pidana, khususnya dalam
hal tertangkap tangan (Djoko Prakoso, 1986: 118).
Dalam
pasal 18 KUHAP, dijelaskan terdapat dua jenis penagkapan yaitu penangkapan
dengan surat perintah penangkapan dan penangkapan tanpa surat perintah dalam
hal tertangkapa tangan (Sitompul, 1985: 13).
Pasal
17 KUHAP menjelaskan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang
cukup”, yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana sesuai denga pasal 1 butir 14 KUHAP. Pasal
ini menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan
sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan
tindak pidana (Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004: 107).
Ketentuan
penangkapan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur ketentuan yang
berbeda dengan KUHAP yaitu dalam hal Bukti permulaan yang cukup. Dalam pasal 26
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dijelaskan sebagai berikut:
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang
cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan
oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan
secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri
segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Pengaturan terkait dengan batas waktu penangkapan, dalam pasal 19 ayat
(1) KUHAP batas waktu penangkapan adalah satu hari, sedangkan dalam pasal 28
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dijelaskan, penyidik dapat melakukan
penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana
terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7x24 jam (tujuh kali dua puluh empat
jam). Dengan demikian, seseorang yang ditangkap karena dugaan tindak pidana
terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup , seseorang tersebut dapat
ditangkap dalam batas waktu tujuh kali dua puluh empat jam.
b)
Penggeledahan
Penggeledahan merupakan bagian dari
wewenang dari penyidik. Terdapat perbedaan antara penahanan dengan
penggeledahan dalam hal instansi yang melakukannya. Pada penahanan,
masing-masing instansi penegak hokum dalam semua tingkat pemeriksaan berwenang
melakukan penahanan, sedangkan dalam penggeledahan yang berwenang adalah
penyidik. Meskipun demikian, dalam penggeledahan penyidik tidak bertindak
sendiri melainkan ada campur tangan dari ketua pengadilan negeri dalam bentuk
surat izin untuk dapat melakukan penggeledahan.
Penggeledahan dibagi menjadi dua,
yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Penggeledahan rumah adalah
tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup
lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan, dan atau
penangkapan. Sedangkan yang dimaksud dengan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk
mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda
yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya untuk disita (Mohammad
Taufik Makarao dan Suharsil, 2010: 49-53).
c)
Penahanan
Penegertian penahanan menurut
pendapat W.J.S Poerwadarmita ialah perbuatan menahan, yaitu mengurung atau
memenjarakan sementara (Djoko Prakoso, 1986: 121). Sedangkan menurut pasal 1
butir 21 KUHAP menyebutkan :
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa
ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cata yang diatur dalam Undang-Undang
ini”.
Dari dua pengertian tersebut
terliaht semua instansi penegak hukum memiliki wewenang dalam hal penahanan,
tergantung dari tujuan penahannya. Sebagai contoh, untuk melakukan penyidikan
pelaku kejahatan dapat dikenakan penahanan.
Dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (1)
KUHAP yang menjelaskan penahanan dilakukan terhadap seseorang atau terdakwa
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melakukan:
a.
Melarikan diri
b.
Merusak atau menghilangkan barang
bukti, atau
c.
Mengulangi tindak pidana (S.M Amin,
1975: 153 dalam Djoko Prakoso, 1986: 123).
Ketentuan mengenai batas waktu
penahanan dalam KUHAP dibagi berdasarkan instansi mana yang melakukan
penahanan. Jika penahanan tersebut diberikan oleh penyidik, maka batas waktu
penahanannya paling lama dua puluh hari, dan dapat diperpanjang paling lama
empat puluh hari. Sehingga maksimal penahanan atas perintah penyidik adalah
selam enam puluh hari.atau sekitar dua bulan.
Penahanan atas perintah penuntut
umum hanya berlaku paling lama dua puluh hari, dan guna kepentingan pemeriksaan
ysng belum selelsai dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan Negeri yang
berwenang paling lama tiga puluh hari. Sehingga seorang tersangka paling lama
ditahan atas perintah penuntut umum adlah lima puluh hari.
Jika penahanan atas dasar perintah
hakim pengadilan Negeri, penahanan tersebut dilakaukan paling lama tiga pulu
hari dan guna kepentingan pemriksaan yang belum selesai , dapat diperpanjang
oleh ppengadilan negeri untuk paling lama enam puluh hari sehingga lama
penahanan Sembilan puluh hari.
Dalam penyidikan delik terorisme
mengenai panahanan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana
terorisme terdapat ketentuan khusus. Dalam rumusan pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 menyatakan:
“Untuk kepentingan penyidkan dan penuntutan, penyidik
diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lam 6 (enam)
bulan”.
Mengenai penahanan atas perintah
hakim pengadilan negeri sebagaimana yang diatur dalam pasal 26 ayat (1) KUHAP
tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, sehingga ketentuannya
mengikuti ketentuan dalam KUHAP (Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik,
2004: 115).
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang penulis akan
gunakan adalah penelitian hokum normatif. Penelitian hokum normatif adalah
suatu penelitian hokum yang mengkaji
norma-norma tertulis dalam produk hokum tertulis dari berbagai aspek meliputi
aspek teori hokum, sejarah hokum, filsafata hokum, perbandingan hokum dan
asas-asas hokum (Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2009: 2009:14).
B.
Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki,
pendekatan dalam penelitian hokum terdapat beberapa pendekatan, yaitu
pendekatan Undang-Undang (statute
approach ), Pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical
approach), Pendekatan konseptual (conceptual
approach), (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 93).
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan undang-undang
(statute approach), yang dilakukan dengan melakukan telaah terhadap pasal
26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penggunaan laporan intelijen
sebagai bukti permulaan untuk melakukan penangkapan.
C.
Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis dan sumber bahan hokum yang
di perlukan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder. Bahan hokum
sekunder yaitu bahan hokum yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna
mendapatkan landasan teoritis terhadap tinjauan yuridis atas penggunaan
lapaoran intelijen sebagai bukti permulaan yang untuk melakukan penangkapan
dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Bahan hokum tersebut:
1.
Bahan hokum Primer yaitu bahan
hokum yang mengikat antara lain sebagai berikut:
a)
Undang-Undang 1945
b)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
d)
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
e)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidan Terorisme Menjadi Undana-Undang.
2.
Bahan Hukum Sekunder adalah bahan
hokum yang member penjelasan terhadap bahan hokum primer antara lain buku,
tulisan ilmiah, makalah, jurnal, skripsi, hasil penelitian ilmiah, serta
laporan hokum media cetak dan media elektronik.
3.
Bahan Hukum Tersier yaitu bahan
hokum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hokum primer
dan bahan hokum sekunder yang terdiri atas:
a)
Kamus Hukum
b)
Bahan yang bersumber dari internet
c)
Kamus Bahasa Indonesia
d)
Kamus Bahasa Inggris.
D.
Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum
Sehubungan dengan jenis penelitian
yang merupakan penelitian yang merupakan penelitian normatif, maka metode
pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka dengan cara membaca
buku, mempelajari literatur dan mengumpulkan data-data yang selanjutnya diolah
dan dirumuskan secara sistematis.
E.
Tehnik Analisis Bahan Baku
Bahan hukum yang berhasil
dikumpulkan diolah secara teratur dan sistematis, selanjutnya dilakukan
analisis secara kualitatif yaitu meneliti bahan hokum yang ada dalam bentuk
uraian secara deskriptif kualitatif untuk menjawab rumusan masalah.
Metode deskriptif kualitatif yaitu
analisis yang tidak didasarkan atas angka-angka tetapi melalui uraian-uraian
terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dengan menghubungkan bahan hukum sekunder
guna memperoleh gambaran yang jelas dan lengkap menegenai maslah yang akan
dibahas.
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMABAHASAN
Laporan
Intelijen Sebagai Bukti Permulaan Untuk Melakukan Penangkapan Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia
Penangkapan
pada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana merupakan rangkaian
penyidikan, yang didahului dengan penyelidikan. Penyelidikan pada perkara
pidana dimaksudkan mencari bukti permulaan atau alat bukti yang cukup agar
melanjutkan ketahap selanjutnya, dapat dikatakan telah melakukan tindakan
pidana jika perbuatan seseorang tersebut telah memenuhi unsure-unsur yang
dikemukakan para ahli yang salah satunya adalah Moeljanto (2000: 43) yaitu,
adanya perbuatan ( manusia), yang memenuhi rumusan dalam Undang-Undang (syarat
formil), dan bersifat melawan hokum (syarat materil). Sehubungan dengan
penangkapan, pada pasal 17 KUHAP dijelaskan bahwa perintah penangkapan
dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti permulaan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pemberantasan tindaak pidana terorisme
mengenai bukti permulaan dapat dilihat pada pasal 26 yang berbunyi:
(1) Untuk memperoleh bukti
permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat
atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan
Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan
secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri
segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Menurut pasal tersebut pada ayat (1) dinyatakan bahwa
“untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup”, penyidik dapat menggunakan
laporan intelijen. “Kata dapat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
bisa, mampu, sanggup, boleh, mungki (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1990: 209).
1.
Pengertian Laporan
Intelijen sebagai Bukti Permulaan Untuk
melakukan Penangkapan.
Telah dijelaskan dalam pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa laporan intelijen erat kaitannya
dengan bukti permulaan, oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu
ketentuan dalam undang-undang dan sumber-sumber lain diluar undang-undang yang
berisi ketentuan yang memiliki hubungannya dengan bukti permulaan, sehingga
pada akhirnya dapat diketahui apa yang dimaksud dengan bukti permulaan. Ketentuan
tersebut antara lain sebagai berikut:
1)
Menurut pasal 1 butir
14 KUHAP, menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya
atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku
tindak pidana. Berdasarkan hal tersebut seseorang dapat diduga sebagai
tersangka dan selanjutnya dapat dilakukan penangkapan jika bukti permulaan
tersebut telah sesuai pada dirinya. Penyidik harus mengumpulkan bukti permulaan
terlebih dahulu untuk menangkapa seseorang, artinya harus terdapat cukup bukti atau
fakta dari informasi yang sangat dapat dipercaya untuk menduga seseorang
sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti bukan sekedar konklusi.
2)
Menurut pasal 17
KUHAP menyatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut perintah penangkapan hanya dapat dilakukan
terhadap seseorang melakukan tindak pidana karena bukti permulaan yang cukup.
Berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, yang dimaksud dengan bukti permulaan
yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana
sesuai bunyi pasal 1 butir 14 KUHAP, pengertian tersebut tidak jelas karena
hanya mengulang bukti permulaan tanpa menjelaskan arti yang sesungguhnya.
Jadi pengertian ketentuan Pasal 17 KUHAP dihubungkan dengan
Pasal 1 butir 14 KUHAP maka bukti permulaan dapat diartikan sebagai suatu nilai
bukti yang telah mampu atau telah selaras untuk menduga seseorang sebagai
tersangka, dimana bukti yang diperoleh penyidik telah bersesuian dengan keadaan
yang dijumpai pada seseorang tersebut.
3)
Menurut Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, pengertian
bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak
pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai tindak pidana terorisme. Dalam
undang-undang ini tidak dijelaskan apa itu bukti permulaan hanya mengulang kata
bukti permulaan sama halnya yang ada dalam KUHAP.
b.
Sumber Lain diluar
Undang-Undang
1)
Menurut Lamintang
mengatakan bahwa bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu
harus diartikan sebagai bukti-butki minimal, berupa alat-alat bukti seperti
yang dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dapat menjamin bahwa penyidik
tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan terhadap seseorang yang disangka
melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan
(Harun M. Husein, 1991: 113).
Alat
bukti pada pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu:
a)
Keterangan saksi,
b)
Keterangan ahli,
c)
Surat,
d)
Petunjuk,
e)
Keterangan terdakwa.
Semua
alat bukti tersebut dapat dijelaskan defenisisnya masing-masing yaitu:
a)
Keterangan saksi
Alat
keterangan saksi diatur dalam pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP. Bila lebih
cermat lagi terhadap aspek, saksi dikenal sebagai person (Bab I ayat (1) anka
26 KUHAP) dan sebagai alat bukti (Bab I ayat (1) angka 27 KUHAP), Pasal 184
ayat (1) huruf a KUHAP, Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Untuk lebih jelasnya
ketentuan tersebut menyebutkan bahwa:
Saksi dalam KUHAP pada pasal 1 butir 27 yaitu:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, dan ia alami sendiri”.
Sedangkan keterangan saksi terdapat dalam pasal 1 butir 27
yaitu:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebutkan alasan-alasan dari pengetahuannya itu”.
Menurut
Lilik Mulyadi (2007: 62), apabila seseorang yang mendengar, melihat, dan
mengalami sendiri suatu perkara pidana kemudian orang tersebut diminta keterangannya
serta dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), secara yuridis orang tersebut
statusnya masih sebagai saksi dan belum pula sebagai keterangan saksi karena
keterangan tersebut belum “saksi nyatakan disidang pengadilan” (Pasal 185 Ayat
(1) KUHAP).
b)
Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 Butir
28 KUHAP).
Keterangan ahli sebagai gradasi kedua alat bukti yang sah
(Pasal 184 Ayat (1) huruf b KUHAP) adalah “apa seorang ahli dinyatakan disidang
pengadilan” (Pasal 186 KUHAP). Tapi menurut penjelasan Pasal 186 KUHAP
menyebutkan keterangan ahli juga dapat diberikan pada saat pemeriksaan oleh
penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat
dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, (Lilik
Mulyadi, 2007: 183).
c)
Surat
Pada
KUHAP secara substansial tentng bukti surat ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP
yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf
c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
1.
Berita acara dan
surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu.
2.
Surat yang dibuat
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat olleh
pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjdai tanggung
jawabnya dan orang yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal keadaan.
3.
Surat keterangan dari
seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadannya.
4.
Surat lain yang hanya
dapat berlaku jika hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Berdasarkan keterangan diatas maka pada hakikatnya surat
sebagai alat bukti sah menurut undang-undang jika memenuhi kriteria sebagai
berikut ini:
1.
Surat tersebut dibuat
atas dasar sumpah jabatan, dan
2.
Surat itu dibuat
dengan sumpah (Lilik Mulyadi, 2007: 92).
d)
Petunjuk
Petunjuk adalah suatu kejadian-kejadian atau keadaan hal
lain, yang keadaannya dan persamaannya satu sama lain maupun dengan peristiwa
itu sendiri, nyata menunjukan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Didalam
pasal 188 KUHAP menyatakan yang dimaksud dengan petunjuk adalah:
1.
Petunjuk adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainnya, baik antara satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2.
Petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
·
Keterangan saksi;
·
Surat-surat;
·
Keterangan terdakwa.
3.
Penilaian atau
kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan
oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan keseksamaan beradasarkan hati nurani.
Untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa
sesuai dengan dakwaannya, maka diperlukan beberapa petunjuk dimana
undang-undang menyebutkan “kejadian atau keadaan yang karena ada
persesuaiannya” dan seterusnya. Sehingga kejadian tersebut dianggap sebagai
petunjuk-petunjuk karena ada persesuaian dengan tindak pidana yang terjadi,
yaitu antara kejadian itu ada hubungan yang masuk akal (logis). Hubungan yang logis
ini erat kaitannya dengan keterangan saksi, surat-surat keterangan terdakwa.
Penilaian yang tepat dari petunjuk sebagai alat bukti diserahkan pada
kebijaksanaan hakim.
e)
Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa dalam persidangan yang dinyatakan
dihadapan hakim, merupakan keterangan yang menggambarkan bagaimana suatu
peristiwa telah terjadi. Kalau keterangan terdakwa dijadikan bukti, maka ia
harus diiringi dengan alat bukti lain. Pasal 189 memperinci keterangan terdakwa
sebagi berikut:
1.
Keterangan terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri,
atau alami sendiri.
2.
Keterangan terdakwa
yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti
sidang, asalkan keterangan itudidukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3.
Keterangan terdakwa
hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4.
Keterangan terdakwa
saja tidak cukup untuk membuktikan ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakn kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar