PERMASALAHAN PARADIGMA DALAM ILMU HUKUM
A.
RANAH KAJIAN ILMU HUKUM
Ilmu yang mempelajari
hukum disebut secara umum sebagai ilmu hukum yang dalam bahasa inggrisnya
disebut sebagai Jurisprudence. Kata Jurisprudence muncul dari kata Latin Jurisprudential yang artinya the study, knowledge, or science of law. Ranah
kajian ilmu hukum sesungguhnya selalu berkembang seiring perkembangan umat
manusia dalam pencarian keadilan (searching
for the justice) itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang hukum tidak
terlepas dari kajian yang telah ada
sebelumnya. Implikasi lebih lanjut, sebenarnya tidak boleh ada pemisahan secara
ketat dan dikotomik terhadap pemahaman study normatif (doktrinal) dengan
pemahaman study hukum non doktrinal.
Tulisan ini
bermaksud untuk menjelaskan ilmu hukum sebagai study normatif dengan segala
implikasinya dan ilmu sebagai study keilmuan dengan segala implikasinya pula.
Hasil yang diharapkan dari penjelasan ini agar kita tidak terkunkung dari
pandangan yang mendikotomikan (atau bahkan mempertentangkan) secara ekstrim
bahwa kajian hukum dalam prespektif keilmuan ( yang sifatnya mendoktrinalkan
adalah salah sebaliknya. Keduanya tidak dapat dipisahkan begitu saja karena
masing-masing saling memberi sumbangan satu sama lain dan muaranya pun juga
demi tujuan keterbukaaan hukum itu sendiri
agar lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Adapun ranah
kajian Ilmu hukum di jabarkan beberapa kajian sebagai berikut:
1.
Hukum sebagai obyek study
Yaitu hukum disini di konsepsikan sebagai sistem kumpulan norma-norma
positif didalam kehidupan masyarakat. Jadi kalau hukum dijadikan study maka
penelitian yang dilakukan dlaam study hukum padaa akhirnya adalah untuk
mengetahui kaidah-kaidah hukum yang seharusnya berlaku dan sebaliknya yang
tidak boleh berlaku. Artinya pemahaman hukum sebagai obyek study ini harus
tetap menjadi pegangan bagi mereka yang hendak mengkaji hukum dalam ranah
kajian doktrinal maupun ranah kajian non-doktrinal. Hal ini semata-mata untuk
mengembalikan pemikiran bahwa kajian doktrinal maupun non-doktrinal dalam ilmu
hukum tetap sama yaitu mewujudkan tujuan hukum yang diidentifikasi berikut:
Menstabilkan pergaulan hidup, merealisasikan ketertiban dan perdamaian serta
mewujudkan keadilan.
2.
Legal formalism (Jurisprudence)
Dalam konteks ini, maka tugas pendidikan hukum tidak ubahnya sekedar
memelihara kemurnian ajaran-ajaran hukum tersebut, danmenghasilkan
praktisi-praktisi hukum yang mampu menerapkan peraturan-peraturan yang
dilandasi doktrin-doktrin netralitas, imparsialitas dan objektifitas hukum.
Pendidikan hukum, dengan demikian lebih cenderung akan menghasilkan praktisi
profesional. Praktisi hukum yang dihasilkan adalah pelaku-pelaku hukum yang
diharapkan mampu membuat keputusan pihak mana yang salah dan mana yang benar
berdasarkan ketentuan hukum.
3.
Sosiological Jurisprudence
Pendidikan hukum disini bukn bermisi mencari dan menemukan dasar
legitimasi suatu fakta apakah fakta itu bertentangan dengan hukum atau tidak,
tetapi bermisi menemukan pola-pola keajegan, keteraturan yang berulang yang
menimbulkan Opinio juris sive
nececitatis, yang akhirnya bisa dimanifestasikan dalam perturan atau
landasan keputusan hakim dalam suatu kasus. Akan tetapi sekalipun cara studynya
sudah menggunakan logika silogisme induktif, tetapi Sociological Jurisprudence masih mengkonsepsikan hukum yang lahir
dari realitas itu sebagai ketentuan hukum yang bersifat netral, tidak berpihak
dan impersonal seperti pandangan Legal
Formalism terhadap hukum. Jadi bisa dikatakan bahwa Sociological Jurisprudence, sekalipun sudah melihat pentingnya
fakta sosial, tetapi masih merupakan kajian hukum dalam ranah Jurisprudence yang berparadigma
positivistik. Realitas yang ada dianggap merupakan realitas yang sesungguhnya.
4.
Sociolegal Studies
Kajian-kajian ilmu sosial meneunjukan bahwa penelitian sosial yang
mengadopsi metode sains empirik seperti yang dianut aliran Leagal Ralism dan ranah kajian hukum Sociologocal Jurisprudence merupakan kajian yang dianggap masih
konvensional. Dalam kajian ini ada pembagian realitas empirik dan realitas
virtual atau simbolik. Istilah realiats empirik dalam ranah kajianmenunjukan
bahwa realitas yang tampak kasat mata di yakini merupakan realiats yang
sebenarnya. Istilah realitas virtual atau simbolik menunjukan bahwa realitas
yang tampak bukanlah hal yang sesungguhnya. Hal(relitas) yang sesnugguhnya
tersembunyi dibalik perilaku yang kasat mata, dan ini hanya bisa teliti melalui
Learning From The People baik secara
hermenutik atau melalui observasi parsitipatif yang dibantu dengan kajian
sosial lain, seperti sejarah, politik dan ekonomi. Kajian dalam ilmu hukum yang
tidak lagi mendasarkan pendekatan pada paradigma positvisme (yang elihat fakta
sebagaimana adanya) dan mulai melihat karakter tertentu dari perilaku sosial
(bahwa perilaku sosial tidak pernah pasti, selalu penuh dengan ketidakaturan,
baik realitas emp-irik maupun virtual) dengan bantuan-bantuan ilmu lain. Inilah
hal-hal yang dikajian Sociolegal Studies.
5.
Sociology Of Law
Dalam kajian ini hukum
dikonsepsikan sebagai instrumen untuk meneliti atau menjelaskan keadaan
masyarakat yang sebenarnya, dengan tujuan akhir adanya upaya mendeskripsikan
keadaan masyarakat ataupun melakukan perubahan masyarakat. Jadi didalam
Sosiologi Hukum, hukum di kaji bukan untuk tujuan hukum itu sendiri, tetapi
dikaji untuk menjelaskan masyarakat (tatanan sosial).
Dalam konteks
Sosiologi Hukum inilah, kajian hukum mulai dilibatkan penelitian empirik,
karena kajian tentang perilaku masyarakat ( yang kemudian melahirkan
hukum-hukum dalam masyarakat tersebut) mesti merupakan kajian empirik .
Kosekuensinya, didalam Sosiologi Hukum, bahasan tentang dimensi tentang hakiki
dari tujuan hukum bukan tujuan utama.
Berdasarkan penjelasan
uraian diatas maka kami sebagai penulis merumuskan bahwa semua kajian-kajian
keilmuan hukum diatas sangat ditentukan oleh kajian-kajian teori para pakar
ilmuwan terdahulu. Dimana para ilmuwan ini mereka dengan satu pendapat kemudian
muncul nama istilah paradigma keilmuan, dimana kajian keilmuan ini sangat
berpengaruh dengan tujuan kajian yang ditelusuri kedepannya. Perubahan suatu
keilmuan sangat di tentukan dengan paradigma yang ada pada jamanya khusunya di
bidang paradigma keilmuan hukum.
B.
HUBUNGAN PARADIGMA DENGAN ILMU HUKUM
Ilmu hukum
merupakan salah satu disiplin ilmu tertua di dunia, jauh sebelum
ilmu lain, seperti teknik,
ekonomi, psikologi, sosiologi dan lainnya. Di
dalam perkembangannya dalam ribuan
tahun tersebut dapat diperkirakan bahwa
struktur pengkajiannya juga telah mencapai tingkat kemapanannya.
Perpengkajian hukum tersebut sudah barang tentu tidak terlepas dari
kajian tentang hukum
itu sendiri sehingga memunculkan
paradigma-paradigma Ilmu hukum yang berbeda-beda pula sesuai dengan
fenomena-fenomena hukum dalam kehidupan
masyarakat. Sebab Ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan yang terikat
dengan paradigma yang terus mengalami perkembangan yang tidak putus-putus
melainkan berkelanjutan.
C.
BENTUK-BENTUK PARADIGMA
1.
Paradigma Thomas Khuhn
Yaitu di dalam karya pikirnya yang
terkenal yaitu “The structure of
Scientific Revolution (1962)”, Khuhn mengemukakan pardigma
merupakan sistem berpikir ilmiah.
Menekankan revolusi
sains dan penggabungan peran penegetahuan keilmuan sosial kedalam ilmu
filsafat.
Thomas Khun dalam
karyanya menggunakan istilah paradigma. Paradigma menurut Kuhn adalah
keseluruhan konstelasi asumsi teoritis umum,
hukum, dan prinsip-prinsip metafisis
yang membimbing para
ilmuwan dalam bekerja dan
berkomunitas di dalam masyarakat ilmiahnya. Dengan perkembangan pardigmanya
yang terkenal yaitu ajaran “normal
science” .
Dalam tahap normal
science ini terdapat tiga focus penelitian sains faktual, yaitu:
§ menentukan fakta yang penting,
§ menyesuaikan fakta dengan teori.
§ mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa
ambiguitasnya yang masih tersisa.
2. Paradigma Circles (Mashab Wina atau "Wissenchaftliche Welstanchaung)
Paradigma yang menjadi ciri mashab ini ialah logika
positivisme, satu pandangan yang
melihat pengetahuan keilmuan sebagai sesuatu yang bersifat induktif, verifikasi yang didasarkan
pada pengalaman (pengamatan), itu
diyakini sebagai sifat obyek dari sains.
Dalam
perkembangannya logika positifisme karena pengaruh pemikiran pragmatis Amerika,
berubah menjadi logika empirisme, suatu pandangan bahwa obyektivitas sain dapat
dilakukan dengan proses berpikir
aksiomatis.
Proses yang bermula dari basil pengamatan yang dikaitkan dengan pemahaman teori (yang sudah
menghasilkan kesimpulan hukum empiri baru (proportions verify propotions).
2.
Paradigma Robert K.
Merton
Hasil karya Merton yang
menonjol adalah modifikasi pendekatan fungsional dalam mempelajari pelaku
sosial manusia melalui penyusunan "middle range theory".Upaya yang
diwujudkan melalui paradigma fungsional itu diarahkan untuk menyusun
spesifikasi dan pengelaborasian konsep-konsep yang relevan, serta
mendorong diadakannya revisi
dan reformulasi sistematik
yang didasarkan temuan-temuan
empirik.
Fungsionalisme bagi
Merton adalah strategi penataan konsep dan pensortiran proses sosial yang
bermanfaat dari sejumlah proses sosial yang nirmanfaat. Maka tak heran Robert
K. Merton di juluki pengikut aliran
fungsional strukturalis dalam sosiologi.
3. Paradigma Circles (Mashab Wina atau "Wissenchaftliche Welstanchaung)
Paradigma yang menjadi ciri mashab ini ialah logika
positivisme, satu pandangan yang melihat
pengetahuan keilmuan sebagai
sesuatu yang bersifat induktif, verifikasi
yang didasarkan pada pengalaman,(pengamatan), itu diyakini sebagai sifat obyek
dari sains.
Dalam perkembangannya
logika positifisme karena pengaruh pemikiran pragmatis Amerika, berubah menjadi
logika empirisme, suatu pandangan bahwa obyektivitas sain dapat dilakukan
dengan proses berpikir
aksiomatis.
Proses yang bermula
dari basil pengamatan yang dikaitkan dengan pemahaman teori (yang sudah
menghasilkan kesimpulan hukum empiri baru (proportions verify propotions).
D.
PERMASALAHAN PARADIGMA DALAM
ILMU HUKUM
1. Adanya Pemikiran Hukum Alam (Natural Law)
Yaitu terarah pada pencarian keadilan absolut, pencarian
hukum ideal melampaui pemikiran hukum positif.
Teori
hukum alam dapat dikatakan sebagai sebuah paradigma yang paling tua dan
sekaligus paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari
ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam
sesungguhnya merupakan pengembangan/ penyempurnaan saja dari paradigma hukum
alam. Dalam teori hukum alam, hukum dianggap sebagai nilai universal yang
selalu hidup di setiap sanubari manusia, masyarakat, maupun negara. Hal ini
disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang
menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.
Bahkan disebutkan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem
hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat Ketuhanan yang berdasarkan atas
akal budi atau hukum alam itu sendiri, sehingga hukum alam lebih superior
dibandingkan dengan hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari
norma-norma yang bukan makna dari tindakan kemauan manusia; karena itu
nilai-nilai yang dibentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy),
subjektif, atau pun relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum yang dari
akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan
kemauan dari seseorang yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator
moral atau hukum. [1]
Kekuatan utama dari paradigma/aliran ini tidak hanya bertumpu pada nilai
moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaian nilai-nilai keadilan
dalam masyarakat. Para pemikir hukum alam berkeyakinan bahwa keadilan merupakan
sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan keduanya sering
diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki
banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah
alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai
“cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara. [2]
Keadilan merupakan tujuan utama dari aliran hukum alam. Menurut Plato (427-347
SM) yang juga merupakan murid dari Socrates (399 SM), kekuatan moral adalah
unsur dari hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan
kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut
hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat
manusia. Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki
sifat universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum
dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan
sosial.[3]
Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh
negara kepada setiap penduduk/warga negara dan hukum yang baik adalah hukum
yang menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa terkecuali dan non-diskriminatif.
Secara eksplisit, Aristoteles menyatakan bahwa “keadilan adalah suatu kebijakan
politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan
aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak”.[4] Plato
dan Aristoteles merupakan pelopor dari paradigma hukum alam yang banyak
memengaruhi pikiran-pikiran filsuf Romawi Kuno seperti St. Agustinus dan Thomas
Aquinas, yang keduanya merupakan tokoh-tokoh pembaruan hukum alam.
St. Agustinus menekankan
pentingnya keadilan dalam setiap hembusan napas hukum negara. Dia mengatakan
bahwa “hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum”. St. Agustinus juga
membedakan antara hukum ilahi (jus divinum) dan hukum manusia (jus humana). Apa
yang disebut dengan hukum alam adalah hukum ilahi, sedangkan jus humana adalah
kebiasaan (customs).[5]
Di sisi lain, Thomas Aquinas
menyatakan bahwa: “semua hukum buatan manusia dalam penalarannya memiliki
kedudukan sebagai yang diturunkan dari hukum alam, jika suatu aspek hukum tidak
diturunkan oleh hukum alam, maka hukum tersebut cacat sebagai hukum, hukum tersebut
tidak dapat memberikan keadilan dan itu bukanlah hukum.” Thomas Aquinas
menggambarkan hukum alam sebagai puncak hierarki hukum abadi, dimaknai suatu
pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa
alam semesta.
Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa hukum alam sebenarnya bukan suatu
jenis hukum, tetapi penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan
menjadi satu nama, yaitu “Hukum Alam”. Esensi dari hukum alam dapat disimpulkan
sebagai berikut:[6]
1.
Merupakan ideal-ideal yang
menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,
2.
Suatu dasar dalam hukum yang
bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total
antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”,
3.
Suatu metode untuk menemukan
hukum yang sempurna,
4.
Isi dari hukum yang sempurna,
yang dapat dideduksikan melalui akal, Suatu kondisi yang harus ada bagi
kehadiran hukum.
2. Adanya Pemikiran analyitis Positivisme
(Rechtsdogmatic)
Yaitu Cirinya bersifat transendental yang merupakan awal
lahirnya analytical wrisprudence.
Bicara mengenai aliran positivisme, bahwa aliran ini sama
tuanya dengan filsafat. Namun baru berkembang pesat pada abad ke 19 tatkala empirisme
mendominasi pemikiran. Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan
empirisme[8] . Artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat dipisahkan.
Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang
beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif
saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan
tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat[9] .
Di dalam aliran positivisme hukum dikenal dua sub aliran yaitu :
Aliran hukum yang analisis, pendasarnya adalah John Austin
Aliran hukum positif yang murni, didepelopori oleh Hans Kelsen.
Dalam tulisan ini sebagaimana dinyatakan terdahulu, memfokuskan pada aliran
hukum positif yang analitis oleh John Austin. Positivisme yang dirintis John
Austin, yang diberi nama Analytical Judisprudence, dekat sekali dengan mazhab
hukum umum. Austin menggunakan metode analisa saja. Melalui analisa
sistem-sistem hukum tertentu Austin ingin sampai pada suatu ide umum tentang hukum.
Berdasarkan metodenya yang empiris belaka, Austin sampai pada pengertian
tentang Negara, yang menurutnya berlaku secara mutlak. Negara dipandangnya
sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah
tertentu. Negara-negara timbul dan dipertahankan, oleh sebab kebanyakan bawahan
mempunyai kebiasaan mentaati pemerintah. Bila kebiasaan itu berhenti maka sudah
tidak terdapat negara lagi. Terdapat bermacam-macam alasan untuk mentaati
pemerintah. Ada orang yang mentaati oleh sebab mereka berpegang teguh pada
prasangka bahwa pemerintah selalu harus ditaati. Sementara alasan lain karena
takut akan kekacauan, bila negara dirombak. Semuanya ini dipastikan dalam
pengalaman. Nilai-nilainya tidak dipersoalkan. Dapat dipastikan juga bahwa yang
berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum. Di atas yang berkuasa hukum tidak
ditemukan. Diungkapkan oleh Austin bahwa tiap-tiap Undang-undang positif
ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau
sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota-anggota dari
suatu masyarakat politik yang berdaulat, dalam mana pembentuk hukum adalah yang
tertinggi. Dengan ketentuan ini Austin tidak menyangkal adanya norma-norma
hukum ilahi, norma-norma moral dan juga hukum internasional. Dipastikannya
saja, bahwa semua prinsip tersebut tidak mampu untuk meneguhkan atau meniadakan
hukum yang berlaku dalam suatu negara[10] .
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai “a command of
the Lawgiver” (perintah dari pembentuk Undang-undang atau penguasa), yaitu :
suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat
tertutup (close logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi
dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan
atau penilaian baik buruk.
Aliran positivisme hukum yang analitis yang dipelopori oleh John Austin
tersebut pada sekitar abad ke-19 dan dalam bagian pertama abad ke-20, tampaknya
menguasai pemikiran hukum di Barat, yang kemudian juga di dasarkan pada
filsafat Yunani. Dimana cukup jelas peranan aliran positivisme terutama yang
analitis tersebut bahwa penerapan hukumnya dilakukan oleh pihak penguasa.
Dengan adanya identifikasi hukum yang aplikasinya diterapkan dengan
undang-undang akan menjamin bahwa setiap individu dapat mengetahui dengan pasti
apa saja perbuatannya yang boleh dilakukan dan apa saja perbuatannya yang tidak
boleh dilakukan. Bahkan negarapun kemudian akan bertindak dengan tegas dan
konsekuen sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan, dalam
melaksanakan keadilan menurut ketentuan negara. Begitu pula dengan penerapan
hukum melalui ketentuan-ketentuannya dan peraturan-peraturannya yang ada yang
telah dibuat harus dilaksanakan sesuai dengan segala sesuatu yang telah
ditetapkan.
Austin adalah tokoh pertama yang memisahkan secara tegas antara hukum positif
dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas
antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif
saja, tidak membahasa hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama.
Tanpa memperdulikan baik atau buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh
masyarakat.
Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa
yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi
apabila perintah itu dilanggar. Semua hukum positif adalah perintah. Perintah
dari yang berdaulat atau command of sovereign atau command of law-giver.
Pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh peraturan yang dibuatnya sendiri,
maupun oleh asas-asas yang berasal dari atas (moral dan agama). Masalah
kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari hukum positif adalah bersifat
pra-legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau sosiologi) dan
hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataannya[12] .
Namun disamping kebaikan-kebaikan yang ada dan dikemukakan oleh Aliran
Positivisme yang Analitis tersebut sudah, sudah barang tentu terdapat beberapa
kelemahan yakni tentang ajaran-ajarannya yang kurang sesuai dan bertentangan
dengan berbagai pihak terutama masyarakatnya yang hidup dan berdiam dalam masa
tersebut. Apabila dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok
dalam Aliran Positivisme yang Analitis tersebut adalah justru dengan adanya
identifikasi Hukum dan Undang-undang tersebut. Karena jika dilihat dengan
nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan
dan ketentuan tersebut telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan dalam
masyarakat dan juga secara langsung hakim akan menjadi terikat pada
Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga memiliki kelemahan/ kekurangan, seperti yang
dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:
1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya
dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu
dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat
cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan
dengan masyarakat.
2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua
peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut
kekosongan hukum (Bagir Manan. 1992:8)
Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan Undang-undang yang demikian
kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan pemerintah, kemudian pada akhirnya
dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan Undang-undang tersebut disalah gunakan
oleh pihak-pihak tertentu yang akan menguasai negara secara mutlak dan absolut
sesuai dengan keinginannya yang ada pada masa itu. Dimana kemudian pihak
penguasa dalam negara dapat menggunakan ketentuan hukum dan Undang-undang untuk
memberikan legitimasi kepada tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya, dimana
menurut perasaan hukum masyarakat tindakan tersebut adalah merupakan tindakan
yang tidak bermoral dan kriminal serta menjadi kejam. Sehingga kemudian
semua-semua ketentuan dan kehendak yang dikeluarkan oleh perintah pribadi
penguasa dapat dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
dalam masyarakatnya, dan kemudian individu-individu yang ada dalam lingkup
masyarakat akan berada pada posisi yang dilematis, dimana disatu pihak hukum
dan ketentuan dari penguasa tidak dapat dipertahankan secara konsekuen, apabila
ketentuan hukum dan perundang-undangan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk
menindas dari ketidak adilan.
Pendapat yang menyatakan bahwa jika undang-undang telah tersedia, terkodifikasi
atau fragmentaris maka sudahlah cukup sarana perundang-undangan untuk
diandalkan buat menindak setiap pelanggaran ataupun untuk melindungi
kepentingan dalam masyarakat. Kurang diperhatikan dan disadari, bahwa pada
aturan hukum yang dianggap mendekati keadilan harus dipenuhi syarat bahwa hukum
harus mampu mencerminkan tuntutan hati nurani masyarakat khususnya perasaan
keadilan mereka.
Telah terjadi pergeseran prinsip dan konsepsi dari Negara Hukum menjadi negara
Undang-undang yang meletakkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sebagai
ukuran kebenaran. Di dalam undang-undang seperti ini setiap tindakan pemerintah
yang tidak adil diberi pembenaran dengan perbuatan undang-undang melalui
penggunaan atribusi kewenangan sehingga hukum ditempatkan sebagai alat
justifikasi dengan watak positivist – instrumentalistik.
Dalam ajaran Austin dikatakan bahwa hukum dianggap sebagai suatu sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Dengan sifat tetap
dan tertutup dari hukum tersebut, maka hukum pada masa itu tidak menerima
perkembangan dari pihak manapun sekalipun perkembangan tersebut berasal dari
dalam masyarakat lingkup negaranya, akibatnya hukum tidak mengenal dispensasi
dan penyimpangan yang dianggap oleh masyarakat setempat tidak sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa setiap hukum harus selalu
dipatuhi, oleh karena kadang-kadang hukum pun memberikan dispensasi bagi
terjadinya penyimpangan-penyimpangan sepanjang ketentuan tersebut tidak atau
bukan merupakan suatu kejahatan atau delik. Terutama dalam ketentuan hukum yang
bersifat privat (terutama dalam hal pembuatan perjanjian diantara pihak-pihak),
bahwa ketentuan hukum yang dibuat biasanya tergantung pada kesepakatan antara
kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban, kesusilaan
dan kepatutan. Dengan demikian, masalah utamanya adalah bagaimana mengusahakan
agar warga-warga masyarakat secara maksimal dapat mematuhi ketentuan hukum
tanpa menterapkan paksaan atau kekerasan. Jadi secara sederhana dapat
dikatakan, bahwa yang harus diusahakan adalah peraturan-peraturan yang sifatnya
tertulis, baik, kewibawaan petugas dan fasilitas pendukung yang cukup, walaupun
secara nyata tidaklah dapat dikatakan sebagai hal yang sederhana.
Terhadap ajaran dari Austin yang menyatakan tentang hukum dalam arti yang tidak
sebenarnya, yakni hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, bahwa
dari ketentuan tersebut jelas terlihat, meskipun hukum disini dapat saja dibuat
atau ditetapkan bukan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang, akan tetapi
tetap keberadaan dari hukum tersebut pada akhirnya tidak diakui oleh pihak
penguasa. Karena konsepnya jelas bahwa hukum tersebut diklasifikasikan sebagai
hukum dalam arti yang tidak sebenarnya. Dengan demikian, tetap saja ajaran dari
Austin tersebut tidak dapat memberikan tempat bagi masyarakat, berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dianut sehingga kemungkinan terbentuk
menjadi suatu aturan yang lebih dihormati dalam masyarakat yang ada menjadi
tidak berdaya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dari kehidupan bersama
manusia yang kemudian mengadakan hubungan dan saling berinterksi antara satu
dengan yang lainnya, sehingga akan tercipta hukum. Baik negara maupun hukum
timbul dari kehidupan manusia karena keinginan hati dari masing-masing individu
untuk memperoleh ketertiban. Akan tetapi konsep yang seperti ini tidak tampak
pada ajaran positivisme yang analitis. Dengan adanya hukum dalam arti yang
absolut dan mutlak dari konsekuensi aliran positivisme yang analitik ini,
karena makna dari hukum yang dibuat oleh manusia tersebut akan menjadi suatu
bentuk dari perintah dan ketentuan yang mutlak yang berasal dari penguasa
menjadi suatu keharusan bagi masing-masing individu untuk menjalankannya dengan
suka atau tidak suka ataupun mau dan tidak mau. Masyarakat diwajibkan untuk
menjalankan dengan sepenuh hati sehingga kemungkinan untuk terbentuknya suatu
rezim penguasa yang otoriter dari negara yang menganut ajaran ini akan tercipta
dengan mudah sekali.
PENUTUP
Sebagai penutup dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aliran
hukum positif yang analitis mempunyai suatu kekuatan yakni aliran ini banyak
dianut oleh para pemikir hukum di Barat di abad ke 19 dan awal abad ke-20.
keberhasilan dari aliran ini terlihat pada bentuk kepastian hukum yang
benar-benar terjamin pada masing-masing negara yang menganutnya. Akan tetapi
dari ajaran tersebut yang telah berkembang pada konsep para pemikir di Barat,
ajaran-ajran dari hukum positif yang analitis ini juga mempunyai banyak
kelemahan di sana-sini. Adapun titik kelemahannya yang pokok, bahwa aliran
hukum positif yang analitis itu cenderung membuat suatu kekuatan dari penguasa
untuk membentuk suatu pemerintahan absolut. Hal ini disebabkan karena adanya
empat unsure penting dari ajaran John Austin untuk dapat dinamakan hukum, yang
di dalamnya terdiri dari perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sehingga
dengan empat unsur penting dari hukum tersebut membuat para penguasa yang
mebentuk ketentuan hukum dan undang-undang menjadi suatu keputusan yang mutlak
harus dilaksanakan tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk
memberikan masukan-masukan yang berkembang dan tumbuh dari dalam masyarakatnya
sendiri. Semua ketentuan hukum dan undang-undang yang terbentuk menjadi suatu
perintah dan kewajiban yang harus dijalankan dan ditaati, kemudian mempunyai
sanksi yang mengikat para pelaksana hukum menjadi secara langsung terikat
karenanya. Kemudian yang terakhir bahwa semua pembuat ketentuan hukum dan
undang-undang yang dalam hal ini adalah pihak penguasa hanya dapat terlaksana
jika pihak penguasa sebagai pihak yang memerintah tersebut merupakan pihak yang
berdaulat. Dari ketentuan tersebut dapat dianalisa bahwa pihak penguasa ataupun
pihak pemerintah yang berdaulat sebagai pembentuk ketentuan hukum dan
undang-undang sebetulnya tidak perlu dipertegas lagi, karena jelas suatu Negara
yang telah memiliki pemeritahan sendiri, rakyat sendiri dan wilayah sendiri
tentunya sudah merupakan sesuatu (dalam hal ini dapat disebut Negara) yang
dianggap berdaulat atau memiliki kedaulatan sendiri, dan juga sebenarnya dengan
telah adanya kedaulatan yang merupakan bagian dari suatu negara yang tidak
dapat dipisahkan, maka kedaulatan sudah merupakan bagian dari bentuk dan sistem
politik pemerintahan dalam negara itu sendiri.
3. Adanya Pemikiran Hukum Umum
Yaitu yang terfokus pada
pembicaraan tentang sistemisasi hukum, Penafsiran Hukum oleh piranti-piranti
hukum (legal proffesions).
Yaitu dicirikan pada
1.
Teori Hukum Menurut Jan
Gijssels dan mark van Hoecke
Jan Gijssels dan Mark van
Hoecke, adalah dua pemikir yang ada pada tradisi berbeda dengan Black dan
Milovanovich, yaitu keduanya ada pada ranah pemikiran kontinental. Menurut
mereka, Teori Hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi
dan sangat terkait erat dengan Ajaran Hukum Umum,[1] setelah
pada tahun 1930-an Teori Hukum mengalami kemerosotan, tetapi kemudian seiring
dengan perkembangan banyak disiplin kajian lain, Teori Hukum mengalami
perkembangan yang pesat,
“…… Hidupnya kembali Teori
Hukum memperlihatkan hubungan erat dengan penyebab timbulnya ajaran Hukum Umum
pada abad ke sembilanbelas. Jika perkembangan dari Ajaran Hukum Umum, sebagai
dosiplin yang baru pada abad kesembilanbelas diinspirasi (diilhami) oleh sukses
ilmu-ilmu hukum positif, maka perkembangan definitif dari teori hukum menjadi
sebuah disiplin mendiri pada paruh waktu kedua dari abad duapuluh diinspirasi
oleh timbulnya ilmu-ilmu baru atau cabang-cabang baru dari ilmu yang sudah ada,
seperti informatika, Logika Deontik, Kibernetika, Sosiologi Hukum, Etiologi
(hukum) dan sejenisnya.[2]
Kesinambungan antara Teori
Hukum dengan Ajaran Hukum Umum dalam dua aspek sebagai berikut:
1.
Teori Hukum sebagai kelanjutan
dari Ajaran Hukum Umum memiliki obyek disiplin mandiri, suatu tempat di antara Dogmatik
Hukum di sati sisi
dan Filsafat Hukum di sisi lainnya. Di saat ajaran Ajaran
Hukum Umum oleh beberapa penulis, di antaranya Adolf Merkel masih dipandang
sebagai pengganti (penerus) ilmiah positif dari Filsafat Hukum Metafisikal yang
tidak ilmiah, dewasa ini teori Hukum diakui sebagai disiplin ketiga di samping
dan untuk melengkapi, Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum, yang masing-masing
memiliki (mempertahankan) wilayah dan nilai sendiri-sendiri.
2.
Sama seperti Ajaran Hukum Umum
dewasa itu, Teori Hukum, setidaknya oleh kebanyakan dipandang sebagai ilmu
a-normatif yang bebas nilai. Ini yang persisnya membedakan Teori Hukum dan
Ajaran Hukum Umum dan Dogmatika Hukum.[3]
Namun satu hal yang sangat
fundamental menurut kedua pemikir itu, terjadinya proses evolusi dari apa yang
menjadi obyek penelitian Ajaran Hukum Umum, seperti isi aturan hukum dan
pengertian-pengertian hukum atau konsep yuridik, menjadi suatu penelitian
tentang struktur dan fungsi dari kaidah hukum dan dari sistem hukum, yaitu
merupakan tema-tema penting objek penelitian teori Hukum.[4]
Untuk lebih memahami apa itu
Teori Hukum, khususnya batas-batas wilayahnya, lebih lanjut dalam pemikiran
mereka perlu dijelaskan secara rinci tentang apa yang disebut Dogmatik Hukum,
Filsafat Hukum serta perbedaannya tentang Teori Hukum.
1.
Dogmatik Hukum
Ajaran Hukum (rechtsleer) atau Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek),
juga sering disebut Ilmu Hukum (rechtswetenschap) dalam
arti sempit, bertujuan untuk mempaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti
tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku.[5] Walaupun
demikian, Dogmatik Hukum itu bukanlah ilmu netral yang bebas nilai.[6] Tidak
karena hukum itu adalah suatu kesalingterkaitan nilai-nilai dan kaidah-kaidah,
bukanlah dalam asasnya sangat mungkin untuk mempaparkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah
sebagai ketentuan-ketentuan faktual secara sepenuhnya netral dan objektif.
Ajaran Hukum tidak dapat membatasi pada suatu pemaparan dan sistematisasi,
melainkan secara sadar mengambil sikap berkenaan dengan butir-butir yang
diperdebatkan. Jadi Ajaran Hukum dalam hal-hal yang penting tidak hanya deskriptifmelainkan
juga preskriptif (bersifat
normatif).[7]
1.
Filsafat Hukum
Filsafat Hukum adalah Filsafat
Umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat
pertanyaan-pertanyaan yang paling dalam dibahas dalam hubungannya dengan makna,
landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan.[8] Menurut
mereka Filsafat Hukum memiliki telaah sebagai berikut :[9]
1.
Ontologi hukum,
penelitian tentang hakekat dari hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan
hukum dengan moral;
2.
Aksiologi hukum,
penentuan isi dan nilai-seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan
lain-lain;
3.
Ideologi Hukum (ajaran
pengetahuan), bentuk metafilsafat;
4.
Epistemologi Hukum (ajaran
pengetahuan), bentuk metafilsafat;
5.
Theologi Hukum,
hal menentukan makna dan tujuan;
6.
Ajaran ilmu dari Hukum,
meta-teori dari Ilmu Hukum;
7.
g. Logika
Hukum.
Hasil dari penalaran Filsafat
Hukum tidak dapat diuji secara empirik untuk keeluruhannya, dan secara rasional
untuk sebagaiannya. Penalaran filosofis sendiri memang harus selalu memenuhi
syarat-syarat minimum tertentu dari rasionalitas, yakni harus tepat secara
logikal dan terbuka bagi diskusi rasional.
1.
Hubungan Dogmatik Hukum dengan
Teori Hukum
Tentang hal ini dikatakan oleh
keduanya, bahwa Dogmatika Hukum dan Teori Hukum tidak saling tumpang tindih,
melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana
di bawah ini.
1.
Dogmatik Hukum mempelajari
aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak
a-normatif), maka Teori Hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini;
2.
Dogmatika Hukum berbicara
tentang hukum. Teori Hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum
berbicara tentang hukum;
3.
Dogmatika Hukum mencoba lewat
teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada
pandangan pertama tidak dapat diterapkan pada situasi masalah konkret, maka
Teori Hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik
interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasi
dan sejenisnya.[10]
Teori Hukum tidak terarah pada
penyelesaian masalah-masalah hukum yang konkret satu kategori-kategori dari
masalah hukum sebagaimana kajian Dogmatika Hukum, melainkan hanya pada upaya
mempelajari teknik-teknik dan metode yang digunakan Dogmatika Hukum dan prektek
hukum untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum. Jadi masalah-masalah hukum
konkret memeng dapat mempengaruhi persoalan-persoalan Teori Hukum.[11]
1.
Hubungan Filsafat Hukum dan
Teori Hukum
2.
Jika Teori Hukum mewujudkan
sebuah meta-teori berkenaan dengan Dogmatika Hukum, maka Filsafat Hukum
memenuhi fungsi dari sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.
3.
Secara struktural Teori Hukum
terhubungkan pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatika Hukum
terhadap Teori Hukum.
4.
Filsafat Hukum merupakan sebuah
meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.
5.
Filsafat Hukum sebagai ajaran
nilai dari teori Hukum dan Filsafat Hukum sebagai ajaran Ilmu dari Teori Hukum.
6.
Filsafat Hukum sebagai Ajaran
ilmu dari Teori Hukum dan sebagai Ajaran Pengetahuan mewujudkan sebuah
meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasan lebih
jauh, mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari
kegiatan-kegiatan dari Teori Hukum itu sendiri sebagai obyek studi.[12]
Dari hal di atas dapatlah
disimpulkan sebagai berikut; hubungan Teori Hukum dan Filsafat dapat dirangkum
sebagai sebuah hubungan meta-disiplin (Filsafat Hukum) terhadap disiplin obyek
(Teori Hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu
pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah
positif terhadap gejala hukum. Dengan demikian maka Filsafat Hukum dapat
bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya
sendiri didiskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya Teori Hukum itu
rasional (atau tidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar kriteria
umum, yang diterima oleh setiap orang.[13]
1.
Teori Hukum dan Ilmu Lain yang
Objek Penelitiannya Hukum
Teori Hukum secara esensial
bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa Teori Hukum dalam derajat
yang besar akan menggunakan hasil-hasil penelitian dari berbagai disiplin yang
mempelajari hukum; Sejarah Hukum, Logika Hukum, Antropologi Hukum, Sosiologi
Hukum, Psikologi Hukum dan sejenisnya.
Tipikal dari Teori Hukum adalah
bahwa dalam hal ini ia memainkan peranan mengintegrasikan, baik yang berkenaan
dengan hubungan antara disiplin-disiplin ini satu terhadap yang lainnya maupun
yang berkenaan dengan integrasi hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin
ini dengan unsur-unsur Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum.[14]
Secara umum kedua pemikir itu
menjelaskan bahwa, sudut pandang bidang Teori Hukum adalah kepentingan untuk
lewat jalan ilmiah metodikal memperoleh sesuatu pemahaman teoritikal yang lebih
baik secara global dan memberikan suatu penjelasan global tentang gejala-gejala
hukum. Jadi sifatnya ini sama sekali bukan sudut pendekatan yuridik-teknikal,
melainkan sesuatu pendekatan yang lebih teoretikal, yang didalamnya bukan
pemeparan dan sistematisasi hukum yang mewujudkan titik tolak melainkan
analisis dan penjelasan terhadap gejala hukum dalam semua aspeknya.
************************************
Sinzheimer
Hukum tidaklah bergerak dalam
ruang hampa dan berhadapan dengan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia
selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan dalam lingkup
manusia-manusia yang hidup. Jadi bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan
prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat
timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum.
Dengan demikian masalah
efisiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting. Oleh karena menyangkut
pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya, yaitu meninjau hubungan hukum dengan
faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial di luarnya.
Agar hukum benar-benar
digunakan secara efisien dan efektif untuk mengatur masyarakat,
komponen-komponen sosial yang mengintari proses hukum tersebut perlu mendapat
perhatian dan harus dimanfaatkan untuk membangun suatu tatanan hukum yang
bermanfaat bagi masyarakat, karena akan membawa kita untuk lebih memahami
kehidupan masyarakat dan membuat kita lebih mampu memecahkan problema-problema
sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Robert B. Seidman
Komponen-komponen kekuatan
sosial dan personal akan selalu bersinergi dalam proses bekerjanya hukum.
Sehingga hukum yang multi wajah, tidak memadai jika hanya dilihat dari satu
sudut pandang (perspektif) saja. Studi-studi yang normatif maupun yang
sosiologis, antropologis, psikologis, politik, ekonomi, dan sebagainya
dikembangkan agar penggalan-penggalan wajah hukum yang dikemukakan oleh
masing-masing perspektif dapat disatukan menjadi satu kesatuan wajah hukum yang
utuh dan benar-benar sempurna.
Gustav Radbruch
Tiga nilai dasar yang ingin
dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum:
1)
Keadilan;
2)
Kepastian hukum;
3)
Kemanfaatan.
Nilai
kemanfaatan akan mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan masyarakat pada
suatu saat tertentu, sehingga hukum itu benar-benar mempunyai peranan yang
nyata bagi masyarakatnya.
Bredermeier
Di dalam suatu sistem sosial dapat dijumpai bekerjanya 4 proses-proses
fungsional utama, yaitu:
1.
Adaptasi;
a.
Perwujudan tujuan;
2.
Mempertahankan pola; dan
3.
Integrasi.
Keempat proses itu saling
kait-mengkait dan secara timbal-balik saling memberikan input.
Setiap sub-proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara itu, output dari salah satu proses juga
akan menjadi input bagi sub-proses yang lain.
Semua itu menunjukkan bahwa
pemanfaatan hasil studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum sangat
diperlukan. Ini tidak dapat terjadi bila kerangka berfikir yang kita ikuti
masih tetap bertumpu pada aliran analisis-positivitis.
Sekalipun aliran
analisis-positivitis melihat masalah pengaturan oleh hukum dari segi
legitimasinya dan semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai
keadilan, justru banyak tugas-tugas yang menyangkut pelaksanaan keadilan yang
memerlukan keahlian-keahlian yang bersifat non-hukum, yang seringkali belum
dikuasai benar oleh para petugas hukum yang ada pada saat ini.
Montesquieu
Hukum manusia tidak lain adalah hasil akhir dari bekerjanya berbagai faktor,
seperti adat kebiasaan setempat serta lingkungan fisik di sekitarnya. Untuk
dapat memahami bekerjanya berbagai faktor tersebut, perlu bantuan dari ilmu
pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial bersifat dekriptif. Ilmu
pengetahuan hukum bersifat normatif dan evaluatif. Keterbatasan ilmu hukum
inilah yang menyebabkan diperlukannya “teori hukum sosial” untuk memperluas
wawasan keilmuan dari hukum agar keluar dari kungkungan paradigma lama yang
bersifat normatif dan evaluatif semata.
Northop
Hukum memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari
norma-norma sosial sebagai “hukum yang hidup”.
Eugen Ehrlich
Hukum yang hidup dinamakan sebagai hukum yang menguasai hidup itu sendiri,
sekalipun ia tidak dicantumkan dalam peraturan-peraturan hukum.
Yehezkel Dror
Bidang budaya atau aktivitas masyarakat tertentu ternyata sangat berjalinan
erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat. Oleh karena itu, usaha untuk
mempelajari hukum secara terpisah dari konteks sosialnya akan menjadi sukar.
Yulius Stone
Sekalipun ilmu sosialnya telah bisa selesai, namun persoalan pertimbangan
kebijakan dan keadilan masih perlu dipertanyakan. Kerja mengumpulkan data dan
bahkan juga usaha inferensinya untuk menarik simpulan umum dari fakta-fakta ini
haruslah dipandang sekedar sebagai landasan penggarapan masalah yang lebih
pokok. Adapun masalah yang lebih pokok ini ialah apakah yang seharusnya
diperbuat terhadap fakta-fakta itu? Pertanyaan Yulius Stone ini adalah
persoalan etik kebijakan sosial dan keadilan.
Yap Thiam Hien
Sekalipun komponen-komponen sosial teramat penting dalam penataan lembaga dan
pranata hukum, namun belum mendapat perhatian serius dari para pekerja hukum,
baik di kalangan intelektual, legislator maupun aparat penegak hukum. Mengenai
kekurangan pengetahuan dan kekurangan pedulian terhadap aspek non yuridik itu
juga dirasakan oleh seorang pengacara kondang ini.
Lemaire
Hukum itu banyak seginya serta
meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin
membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif.
Mr. Dr. Kisch
Hukum itu tidak dapat
dilihat/ditangkap oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi
tentang hukum yang memuaskan umum.
Van Vollen Hoven
Hukum adalah suatu gejala dalam
pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus dalam keadaan bentur-membentur
tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya.
Soediman
Hukum sebagai pikiran atau
anggapan orang tentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antar manusia.
Pengertian-pengertian tersebut
menunjukkan hukum memiliki banyak dimensi, masing-masing dimensi memiliki
metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum dapat dikelompokkan
menjadi tiga pengertian dasar:
1.
Hukum dipandang sebagai
kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat filosofis;
2.
Hukum dilihat sebagai suatu
sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka pesat perhatian terfokus pada
hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, yang bisa kita bicarakan
sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar
peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat
normative-analitis;
3.
Hukum dipahami sebagai
sarana/alat untuk mengatur masyrakat, maka metoda yang digunakan adalah metoda
sosiologis. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan serta
memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkrit da;lam masyarakat.
1. Teori
Etis
Genny
Hukum semata-mata bertujuan
untuk menemukan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang
apa yang adil dan tidak adil. Hukum bertujuan untuk merealisasikan atau
mewujudkan keadilan.
Hakikat keadilan terletak pada
penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak
yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima
perlakuan. Kesulitan teori ini pada pemberian batasan terhadap isi keadilan
itu.
Aristoteles
Keadilan ada dua macam:
a. justisia
distributive
Menghendaki setiap orang
mendapat apa yang menjadi haknya
b. justisia
communicative
Menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan yang
menyamakan).
Roscoe Pound
Melihat keadilan dalam
hasil-hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat.
Jeremy Bentham (Teori
Utilitas)
Tujuan hukum adalah untuk
menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya (the
greatest good of the greatest number). Pada hakikatnya hukum
dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan
bagi jumlah orang yang terbanyak. Penganutnya.
Mochtar Kusumaatmadja (Teori
Campuran)
Tujuan lain dari hukum adalah
untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut
masyarakat dan zamannya.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto
Tujuan hukum adalah demi
kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ektern antar pribadi dan
ketenangan intern pribadi.
Van Apeldoorn
Hukum bertujuan untuk mengatur
pergaulan hidup manusia secara damai.
Soebekti
Hukum mengabdi pada tujuan
untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Dengan mengabdi
pada tujuan negara itu, hukum mewujudkan keadilan dan ketertiban.
Secara garis besar tujuan hukum
meliputi:
1.
Pencapaian suatu masyarakat
yang tertib dan damai;
2.
Mewujudkan keadilan; serta
a.
Untuk mendatangkan kemakmuran
dan kebahagiaan atau kesejahteraan.
Fungsi-fungsi Hukum :
Hoebel
Ada empat fungsi dasar dari
hukum:
1.
Menetapkan hubungan-hubungan
antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah
laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa yang pula dilarang;
a.
Menentukan pembagian kekuasaan dan
memerinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus
menaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif;
b.
Menyelesaikan sengketa; dan
c.
Memelihara kemampuan masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu
dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota
masyarakat.
Di samping itu hukum berfungsi:
a. Sebagai kontrol
sosial;
b. Sarana untuk
memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai
suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata
di hamper seluruh sector kehidupan masyarakat.
Parsons
Fungsi utama suatu sistem hukum
bersifat integratif:
1.
untuk mengurangi unsur-unsur
konflik yang potensial dalam masyarakat, dan
2.
untuk melicinkan proses
pergaulan sosial.
Aubert
Fungsi hukum yang bersifat prevention
to promotion.
Brockman dan Ewald
Fungsi hukum adalah socialization
of Law.
Luhman
Fungsi hukum sebagai social
engineering as a political approach to law.
Penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan tingkat
kemampuan masyarakatnya. Pada masing-masing tingkat kemampuan masyarakat
terdapat tatanan hukum yang berbeda-beda.
Hukum sebagai suatu
sistem norma :
Bertalanffy, Kenncth
Building
Dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara
efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar
yaitu masyarakat atau lingkungannya.
Dalam hal sistem, definisi sistem yang dikemukakan mengandung implikasi yang
sangat berarti terhadap hukum terutama berkaitan dengan aspek:
1.
Keintegrasian;
2.
Keteraturan;
3.
Keutuhan;
4.
Keteror-ganisasian;
5.
Keterhubungan komponen satu
sama lain; dan
6.
Ketergantungan komponen satu
sama lain.
Shrode dan Voich
Sistem harus berorientasi kepada tujuan. Karena hukum sebagai suatu sistem,
untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem.
Lawrence M. Friedman
Hukum itu merupakan gabungan
antara komponen:
1.
1. Struktur
Kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi
dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.
Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan
pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
1.
2. Substansi
Sebagai output dari sistem hukum, berupa
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang
mengatur maupun yang diatur.
1.
3. Kultur
Terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum,
atau olehLawrence M.
Friedman disebut
sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga
masyarakat. Kultur hukum dibedakan antara:
1.
Internal legal culture
Kultur hukum para lawyer
and judges.
1.
External legal culture
Kultur hukum masyarakat luas.
Lon L. Fuller
Untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi
delapan azas atau principle of legality:
1.
Sistem hukum harus mengandung
peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar
keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;
2.
Peraturan-peraturan yang telah
dibuat itu harus diumumkan;
3.
Peraturan tidak boleh berlaku
surut;
4.
Peraturan-peraturan disusun
dalam rumusan yang bisa dimengerti;
5.
Suatu sistem tidak boleh
mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6.
Peraturan-peraturan tidak boleh
mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7.
Peraturan tidak boleh sering
dirubah-rubah;
8.
Harus ada kecocokan antara
peraturan yang diundangkan dengn pelaksanaannya sehari-hari.
Hans Kelsen
Perwujudan norma tampak sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang
mulai dari norma positif tertinggi hingga perwujudan yang paling rendah yang
disebut sebagai individual norm. Teori Hans Kelsen yang membentuk bangunan
berjenjang tersebut disebut juga stufen theory.
Hukum sebagai suatu sistem norma, dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan
norma yang lebih tinggi ini pun dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi,
dan demikian seterusnya sampai berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak
dibuat oleh norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dulu keberadaannya oleh
masyarakat atau rakyat.
Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm(norma dasar). Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah.
Melalui Grundnorm inilah semua peraturan hukum itu
disusun dalam satu kesatuan secara hirarkhis, dan dengan demikian ia juga
merupaklan suatu sistem. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya
sistem hukum. Norma-norma yang terkandung dalam hukum positip itu pun harus
dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Grundnorm.
Dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma
hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Agar keberadaan
hukum sebagai suatu sistem tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu
mewujudkan tingkat kegunaan (efficaces)
secara minimum. Efficacy suatu norma ini dapat terwujud
apabila:
1.
ketaatan warga dipandang
sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh norma;
2.
perlu adanya persyaratan berupa
sanksi yang diberikan oleh norma.
Untuk mengatakan hukum sebagai suatu sistem norma, Hans Kelsen menghendaki
obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis. Sumber yang
mengandung penilaian etis diletakan di luar kajian hukum atau bersifat trancenden terhadap hukum positif, dan oleh
karenanya kajiannya bersifat meta-yuridis.
Elemen-Elemen
Pembentukan Hukum :
Burkhardt Krems
Pembentukan peraturan
perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan:
1.
isi atau substansi peraturan;
2.
metoda pembentukan;
3.
proses; dan
4.
prosedur pembentukan peraturan.
Setiap bagian kegiatan tersebut
harus memenuhi persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut
dapat berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun
sosiologis.
Krems
Pembentukan peraturan
perundang-undangan bukanlah merupakan kegiatan yuridis semata, melainkan suatu
kegiatan yang bersifat interdisipliner. Artinya setiap aktivitas pembentukan
peraturan perundang-undangan memerlukan bantuan ilmu-ilmu tersebut agar produk
hukum yang dihasilkan itu dapat diterima dan mendapat pengakuan dari
masyarakat.
Metode pembentukan peraturan perundang-undangan menentukan apakah suatu
peraturan dapat mencapai sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Untuk
itulah maka bantuan dari sosiologis hukum, ilmu pengetahuan tata hukum dan ilmu
tentang perencanaan sangat diperlukan. Apa lagi dalam kehidupan dewasa ini
semua perencanaan kebijaksanaan dan program-program pembangunan cenderung
menjadikan pranata hukum sebagai sandarannya.
Teori Labeling, menerangkan
dua hal, yaitu :
Pertama, tentang bagaimana dan
mengapa seseorang memperoleh cap atau “label” dan,
Kedua, bagaimana efek labeling
terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya pada diri seseorang terhadap mana
ia memperoleh cap.
Thomas Aquinas
Menjelaskan bahwa hukum adalah
aturan-aturan atau ukuran-ukuran perbuatan baik sebagai petunjuk yang pastibagi
tingkah laku dan mengendalikan perilaku manusia. Tujuan hukum adalah kebaikan
bersama, menurut Aquinas,hukum tergantung dari tingkat keadilannya, oleh karena
itu hukum yang digunakan setiap manusia untuk mencapai keadilan adalah adalah
melalui hukum yang berasal dari hukum alam.
Grotius
Hukum alam adalah hukum yang
muncul sesuai kodrat manusia. Menuryt Grotius, hukum alam tidak bisa diubah
secara ekstrim meskipun oleh Tuhan sekalipun. Hukum alam diperoleh manusia dari
akalnya tetapi Tuhan lah yang member kekuatan mengikatnya
Fuller
Hukum sebagai aktivitas yang
bertujuan yang dalam hal ini moralitas dari gagasan yang mendorong manusia
untuk mencapai hal-hal ideal untuk memenuhi kemampuannya. Fuller melihat hukum
sebagai suatu aktivitas yang bertujuan untuk mencapai tujuan, maka untuk itu
ada pembenaran pada moralitas gagasan.
Hart dan
hukum alam
Menurut hart ada aturan-aturan
dasar yang bersifat subtantif tertentu yang bersifat esensial, jika manusia
hidup manusia secara intim. Hart meletakkan penekannya yang utama pada suatu
asumsi kelangsungan hidup sebagai tujuan kemanusian yang utama.
Menurutnya,terdapat aturan-aturan yang tertentu yang mengisi setiap organisasi
sosial dan merupakan fakta dari sifat manusia yang memberikan pertimbngan pada
postulasi ( dalil) dari suatu isi minimum dari hukum kodrat.
Cicero
Mengajarkan konsepnya tentang “
a true law “ ( hukum yang benar yang sesuaidengan “ right reason”
(penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam dan menyebar diantara
kemanusian dan sifatnya “imnutable” dan “eternal” : hukum apapun harus
bersumber dari “ true law”, menurut Cicero hukum yang benar adalah adanya
kesesuaian antra akal dan alam. Hal ini merupakan suatu kebutuhan yang
universal, tidak berubah, dan abadi (kekal). Hukum yang benar akan memuat
tentang perintah-perintah untuk melaksanakan kewajiban dan berpaling dari
perbuatan jahat da larangan-larangan.
Justinian
Hukum alam dibedakan antara
hukum sipil dan hukum universal. Hukum sipil adalah merupakaan hukum yang
sifatnya khusus yang tiap-tiap manusia atau bangsa membuatnya khusus atau
sesuai dengan kebutuhannya masing – masing. Sedangkan hukum universal adalah
merupakan hukum yang digunakan oleh seluruh ciptaan Tuhan yang bersifat kekaal
dan abadi.
Locge dan
Pemerintahan sipil
Timbulnya Negara dan hukum
adalah dengan melukiskan situasi hidup pada jaman primitive. Pada jaman
primitive, orang-orang hidup menurut hukum alam.sebab pada jaman itu
orang-orang memiliki kekuasan hukum yang eksekutif. Agar Negara dapat berfungsi
sebgai pengawal hukum, orang-orang perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak
primitive mereka kepada Negara seperti hak menghukum secara pribadi.
Hobbes (leviathan)
Kekuasan Negara yang amat besar
adalah sangat penting artinya, oleh karena itu kekuasan tersebut secara
absolute hatus diserahkan kepada penguasa. Hobbes mengubah tekanan dari hukum
alam sebagi tatanan objektif menjadi hak alami sebagi suatu tuntutan subjektif
yang didasarkan pada sifat manusia, sehingga memberikan jalan untuk revolusi
individuaalisme dikemudian ari dengan nama “ hak-hak yang dapat dicabut
kembali”. Hobbes mengartikan hukum alam tidak hanyaa persepsi-persepsi etika
tentang ketentuan-ketentuan tertentu tetapi juga mengenai undang-undang
mengenai perilaku manusia yang didasarkan atas pengamatan apresiasi tabiat
manusia. Prinsip pokok hukum alam bagi hobbes adalah hak alami untuk menjaga
diri.
J.J. Rousseau (
kontrak social )
Untuk membenarkan kedaulatan
rakyat, Rousseau menyusun volonte generale, dan dipihak lain menyusun kebebasan
hakiki yang tidak dapat dicabut konstruksinya yang diunakan oleh Rousseau
adalah kontrak social. Dengan kontrak sosial orang bersatu agar hak-hak mereka
atas kebebasan dan kesejaahteraan dijamin oleh Negara. Eksistensi Negara daan
keabsahannya hanya dijamin oleh kebebasaan dan persamaan. Setelah diterima oleh
manusia, Negara mengembalikannya tidak sebagai hak-hak alami tetapi sebagai
hak-hak sipil kepada seluruh warganya, jadi Negara dan hukum tunduk kepada
kehendak umum yang menciptakan Negara untuk melindungi kebebasaan dan
kesejahteraan yang lebih baik.
John Locke
Meskipun ada kebebasan tetapi
bukan berarti manusia bebas untuk menghancurkan dirinya sendiri atau makhluk
lain karena alam mempunyai undang-undang untuk mengatur tidak boleh memusnahkan
kehidupan orang lain dengan persamaan dan kebebasan dan kesehatan atau
kebebasan miliknya selama ia hidup karena semua ini adalah ciptaan si Pencipta.
Di dalam kehidupan orang memiliki hak untuk hidup, dalam bidang-bidang lain
mereka memiliki hak atas kesehatan, hak atas kebebasan, hak milik dan lainnya.
J. Raz
Menggambarkan bahwa hukum harus
dipisahkan dari berbagai hal termasuk moralitas (Problem About The Nature Of
Law).
R. Dworkin
Dalam pengertian Dworkin, hukum
itu sebagai gambaran tradisional dari hak-hak untuk memperoleh kebebasan dan
kebersamaan sehingga perlakuan yang adil dari keputusan politik pemerintah
diperlukan untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat.
Tujuan kesejahteraan atau
kemakmuran sosial untuk kepentingan diri sendiri sebagai bagian dari
nilai-nilai sosial itu sebagai suatu nilai tambah bagi dirinya dalam
masyarakat. Kesejahteraan atau kemakmuran dimaksudkan tidak sebagai bagian dari
nilai-nilai sosial akan tetapi hanya sebagai alat saja.
J. Rawls
Menurut Rawls, bahwa dalam
kenyataannya orang sering menganggap intuisi-intuisi sosial dan hukum sebagai
suatu bentuk hambatan bagi perkembangan hidup mereka, oleh Rawls masyarakat ini
disebut Private Society. Masyarakat sudah menaati peraturan tetapi banyak yang
merasa tidak adil atau sama. Rawls menyimpulkan bahwa hak itu telah sama tetapi
perwujudannya belum sama (struktur dasar masyarakat belum sehat), sehingga
untuk itu diperlukan pengaturan kembali (call for redress) sebagai syarat
mutlak untuk dapat menuju kembali kepada suatu masyarakat ideal yang baru.
R. Nozick
Mengatakan bahwa, Negara yang
dipersepsikan sebagai penjaga malam sebagaimana termuat dalam teori liberal
klasik membatasi fungsi Negara guna melindungi warganya dari kekerasan,
pencurian, pemaksaan kontrak dan sebagainya. Pada dasarnya Negara sebagai
penjaga malam bersifat redistributive dalam artian memaksa orang guna
membayar perlindungan bagi sebagian orang lainnya.
Emilie Durkheim
Solidaritas organis dan hukum
yang memulihkan (restitutif) mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada
solidaritas mekanis dan hukum yang sifatnya mengekang (represif). Hal ini
dikaitkan dengan tingkatan-tingkatan kesejahteraan dan derajat-derajat kepacuan
moral. Semakin kuno suatu masyarakat maka semakin represif, berat dan dahsyat
saksi-saksinya; dilain pihak semakin tinggi perkembangan suatu masyarakat
menuju masyarakat yang modern maka semakin ringan hukuman-hukumannya sehingga
pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan.
P. Selznick (The
Socioligy of Law)
Menunjukkan bahwa kepatuhan
hukum tidak unik kepada politik Negara. Dia melihat hukum sebagai elemen umum
didalam struktur dari banyak kelompok-kelompok masyarakat. Hukum selalu
terdapat diseluruh institusi yang dipercaya untuk mengontrol kekuasaan formal
dan peraturan.
Susan Silbey dan Austin
Sarat
Mengemukakan betapa pentingnya
kritik dalam kaitannya antara hukum dan tradisi masyarakat. Kritik dilakukan
dengan tetap memfokuskan diri kepada hukum dengan memperhatikan proses sosial
yang melingkupu hukum. Proses sosial tersebut dilakukan dengan melalui studi
untuk mengetahui hukum tidak saja dalam literature hukum dan doktrin hukum
tetapi juga malalui institusi sosial disekitar hukum dengan harapan hukum akan
terlihat utuh.
F.K. Savigny
Menurut Savigny suatu system
hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut. Hukum bukanlah
merupakan hasil dari undang-undang yang dibuat secara tidak disengaja oleh
legislator, akan tetapi dibuat sebagai respon atas kekuatan impersonal yang
ditemukan dalam spirit nasional dari masyarakat. Hukum bertumbuh sejalan dengan
pertumbuhan, dan kuat sejalan dengan kuatnya rakyat Negara tersebut, dan pada
akhirnya mati pada saat Negara tersebut kehilangan kebangsaannya.
Radcliffe Brown
Mendefinisikan hukum sebagai
suatu control sosial melalui penerapann sistematis dari masyarakat organisasasi
politik yang berkuasa.
Sir Henry Maine
Menurut Maine, pada awalnya
kondisi hukum adat istiadat masih merupakan hukum yang tidak tertulis.
Pendokumentasian adat istiadat dalam suatu bentuk tertulis baru dimulai pada
saat pengadilan Wesminster Hall di Inggris dimulai. Selanjutnya hukum tertulis
tersebut mulai dijadikan yang kita kenal dengan nama codes.
L.L. Fuller (Human
Interaction and The Law)
Menurut Fuller apabila kita
dapat mengerti secara baik tentang adat istiadat, maka kita dapat menerima
kedudukan adat istiadat sebagai suatu bagian terpenting dalam perkembangan
kehidupan di dunia saat ini, terutama dalam perkembangan hukum internasional.
Paul Bohannan (The
Differing Realms of The Law)
Institusi hukum adalah
institusi dimana masyarakatnya memiliki suatu system penyelesaian permasalahan
antara satu dengan yang lainnya dan melakukan suatu counterpart atas
pelanggaran hukum. 2 aspek penting yang membedakan institusi hukum dengan
institusi lainnya adalah : institusi tersebut memiliki peraturan untuk dapat
mengintervensi institusi bukan hukum terhadap adanya permasalahan hukum; dan
memiliki aturan/tata cara tersendiri dan substansi hukum tersendiri.
S. Diamond
Diamond menyatakan bahwa kita
harus membedakan The Rule of Law dengan adat istiadat. Hukum dan adat istiadat
pada prinsipnya adalah saling bertentang dan tidak berkesinambungan. Adat istiadat
dan hukum adalah adalah suatu sejarah dan secara logika tidak saling
berhubungan.
H.C. Bredemeier
Pola kerja hukum yang dipakai
sebagai acuan oleh Bredemeier disini adalah yang menempatkan pengadilan sebagi
pusat kegiatannya. Keadaan yang demikian itu tentunya agar berbeda dari
masyarakat-masyarakat atau Negara-negara pola kerja hukumnya di dominasi oleh
kegiatan badan pembuat undang-undang nya.
David M. Trubek
Trubek mengatakan bahwa salah
satu ciri hukum modern adalah penggunaannya secara aktif dan sadar untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kesadaran tersebut menyebabkan bahwa hukum
modern itu menjadi begitu instrumental sifatnya dengan asumsinya, bahwa
kehidupan sosial itu bisa dibentuk oleh kemauan sosial tertentu, seperti
kemauan sosial dari golongan elit dalam masyarakat.
R.M. Unger
Menurut Unger dalam bukunya
“Law in Modern Society” atau hukum di dalam masyarakat modern menyatakan setiap
masyarakat menyatakan melalui hukum rahasia-rahasia yang paling dalam cara yang
dapat menahan seseorang secara bersama-sama.
R. Cotterell
Dalam karangannya The
Sociological Concept of Law membedakan penggunaan suatu konsep hukum dalam
teori hukum normative dan empiris. Selama itu konsep sosiologi hukum
digolongkan dalam kategori yang luas yaitu monisme yuridis, pluralism yuridis
dan hukum Negara sebagai yang dominan, akan tetapi tidak terlepas dari hukum.
G. Puchta
Dinamainya volgeist, hukum itu
tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan menjadi kuat bersama-sama
dengan kekuatan rakyat, dan pada akhirnya ia mati jika bangsa itu kehilangan
kebangsaannya.
Sir Henry Meine
Dalam karya bukunya Ancient Law
(1861), dalam hukum manusia primitive, dalam masyarakat kesukuan, tenaga ahli
belum pernah mereka temukan atau yang tidak ingin mereka temukan dalam sejarah
mereka sendiri. Teori Evolutionistic mengenai masyarakat-masyarakat dan
hukumnya masing-masing mempelajari hukum sebagai pencerminan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
Ehrlich
Hukum adalah swatentra pada
level metodologi ketika dalam jalan keputusan lembaga membenarkan tindakan
mereka berbeda dari berbagai pembenaran yang digunakan pada disiplin praktek
lain, artinya alasan hukum memiliki metode atau gaya untuk membedakan dari
penjelasan ilmu pengetahuan dari moral, politik dan tulisan ekonomi.
R. Von Thering
Melihat hukum dalam essensinya
yang terekspresi melalui tujuannya, yaitu untuk memberikan perlindungan
terhadap kepentingan masyarakat tersebut. Bagi Jhering dibawah hukum,
kepentingan-kepentingan masyarakat harus didahulukan.
G. Teubner
Mengembangkan suatu teori dari
hukum yang disebut aliran Post Structualism, teori kritis dan autopoisis. Teori
tersebut menimbulkan anti reaktif dan anti individualisme.
Ajaran John
Stuart Mill
Tujuan hukum ialah menciptakan
kebebasan maksimum bagi tiap individu, sehingga ia dapat mengejar apa yang baik
baginya.
Lenin
Teori State and Revolution
Engels
Dalam bukunya The Origin of
Family, private property and state. Negara itu bukanlah suatu kekuasaan yang
diletakkan diatas masyarakat dari luar dan bukanlah ia kebenaran dari cita-cita
susila dan kebenaran dari budi. Kekuasaan yang timbul dari masyarakat, akan
tetapi menempatkan dirinya diatas masyarakat itu sendiri itulah yang dinamakan
negara.
Karl Marx
Dalam bukunya Civil War in
France (1891), negara itu adalah tidak lain selain alat pemaksa untuk melakukan
penindasan/penghisapan oleh suatu golongan terhadap golongan yang lain.
G. A. Cohen
Pokok- pokok tentang pemikiran
hukum marxis yang di kemukakan adalah :
1.
kekuatan kekuatan produksi mengalami
konflik dengan hubungan- hubungan kepemilikan karena kekuatan produksi konflik
dengan hubungan hubungan produksi yang di formulasikan dan di lindungi oleh
hubungan kepemilikan.
2.
Tenaga kaum proletar tidak di
miliki oleh kaum kapitalis tertentu akan tetapi hanya dimiliki oleh keseluruhan
kaum kapitalis.
3.
Hubungan produksi, demi
efisiensi dan ketertiban, memerlukan sanksi hubungan kepemilikan.
4.
Hak kepemilikan merupakan
institusi pertama dari semua institusi hukum
5.
Masyarakat tidaak didirikan
atas hukum, ini fiksi hukum. Hukumlah yang di dirikan atas masyarakat
E. Pashukanis” Law and
Marxis” (1978)
Teori Pertukaran Komoditi
Hukum timbul dari kebutuhan
akan ibentuk komoditi dari produksi. Komoditi merupakan bentuk dari hubungan
hukum karena masyarakat kapitalis terdiri dari produsen produsen komoditi.
Donal G GJerdingen
Bahwa sesungguhnya seluruh
pendidikan yang penting dari pemikiran hukum amerika selama abad terakhir,
sejak masa Langdellian ortodoksi sampao masa realism untuk proses pendidikan
hukum, di domonasi oleh suatu konsep hukum yang memisahkan hukum dan politik.
Ferdinand de Saussure
Teori Strukturalisme, bahwa
suatu tanda bahasa yang bermakna bukan karena refernsinya kepada benda dengan
realitas, berdasarkan teori ini tidak ada realitas yang sebenarnya kecuali
konsep tentang realitas itu sendiri.
Rene Descrates
Ia berpendapat bahwa kepastian
kebenaran dapat di peroleh dari strategi kesangsian metodis, dengan
menyangsikan segala sesuatu akan di temukan hal yang bersifat tetap dan tidak
dapat di ragukan.
Hugo de Groot ( Grotius
)
Mengatakan bahwa sumber hukum
adalah rasio manusia. Karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain
adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia hasus berdasarkan atas
kemampuan akal ( rasio ). Hukum alam menurut Grotius merupakan hukum yang
muncul sesuai kodrat manusia.
J. M. Balkin
Hukum adalah logis jika hukum
mempunyai kepastian dan lulus pada ketentuan tertentu. Pernyataan atas hukum
logis lahir ketika kita memahami hukum dalam cara tertentu (pemahaman knstruksi
hukum rasional)
Auguste Comte
Comte lahir di kota Monpellier
Perancis, berasal dai latar belakan keluarga kelas menengah. Orang tua Comte
adalah pegawai kerajaan yang menganut Katolik, istri Comte adalah bekas
pelacur. Meskipun belajar di politeknik dia juga tertarik pada ilmu sosial.
Tokoh yang mempengaruhi pemikirannya adalah Saint Simon. Comte dikenal sebagai Bapak
Sosiologi (the Founding Father of Sociology).
Comte dapat digolongkan tokoh fungsionalisme klasik. Teori Comte yang terkenal
adalah Hukum evolusi tiga tahap,
yaitu:
1. Tahap teologis yang
identik dengan kekuatan supranatural, fetisisme, animisme, politeisme,
monoteisme, agama, Tuhan, dansebagainya,
2. Tahap metafisik yaitu
ketika manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal budinya,
3. Tahap positivisme
yaitu ketika masyarakat mempercayai pengetahuan ilmiah lewat observasi dan
pengujian dengan metode empirik. Oleh karena itu Comte kemudian dijuluki
sebagai Father of Positivism.
B.G Wilhem von Leibniz
Leibniz kelahiran Hanover,
Jerman, semenjak usia enam tahun dia sudah ditinggal mati ayahnya. Sejak
duabelas tahun sudah belajar mendiri tentang literatur Yunani, hingga umur dua
puluh dia sudah menekuni matematika, ilmu agama, hukum, dan filsafat. Ada kontroversi
besar tentang hukum kalkulus. Inggris
menyatakan bahwa Newton penemu hukum kalkulus, namun Jerman menyatakan Laeibniz
penemunya. Leibniz juga yang pertama menggunakan sistem biner.
Filsafat Leibniz adalah bahwa alam semesta adalah terdiri atas pusat (centrum) yang tak terbilang dari suatu
energi atau kekuatan rohani, sebuah cikal bakal teologi tunggal universalitas
modernisme.
C. Wright Mills
Charles Wright Mills kelahiran
Waco, Texas, Amerika Serikat. Ia menerima Phd nya dari uneversitas Wisconsin.
Tokoh-tokoh panutanya adalah Max Weber dan Karl Marx. Gaya intelektual Wright
Mills adalah pragmatisme.
Wright Mills menghimbau sosiologi sebagai perpaduan psikologi sosial dengan
strukturalisme konflik, karena grand theory naturalistik seperti fungsionalisme
masih terlalu abstrak. Mills adalah sosiolog humanis yang evaluatif, karena
dasar teoritiknya menggunakan interaksionisme Herbert Mead, namun dengan
tambahan dimensi sejarah dan kesadaran akan pengaruh kekuasaan (konflik)
terhadap struktur sosial. Bagi Mills, data-data empirisnya bisa berupa
sumber-sumber biografis, catatan-catatan sejarah, surat-surat kabar, laporan
jurnal, dan sebagainya. Karya Mills yang terkenal adalah “The
power elite” yang
mengetengahkan kekuatan tritunggal: bisnis raksasa, pemerintahan yang kuat, dan
militer yang tangguh di Amerika.
David Ricardo
David Ricardo adalah ekonom
kelahiran Inggris. Setelah hak warisnya dicabut karena menikah dengan perempuan
di luar iman Yahudi nya, dia memilih menjadi pialang dan broker saham. Pada umr
27 dia membaca buku Adam Smith, pada sekitar umur 37 dia sering menulis artikel
ekonomi dan menjadi ekonom profesional. Ricardo menelorkan teori kwantitas uang
yang saat ini dikenal dengan paham moneter, dia juga menawarkan proteksi dalam
produksi untuk persaingan pasar. Kontribusi Ricardo terhadap ekonomi juga
aplikasi matematika dalam teori sewa yang menyetir Malthus. Ricardo menjelaskan
lewat pertanyaan, mengapa harga agrikultur tidak membantu petani penggarap
menjadi lebih kaya dan justru pemilik tanah menjadi tuan-tuan tanah kaya.
Edward Said
Edward Said lahir di Palestina,
sejak muda dia sudah menjadi aktifis, kritik-kritiknya dituangkan dalam
penulisan kesusastraan, dan musik. Suatu hari kekuatan Israel berhasil
menguasai Jerusalem barat, sehingga membuat dia dan keluarga mengungsi ke
Kairo, Mesir, dia sendiri menuntut ilmu hingga ke Amerika Serikat. Kritik
serangan balik Edward Said terhadap komentar-komentar Israel atas Palestina
menggunkan sudut pandang mereka sendiri. Said justru menawarkan jalan damai
mencapai tujuan bersama untuk eksistensi Palestina maupun Israel, dan bukan
dengan penindasan, pengrusakan, dan penyiksaan. Paham itu adalah orientalisme,
yaitu prasangka gigih eurosentris yang sulit dipisahkan dalam melawan
orang-orang ArabIslam dan kultur mereka. Orientalisme memandang budaya diluar
kebudayaannya secara subyektif dan sepihak, yang kemudian mensubordinasikan
budaya luar tersebut.
George Herbert Mead
Mead lahir di Hadley selatan
Amerika Serikat. Dia dibesarkan di tengah keluarga yang akademisi, karena kedua
orang tuanya adalah profesor di Oberlin. Mead adalah penganut agamaCongregationalist (Kristen yang berdiri sendiri) seperti
halnya ayahnya yang seorang pelayan Congregationalist. Gaya intelektualnya
adalah pragmatis dengan pendekatan sosial behavioristik. Mead dapat digolongkan
tokoh sosiologi dengan dasar pemikiran interaksionisme simbolik modern. Mead
membahas hubungan antara pikiran seseorang, dirinya, dan masyarakat. Sumbangan
Mead terhadap sosiologi adalah pandangan bahwa diri (self) seseoarang
berkembang melalui tahap play, the game, dan generalized other, dan dalam
prosesnya seseorang belajar mengambil peran orang lain (taking the role of the other).
G.W.F. Hegel
Hegel adalah tokoh peletak
dasar fenomenologi dalam pisau analisis sosialnya.
Fenomenologi mencoba untuk menyajikan sejarah manusia, dengan semua
revolusinya, peperangan dan penemuan ilmiah, sebagai suatu pengembangan diri
idealistis dari suatu roh sasaran atau pikiran. Filsafat Hegel adalah tentang
Roh Absolut kemutlakan, tugas filsafat adalah pengembangan tentang Roh Absolut
tersebut. Dia menyetir filsuf Yunani Parmenides bahwa masuk akal adalah riil
dan yang riil adalah masuk akal. Hegel sangat menitik beratkan pada logika,
sedangkan pengembangannya lewat dialektik. Hegel juga menyoroti alienasi yang
kemudian juga menjadi referensi Engels, Marx, dan Feurbach.
Harold Garfinkel
Harold Garfinkel dapat
dimasukkan pada sosiolog humanis seperti halnya Blumer yang sangat menjunjung
tinggi kemanusiaan sebagai subyek. Namun Garfinkel lebih menekankan pada studi
tentang etnometodologi, yaitu metode studi yang digunakan untuk menguraikan dan
meneliti aktifitas mereka sendiri tanpa reduksi subyektif peneliti.
Etnometodologi berusaha menemukan esensi pengalaman-pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari, karena itu metode yang dipakai adalah partisipan observasi.
Garfinkel justru menentang konsep dasar sosiologi mengenai keteraturan, karehna
keteraturan tersebut melalui proses yang panjang multi kompleks yang justru tak
teratur. Contohnya dalam percakapan, ada perbedaan antara apa yang benar-benar
diucapkan dengan apa yang diperbincangkan.
Herbert Blumer
Blumer digolongkan tokoh
interaksionisme simbolik modern. Tindakan-tindakan bersama yang mempu membentuk
struktur atau lembaga itu disebabkan oleh interaksi simbolis, yang didalamnya
mengandung makna, disampaikan lewat isyarat dan bahasa, berupa simbol-simbol
yang berarti, memiliki makna yang disampaikan kepada pihak lain. Bagi Blumer
manusia bertindak bukan hanya faktor eksternal (fungsionalisme struktural) dan
internal (reduksionis psikologis) saja, namun individu juga mampu melakukan self
indication atau
memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi yang
mengelilinginya itu. Pada dasarnya tindakan manusia itu terdiri dari
pertimbangan atas berbagai hal. Metode empiris Blumer lewat pengamatan (inquiry),
penjelajahan (exploration),
dan pemeriksaan (inspection). Blumer
menekankan pada aspek kemanusiaan (humanis) yang unik dan berbeda satu sama lain,
memiliki cita, rasa, karsa, serta multi variat.
A.R. Radcliffe Brown
Paradigma yang dianut adalah
struktural fungsional, yang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan terdiri
atas institusi yang secara fungsional saling bergantung. Brown adalah Darwinist
sosial yang menekankan kepada kompetisi sosial yang paling fit untuk tetap
survive. Dia banyak belajar dari sosiolog Perancis Durkheim tentang organ fisik
atau badan yang bekerja sama untuk mendukung suatu badan hidup. Karirnya
melejit setelah penelitian antropologinya tentang penduduk Andaman dan Aborigin
menggunakan pendekatan fungsionalisme, namun banyak ilmuan menuduh struktural
fungsional adalah format reduksionis.
Brown dapat dikelompokkan pada tokoh fungsionalisme klasik. Konsep fungsi oleh
Brown didasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik.
Dia mencontohkan bahwa hukuman pada kriminil memiliki fungsi untuk menjaga
keberlangsungan struktur.
Saint Simon
Saint Simon adalah tokoh
sosialisme industri modern dan sosiologi evolusioner. Dia menyarankan untuk
menekan paham materialisme yang justru merugikan, dan menekankan pada kesatuan
serta restorasi rohani. Bagi Saint Simon kemajuan ditentukan dari format
peradaban yang stabil, program adalah dasar pemikiran yang membedakan,
masing-masing format yang lebih tinggi adalah terdepan namun pada gilirannya
juga akan menjadi usang oleh format baru. Saint Simon juga menciptakanilmu sosial integratif
yang memadukan ilmu sosial dan ilmu alam yang pada saatnya memunculkan
positivistik buah tangan muridnya Auguste Comte. Visi masyarakat masa depan
Saint Simon adalah masyarakat yang memiliki prestasi, produktif, dimana
kemiskinan dan peperangan dihapuskan melalui industrialisasi dibawah bimbingan
ilmiah, untuk itu diperlukan open class masyarakat, sistem kasta dan suku
bangsa dihapuskan, serta penghargaan berdasarkan jasa.
John Locke
Pemerintah dibentuk untuk
melindungi sipil, namun jika kebebasan dan hak sipil direnggut, maka
pemberontakan atas kekuasaan pemerintah adalah sah. Teori ini dikenal dengan
teori hukum alamatau kebenaran alami.
sumber : MAKALAHKU
TUGAS TEORI HUKUM MAGISTER ILMU
HUKUM UNDIP 2009
[1] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Wal is rechtsteorie?, yang kemudian diterjemahkan
oleh Arief Sidharta, demgan Apakah Teori Hukum itu?, Laboratorium Hukum FH
Unpar Bandung, 2001, Penerbitan tidak Berkala No. 3, Seri Dasar-dasar Ilmu
Hukum no. 3, lihat pada halaman yang sudah diterjemahkan, yaitu halaman 38-39.
[2] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm. 44.
[3] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 39.
[4] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 39.
[5] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48.
[6] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48.
[7] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48. Untuk lebih jauh tentang persoalan
ini hendaknya dapat dibaca buku dari kedua pemikir tersebut, karena sacara
substansial pemikirannya diuraikan secara panjang lebar.
[8] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 56, dalam bukunya tersebut jan Gijssels
dan van de Hoecke menjelaskan beberapa definisi kepustakaan tentang filsafat
hukum sebagai berikut:
1.
Sebagai sebuah disiplin
spekulatif, yang berkenaan dengannya penalaran-penalarannya tidak dapat diuji
secara rasional (I. Tammelo);
2.
Sebagai disiplin yang mencari
pengetahuan tentang hukumj yang benar, hukum yang adil (J. Schmidt, H. Kelsen);
3.
Sebagai fefleksi atas
dasar-dasar dari kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berfikir sistematis
yang hanya akan merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari dalam pemikiran
(kegiatan berfikir) itu sendiri dan yang mencari hubungan teoretikal
terefleksi, yang di dalamnya gejala hukum dapat dimengerti dan dipikirkan (D.
Meuwissen).
4.
Sebagai disiplin yang mencari
pengetahuan tentang hakikat (sifat) dan keadilan;pengetahuan tentang keberadaan
transenden dan imanen dari hukum; pengetahuan tentang nilai-nilai yang di
dalamnya hukum berperan tentang hubungan antara hukum dan keadilan pengetahuan
tentang struktur dari pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum pengetahuan
tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbellay).
[9] Jan
Gijssels & Ma
Teori
hukum alam dapat dikatakan sebagai sebuah paradigma yang paling tua dan
sekaligus paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari
ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam
sesungguhnya merupakan pengembangan/ penyempurnaan saja dari paradigma hukum
alam. Dalam teori hukum alam, hukum dianggap sebagai nilai universal yang
selalu hidup di setiap sanubari manusia, masyarakat, maupun negara. Hal ini
disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang
menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.
Bahkan disebutkan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem
hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat Ketuhanan yang berdasarkan atas
akal budi atau hukum alam itu sendiri, sehingga hukum alam lebih superior
dibandingkan dengan hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari
norma-norma yang bukan makna dari tindakan kemauan manusia; karena itu
nilai-nilai yang dibentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy),
subjektif, atau pun relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum yang dari
akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan
kemauan dari seseorang yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator
moral atau hukum. [1]
Kekuatan utama dari paradigma/aliran ini tidak hanya bertumpu pada nilai
moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaian nilai-nilai keadilan
dalam masyarakat. Para pemikir hukum alam berkeyakinan bahwa keadilan merupakan
sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan keduanya sering
diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki
banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah
alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai
“cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara. [2]
Keadilan merupakan tujuan utama dari aliran hukum alam. Menurut Plato (427-347
SM) yang juga merupakan murid dari Socrates (399 SM), kekuatan moral adalah
unsur dari hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan
kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut
hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat
manusia. Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki
sifat universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum
dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan
sosial.[3]
Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh
negara kepada setiap penduduk/warga negara dan hukum yang baik adalah hukum
yang menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa terkecuali dan
non-diskriminatif. Secara eksplisit, Aristoteles menyatakan bahwa “keadilan
adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari
peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak”.[4] Plato
dan Aristoteles merupakan pelopor dari paradigma hukum alam yang banyak
memengaruhi pikiran-pikiran filsuf Romawi Kuno seperti St. Agustinus dan Thomas
Aquinas, yang keduanya merupakan tokoh-tokoh pembaruan hukum alam.
St. Agustinus menekankan
pentingnya keadilan dalam setiap hembusan napas hukum negara. Dia mengatakan
bahwa “hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum”. St. Agustinus juga
membedakan antara hukum ilahi (jus divinum) dan hukum manusia (jus humana). Apa
yang disebut dengan hukum alam adalah hukum ilahi, sedangkan jus humana adalah
kebiasaan (customs).[5]
Di sisi lain, Thomas Aquinas
menyatakan bahwa: “semua hukum buatan manusia dalam penalarannya memiliki
kedudukan sebagai yang diturunkan dari hukum alam, jika suatu aspek hukum tidak
diturunkan oleh hukum alam, maka hukum tersebut cacat sebagai hukum, hukum
tersebut tidak dapat memberikan keadilan dan itu bukanlah hukum.” Thomas
Aquinas menggambarkan hukum alam sebagai puncak hierarki hukum abadi, dimaknai
suatu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi
penguasa alam semesta.
Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa hukum alam sebenarnya bukan suatu
jenis hukum, tetapi penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan
menjadi satu nama, yaitu “Hukum Alam”. Esensi dari hukum alam dapat disimpulkan
sebagai berikut:[6]
1.
Merupakan ideal-ideal yang
menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,
2.
Suatu dasar dalam hukum yang
bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total
antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”,
3.
Suatu metode untuk menemukan
hukum yang sempurna,
4.
Isi dari hukum yang sempurna,
yang dapat dideduksikan melalui akal, Suatu kondisi yang harus ada bagi
kehadiran hukum.
1.
Pemikiran analyitis Positivisme
(Rechtsdogmatic)
Bicara mengenai aliran positivisme, bahwa aliran ini sama
tuanya dengan filsafat. Namun baru berkembang pesat pada abad ke 19 tatkala
empirisme mendominasi pemikiran. Positivisme lahir dan berkembang di bawah
naungan empirisme[8] . Artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat
dipisahkan.
Positivisme adalah salah satu aliran dalam
filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut
paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif
itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam
masyarakat[9] .
Di dalam aliran positivisme hukum dikenal dua
sub aliran yaitu :
Aliran hukum yang analisis, pendasarnya adalah
John Austin
Aliran hukum positif yang murni, didepelopori
oleh Hans Kelsen.
Dalam tulisan ini sebagaimana dinyatakan
terdahulu, memfokuskan pada aliran hukum positif yang analitis oleh John
Austin. Positivisme yang dirintis John Austin, yang diberi nama Analytical
Judisprudence, dekat sekali dengan mazhab hukum umum. Austin menggunakan metode
analisa saja. Melalui analisa sistem-sistem hukum tertentu Austin ingin sampai
pada suatu ide umum tentang hukum.
Berdasarkan metodenya yang empiris belaka,
Austin sampai pada pengertian tentang Negara, yang menurutnya berlaku secara
mutlak. Negara dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh
orang-orang dalam wilayah tertentu. Negara-negara timbul dan dipertahankan,
oleh sebab kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan mentaati pemerintah. Bila
kebiasaan itu berhenti maka sudah tidak terdapat negara lagi. Terdapat
bermacam-macam alasan untuk mentaati pemerintah. Ada orang yang mentaati oleh
sebab mereka berpegang teguh pada prasangka bahwa pemerintah selalu harus
ditaati. Sementara alasan lain karena takut akan kekacauan, bila negara
dirombak. Semuanya ini dipastikan dalam pengalaman. Nilai-nilainya tidak
dipersoalkan. Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya
sumber hukum. Di atas yang berkuasa hukum tidak ditemukan. Diungkapkan oleh
Austin bahwa tiap-tiap Undang-undang positif ditentukan secara langsung atau
secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa
bagi seorang anggota atau anggota-anggota dari suatu masyarakat politik yang
berdaulat, dalam mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi. Dengan ketentuan
ini Austin tidak menyangkal adanya norma-norma hukum ilahi, norma-norma moral
dan juga hukum internasional. Dipastikannya saja, bahwa semua prinsip tersebut
tidak mampu untuk meneguhkan atau meniadakan hukum yang berlaku dalam suatu
negara[10] .
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan
hukum itu sebagai “a command of the Lawgiver” (perintah dari pembentuk
Undang-undang atau penguasa), yaitu : suatu perintah dari mereka yang memegang
kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu
sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum
secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan
keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk.
Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas
:
1. Hukum ciptaan Tuhan, dan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang
terdiri dari;
a. hukum dalam arti yang sebenarnya yaitu yang
disebut juga sebagai hukum positif, terdiri dari:
- hukum yang dibuat oleh penguasa, seperti
Undang undang, Peraturan pemerintah dan lain-lain.
- hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat
secara individual, yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan
kepadanya. Contohnya: hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian,
hak kurator terhadap badan/orang dalam curatele.
b. hukum dalam arti yang tidak sebenarnya,
yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini
tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang.
Contohnya: ketentuan-ketentuan yang dibuat perkumpulan-perkumpulan atau
badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut John
Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu:
a. perintah
b. sanksi
c. kewajiban
d. kedaulatan
Adapun keempat unsur tersebut kaitannya satu
dengan yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
Unsur perintah ini berarti bahwa satu pihak
menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan
mengalami penderitaan jika perintah ini tidak dijalankan atau ditaati. Perintah
itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir
ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang
berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau
sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons).
Buah pikir John Austin ini tertuang dalam
kedua bukunya yang terkenal, yaitu: The Province of Jurisprudence Determined
dan Lecture on Jurisprudence.[11]
Aliran positivisme hukum yang analitis yang
dipelopori oleh John Austin tersebut pada sekitar abad ke-19 dan dalam bagian
pertama abad ke-20, tampaknya menguasai pemikiran hukum di Barat, yang kemudian
juga di dasarkan pada filsafat Yunani. Dimana cukup jelas peranan aliran
positivisme terutama yang analitis tersebut bahwa penerapan hukumnya dilakukan
oleh pihak penguasa. Dengan adanya identifikasi hukum yang aplikasinya
diterapkan dengan undang-undang akan menjamin bahwa setiap individu dapat
mengetahui dengan pasti apa saja perbuatannya yang boleh dilakukan dan apa saja
perbuatannya yang tidak boleh dilakukan. Bahkan negarapun kemudian akan
bertindak dengan tegas dan konsekuen sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
dan diputuskan, dalam melaksanakan keadilan menurut ketentuan negara. Begitu
pula dengan penerapan hukum melalui ketentuan-ketentuannya dan
peraturan-peraturannya yang ada yang telah dibuat harus dilaksanakan sesuai
dengan segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Austin adalah tokoh pertama yang memisahkan
secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata
lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum
hanya membahas hukum positif saja, tidak membahasa hubungan antara hukum
positif dengan moral dan agama. Tanpa memperdulikan baik atau buruknya hukum
itu, diterima atau tidak oleh masyarakat.
Hakekat dari semua hukum adalah perintah
(command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang
diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar. Semua hukum
positif adalah perintah. Perintah dari yang berdaulat atau command of sovereign
atau command of law-giver.
Pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh
peraturan yang dibuatnya sendiri, maupun oleh asas-asas yang berasal dari atas
(moral dan agama). Masalah kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari
hukum positif adalah bersifat pra-legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan
politik atau sosiologi) dan hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada
dalam kenyataannya[12] .
Namun disamping kebaikan-kebaikan yang ada dan
dikemukakan oleh Aliran Positivisme yang Analitis tersebut sudah, sudah barang
tentu terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaran-ajarannya yang kurang
sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakatnya yang hidup
dan berdiam dalam masa tersebut. Apabila dilihat secara mendasar, maka
kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran Positivisme yang Analitis tersebut
adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang-undang tersebut.
Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan
ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi
Undang-undang yang harus diterapkan dalam masyarakat dan juga secara langsung
hakim akan menjadi terikat pada Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga memiliki
kelemahan/ kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:
1. Peraturan perundang-undangan tidak
fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan
perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat
berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah
antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah
lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini
menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum (Bagir Manan. 1992:8)
Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan
Undang-undang yang demikian kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan
pemerintah, kemudian pada akhirnya dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan
Undang-undang tersebut disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang akan
menguasai negara secara mutlak dan absolut sesuai dengan keinginannya yang ada
pada masa itu. Dimana kemudian pihak penguasa dalam negara dapat menggunakan
ketentuan hukum dan Undang-undang untuk memberikan legitimasi kepada
tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya, dimana menurut perasaan hukum
masyarakat tindakan tersebut adalah merupakan tindakan yang tidak bermoral dan
kriminal serta menjadi kejam. Sehingga kemudian semua-semua ketentuan dan
kehendak yang dikeluarkan oleh perintah pribadi penguasa dapat dijadikan
ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakatnya, dan
kemudian individu-individu yang ada dalam lingkup masyarakat akan berada pada
posisi yang dilematis, dimana disatu pihak hukum dan ketentuan dari penguasa
tidak dapat dipertahankan secara konsekuen, apabila ketentuan hukum dan perundang-undangan
itu sendiri digunakan sebagai alat untuk menindas dari ketidak adilan.
Pendapat yang menyatakan bahwa jika
undang-undang telah tersedia, terkodifikasi atau fragmentaris maka sudahlah
cukup sarana perundang-undangan untuk diandalkan buat menindak setiap
pelanggaran ataupun untuk melindungi kepentingan dalam masyarakat. Kurang
diperhatikan dan disadari, bahwa pada aturan hukum yang dianggap mendekati
keadilan harus dipenuhi syarat bahwa hukum harus mampu mencerminkan tuntutan
hati nurani masyarakat khususnya perasaan keadilan mereka.
Telah terjadi pergeseran prinsip dan konsepsi
dari Negara Hukum menjadi negara Undang-undang yang meletakkan undang-undang
yang dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Di dalam undang-undang
seperti ini setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan
perbuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi kewenangan sehingga hukum
ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist –
instrumentalistik.
Dalam ajaran Austin dikatakan bahwa hukum
dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed
logical system). Dengan sifat tetap dan tertutup dari hukum tersebut, maka
hukum pada masa itu tidak menerima perkembangan dari pihak manapun sekalipun
perkembangan tersebut berasal dari dalam masyarakat lingkup negaranya,
akibatnya hukum tidak mengenal dispensasi dan penyimpangan yang dianggap oleh
masyarakat setempat tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Sebagaimana
diketahui bahwa setiap hukum harus selalu dipatuhi, oleh karena kadang-kadang
hukum pun memberikan dispensasi bagi terjadinya penyimpangan-penyimpangan
sepanjang ketentuan tersebut tidak atau bukan merupakan suatu kejahatan atau
delik. Terutama dalam ketentuan hukum yang bersifat privat (terutama dalam hal
pembuatan perjanjian diantara pihak-pihak), bahwa ketentuan hukum yang dibuat
biasanya tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak sepanjang tidak
bertentangan dengan ketertiban, kesusilaan dan kepatutan. Dengan demikian,
masalah utamanya adalah bagaimana mengusahakan agar warga-warga masyarakat
secara maksimal dapat mematuhi ketentuan hukum tanpa menterapkan paksaan atau
kekerasan. Jadi secara sederhana dapat dikatakan, bahwa yang harus diusahakan
adalah peraturan-peraturan yang sifatnya tertulis, baik, kewibawaan petugas dan
fasilitas pendukung yang cukup, walaupun secara nyata tidaklah dapat dikatakan
sebagai hal yang sederhana.
Terhadap ajaran dari Austin yang menyatakan
tentang hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yakni hukum yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai hukum, bahwa dari ketentuan tersebut jelas terlihat,
meskipun hukum disini dapat saja dibuat atau ditetapkan bukan oleh
penguasa/badan berdaulat yang berwenang, akan tetapi tetap keberadaan dari
hukum tersebut pada akhirnya tidak diakui oleh pihak penguasa. Karena konsepnya
jelas bahwa hukum tersebut diklasifikasikan sebagai hukum dalam arti yang tidak
sebenarnya. Dengan demikian, tetap saja ajaran dari Austin tersebut tidak dapat
memberikan tempat bagi masyarakat, berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah
lama dianut sehingga kemungkinan terbentuk menjadi suatu aturan yang lebih
dihormati dalam masyarakat yang ada menjadi tidak berdaya. Sebagaimana yang
telah diketahui bahwa dari kehidupan bersama manusia yang kemudian mengadakan
hubungan dan saling berinterksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan
tercipta hukum. Baik negara maupun hukum timbul dari kehidupan manusia karena
keinginan hati dari masing-masing individu untuk memperoleh ketertiban. Akan
tetapi konsep yang seperti ini tidak tampak pada ajaran positivisme yang
analitis. Dengan adanya hukum dalam arti yang absolut dan mutlak dari
konsekuensi aliran positivisme yang analitik ini, karena makna dari hukum yang
dibuat oleh manusia tersebut akan menjadi suatu bentuk dari perintah dan
ketentuan yang mutlak yang berasal dari penguasa menjadi suatu keharusan bagi
masing-masing individu untuk menjalankannya dengan suka atau tidak suka ataupun
mau dan tidak mau. Masyarakat diwajibkan untuk menjalankan dengan sepenuh hati
sehingga kemungkinan untuk terbentuknya suatu rezim penguasa yang otoriter dari
negara yang menganut ajaran ini akan tercipta dengan mudah sekali.
PENUTUP
Sebagai penutup dari uraian tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa aliran hukum positif yang analitis mempunyai suatu
kekuatan yakni aliran ini banyak dianut oleh para pemikir hukum di Barat di
abad ke 19 dan awal abad ke-20. keberhasilan dari aliran ini terlihat pada
bentuk kepastian hukum yang benar-benar terjamin pada masing-masing negara yang
menganutnya. Akan tetapi dari ajaran tersebut yang telah berkembang pada konsep
para pemikir di Barat, ajaran-ajran dari hukum positif yang analitis ini juga
mempunyai banyak kelemahan di sana-sini. Adapun titik kelemahannya yang pokok,
bahwa aliran hukum positif yang analitis itu cenderung membuat suatu kekuatan
dari penguasa untuk membentuk suatu pemerintahan absolut. Hal ini disebabkan
karena adanya empat unsure penting dari ajaran John Austin untuk dapat
dinamakan hukum, yang di dalamnya terdiri dari perintah, sanksi, kewajiban dan
kedaulatan. Sehingga dengan empat unsur penting dari hukum tersebut membuat
para penguasa yang mebentuk ketentuan hukum dan undang-undang menjadi suatu
keputusan yang mutlak harus dilaksanakan tanpa memberikan kesempatan kepada pihak
lain untuk memberikan masukan-masukan yang berkembang dan tumbuh dari dalam
masyarakatnya sendiri. Semua ketentuan hukum dan undang-undang yang terbentuk
menjadi suatu perintah dan kewajiban yang harus dijalankan dan ditaati,
kemudian mempunyai sanksi yang mengikat para pelaksana hukum menjadi secara
langsung terikat karenanya. Kemudian yang terakhir bahwa semua pembuat
ketentuan hukum dan undang-undang yang dalam hal ini adalah pihak penguasa
hanya dapat terlaksana jika pihak penguasa sebagai pihak yang memerintah
tersebut merupakan pihak yang berdaulat. Dari ketentuan tersebut dapat
dianalisa bahwa pihak penguasa ataupun pihak pemerintah yang berdaulat sebagai
pembentuk ketentuan hukum dan undang-undang sebetulnya tidak perlu dipertegas
lagi, karena jelas suatu Negara yang telah memiliki pemeritahan sendiri, rakyat
sendiri dan wilayah sendiri tentunya sudah merupakan sesuatu (dalam hal ini
dapat disebut Negara) yang dianggap berdaulat atau memiliki kedaulatan sendiri,
dan juga sebenarnya dengan telah adanya kedaulatan yang merupakan bagian dari
suatu negara yang tidak dapat dipisahkan, maka kedaulatan sudah merupakan
bagian dari bentuk dan sistem politik pemerintahan dalam negara itu sendiri. Pemikiran Hukum Umum Penafsiran Hukum oleh piranti-piranti hukum Penafsiran
Hukum oleh piranti-piranti hukum TEORI HUKUM PART II
1.
Teori Hukum Menurut Jan
Gijssels dan mark van Hoecke
Jan Gijssels dan Mark van
Hoecke, adalah dua pemikir yang ada pada tradisi berbeda dengan Black dan
Milovanovich, yaitu keduanya ada pada ranah pemikiran kontinental. Menurut
mereka, Teori Hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi
dan sangat terkait erat dengan Ajaran Hukum Umum,[1] setelah
pada tahun 1930-an Teori Hukum mengalami kemerosotan, tetapi kemudian seiring
dengan perkembangan banyak disiplin kajian lain, Teori Hukum mengalami
perkembangan yang pesat,
“…… Hidupnya kembali Teori
Hukum memperlihatkan hubungan erat dengan penyebab timbulnya ajaran Hukum Umum
pada abad ke sembilanbelas. Jika perkembangan dari Ajaran Hukum Umum, sebagai
dosiplin yang baru pada abad kesembilanbelas diinspirasi (diilhami) oleh sukses
ilmu-ilmu hukum positif, maka perkembangan definitif dari teori hukum menjadi
sebuah disiplin mendiri pada paruh waktu kedua dari abad duapuluh diinspirasi
oleh timbulnya ilmu-ilmu baru atau cabang-cabang baru dari ilmu yang sudah ada,
seperti informatika, Logika Deontik, Kibernetika, Sosiologi Hukum, Etiologi
(hukum) dan sejenisnya.[2]
Kesinambungan antara Teori
Hukum dengan Ajaran Hukum Umum dalam dua aspek sebagai berikut:
1.
Teori Hukum sebagai kelanjutan
dari Ajaran Hukum Umum memiliki obyek disiplin mandiri, suatu tempat di antara Dogmatik
Hukum di sati sisi
dan Filsafat Hukum di sisi lainnya. Di saat ajaran Ajaran
Hukum Umum oleh beberapa penulis, di antaranya Adolf Merkel masih dipandang
sebagai pengganti (penerus) ilmiah positif dari Filsafat Hukum Metafisikal yang
tidak ilmiah, dewasa ini teori Hukum diakui sebagai disiplin ketiga di samping
dan untuk melengkapi, Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum, yang masing-masing
memiliki (mempertahankan) wilayah dan nilai sendiri-sendiri.
2.
Sama seperti Ajaran Hukum Umum
dewasa itu, Teori Hukum, setidaknya oleh kebanyakan dipandang sebagai ilmu
a-normatif yang bebas nilai. Ini yang persisnya membedakan Teori Hukum dan
Ajaran Hukum Umum dan Dogmatika Hukum.[3]
Namun satu hal yang sangat
fundamental menurut kedua pemikir itu, terjadinya proses evolusi dari apa yang
menjadi obyek penelitian Ajaran Hukum Umum, seperti isi aturan hukum dan
pengertian-pengertian hukum atau konsep yuridik, menjadi suatu penelitian
tentang struktur dan fungsi dari kaidah hukum dan dari sistem hukum, yaitu
merupakan tema-tema penting objek penelitian teori Hukum.[4]
Untuk lebih memahami apa itu
Teori Hukum, khususnya batas-batas wilayahnya, lebih lanjut dalam pemikiran
mereka perlu dijelaskan secara rinci tentang apa yang disebut Dogmatik Hukum,
Filsafat Hukum serta perbedaannya tentang Teori Hukum.
1.
Dogmatik Hukum
Ajaran Hukum (rechtsleer) atau Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek),
juga sering disebut Ilmu Hukum (rechtswetenschap) dalam
arti sempit, bertujuan untuk mempaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti
tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku.[5] Walaupun
demikian, Dogmatik Hukum itu bukanlah ilmu netral yang bebas nilai.[6] Tidak
karena hukum itu adalah suatu kesalingterkaitan nilai-nilai dan kaidah-kaidah,
bukanlah dalam asasnya sangat mungkin untuk mempaparkan nilai-nilai dan
kaidah-kaidah sebagai ketentuan-ketentuan faktual secara sepenuhnya netral dan
objektif. Ajaran Hukum tidak dapat membatasi pada suatu pemaparan dan
sistematisasi, melainkan secara sadar mengambil sikap berkenaan dengan butir-butir
yang diperdebatkan. Jadi Ajaran Hukum dalam hal-hal yang penting tidak hanya deskriptifmelainkan
juga preskriptif (bersifat
normatif).[7]
1.
Filsafat Hukum
Filsafat Hukum adalah Filsafat
Umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat
pertanyaan-pertanyaan yang paling dalam dibahas dalam hubungannya dengan makna,
landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan.[8] Menurut
mereka Filsafat Hukum memiliki telaah sebagai berikut :[9]
1.
Ontologi hukum,
penelitian tentang hakekat dari hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan
hukum dengan moral;
2.
Aksiologi hukum,
penentuan isi dan nilai-seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan
lain-lain;
3.
Ideologi Hukum (ajaran
pengetahuan), bentuk metafilsafat;
4.
Epistemologi Hukum (ajaran
pengetahuan), bentuk metafilsafat;
5.
Theologi Hukum,
hal menentukan makna dan tujuan;
6.
Ajaran ilmu dari Hukum,
meta-teori dari Ilmu Hukum;
7.
g. Logika
Hukum.
Hasil dari penalaran Filsafat
Hukum tidak dapat diuji secara empirik untuk keeluruhannya, dan secara rasional
untuk sebagaiannya. Penalaran filosofis sendiri memang harus selalu memenuhi
syarat-syarat minimum tertentu dari rasionalitas, yakni harus tepat secara
logikal dan terbuka bagi diskusi rasional.
1.
Hubungan Dogmatik Hukum dengan
Teori Hukum
Tentang hal ini dikatakan oleh
keduanya, bahwa Dogmatika Hukum dan Teori Hukum tidak saling tumpang tindih,
melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana
di bawah ini.
1.
Dogmatik Hukum mempelajari
aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak
a-normatif), maka Teori Hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini;
2.
Dogmatika Hukum berbicara
tentang hukum. Teori Hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum
berbicara tentang hukum;
3.
Dogmatika Hukum mencoba lewat
teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada
pandangan pertama tidak dapat diterapkan pada situasi masalah konkret, maka
Teori Hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik
interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasi
dan sejenisnya.[10]
Teori Hukum tidak terarah pada
penyelesaian masalah-masalah hukum yang konkret satu kategori-kategori dari
masalah hukum sebagaimana kajian Dogmatika Hukum, melainkan hanya pada upaya
mempelajari teknik-teknik dan metode yang digunakan Dogmatika Hukum dan prektek
hukum untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum. Jadi masalah-masalah hukum
konkret memeng dapat mempengaruhi persoalan-persoalan Teori Hukum.[11]
1.
Hubungan Filsafat Hukum dan
Teori Hukum
2.
Jika Teori Hukum mewujudkan
sebuah meta-teori berkenaan dengan Dogmatika Hukum, maka Filsafat Hukum
memenuhi fungsi dari sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.
3.
Secara struktural Teori Hukum
terhubungkan pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatika Hukum
terhadap Teori Hukum.
4.
Filsafat Hukum merupakan sebuah
meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.
5.
Filsafat Hukum sebagai ajaran
nilai dari teori Hukum dan Filsafat Hukum sebagai ajaran Ilmu dari Teori Hukum.
6.
Filsafat Hukum sebagai Ajaran
ilmu dari Teori Hukum dan sebagai Ajaran Pengetahuan mewujudkan sebuah
meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasan lebih
jauh, mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari
kegiatan-kegiatan dari Teori Hukum itu sendiri sebagai obyek studi.[12]
Dari hal di atas dapatlah
disimpulkan sebagai berikut; hubungan Teori Hukum dan Filsafat dapat dirangkum
sebagai sebuah hubungan meta-disiplin (Filsafat Hukum) terhadap disiplin obyek
(Teori Hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu
pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah
positif terhadap gejala hukum. Dengan demikian maka Filsafat Hukum dapat
bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya
sendiri didiskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya Teori Hukum itu
rasional (atau tidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar kriteria
umum, yang diterima oleh setiap orang.[13]
1.
Teori Hukum dan Ilmu Lain yang
Objek Penelitiannya Hukum
Teori Hukum secara esensial
bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa Teori Hukum dalam
derajat yang besar akan menggunakan hasil-hasil penelitian dari berbagai
disiplin yang mempelajari hukum; Sejarah Hukum, Logika Hukum, Antropologi
Hukum, Sosiologi Hukum, Psikologi Hukum dan sejenisnya.
Tipikal dari Teori Hukum adalah
bahwa dalam hal ini ia memainkan peranan mengintegrasikan, baik yang berkenaan
dengan hubungan antara disiplin-disiplin ini satu terhadap yang lainnya maupun
yang berkenaan dengan integrasi hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin
ini dengan unsur-unsur Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum.[14]
Secara umum kedua pemikir itu
menjelaskan bahwa, sudut pandang bidang Teori Hukum adalah kepentingan untuk
lewat jalan ilmiah metodikal memperoleh sesuatu pemahaman teoritikal yang lebih
baik secara global dan memberikan suatu penjelasan global tentang gejala-gejala
hukum. Jadi sifatnya ini sama sekali bukan sudut pendekatan yuridik-teknikal,
melainkan sesuatu pendekatan yang lebih teoretikal, yang didalamnya bukan
pemeparan dan sistematisasi hukum yang mewujudkan titik tolak melainkan
analisis dan penjelasan terhadap gejala hukum dalam semua aspeknya.
************************************
Sinzheimer
Hukum tidaklah bergerak dalam
ruang hampa dan berhadapan dengan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia
selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan dalam lingkup
manusia-manusia yang hidup. Jadi bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan
prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat
timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum.
Dengan demikian masalah
efisiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting. Oleh karena menyangkut
pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya, yaitu meninjau hubungan hukum dengan
faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial di luarnya.
Agar hukum benar-benar
digunakan secara efisien dan efektif untuk mengatur masyarakat,
komponen-komponen sosial yang mengintari proses hukum tersebut perlu mendapat
perhatian dan harus dimanfaatkan untuk membangun suatu tatanan hukum yang
bermanfaat bagi masyarakat, karena akan membawa kita untuk lebih memahami
kehidupan masyarakat dan membuat kita lebih mampu memecahkan problema-problema
sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Robert B. Seidman
Komponen-komponen kekuatan
sosial dan personal akan selalu bersinergi dalam proses bekerjanya hukum.
Sehingga hukum yang multi wajah, tidak memadai jika hanya dilihat dari satu
sudut pandang (perspektif) saja. Studi-studi yang normatif maupun yang
sosiologis, antropologis, psikologis, politik, ekonomi, dan sebagainya
dikembangkan agar penggalan-penggalan wajah hukum yang dikemukakan oleh
masing-masing perspektif dapat disatukan menjadi satu kesatuan wajah hukum yang
utuh dan benar-benar sempurna.
Gustav Radbruch
Tiga nilai dasar yang ingin
dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum:
1)
Keadilan;
2)
Kepastian hukum;
3)
Kemanfaatan.
Nilai
kemanfaatan akan mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan masyarakat pada
suatu saat tertentu, sehingga hukum itu benar-benar mempunyai peranan yang
nyata bagi masyarakatnya.
Bredermeier
Di dalam suatu sistem sosial dapat dijumpai bekerjanya 4 proses-proses
fungsional utama, yaitu:
1.
Adaptasi;
a.
Perwujudan tujuan;
2.
Mempertahankan pola; dan
3.
Integrasi.
Keempat proses itu saling
kait-mengkait dan secara timbal-balik saling memberikan input.
Setiap sub-proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara itu, output dari salah satu proses juga
akan menjadi input bagi sub-proses yang lain.
Semua itu menunjukkan bahwa
pemanfaatan hasil studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum sangat
diperlukan. Ini tidak dapat terjadi bila kerangka berfikir yang kita ikuti
masih tetap bertumpu pada aliran analisis-positivitis.
Sekalipun aliran
analisis-positivitis melihat masalah pengaturan oleh hukum dari segi
legitimasinya dan semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai
keadilan, justru banyak tugas-tugas yang menyangkut pelaksanaan keadilan yang
memerlukan keahlian-keahlian yang bersifat non-hukum, yang seringkali belum
dikuasai benar oleh para petugas hukum yang ada pada saat ini.
Montesquieu
Hukum manusia tidak lain adalah hasil akhir dari bekerjanya berbagai faktor,
seperti adat kebiasaan setempat serta lingkungan fisik di sekitarnya. Untuk
dapat memahami bekerjanya berbagai faktor tersebut, perlu bantuan dari ilmu
pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial bersifat dekriptif. Ilmu pengetahuan
hukum bersifat normatif dan evaluatif. Keterbatasan ilmu hukum inilah yang
menyebabkan diperlukannya “teori hukum sosial” untuk memperluas wawasan
keilmuan dari hukum agar keluar dari kungkungan paradigma lama yang bersifat
normatif dan evaluatif semata.
Northop
Hukum memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari
norma-norma sosial sebagai “hukum yang hidup”.
Eugen Ehrlich
Hukum yang hidup dinamakan sebagai hukum yang menguasai hidup itu sendiri, sekalipun
ia tidak dicantumkan dalam peraturan-peraturan hukum.
Yehezkel Dror
Bidang budaya atau aktivitas masyarakat tertentu ternyata sangat berjalinan
erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat. Oleh karena itu, usaha untuk
mempelajari hukum secara terpisah dari konteks sosialnya akan menjadi sukar.
Yulius Stone
Sekalipun ilmu sosialnya telah bisa selesai, namun persoalan pertimbangan
kebijakan dan keadilan masih perlu dipertanyakan. Kerja mengumpulkan data dan
bahkan juga usaha inferensinya untuk menarik simpulan umum dari fakta-fakta ini
haruslah dipandang sekedar sebagai landasan penggarapan masalah yang lebih
pokok. Adapun masalah yang lebih pokok ini ialah apakah yang seharusnya
diperbuat terhadap fakta-fakta itu? Pertanyaan Yulius Stone ini adalah
persoalan etik kebijakan sosial dan keadilan.
Yap Thiam Hien
Sekalipun komponen-komponen sosial teramat penting dalam penataan lembaga dan
pranata hukum, namun belum mendapat perhatian serius dari para pekerja hukum,
baik di kalangan intelektual, legislator maupun aparat penegak hukum. Mengenai
kekurangan pengetahuan dan kekurangan pedulian terhadap aspek non yuridik itu
juga dirasakan oleh seorang pengacara kondang ini.
Lemaire
Hukum itu banyak seginya serta
meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin
membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif.
Mr. Dr. Kisch
Hukum itu tidak dapat
dilihat/ditangkap oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi
tentang hukum yang memuaskan umum.
Van Vollen Hoven
Hukum adalah suatu gejala dalam
pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus dalam keadaan bentur-membentur
tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya.
Soediman
Hukum sebagai pikiran atau
anggapan orang tentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antar manusia.
Pengertian-pengertian tersebut
menunjukkan hukum memiliki banyak dimensi, masing-masing dimensi memiliki
metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum dapat dikelompokkan
menjadi tiga pengertian dasar:
1.
Hukum dipandang sebagai
kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat
filosofis;
2.
Hukum dilihat sebagai suatu
sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka pesat perhatian terfokus pada
hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, yang bisa kita bicarakan
sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar
peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat
normative-analitis;
3.
Hukum dipahami sebagai
sarana/alat untuk mengatur masyrakat, maka metoda yang digunakan adalah metoda
sosiologis. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan serta
memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkrit da;lam masyarakat.
1. Teori
Etis
Genny
Hukum semata-mata bertujuan
untuk menemukan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang
apa yang adil dan tidak adil. Hukum bertujuan untuk merealisasikan atau
mewujudkan keadilan.
Hakikat keadilan terletak pada
penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak
yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima
perlakuan. Kesulitan teori ini pada pemberian batasan terhadap isi keadilan
itu.
Aristoteles
Keadilan ada dua macam:
a. justisia
distributive
Menghendaki setiap orang mendapat
apa yang menjadi haknya
b. justisia
communicative
Menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan yang
menyamakan).
Roscoe Pound
Melihat keadilan dalam
hasil-hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat.
Jeremy Bentham (Teori
Utilitas)
Tujuan hukum adalah untuk
menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya (the
greatest good of the greatest number). Pada hakikatnya hukum
dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan
bagi jumlah orang yang terbanyak. Penganutnya.
Mochtar Kusumaatmadja (Teori
Campuran)
Tujuan lain dari hukum adalah
untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut
masyarakat dan zamannya.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto
Tujuan hukum adalah demi
kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ektern antar pribadi dan
ketenangan intern pribadi.
Van Apeldoorn
Hukum bertujuan untuk mengatur
pergaulan hidup manusia secara damai.
Soebekti
Hukum mengabdi pada tujuan
untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Dengan mengabdi
pada tujuan negara itu, hukum mewujudkan keadilan dan ketertiban.
Secara garis besar tujuan hukum
meliputi:
1.
Pencapaian suatu masyarakat
yang tertib dan damai;
2.
Mewujudkan keadilan; serta
a.
Untuk mendatangkan kemakmuran
dan kebahagiaan atau kesejahteraan.
Fungsi-fungsi Hukum :
Hoebel
Ada empat fungsi dasar dari
hukum:
1.
Menetapkan hubungan-hubungan
antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah
laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa yang pula dilarang;
a.
Menentukan pembagian kekuasaan
dan memerinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus
menaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif;
b.
Menyelesaikan sengketa; dan
c.
Memelihara kemampuan masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu
dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota
masyarakat.
Di samping itu hukum berfungsi:
a. Sebagai kontrol
sosial;
b. Sarana untuk
memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai
suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata
di hamper seluruh sector kehidupan masyarakat.
Parsons
Fungsi utama suatu sistem hukum
bersifat integratif:
1.
untuk mengurangi unsur-unsur
konflik yang potensial dalam masyarakat, dan
2.
untuk melicinkan proses
pergaulan sosial.
Aubert
Fungsi hukum yang bersifat prevention
to promotion.
Brockman dan Ewald
Fungsi hukum adalah socialization
of Law.
Luhman
Fungsi hukum sebagai social
engineering as a political approach to law.
Penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan tingkat
kemampuan masyarakatnya. Pada masing-masing tingkat kemampuan masyarakat
terdapat tatanan hukum yang berbeda-beda.
Hukum sebagai suatu
sistem norma :
Bertalanffy, Kenncth
Building
Dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara
efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar
yaitu masyarakat atau lingkungannya.
Dalam hal sistem, definisi sistem yang dikemukakan mengandung implikasi yang
sangat berarti terhadap hukum terutama berkaitan dengan aspek:
1.
Keintegrasian;
2.
Keteraturan;
3.
Keutuhan;
4.
Keteror-ganisasian;
5.
Keterhubungan komponen satu
sama lain; dan
6.
Ketergantungan komponen satu
sama lain.
Shrode dan Voich
Sistem harus berorientasi kepada tujuan. Karena hukum sebagai suatu sistem,
untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem.
Lawrence M. Friedman
Hukum itu merupakan gabungan
antara komponen:
1.
1. Struktur
Kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi
dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.
Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan
pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.
1.
2. Substansi
Sebagai output dari sistem hukum, berupa
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang
mengatur maupun yang diatur.
1.
3. Kultur
Terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum,
atau olehLawrence M.
Friedman disebut
sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang
menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga
masyarakat. Kultur hukum dibedakan antara:
1.
Internal legal culture
Kultur hukum para lawyer
and judges.
1.
External legal culture
Kultur hukum masyarakat luas.
Lon L. Fuller
Untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi
delapan azas atau principle of legality:
1.
Sistem hukum harus mengandung
peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar
keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;
2.
Peraturan-peraturan yang telah
dibuat itu harus diumumkan;
3.
Peraturan tidak boleh berlaku
surut;
4.
Peraturan-peraturan disusun
dalam rumusan yang bisa dimengerti;
5.
Suatu sistem tidak boleh
mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6.
Peraturan-peraturan tidak boleh
mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7.
Peraturan tidak boleh sering
dirubah-rubah;
8.
Harus ada kecocokan antara
peraturan yang diundangkan dengn pelaksanaannya sehari-hari.
Hans Kelsen
Perwujudan norma tampak sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang
mulai dari norma positif tertinggi hingga perwujudan yang paling rendah yang
disebut sebagai individual norm. Teori Hans Kelsen yang membentuk bangunan
berjenjang tersebut disebut juga stufen theory.
Hukum sebagai suatu sistem norma, dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan
norma yang lebih tinggi ini pun dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi,
dan demikian seterusnya sampai berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak
dibuat oleh norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dulu keberadaannya oleh
masyarakat atau rakyat.
Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm(norma dasar). Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah.
Melalui Grundnorm inilah semua peraturan hukum itu
disusun dalam satu kesatuan secara hirarkhis, dan dengan demikian ia juga
merupaklan suatu sistem. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya
sistem hukum. Norma-norma yang terkandung dalam hukum positip itu pun harus
dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Grundnorm.
Dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma
hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Agar keberadaan
hukum sebagai suatu sistem tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu
mewujudkan tingkat kegunaan (efficaces)
secara minimum. Efficacy suatu norma ini dapat terwujud
apabila:
1.
ketaatan warga dipandang
sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh norma;
2.
perlu adanya persyaratan berupa
sanksi yang diberikan oleh norma.
Untuk mengatakan hukum sebagai suatu sistem norma, Hans Kelsen menghendaki
obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis. Sumber yang
mengandung penilaian etis diletakan di luar kajian hukum atau bersifat trancenden terhadap hukum positif, dan oleh
karenanya kajiannya bersifat meta-yuridis.
Elemen-Elemen
Pembentukan Hukum :
Burkhardt Krems
Pembentukan peraturan
perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan:
1.
isi atau substansi peraturan;
2.
metoda pembentukan;
3.
proses; dan
4.
prosedur pembentukan peraturan.
Setiap bagian kegiatan tersebut
harus memenuhi persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut
dapat berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun
sosiologis.
Krems
Pembentukan peraturan
perundang-undangan bukanlah merupakan kegiatan yuridis semata, melainkan suatu
kegiatan yang bersifat interdisipliner. Artinya setiap aktivitas pembentukan
peraturan perundang-undangan memerlukan bantuan ilmu-ilmu tersebut agar produk
hukum yang dihasilkan itu dapat diterima dan mendapat pengakuan dari
masyarakat.
Metode pembentukan peraturan perundang-undangan menentukan apakah suatu
peraturan dapat mencapai sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Untuk
itulah maka bantuan dari sosiologis hukum, ilmu pengetahuan tata hukum dan ilmu
tentang perencanaan sangat diperlukan. Apa lagi dalam kehidupan dewasa ini semua
perencanaan kebijaksanaan dan program-program pembangunan cenderung menjadikan
pranata hukum sebagai sandarannya.
Teori Labeling, menerangkan
dua hal, yaitu :
Pertama, tentang bagaimana dan
mengapa seseorang memperoleh cap atau “label” dan,
Kedua, bagaimana efek labeling
terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya pada diri seseorang terhadap mana
ia memperoleh cap.
Thomas Aquinas
Menjelaskan bahwa hukum adalah
aturan-aturan atau ukuran-ukuran perbuatan baik sebagai petunjuk yang pastibagi
tingkah laku dan mengendalikan perilaku manusia. Tujuan hukum adalah kebaikan
bersama, menurut Aquinas,hukum tergantung dari tingkat keadilannya, oleh karena
itu hukum yang digunakan setiap manusia untuk mencapai keadilan adalah adalah
melalui hukum yang berasal dari hukum alam.
Grotius
Hukum alam adalah hukum yang
muncul sesuai kodrat manusia. Menuryt Grotius, hukum alam tidak bisa diubah
secara ekstrim meskipun oleh Tuhan sekalipun. Hukum alam diperoleh manusia dari
akalnya tetapi Tuhan lah yang member kekuatan mengikatnya
Fuller
Hukum sebagai aktivitas yang
bertujuan yang dalam hal ini moralitas dari gagasan yang mendorong manusia
untuk mencapai hal-hal ideal untuk memenuhi kemampuannya. Fuller melihat hukum
sebagai suatu aktivitas yang bertujuan untuk mencapai tujuan, maka untuk itu
ada pembenaran pada moralitas gagasan.
Hart dan
hukum alam
Menurut hart ada aturan-aturan
dasar yang bersifat subtantif tertentu yang bersifat esensial, jika manusia
hidup manusia secara intim. Hart meletakkan penekannya yang utama pada suatu
asumsi kelangsungan hidup sebagai tujuan kemanusian yang utama.
Menurutnya,terdapat aturan-aturan yang tertentu yang mengisi setiap organisasi
sosial dan merupakan fakta dari sifat manusia yang memberikan pertimbngan pada
postulasi ( dalil) dari suatu isi minimum dari hukum kodrat.
Cicero
Mengajarkan konsepnya tentang “
a true law “ ( hukum yang benar yang sesuaidengan “ right reason”
(penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam dan menyebar diantara
kemanusian dan sifatnya “imnutable” dan “eternal” : hukum apapun harus
bersumber dari “ true law”, menurut Cicero hukum yang benar adalah adanya
kesesuaian antra akal dan alam. Hal ini merupakan suatu kebutuhan yang
universal, tidak berubah, dan abadi (kekal). Hukum yang benar akan memuat tentang
perintah-perintah untuk melaksanakan kewajiban dan berpaling dari perbuatan
jahat da larangan-larangan.
Justinian
Hukum alam dibedakan antara
hukum sipil dan hukum universal. Hukum sipil adalah merupakaan hukum yang
sifatnya khusus yang tiap-tiap manusia atau bangsa membuatnya khusus atau
sesuai dengan kebutuhannya masing – masing. Sedangkan hukum universal adalah
merupakan hukum yang digunakan oleh seluruh ciptaan Tuhan yang bersifat kekaal
dan abadi.
Locge dan
Pemerintahan sipil
Timbulnya Negara dan hukum
adalah dengan melukiskan situasi hidup pada jaman primitive. Pada jaman
primitive, orang-orang hidup menurut hukum alam.sebab pada jaman itu
orang-orang memiliki kekuasan hukum yang eksekutif. Agar Negara dapat berfungsi
sebgai pengawal hukum, orang-orang perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak
primitive mereka kepada Negara seperti hak menghukum secara pribadi.
Hobbes (leviathan)
Kekuasan Negara yang amat besar
adalah sangat penting artinya, oleh karena itu kekuasan tersebut secara
absolute hatus diserahkan kepada penguasa. Hobbes mengubah tekanan dari hukum
alam sebagi tatanan objektif menjadi hak alami sebagi suatu tuntutan subjektif
yang didasarkan pada sifat manusia, sehingga memberikan jalan untuk revolusi
individuaalisme dikemudian ari dengan nama “ hak-hak yang dapat dicabut
kembali”. Hobbes mengartikan hukum alam tidak hanyaa persepsi-persepsi etika
tentang ketentuan-ketentuan tertentu tetapi juga mengenai undang-undang
mengenai perilaku manusia yang didasarkan atas pengamatan apresiasi tabiat
manusia. Prinsip pokok hukum alam bagi hobbes adalah hak alami untuk menjaga
diri.
J.J. Rousseau (
kontrak social )
Untuk membenarkan kedaulatan
rakyat, Rousseau menyusun volonte generale, dan dipihak lain menyusun kebebasan
hakiki yang tidak dapat dicabut konstruksinya yang diunakan oleh Rousseau
adalah kontrak social. Dengan kontrak sosial orang bersatu agar hak-hak mereka
atas kebebasan dan kesejaahteraan dijamin oleh Negara. Eksistensi Negara daan
keabsahannya hanya dijamin oleh kebebasaan dan persamaan. Setelah diterima oleh
manusia, Negara mengembalikannya tidak sebagai hak-hak alami tetapi sebagai
hak-hak sipil kepada seluruh warganya, jadi Negara dan hukum tunduk kepada
kehendak umum yang menciptakan Negara untuk melindungi kebebasaan dan kesejahteraan
yang lebih baik.
John Locke
Meskipun ada kebebasan tetapi
bukan berarti manusia bebas untuk menghancurkan dirinya sendiri atau makhluk
lain karena alam mempunyai undang-undang untuk mengatur tidak boleh memusnahkan
kehidupan orang lain dengan persamaan dan kebebasan dan kesehatan atau
kebebasan miliknya selama ia hidup karena semua ini adalah ciptaan si Pencipta.
Di dalam kehidupan orang memiliki hak untuk hidup, dalam bidang-bidang lain
mereka memiliki hak atas kesehatan, hak atas kebebasan, hak milik dan lainnya.
J. Raz
Menggambarkan bahwa hukum harus
dipisahkan dari berbagai hal termasuk moralitas (Problem About The Nature Of
Law).
R. Dworkin
Dalam pengertian Dworkin, hukum
itu sebagai gambaran tradisional dari hak-hak untuk memperoleh kebebasan dan
kebersamaan sehingga perlakuan yang adil dari keputusan politik pemerintah
diperlukan untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat.
Tujuan kesejahteraan atau
kemakmuran sosial untuk kepentingan diri sendiri sebagai bagian dari nilai-nilai
sosial itu sebagai suatu nilai tambah bagi dirinya dalam masyarakat.
Kesejahteraan atau kemakmuran dimaksudkan tidak sebagai bagian dari nilai-nilai
sosial akan tetapi hanya sebagai alat saja.
J. Rawls
Menurut Rawls, bahwa dalam
kenyataannya orang sering menganggap intuisi-intuisi sosial dan hukum sebagai
suatu bentuk hambatan bagi perkembangan hidup mereka, oleh Rawls masyarakat ini
disebut Private Society. Masyarakat sudah menaati peraturan tetapi banyak yang
merasa tidak adil atau sama. Rawls menyimpulkan bahwa hak itu telah sama tetapi
perwujudannya belum sama (struktur dasar masyarakat belum sehat), sehingga
untuk itu diperlukan pengaturan kembali (call for redress) sebagai syarat
mutlak untuk dapat menuju kembali kepada suatu masyarakat ideal yang baru.
R. Nozick
Mengatakan bahwa, Negara yang
dipersepsikan sebagai penjaga malam sebagaimana termuat dalam teori liberal
klasik membatasi fungsi Negara guna melindungi warganya dari kekerasan,
pencurian, pemaksaan kontrak dan sebagainya. Pada dasarnya Negara sebagai
penjaga malam bersifat redistributive dalam artian memaksa orang guna
membayar perlindungan bagi sebagian orang lainnya.
Emilie Durkheim
Solidaritas organis dan hukum
yang memulihkan (restitutif) mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada
solidaritas mekanis dan hukum yang sifatnya mengekang (represif). Hal ini
dikaitkan dengan tingkatan-tingkatan kesejahteraan dan derajat-derajat kepacuan
moral. Semakin kuno suatu masyarakat maka semakin represif, berat dan dahsyat
saksi-saksinya; dilain pihak semakin tinggi perkembangan suatu masyarakat
menuju masyarakat yang modern maka semakin ringan hukuman-hukumannya sehingga
pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan.
P. Selznick (The
Socioligy of Law)
Menunjukkan bahwa kepatuhan
hukum tidak unik kepada politik Negara. Dia melihat hukum sebagai elemen umum
didalam struktur dari banyak kelompok-kelompok masyarakat. Hukum selalu
terdapat diseluruh institusi yang dipercaya untuk mengontrol kekuasaan formal
dan peraturan.
Susan Silbey dan Austin
Sarat
Mengemukakan betapa pentingnya
kritik dalam kaitannya antara hukum dan tradisi masyarakat. Kritik dilakukan
dengan tetap memfokuskan diri kepada hukum dengan memperhatikan proses sosial
yang melingkupu hukum. Proses sosial tersebut dilakukan dengan melalui studi
untuk mengetahui hukum tidak saja dalam literature hukum dan doktrin hukum
tetapi juga malalui institusi sosial disekitar hukum dengan harapan hukum akan
terlihat utuh.
F.K. Savigny
Menurut Savigny suatu system
hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut. Hukum bukanlah
merupakan hasil dari undang-undang yang dibuat secara tidak disengaja oleh
legislator, akan tetapi dibuat sebagai respon atas kekuatan impersonal yang
ditemukan dalam spirit nasional dari masyarakat. Hukum bertumbuh sejalan dengan
pertumbuhan, dan kuat sejalan dengan kuatnya rakyat Negara tersebut, dan pada
akhirnya mati pada saat Negara tersebut kehilangan kebangsaannya.
Radcliffe Brown
Mendefinisikan hukum sebagai
suatu control sosial melalui penerapann sistematis dari masyarakat organisasasi
politik yang berkuasa.
Sir Henry Maine
Menurut Maine, pada awalnya
kondisi hukum adat istiadat masih merupakan hukum yang tidak tertulis.
Pendokumentasian adat istiadat dalam suatu bentuk tertulis baru dimulai pada
saat pengadilan Wesminster Hall di Inggris dimulai. Selanjutnya hukum tertulis
tersebut mulai dijadikan yang kita kenal dengan nama codes.
L.L. Fuller (Human
Interaction and The Law)
Menurut Fuller apabila kita
dapat mengerti secara baik tentang adat istiadat, maka kita dapat menerima
kedudukan adat istiadat sebagai suatu bagian terpenting dalam perkembangan
kehidupan di dunia saat ini, terutama dalam perkembangan hukum internasional.
Paul Bohannan (The
Differing Realms of The Law)
Institusi hukum adalah
institusi dimana masyarakatnya memiliki suatu system penyelesaian permasalahan
antara satu dengan yang lainnya dan melakukan suatu counterpart atas
pelanggaran hukum. 2 aspek penting yang membedakan institusi hukum dengan
institusi lainnya adalah : institusi tersebut memiliki peraturan untuk dapat
mengintervensi institusi bukan hukum terhadap adanya permasalahan hukum; dan
memiliki aturan/tata cara tersendiri dan substansi hukum tersendiri.
S. Diamond
Diamond menyatakan bahwa kita
harus membedakan The Rule of Law dengan adat istiadat. Hukum dan adat istiadat
pada prinsipnya adalah saling bertentang dan tidak berkesinambungan. Adat
istiadat dan hukum adalah adalah suatu sejarah dan secara logika tidak saling
berhubungan.
H.C. Bredemeier
Pola kerja hukum yang dipakai
sebagai acuan oleh Bredemeier disini adalah yang menempatkan pengadilan sebagi
pusat kegiatannya. Keadaan yang demikian itu tentunya agar berbeda dari
masyarakat-masyarakat atau Negara-negara pola kerja hukumnya di dominasi oleh
kegiatan badan pembuat undang-undang nya.
David M. Trubek
Trubek mengatakan bahwa salah
satu ciri hukum modern adalah penggunaannya secara aktif dan sadar untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kesadaran tersebut menyebabkan bahwa hukum
modern itu menjadi begitu instrumental sifatnya dengan asumsinya, bahwa
kehidupan sosial itu bisa dibentuk oleh kemauan sosial tertentu, seperti
kemauan sosial dari golongan elit dalam masyarakat.
R.M. Unger
Menurut Unger dalam bukunya
“Law in Modern Society” atau hukum di dalam masyarakat modern menyatakan setiap
masyarakat menyatakan melalui hukum rahasia-rahasia yang paling dalam cara yang
dapat menahan seseorang secara bersama-sama.
R. Cotterell
Dalam karangannya The
Sociological Concept of Law membedakan penggunaan suatu konsep hukum dalam
teori hukum normative dan empiris. Selama itu konsep sosiologi hukum
digolongkan dalam kategori yang luas yaitu monisme yuridis, pluralism yuridis
dan hukum Negara sebagai yang dominan, akan tetapi tidak terlepas dari hukum.
G. Puchta
Dinamainya volgeist, hukum itu
tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan menjadi kuat bersama-sama
dengan kekuatan rakyat, dan pada akhirnya ia mati jika bangsa itu kehilangan
kebangsaannya.
Sir Henry Meine
Dalam karya bukunya Ancient Law
(1861), dalam hukum manusia primitive, dalam masyarakat kesukuan, tenaga ahli
belum pernah mereka temukan atau yang tidak ingin mereka temukan dalam sejarah
mereka sendiri. Teori Evolutionistic mengenai masyarakat-masyarakat dan
hukumnya masing-masing mempelajari hukum sebagai pencerminan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat.
Ehrlich
Hukum adalah swatentra pada
level metodologi ketika dalam jalan keputusan lembaga membenarkan tindakan
mereka berbeda dari berbagai pembenaran yang digunakan pada disiplin praktek
lain, artinya alasan hukum memiliki metode atau gaya untuk membedakan dari
penjelasan ilmu pengetahuan dari moral, politik dan tulisan ekonomi.
R. Von Thering
Melihat hukum dalam essensinya
yang terekspresi melalui tujuannya, yaitu untuk memberikan perlindungan
terhadap kepentingan masyarakat tersebut. Bagi Jhering dibawah hukum,
kepentingan-kepentingan masyarakat harus didahulukan.
G. Teubner
Mengembangkan suatu teori dari
hukum yang disebut aliran Post Structualism, teori kritis dan autopoisis. Teori
tersebut menimbulkan anti reaktif dan anti individualisme.
Ajaran John
Stuart Mill
Tujuan hukum ialah menciptakan
kebebasan maksimum bagi tiap individu, sehingga ia dapat mengejar apa yang baik
baginya.
Lenin
Teori State and Revolution
Engels
Dalam bukunya The Origin of
Family, private property and state. Negara itu bukanlah suatu kekuasaan yang
diletakkan diatas masyarakat dari luar dan bukanlah ia kebenaran dari cita-cita
susila dan kebenaran dari budi. Kekuasaan yang timbul dari masyarakat, akan
tetapi menempatkan dirinya diatas masyarakat itu sendiri itulah yang dinamakan
negara.
Karl Marx
Dalam bukunya Civil War in
France (1891), negara itu adalah tidak lain selain alat pemaksa untuk melakukan
penindasan/penghisapan oleh suatu golongan terhadap golongan yang lain.
G. A. Cohen
Pokok- pokok tentang pemikiran
hukum marxis yang di kemukakan adalah :
1.
kekuatan kekuatan produksi
mengalami konflik dengan hubungan- hubungan kepemilikan karena kekuatan
produksi konflik dengan hubungan hubungan produksi yang di formulasikan dan di
lindungi oleh hubungan kepemilikan.
2.
Tenaga kaum proletar tidak di
miliki oleh kaum kapitalis tertentu akan tetapi hanya dimiliki oleh keseluruhan
kaum kapitalis.
3.
Hubungan produksi, demi
efisiensi dan ketertiban, memerlukan sanksi hubungan kepemilikan.
4.
Hak kepemilikan merupakan
institusi pertama dari semua institusi hukum
5.
Masyarakat tidaak didirikan
atas hukum, ini fiksi hukum. Hukumlah yang di dirikan atas masyarakat
E. Pashukanis” Law and
Marxis” (1978)
Teori Pertukaran Komoditi
Hukum timbul dari kebutuhan
akan ibentuk komoditi dari produksi. Komoditi merupakan bentuk dari hubungan
hukum karena masyarakat kapitalis terdiri dari produsen produsen komoditi.
Donal G GJerdingen
Bahwa sesungguhnya seluruh
pendidikan yang penting dari pemikiran hukum amerika selama abad terakhir,
sejak masa Langdellian ortodoksi sampao masa realism untuk proses pendidikan
hukum, di domonasi oleh suatu konsep hukum yang memisahkan hukum dan politik.
Ferdinand de Saussure
Teori Strukturalisme, bahwa
suatu tanda bahasa yang bermakna bukan karena refernsinya kepada benda dengan
realitas, berdasarkan teori ini tidak ada realitas yang sebenarnya kecuali
konsep tentang realitas itu sendiri.
Rene Descrates
Ia berpendapat bahwa kepastian
kebenaran dapat di peroleh dari strategi kesangsian metodis, dengan
menyangsikan segala sesuatu akan di temukan hal yang bersifat tetap dan tidak
dapat di ragukan.
Hugo de Groot ( Grotius
)
Mengatakan bahwa sumber hukum
adalah rasio manusia. Karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain
adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia hasus berdasarkan atas
kemampuan akal ( rasio ). Hukum alam menurut Grotius merupakan hukum yang
muncul sesuai kodrat manusia.
J. M. Balkin
Hukum adalah logis jika hukum
mempunyai kepastian dan lulus pada ketentuan tertentu. Pernyataan atas hukum
logis lahir ketika kita memahami hukum dalam cara tertentu (pemahaman knstruksi
hukum rasional)
Auguste Comte
Comte lahir di kota Monpellier
Perancis, berasal dai latar belakan keluarga kelas menengah. Orang tua Comte
adalah pegawai kerajaan yang menganut Katolik, istri Comte adalah bekas
pelacur. Meskipun belajar di politeknik dia juga tertarik pada ilmu sosial. Tokoh
yang mempengaruhi pemikirannya adalah Saint Simon. Comte dikenal sebagai Bapak
Sosiologi (the Founding Father of Sociology).
Comte dapat digolongkan tokoh fungsionalisme klasik. Teori Comte yang terkenal
adalah Hukum evolusi tiga tahap,
yaitu:
1. Tahap teologis yang
identik dengan kekuatan supranatural, fetisisme, animisme, politeisme,
monoteisme, agama, Tuhan, dansebagainya,
2. Tahap metafisik yaitu
ketika manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal budinya,
3. Tahap positivisme
yaitu ketika masyarakat mempercayai pengetahuan ilmiah lewat observasi dan
pengujian dengan metode empirik. Oleh karena itu Comte kemudian dijuluki
sebagai Father of Positivism.
B.G Wilhem von Leibniz
Leibniz kelahiran Hanover,
Jerman, semenjak usia enam tahun dia sudah ditinggal mati ayahnya. Sejak
duabelas tahun sudah belajar mendiri tentang literatur Yunani, hingga umur dua
puluh dia sudah menekuni matematika, ilmu agama, hukum, dan filsafat. Ada
kontroversi besar tentang hukum kalkulus. Inggris
menyatakan bahwa Newton penemu hukum kalkulus, namun Jerman menyatakan Laeibniz
penemunya. Leibniz juga yang pertama menggunakan sistem biner.
Filsafat Leibniz adalah bahwa alam semesta adalah terdiri atas pusat (centrum) yang tak terbilang dari suatu
energi atau kekuatan rohani, sebuah cikal bakal teologi tunggal universalitas
modernisme.
C. Wright Mills
Charles Wright Mills kelahiran
Waco, Texas, Amerika Serikat. Ia menerima Phd nya dari uneversitas Wisconsin.
Tokoh-tokoh panutanya adalah Max Weber dan Karl Marx. Gaya intelektual Wright
Mills adalah pragmatisme.
Wright Mills menghimbau sosiologi sebagai perpaduan psikologi sosial dengan
strukturalisme konflik, karena grand theory naturalistik seperti fungsionalisme
masih terlalu abstrak. Mills adalah sosiolog humanis yang evaluatif, karena
dasar teoritiknya menggunakan interaksionisme Herbert Mead, namun dengan
tambahan dimensi sejarah dan kesadaran akan pengaruh kekuasaan (konflik)
terhadap struktur sosial. Bagi Mills, data-data empirisnya bisa berupa
sumber-sumber biografis, catatan-catatan sejarah, surat-surat kabar, laporan
jurnal, dan sebagainya. Karya Mills yang terkenal adalah “The
power elite” yang
mengetengahkan kekuatan tritunggal: bisnis raksasa, pemerintahan yang kuat, dan
militer yang tangguh di Amerika.
David Ricardo
David Ricardo adalah ekonom
kelahiran Inggris. Setelah hak warisnya dicabut karena menikah dengan perempuan
di luar iman Yahudi nya, dia memilih menjadi pialang dan broker saham. Pada umr
27 dia membaca buku Adam Smith, pada sekitar umur 37 dia sering menulis artikel
ekonomi dan menjadi ekonom profesional. Ricardo menelorkan teori kwantitas uang
yang saat ini dikenal dengan paham moneter, dia juga menawarkan proteksi dalam
produksi untuk persaingan pasar. Kontribusi Ricardo terhadap ekonomi juga
aplikasi matematika dalam teori sewa yang menyetir Malthus. Ricardo menjelaskan
lewat pertanyaan, mengapa harga agrikultur tidak membantu petani penggarap
menjadi lebih kaya dan justru pemilik tanah menjadi tuan-tuan tanah kaya.
Edward Said
Edward Said lahir di Palestina,
sejak muda dia sudah menjadi aktifis, kritik-kritiknya dituangkan dalam
penulisan kesusastraan, dan musik. Suatu hari kekuatan Israel berhasil
menguasai Jerusalem barat, sehingga membuat dia dan keluarga mengungsi ke
Kairo, Mesir, dia sendiri menuntut ilmu hingga ke Amerika Serikat. Kritik
serangan balik Edward Said terhadap komentar-komentar Israel atas Palestina
menggunkan sudut pandang mereka sendiri. Said justru menawarkan jalan damai
mencapai tujuan bersama untuk eksistensi Palestina maupun Israel, dan bukan
dengan penindasan, pengrusakan, dan penyiksaan. Paham itu adalah orientalisme,
yaitu prasangka gigih eurosentris yang sulit dipisahkan dalam melawan
orang-orang ArabIslam dan kultur mereka. Orientalisme memandang budaya diluar
kebudayaannya secara subyektif dan sepihak, yang kemudian mensubordinasikan
budaya luar tersebut.
George Herbert Mead
Mead lahir di Hadley selatan
Amerika Serikat. Dia dibesarkan di tengah keluarga yang akademisi, karena kedua
orang tuanya adalah profesor di Oberlin. Mead adalah penganut agamaCongregationalist (Kristen yang berdiri sendiri) seperti
halnya ayahnya yang seorang pelayan Congregationalist. Gaya intelektualnya
adalah pragmatis dengan pendekatan sosial behavioristik. Mead dapat digolongkan
tokoh sosiologi dengan dasar pemikiran interaksionisme simbolik modern. Mead
membahas hubungan antara pikiran seseorang, dirinya, dan masyarakat. Sumbangan
Mead terhadap sosiologi adalah pandangan bahwa diri (self) seseoarang
berkembang melalui tahap play, the game, dan generalized other, dan dalam
prosesnya seseorang belajar mengambil peran orang lain (taking the role of the other).
G.W.F. Hegel
Hegel adalah tokoh peletak
dasar fenomenologi dalam pisau analisis sosialnya.
Fenomenologi mencoba untuk menyajikan sejarah manusia, dengan semua
revolusinya, peperangan dan penemuan ilmiah, sebagai suatu pengembangan diri
idealistis dari suatu roh sasaran atau pikiran. Filsafat Hegel adalah tentang
Roh Absolut kemutlakan, tugas filsafat adalah pengembangan tentang Roh Absolut
tersebut. Dia menyetir filsuf Yunani Parmenides bahwa masuk akal adalah riil
dan yang riil adalah masuk akal. Hegel sangat menitik beratkan pada logika,
sedangkan pengembangannya lewat dialektik. Hegel juga menyoroti alienasi yang
kemudian juga menjadi referensi Engels, Marx, dan Feurbach.
Harold Garfinkel
Harold Garfinkel dapat
dimasukkan pada sosiolog humanis seperti halnya Blumer yang sangat menjunjung
tinggi kemanusiaan sebagai subyek. Namun Garfinkel lebih menekankan pada studi
tentang etnometodologi, yaitu metode studi yang digunakan untuk menguraikan dan
meneliti aktifitas mereka sendiri tanpa reduksi subyektif peneliti.
Etnometodologi berusaha menemukan esensi pengalaman-pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari, karena itu metode yang dipakai adalah partisipan observasi.
Garfinkel justru menentang konsep dasar sosiologi mengenai keteraturan, karehna
keteraturan tersebut melalui proses yang panjang multi kompleks yang justru tak
teratur. Contohnya dalam percakapan, ada perbedaan antara apa yang benar-benar
diucapkan dengan apa yang diperbincangkan.
Herbert Blumer
Blumer digolongkan tokoh
interaksionisme simbolik modern. Tindakan-tindakan bersama yang mempu membentuk
struktur atau lembaga itu disebabkan oleh interaksi simbolis, yang didalamnya
mengandung makna, disampaikan lewat isyarat dan bahasa, berupa simbol-simbol
yang berarti, memiliki makna yang disampaikan kepada pihak lain. Bagi Blumer
manusia bertindak bukan hanya faktor eksternal (fungsionalisme struktural) dan
internal (reduksionis psikologis) saja, namun individu juga mampu melakukan self
indication atau
memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi yang
mengelilinginya itu. Pada dasarnya tindakan manusia itu terdiri dari
pertimbangan atas berbagai hal. Metode empiris Blumer lewat pengamatan (inquiry),
penjelajahan (exploration),
dan pemeriksaan (inspection). Blumer
menekankan pada aspek kemanusiaan (humanis) yang unik dan berbeda satu sama
lain, memiliki cita, rasa, karsa, serta multi variat.
A.R. Radcliffe Brown
Paradigma yang dianut adalah
struktural fungsional, yang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan terdiri
atas institusi yang secara fungsional saling bergantung. Brown adalah Darwinist
sosial yang menekankan kepada kompetisi sosial yang paling fit untuk tetap
survive. Dia banyak belajar dari sosiolog Perancis Durkheim tentang organ fisik
atau badan yang bekerja sama untuk mendukung suatu badan hidup. Karirnya
melejit setelah penelitian antropologinya tentang penduduk Andaman dan Aborigin
menggunakan pendekatan fungsionalisme, namun banyak ilmuan menuduh struktural
fungsional adalah format reduksionis.
Brown dapat dikelompokkan pada tokoh fungsionalisme klasik. Konsep fungsi oleh
Brown didasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik.
Dia mencontohkan bahwa hukuman pada kriminil memiliki fungsi untuk menjaga
keberlangsungan struktur.
Saint Simon
Saint Simon adalah tokoh
sosialisme industri modern dan sosiologi evolusioner. Dia menyarankan untuk
menekan paham materialisme yang justru merugikan, dan menekankan pada kesatuan
serta restorasi rohani. Bagi Saint Simon kemajuan ditentukan dari format
peradaban yang stabil, program adalah dasar pemikiran yang membedakan,
masing-masing format yang lebih tinggi adalah terdepan namun pada gilirannya
juga akan menjadi usang oleh format baru. Saint Simon juga menciptakanilmu sosial integratif
yang memadukan ilmu sosial dan ilmu alam yang pada saatnya memunculkan
positivistik buah tangan muridnya Auguste Comte. Visi masyarakat masa depan
Saint Simon adalah masyarakat yang memiliki prestasi, produktif, dimana
kemiskinan dan peperangan dihapuskan melalui industrialisasi dibawah bimbingan
ilmiah, untuk itu diperlukan open class masyarakat, sistem kasta dan suku
bangsa dihapuskan, serta penghargaan berdasarkan jasa.
John Locke
Pemerintah dibentuk untuk
melindungi sipil, namun jika kebebasan dan hak sipil direnggut, maka
pemberontakan atas kekuasaan pemerintah adalah sah. Teori ini dikenal dengan
teori hukum alamatau kebenaran alami.
sumber : MAKALAHKU
TUGAS TEORI HUKUM MAGISTER ILMU
HUKUM UNDIP 2009
[1] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Wal is rechtsteorie?, yang kemudian diterjemahkan
oleh Arief Sidharta, demgan Apakah Teori Hukum itu?, Laboratorium Hukum FH
Unpar Bandung, 2001, Penerbitan tidak Berkala No. 3, Seri Dasar-dasar Ilmu
Hukum no. 3, lihat pada halaman yang sudah diterjemahkan, yaitu halaman 38-39.
[2] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm. 44.
[3] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 39.
[4] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 39.
[5] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48.
[6] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48.
[7] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48. Untuk lebih jauh tentang persoalan
ini hendaknya dapat dibaca buku dari kedua pemikir tersebut, karena sacara substansial
pemikirannya diuraikan secara panjang lebar.
[8] Jan
Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 56, dalam bukunya tersebut jan Gijssels
dan van de Hoecke menjelaskan beberapa definisi kepustakaan tentang filsafat
hukum sebagai berikut:
1.
Sebagai sebuah disiplin
spekulatif, yang berkenaan dengannya penalaran-penalarannya tidak dapat diuji
secara rasional (I. Tammelo);
2.
Sebagai disiplin yang mencari
pengetahuan tentang hukumj yang benar, hukum yang adil (J. Schmidt, H. Kelsen);
3.
Sebagai fefleksi atas
dasar-dasar dari kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berfikir sistematis
yang hanya akan merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari dalam pemikiran
(kegiatan berfikir) itu sendiri dan yang mencari hubungan teoretikal
terefleksi, yang di dalamnya gejala hukum dapat dimengerti dan dipikirkan (D.
Meuwissen).
4.
Sebagai disiplin yang mencari
pengetahuan tentang hakikat (sifat) dan keadilan;pengetahuan tentang keberadaan
transenden dan imanen dari hukum; pengetahuan tentang nilai-nilai yang di
dalamnya hukum berperan tentang hubungan antara hukum dan keadilan pengetahuan
tentang struktur dari pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum pengetahuan
tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbellay).
[9] Jan
Gijssels & Ma
upaya pemahaman dan penjelasan
yang berdasarkan pemikir-pemikir teori hukum
yang terdahulu bahkan yang sekarang ini.
b. Paradigma Circles (Mashab Wina
atau "Wissenchaftliche Welstanchaung)
Paradigma yang menjadi ciri
mashab ini ialah logika positivisme, satu pandangan yang melihat pengetahuan
keilmuan sebagai sesuatu yang
bersifat induktif, verifikasi
yang didasarkan pada pengalaman,(pengamatan), itu diyakini sebagai sifat obyek
dari sains.
Dalam perkembangannya
logika positifisme karena pengaruh pemikiran pragmatis Amerika, berubah menjadi
logika empirisme, suatu pandangan bahwa obyektivitas sain dapat dilakukan
dengan proses berpikir
aksiomatis.
Proses yang bermula
dari basil pengamatan yang dikaitkan dengan pemahaman teori (yang sudah
menghasilkan kesimpulan hukum empiri baru (proportions verify propotions).
PENUTUP
Dari uraian pembahasan di atas maka permasalahan paradigma
dalam ilmu hukum ini sangat di motori
oleh ahli pemikir di bidang ilmu hukum dalam menghadapi berbagai kondisi sosial
yang di hadapinya. Dengan kata lain paradigma ilmu hukum itupun adalah hasil
dari konstelasi kerangka keyakinan dan komitmen para ahli hukum terhadap ilmu
hukum.
Perkembangan ilmu hukum
tidak terjadi secara terputus-putus apalagi secara revolusi, melainkan
berkesinambungan sehingga pemikiran tentang hukum lama itu masih berperan dan diikuti
kelompok komunal hukum tertentu. Hingga kini masih banyak penganut hukum alam, transcendental-idealism,
rechtsdogmatiek dan ada pula yang rechtstheorie.
Dengan demikian lalu sebagai
ilmu yang bertujuan untuk memanusiakan manusia menjadi terwujud, menuntut
adanya keyakinan dan komitmen para insan
hukum (legal science
community) untuk mengedepankan
etika moral dan estetika yang bersumber dari Sang Khalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar