Jumat, 29 Agustus 2014

TELAAH FILOSOFIS PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM

A. Pengertian Hakim
Berbicara pengertian “Hakim” pasti kita banyak menimbulkan berbagai macam pertanyaan yang ada di benak kita sebenarnya, bagaimana menjadi seorang hakim itu, apakah dia selalu benar, berbuat sesuai aturan, tanpa ada kesalahan yang dilakukannya, tanpa kekhilafan dalam menjalankan sesuatu dalam kehidupann dunia ini? Jawabanya dari kesemua itu adalah tidak. Hakim adalah seorang manusia biasa, hanya saja ia mempunyai suatu keahlian dibidangnya. Hakim merupakan salah satu yang berkewajiban dalam sistem penegakan hukum, yang mempunyai tugas pokok menerima, memeriksa dan memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Oleh karena itu seorang  Hakim mempunyai  peran yang  sangat  penting  dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Sehingga para pencari keadilan selalu berharap, perkara yang diajukannya dapat diputus oleh Hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut hukum) tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social justice (keadilan masyarakat).
Hakim memegang peranan penting  dalam penegakan  hukum. Berprofesi sebagai hakim memang harus diperlukan suatu ilmu yang sangat memadai, karena Hakim dianggap mengetahui semua hukumnya (ius curia novit) yang akan menentukan hitam putihnya hukum melalui putusannya. Sebab pengalaman banyak terjadi dalam prakteknya penegakan hukum sering dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam perundang-undangan. Atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas, karena memang tidak ada satu hukum atau Undang-Undang mengatur yang selengkap-lengkapnya mengingat masyarakat yang diatur oleh hukum senantiasa berubah (dinamis).
Dengan demikian untuk melengkapi dan untuk mewujudkan suatu pengadilan yang benar-benar mencari keadilan, terhadap kekurangan atau ketidaklengkapan aturan hukum atau Undang-undang  harus  dilengkapi  dengan  jalan  menemukan  hukum  agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dan subyek yang memiliki wewenang dalam menegakan hukum menemukan hukum itu, tidak lain adalah  Hakim.
Keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Maka metode penemuan hukum inilah yang dituntunkan kepada hakim agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya sehingga dapat dihasilkan putusan yang ideal, yang mengandung aspek juridis (kepastian), filosofis (keadilan) dan kemanfaatan (sosiologis).
Secara global dapat dikatakan bahwa penegakan hukum secara mendasar merupakan pelaksanaan dan pengamalan hukum (anwendung des recht), yang menurut penulis termasuk salah satu obyek pokok dari (telaah) filsafat hukum. Hal ini sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Soejono Koesoemo Sisworo, SH CN, bahwapenegakan hukum oleh Hakim melalui  penemuan  hukum  itu  termasuk  obyek  pokok  dari  telaah  filsafat hukum1. Disamping masalah lainnya seperti hakekat pengertian hukum, cita/tujuan hukum dan berlakunya hukum. Sedangkan menurut Lili Rasyidi, obyek pembahasan filsafat hukum masa kini memang tidak terbatas pada masalah tujuan hukum melainkan juga setiap masalah mendasar yang muncul dalam masyarakat dan memerlukan pemecahan2. Masalah itu antara lain :
1)   Hubungan hukum dengan kekuasaan ;
2)   Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ;
3)   Apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang ;
4)   Apa sebab orang menaati hukum ;
5)   Masalah pertanggungjawaban ;
6)   Masalah hak  milik  ; 
7)   Masalah kontrak  ; dan
8)   Masalah peranan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (social engineering).
 Sedangkan menurut Theo Huybers, unsur yang menonjol  dalam telaah filsafat hukum antara lain tentang arti hukum kaitannya dengan hukum alam serta prinsip etika, kaitan hukum dengan pribadi manusia dan masyarakat, pembentukan hukum, serta perkembangan rasa keadilan dalam Hak Asasi manusia3.
Dalam pada itu patut dicatat, hakim sebagai bentuk sebuah bidang yang menjadi ahli di bidang itu, Ketika  dalam menjalankan tugasnya memeriksa dan memutus perkara terutama dalam menemukan hukum dan nilai-nilai keadilan, seorang  Hakim dituntut  selain menguasai  teori ilmu hukumnya  juga  harus menguasai filsafat hukum.
 Bagi seorang Hakim untuk membuat putusan yang  idealnya harus memenuhi unsur filsafat seperti Keadilan (filosofis), kepastian hukum (juridis) dan kemanfaatan (sosiologis) sekaligus. Oleh karena itulah diperlukan keberanian Hakim melalui diskresi/kewenangan yang dimilikinya untuk dapat  menemukan hukumnya (rechtsfinding)  berdasarkan pendekatan yang lebih komprehensif dan integral melalui  analisis filsafat.
Seseorang sebagai praktisi yang menekuni dunia hukum, khususnya seorang Hakim dapat memberikan konsepsi dan sumbangannya melalui putusannya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam filsafat hukum yang  bercorak  tidak  semata-mata  logis-rasional-intelektual  tetapi  sekaligus ethis, intuitif dan bahkan divinatoris, yakni mempertaruhkan dan melibatkan panca indera bathin/sensus interior yang khusuk terbuka dan siap menerima hidayah, inayah Tuhan Yang Maha Esa
Setelah kita ketahui di atas bahwa   mengetahui  dan  memahami  filsafat  hukum  dengan  berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap permasalahan yang harus dihadapi Hakim dalam proses menemukan hukum.

B. Pengertian Penemuan Hukum dalam Sebuah Telaah Filosofis
Dari sejak mulanya manusia berjuang buat hidup, berjuang dengan alam yang membatasi lingkungannya. Supaya langkah dapat diperluas, perlulah dikuasainya alam itu yang dahulu menjadi Tuannya. Jadi untuk menguasainya yaitu mengetahui keadaannya, mengetahui kedudukaan satu-satunya khusus manusia yang hidup selalu berkelompok dan akhirnya membentuk suatu masyarakat yang kompleks, maka sudah jelas hukum harus di tegakan. Dengan mengeluarkan Karya  dan  proses  pemikiran  dan  penggarapan  atas  suatu  masalah hukum konkrit. Salah satunya  dengan menggunakan suatu atau berbagai metode interpretasi hingga sampai kepada kesimpulan dan keputusan itulah merupakan pokok pengertian dari penemuan hukum (rechtsvinding) dari berbagai kepustakaan4. Sedangkan  hakekat  tugas  dan  fungsi  Hakim  adalah  melakukan  penemuan hukum dengan hasil keputusan hati nurani terhadap perkara yang diajukan kepadanya   untuk   diperiksa dan   diadili.   Penemuan hukum (istilah yuris –tehnis/ilmiah, bukan kata kerja sehari-hari) dilakukan dalam bidang peradilan, dapat juga dalam wilayah ketatanegaraan dan ketata pemerintahan.
Menurut Suyono   membedakan definisi penemuan hukum dalam arti umum dan dalam arti khusus sebagai berikut4: Definisi yang umum penemuan hukum, adalah keseluruhan proses berpikir dari seorang juris, yang dengan   menggunakan suatu metode interpretasi menghantarkan dan membawanya kepada suatu putusan hukum atau pengembangan dan pertumbuhan hukum. Definisi yang khusus, penemuan hukum adalah proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, yang menetapkan benar dan tidak benar menurut hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan kepada hati nurani5. Dan karya itu bersifat intelektual, rasional, logis, intuitif dan ethis.
Dalam hubungannya dengan ungkapan diatas tentang pandangan penulis bahwa penemuan hukum khususnya yang dilakukan oleh hakim (derectelicjke rechtvinding) cukup berharga (waardig) menjadi salah satu  obyek salah satu telaah filsafat hukum. Idealnya setiap pelaku penemuan hukum, khususnya Hakim harus mampu ber”triwikrama”, yaitu yang secara fundamental proporsional memahami dan menguasai Trilogi Dunia hukum yang meliputi faktisitas-normativitas dan idealitas hukum in abstracto dan in concreto setiap kali menghadapi perkara untuk diperiksa dan diadili. Dengan demikian fungsi Hakim dalam triwikrama adalah :
1.  Hakim sebagai corong yang menyuarakan Undang-undang.
2.  Hakim sebagai penterjemah dan penyambung lidah Undang-undang.
3. Hakim sebagai manusia susila yang berpikir dan menimbang demi dan menurut keadilan.
Ketika kita memperhatikan bebrapa fungsi hukum diatas, ternyata dalam prakteknya masih banyak Hakim yang masuk dalam golongan  pertama  yaitu  yang  berpendirian  segala  sesuatu  tentang  hukun   sudah termuat dalam Undang-undang sehingga cukup menerapkannya secara sillogisme dan berasumsi akan diperoleh putusan yang benar atas suatu kasus yang dihadapi. Masih sedikit diantara Hakim-hakim kita yang mampu secara mandiri berkarya sebagai penerjemah dan penyambung lidah Undang-undang. Apalagi mampu berpikir sebagai manusia berbudi dalam menimbang dan berfikir secara adil dan bijaksana.
Sesungguhnya secara filsafati konsepsi tersebut masing-masing adalah identik dengan cita/tujuan dari hukum yang tidak lain adalah keadilan yang komponennya terdiri dari kepastian hukum, kegunaan menurut tujuan dan keadilan  dalam  arti  sempit.  Sebagaimana  dikemukakan  Prof.Dr.H.Muchsin, SH. Bahwa keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Sedangkan makna keadilan itu sendiri  masih menjadi  perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban. Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai keadilan bagi hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan rechct ist wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan).
Berbeda dengan Soejono K.S mendefinisikan Keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran yang beriklim toleransi dan kebebasan. Perwujudan penegakan hukum oleh Hakim pada  hakekatnya  adalah  pelaksanaan atau pengamalan hukum yang menurut Soejono K. S. termasuk obyek telaah filsafat hukum. Dalam melaksanakan tugas menerapkan hukum yang dilandasi dengan penafsiran hukum secara filsafati itulah dinamakan Hakim telah melakukan penemuan hukum. Jadi penemuan hukum itu adalah salah satu wujud dari penegakan hukum oleh Hakim.
Sementara itu juga menurut Paul Scholten, penemuan hukum itu senantiasa merupakan karya yang bersifat intelektuil sekaligus intuitif susila. Sedangkan menurut Esser, penemuan hukum tidaklah pernah semata-mata pekerjaan subsumsi. Lebih fundamentil penemuan hukum sebagai hasil/resultante. Putusan hakim sebagai ”gewetensbeslissing (putusan hati nurani) menurut konsepsi Scholten9.

C. Peran Hakim Sebagai Subyek Penemuan Hukum
Dalam arti sempit/khusus penegakan hukum (law enforcement) adalah kegiatan kekuasaan negara yang dilakukan oleh aparatur pemerintah/eksekutif (kepolisian, kejaksaan, dsb). Sedangkan dalam arti luas Hakim/Pengadilan termasuk didalamnya. Bagi negeri kita hal itu dapat di lihat pada pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Penegakan hukum dalam hal mememukan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang di lakukan oleh hakim mencakup wilayah hukum publik baik hukum pidana maupun hukum privat. Karena itu sektor inilah yang akan lebih banyak yang akan disorot ketimbang komponen-komponen yang lain. Pada hakekatnya penegakan hukum itu merupakan pengamalan hukum (anwendung des rechts) dapat berbentuk  pembuatan Undang-Undang (wetgeving, kegiatan membuat produk-produk legislatif ) maupun dengan penafsiran hukum simultan dikerjakan pelaksanaan atau penerapan hukum (teopasing van het recht/law aplication). Pelaksanaan penerapan hukum disertai dan dilandasi penafsiran hukum itulah, dengan kata lain dinamakan Penemuan Hukum (rechtsvinding/lawfinding). Walhasil penemuan hukum adalah salah satu wujud penegakan  hukum.
Hakim dalam  wujud menemukan hukum sangat dibutuhkan perannya, karena pada perkara yang diperiksa dan diadili oleh hakim pada umumnya mengandung kepentingan-kepentingan pendukung, nilai-nilai (kerohanian dan atau kenafsuan kebendaan) yang saling berlawanan, yang berlatar belakang  historis dan situasi sosial tertentu. Karena itu penggarapannya dengan wahana wirklijchkeithectrachtung dan welrhetrachtung, sepantasnya menuju kearah suatu putusan yang berwujud antara lain:
a.    Pemulihan hak dan atau pembebanan kewajiban kepada pihak-pihak yang bersangkut-paut menurut perilakunya masing-masing.
b.    Memberikan pengaruh baik secara khusus maupun secara umum kepada masyarakat.
c.    Menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi keresahan dan ketidak tentraman dalam masyarakat yang ditimbulkan oleh delik tau pelanggaran lain yang merugikan.
Karena itu putusan itu semestinya mengindahkan “die etische foerderungen” dan “die soziale bedurfnisse” (tuntutan-tuntutan moral- etis dan kebutuhan-kebuthan masyarakat), terlepas dari metode penafsiran apapun juga yang dipakai. Menurut  Esser putusan yang diambil oleh hakim itu (dapat) terjadi secara intuitif belaka seketika setelah hakim mentelaah secara ringkas-cermat  atas fakta-fakta dari perkara yang diajukan kepadanya. Kemampuan tersebut dimungkinkan oleh “vorverstandnis” yang dimiliki oleh hakim yang bersangkutan, yaitu pengalaman-pengalaman  yang telah diperoleh hakim selama pendidikan dan karir yang dijalaninya.             
 Dengan demikian itu maka putusan itu pada hakekatnya hanya berupa konstruksi yuris yang dibuat sesudah sesudah dan diperuntukan sebagai uraian penalaran, motivering dan pertanggungjawaban atas kesimpulan putusan intuitif yang dimuka telah diperoleh. Post-konstruksi itu dimaksudkan dengan kata lain yaitu sesuai dengan ondertitel karya tulisnya itu sebagai jamian rasional terhadap putusan hakim yang dalam fase/langkah pertama bersifat intuitif-irrasional (dieratinalitatsgarantion des richtenlichten entscheidungspraxis). Perihal itu sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan visi Paul Scholten bahwa penemuan hukum itu senatiasa merupakan karya bersifat intelektuil sekaligus intuitif asusila.
Dalam rangka pengamalan hukum dimana hakim ketika menggali dan menemukan hukum  dengan bertitik tolak pada asumsi hukum itu pada pokoknya ditentukan pada tujuan normanya, maka pada hakekatnya dari putusan itu  harus bisa mencerminkan  nilai-nilai yang dapat di harapkan masyarakat yang biasanya tentram menikmati ajaran seneca “homo sacra res homini” (manusia yang satu adalah suci bagi manusia yang lain, dan menghindari putusan yang yang di robek-robek oleh drama dari plautus “homo homini lupus ” manusia yang satu adalah serigala bagi manusia yang lain. Dan atau jalan keluarnya tidak bisa di cari dalam tema “bellum omnium contra omnes” (semua berperang melawan semua).  Maka untuk bisa hakim menjadi penegak hukum dalam hal menemukan hukum harus memiliki jiwa sebagi landasan dasarnya yang sepadan adalah harus memiliki etika amaliah atas iktikad yang terpuji.

D. Metode Penemuan Hukum Oleh Hakim
Menurut teori maupun praktek pengalaman penemuan hukum pada umumnya memiliki berbagai aspek yang logis-rasional dan yang intuitif bahkan yang syahdu (menggelitik dan yang mengantarkan perasaan halus manusia) karena itu konsekuensinya, putusan hakim/pengadilan selayaknya merupakan resultat dan resultante dari penelitian-analisa dan pertimbangan yang logis irasional ilmiah, berangkat secara normologis maupun kausal-genetis dalam melibatkan intuisi dan hati nurani (geweten) terhadap fakta-fakta dalam posita dan alat-alat pembuktian yuridis relevant dan meyakinkan . Bagi perkara pidana  untuk menuju dan pada akhirnya sampai pada putusan yakni putusan yang adil berdasarkan kebenaran tapi “gesetkonfrom” atau konsisten dengan sistem hukum nuraninya (gewetensbeslissing) memenuhi persyaratan yang dituntut oleh renung fikir dari filsafat hukummnya. Dan  untuk  memperoleh  sebuah putusan pengadilan yang ideal dan filosofis, maka dalam proses menghasilkan karya penemuan hukum seorang Hakim haruslah melakukan pendekatan yang bersifat intelektual rasional, rasional logis, intuitif dan ethis serta divinatoris. Metode pendekatan tersebut oleh Soejono K.S disebutnya sebagai "Metode Ontologis”.10
Berikut penejalasannya:
a)    Aspek intelektual rasional, maksudnya Hakim       sebagai subyek penemuan hukum seharusnya mengenal dan memahami fakta/kenyataan kejadiannya dan peraturan hukumnya yang berlaku yang akan diterapkan sesuai ilmunya.
b)   Aspek Intelektual logis, artinya dalam penerapan aturan hukum normatif terhadap kasus posisi yang dihadapi, seharusnya mengindahkan hukum logika baik yang formil maupun yang materiil;dan
c)    Aspek Intuitif, mendambakan perasaan halus murni yang mendampingi ratio dan logika sehingga bersama-sama mewujudkan rasa keadilan yang pada akhirnya senantiasa diujikan dan dibimbing oleh hati nurani, sehingga mengejawantahkan  keadilan yang bersifat universal.
Berdasarkan poenjelasan diatas, maka Aspek terakhir itulah yang memberikan watak irasionil pada penemuan hukum. Aspek itu pula yang menterjemahkan aspek ethis sehingga mampu menerima  hidayah  dan  inayah  dari  Tuhan  Yang  Maha  Esa.  Inilah  yang menurut Soejono yang memberikan corak divinatoris. Karena penemuan hukum yang semata-mata hanya mengandalkan intuisi dan rasa hukum belaka terlalu   rawan   dan   gawat   emosionil   dalam   menghadapi   kekerasan   dan kepahitan  kenyataan  kehidupan.  Karena  rasa  hukum  itu  sendiri  bukanlah fungsi dari jiwa manusia yang mampu melepaskan diri dari berbagai motif irrasionil yang dapat mempengaruhi subyek penemu hukum (hakim) dalam mengambil keputusan.
Hakim jika mengeluarkan melalui putusan peradilan dengan menggunakan metode Ontologis itu secara struktural dan fungsional akan mampu menemukan hukum dan  mewujudkan hasil karya putusan yang memenuhi syarat fundamental dari suatu putusan ideal yakni adil, dan gesetzkonform atau systeem consistent yaitu sesuai sistem hukum yang berlaku dinegara yang bersangkutan, baik peraturan hukum tertulis maupun tak tertulis atau azas-azas hukumnya.
Proses penemuan hukum itu sendiri terdiri dari 2 bagian yaitu : Pertama fase heuristik/pencarian (context of discovery) yaitu proses pencarian mengenai fakta-fakta yang juridis relevant dan pasal-pasal UU atau peraturan hukum yang bersangkut paut dengan mengesampingkan subyektifitas/kesan pribadi maupun bisikan hati atau ilham. Dan kedua fase legitimasi (context of justification) yang merupakan konstruksi pembenaran juridis kemudian setelah diperoleh kesan pribadi yang membentuk pra putusan.
Bagi hakim yang kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam bidangnya tidak akan banyak mengalami kesulitan atau kekeliruan (error facti atau error juris) pada fase heuristik. Namun pada fase legitimasi, khususnya yang didahului oleh kesan pribadi yang lalu membentuk pra putusan yang diperoleh secara intuitif segera setelah konfrontasi dengan kasus/perkara yang bersangkutan kemungkinan akan menjadi amat subyektif.
Sedangkan putusan hakim hendaknya bersifat rasional, dapat dipertanggungjawabkan (dapat dikontrol/ditelusur/dilacak/dianalisa lagi dan dipahami) perihal segi adilnya dan serasi pada sistem hukumnya, terutama akseptabel/dapat diterima oleh para pencari keadilan (justitiabelen) dan dapat benar-benar dipahami pula oleh masyarakat yang merupakan auditorium yang dirangkum oleh kultur hukumnya.
Hakim yang besar menurut Soejono,   adalah yang putusannya merupakan pancaran dari hati nuraninya yang dapat dipertanggungjawabkan menurut  hukum  dan  ilmu  hukum  serta  mengandung  penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum, sehingga dapat dipahami dan diterima/akseptabel bagi para pencari keadilan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

E. Kendala Yang Timbul Dalam Penemuan Hukum
Kendala yang timbul dalam penegakan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim bisa bersifat obyektif dan subyektif atau bahkan kedua-duanya. Pada pihak obyeknya yakni masalah/perkara yang diperiksa dan ditangani Hakim adalah penuh kerumitan/seluk beluk dan tidak sederhana (complicated). Sedangkan dari segi subyektif yakni adanya kekeliruan dari pengambil keputusan (hakim) atau tidak proporsional metodologinya dan atau semrawut arbitrer psikologinya. Menurut Josep Esser, metodologi ilmiah akademis tidak selamanya dapat memberikan bantuan maupun pengawasan bagi pekerjaan hakim. Yang menonjol justru aspek psikologinya, walaupun diperlukan dasar penjelasan dan pertanggungjawaban rechtstheoretisnya bagi penemuan hukum. Dari segi psikologis proses terbentuknya putusan tergantung pada temperamen dan kepribadian hakim yang bersangkutan. Bagi hakim yang kuat bekal ilmu dan pengalaman dalam bidangnya tidak akan banyak mengalami kesulitan atau kekeliruan (error facti atau error juris) pada fase heuristik. Kekeringan ilmu pengetahuan dan ketandusan pengalaman dari  Hakim sehingga  menggunakan metodologi  yang  timpang, besar kemungkinan akan menghasilkan suatu putusan yang  error  facti  dan error iuris pada fase ini. Kendala pada fase legitimasi, berupa kosntruksi pembenaran  segera  setelah  penelaahan  singkat  atas  kasus  perkara  secara intuitif diperoleh pra putusan yang berwujud pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kebenaran semu, yang seringkali dodorong oleh faktor subyektif.
Kendala lain yang             bercorak rechtstheoretis fundamental adalah mengenai hukum perihal konsepsi dan persepsi dalam rangka pengamalan hukum. Karenanya yang diperlukan adalah cara berpikir yuridis filosofis untuk bisa mengkaji bersama masalah penegakan hukum dan keadilan sekaligus menggalakan dan mengamalkannya.
                     Untuk mengatasi berbagai kendala dalam menjalankan tugas menemukan hukum, maka seorang Hakim haruslah memahami dan menguasai filosofi dalam metode penemuan hukum secara ontologis sebagaimana telah diuraikan dimuka dan  menghayatinya  dengan  cara  selalu  tekun dan  ajeg samadhi (sembahyang dan berdoa) atau meditasi dan kontemplasi (tafakur) serta membiasakan tidak mementingkan diri sendiri. Juga dengan menjalankan ajaran  leluhur  tentang  sifat-sifat  yang  utama  sebagaimana  dalam  Hasta  Sila yaitu :
(1). Heling, (2). pracaya/piyandel, (3). mituhu (senantiasa ingat dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, (4). rela/ikhlas, (5). narimo (tidak rakus, loba, tamak serta iri dengki terhadap orang lain), (6). jujur, (7).sabar, (8). berbudi luhur.
Seorang  filosof  Islam  yang  bernama  Abu  Bakar  Muhammad  Ibnu Zakaria Al-Razi, juga pernah mengajarkan ajaran moral yang hampir mirip dengan hasta sila, yaitu ia mengajarkan agar hidup ini jangan terlalu zuhud tetapi  jangan  pula  terlalu  tamak.  Yang  baik  adalah  yang  moderat,  segala sesuatu itu hendaknya menurut kebutuhan.
Dilingkungan kekuasaan kehakiman sendiri, Mahkamah Agung sebagai lembaga   peradilan   tertinggi   yang   membawahi   Hakim-hakim   di   seluruh Indonesia juga telah mengeluarkan semacam pedoman perilaku bagi Hakim yang harus ditaati oleh setiap Hakim. Pedoman itu tertuang dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung No: KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.  Dalam pedoman perilaku  tersebut  terdapat  10 sifat  utama yang harus diikuti oleh Hakim sebagai pemtus perkara dan subyek penemu hukum. Tiga diantaranya mirip dalam Hasta Sila yaitu berperilaku jujur, arif dan bijaksana, rendah hati disamping sifat lainnya yaitu berperilaku adil, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjungjung tnggi harga diri,berdisiplin tinggi dan profesional.
Sikap dan perilaku Hakim yang harus adil dan arif bijaksana seperti diatur dalam pedoman perilaku itu tentunya tidak bisa dilepaskan dari moto dan lambang dari jabatan Hakim yaitu Cakra”, yang merupakan senjata pamungkas Batara Kresna yang diambil dari kisah pewayangan (budaya jawa). Dimana Kresna adalah titisan Dewa Wisnu yang berarti dewa keadilan dan kebijaksanaan. Jadi filosofi yang terkandung dalam lambang jabatan  Hakim adalah sangat tinggi dan mulia yaitu seorang Hakim diharapkan memiliki sifat- sifat seperti Dewa Wisnu yaitu adil dan bijaksana dalam setiap mengambil keputusan.
Sebagai penutup tulisan ini tidak salahnya, penulis  mengutip salah satu falsafah leluhur kita Ki Ronggowarsito dalam SERAT SABDA JATI yaitu dengan maksud tidak lain untuk menyelamatkan diri dan tugas agar berhasil mencapai tujuan kemaslahatan bersama. Maka setiap negarawan terutama pelaksana penegak hukum khususnya Hakim wajib mengamalkan amanat berikut ini:
Aywa pegat ngudiya ronging budyayu. Marganing suka basuki Dimen luwar kang kinayun Kalis ing panggawe sisip Ingkang taberi prihatos ” Yang maknanya adalah : jangan berhenti/jemu mengejar dan menghayati budi luhur nan damai, jalan kearah bahagia-gembira-selamat, agar kabul-tercapai yang  dikehendaki,  jauh bebas dari  tingkah laku nan keliru,  dan hendaklah tekun  teguh berprihatin.

Kesimpulan
Proses Penemuan hukum adalah suatu proses dan karya yang dilakukan oleh hakim, yang menetapkan benar dan tidak benar menurut hukum dalam suatu situasi konkrit yang diujikan kepada hati nurani. Dan karya itu hendaknya mampu mewujudkan putusan ideal yakni adil, sesuai hukum yang berlaku baik peraturan hukum tertulis maupun tak tertulis atau azas-azas hukumnya.
Pencapaian   keadilan  itu dalam suatu adala hal yang yang sangat utama dalam pencapaian hukum. Seperti pada proses penemuan hukum yang pada  hakekat merupakan tugas  dan  fungsi  dari  Hakim adalah melakukan penemuan hukum berdasarkan keputusan hati nurani terhadap perkara/kasus yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Dan untuk memperoleh sebuah putusan pengadilan yang ideal dan filosofis, maka dalam proses menghasilkan karya penemuan hukum seorang Hakim haruslah melakukan pendekatan yang proporsional yaitu tidak hanya bersifat intelektual rasional, tetapi juga rasional logis, intuitif dan ethis serta divinatoris. Metode pendekatan tersebut dinamakan sebagai "METODE ONTOLOGIS”.
Seorang Hakim yang besar yang menjadi subyek paling utama dalam proses penemuan hukum adalah yang putusannya merupakan pancaran dari hati hukum serta mengandung penalaran-penalaran yang berlandaskan filsafat dan teori hukum, sehingga dapat dipahami dan diterima/akseptabel bagi para pencari keadilan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Untuk itu seorang  Hakim wajib  menghayati  falsafah  tentang  sifat-sifat  utama  seorang Penemu hukum yang baik sebagaimana termuat dalam Hasta sila, lambang cakra  maupun  Pedoman perilaku Hakim.

Saran
Adapun saran yang dapat di kutip sebagai berikut:
Bahwa prosedur dalam pembuatan perundang-undangan,dan penegakannya khususnnya hakim dalam pemutusan perkara, jika belum ada perundang-undangan yang belum lengkap mengaturnya, maka diharapkan hakim menggunakan daya pikir logisnya untuk menemukan hukum yang benar-benar adil dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut, serta hakim haruslah jangan mempolitikan undang-undang ini lebih menguntungkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan rakyat
 
DAFTAR PUSTAKA
Lily Rasyidi,   “DASAR-DASAR FILSAFAT HUKUM”, penerbit Alumni Bandung,  1982,
Muchsin, Prof.Dr., SH., Sebuah  Ikhtisar   PIAGAM  MADINAH,   FILSAFAT TIMUR, FILOSOF ISLAM DAN PEMIKIRANNYA”, penerbit  STIH IBLAM, Jakarta, 2004.
Muchsin, Prof.Dr.,SH., “NILAI-NILAI KEADILAN ”, bahan kuliah filsafat hukum.
Soeyono Koesoemo Sisworo (1), Pidato ilmiah Dies Natalis ke-25 UNISSULA, “ Dengan semangat Sultan agung Kita tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, Suatu perjuangan yang tidak pernah tuntas,
Soeyono  Koesoemo  Sisworo(2), BEBERAPA PEMIKIRAN  tentang  FILSAFAT
                HUKUM”, penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Theo Huijbers OSC, FILSAFAT HUKUM dalam lintasan sejarah”, penerbit  yayasan Kanisius, Yogjakarta, 1982,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar