Minggu, 31 Agustus 2014

“ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI KEPADA KORBAN PADA NEGARA BAHAMAS, FILIPHINA DENGAN KUHP/WVS INDONESIA”



A.    Pengertian “kebijakan” dan pengertian “sistem”
1.    Pengertian Kebijakan
                        Kata “kebijakan/policy” dalam “Webster’s New World College Dictionary” sebagaimana terumuskan di bawah ini, berkaitan dengan:
a.    Government or polity, political wisdom or cunning,
b.    Wise, expedient or prudent conduct or management, conduct or management,
c.    A principle, plan, or couse of action, as pursued by a government, organization, individual, etc. (foreign policy).[1]
                        Dapat dipahami bahwa ruang lingkup kebijakan/policy mencakup,
a.    Pemerintah atau pemerintahan, kebijaksanaan politik atau kecerdikan,
b.    Bijaksana, atau perilaku bijaksana atau manajemen,
c.    Sebuah prinsip, rencana, atau penyebab terjadinya tindakan oleh individu atau organisasi pemerintah seperti kebijakan luar negeri.
                        Kata kebijakan dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” dari kata dasar “bijak” yang berarti selalu menggunakan akal budinya, pandai, mahir. Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan organisasi dan sebagainya), pernyataan citacita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran, garis haluan.[2] Kata dasar “bijak” dalam bahasa Inggris berarti, able, smart, experienced, wise, sedangkan kebijakan berarti wisdom dan policy.[3]
                        Dengan demikian dalam pengertian kebijakan terkandung berbagai hal, yaitu:
a.    Rangkaian konsep dan asas sebagai dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan,
b.    Merupakan cara bertindak di bidang pemerintahan,
c.    Sebagai pernyataan cita-cita tujuan atau prinsip,
d.   Sebagai pedoman manajemen dalam usaha mencapai sasaran dan juga merupakan garis haluan,
e.    Keempat hal di atas, di samping dilandasi penggunaan akal budi, juga kemampuan atau kecerdikan.
2.    Pengertian Sistem
                        Dalam “Webster’s New World College Dictionary”, kata “system” diartikan di antaranya”a set or arrangement of things so related or connected as to form a unity or organic whole( a solar system, school system, system of high ways”.[4] Sistem merupakan suatu kumpulan atau pengaturan terhadap sesuatu/hal sehingga berhubungan atau tersambung sehingga membentuk sebuah kesatuan atau keseluruhan organik (sistem matahari, sistem sekolah, sistem cara tinggi.
                        Definisi konsep “Intelligent-Systems”[5] merupakan bagian dari alam semesta (dengan ekstensi yang terbatas dalam ruang dan waktu), lebih kuat dan ada korelasi antara satu bagian dari sistem dan lainnya, dari antara bagian dari sistem dan bagian luar sistem. Kosep sistem tersebut juga merupakan berbagai bagian dari hasil ciptaan alam semesta. Bagian-bagian dari alam semesta yang memiliki korelasi kuat satu sama lain. Untuk setiap sistem ada korelasi dominan yang bagian-bagiannya memiliki gravitasi, elektromagnetik hubungan atau komunikasi.
                        Melengkapi pengertian sistem dari yang telah dikemukakan di atas, menurut “Wikipedia”[6] pengertian sistem sebagai:
System (from Latin systēma, in turn from Greek σύστημα systēma, "whole compounded of several parts or members, system", literary "composition”) is a set of interacting or interdependent system components forming an integrated whole .

                        Yaitu Sistem dari “Systema” menurut bahasa Latin dan Yunani sebagai "keseluruhan keanekaragaman dari beberapa bagian atau anggota, sastra "komposisi" adalah seperangkat komponen sistem berinteraksi atau saling bergantung membentuk keseluruhan yang terpadu.
                        Karakteristik umum yang dimiliki sistem adalah: Sistem memiliki struktur, yang didefinisikan oleh komponen dan komposisi mereka; Sistem memiliki perilaku, yang melibatkan input, pengolahan dan output dari bahan energi, informasi, atau data; Sistem memiliki interkonektivitas: berbagai bagian dari sistem telah fungsional serta hubungan struktural antara satu sama lain dan; Sistem mungkin memiliki beberapa fungsi atau kelompok fungsi.
                        Menggabungkan konsep kebijakan dan sistem di atas maka “kebijakan sistem” dapat dijelaskan sebagai suatu rangkaian konsep dan asas sebagai dasar rencana pelaksanaan suatu pekerjaan dan merupakan seperangkat unsur atau perencanaan sesuatu yang teratur, saling berkaitan sebagai suatu kesatuan atau membentuk suatu totalitas/keseluruhan yang
terpadu.
3.    Pengertian dan ruang lingkup kebijakan sistem pemidanaan
                        Secara teoritik pengertian dan ruang lingkup sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional/luas dan substantif/sempit. Sistem pemidanaan dari sudut fungsional/luas, merupakan keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) mengenai bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Dengan pengertian demikian, sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiil / Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formil dan sub sistem Hukum Pelaksana Pidana.[7]
                        Sistem pemidanaan dari sudut substantif/sempit merupakan keseluruhan aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana dan pemidanaan. L.H.C Hulsman mengemukakan makna system pemidanaan dengan “The sentencing system is the statutory rules relating to penal sanction and punishment.[8] Dalam makna demikian system pemidanaan terkait dengan ketentuan pidana, karenanya dia merupakan suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, sehingga dia mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.[9]
                        Pengertian sistem pemidanaan yang dikemukakan oleh L.H.C Hulsman di atas meliputi “Aturan Umum”/”General Rules” dan “Aturan Khusus”/”Special Rules”. Keterjalinan antara kedua aturan tersebut ada dalam rumusan Pasal 103 KUHP berbunyi; “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Bab I sampai dengan Bab VIII berada dalam Buku Kesatu KUHP dan terdiri dari rumusan Pasal 1 sampai dengan Pasal 85, sedang Bab IX terdiri dari Pasal 86 sampai dengan Pasal 101.[10] Ketentuan Pasal 1 sampai dengan Pasal 85 KUHP merupakan sub –sistem dari kebijakan sistem pemidanaan merupakan suatu keterjalinan yang utuh, artinya rumusan ketentuan jenis pidana tidak dapat dipisah-lepaskan dengan ketentuan tentang pedoman dan aturan pemidanaan.
                        Ruang lingkup sistem pemidanaan yang dianalisis dalam makalah ini adalah dalam makna substantif/sempit, yaitu dalam sub-sistem hukum pidana materiil.
                        Kebijakan sistem pemidanaan merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana oleh karenanya juga merupakan usaha mewujudkan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian kebijakan sistem pemidanaan juga merupakan bagian dari pembaharuan hukum Pidana.
                        Hakikat pembaharuan hukum pidana mengandung makna suatu upaya untuk melakukan orientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal
dan kebijakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ("policy-oriented approach") dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (''valueoriented approach") kebijakan pemidanaan.




B.       Analisis komparatif Kebijakan Sitem Pemidanaan Yang Berorientasi Kepada Korban Pada Negara Bahamas dan Filipina.
1.    Kebijakan Hukum Pidana Materil Negara Bahamas
                        Dalam Hukum Pidana Materiil Bahamas, Pasal 122. kebijakan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban, terlihat dari ketentuan, “pengadilan menjatuhkan pidana membayar kompensasi yang layak kepada seseorang/korban yang mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku”. Perintah pembayaran kompensasi berdasarkan Ketentuan Umum. Ketentuan pembayaran kompensasi juga bagi pelaku tindak pidana ringan, ditetapkan tidak lebih dari 500 (lima ratus) dolar atau jika melebihi batas, maka ditetapkan dengan peraturan yang berkaitan dengan tindak pidananya dan tidak melebihi batas tertingginya.
                        Bahwa setiap kompensasi merupakan pidana tambahan dan merupakan pidana pengganti dari pidana lainnya dan dapat ditetapkan dalam ketentuan pidana:
Art 122:
(1) Any person who is convicted of an indictable offence may on application of the person aggrieved be adjudged by the court to make reasonable compensation for the injury suffered through the crime. General rules as to ordinary payment of compensation.
(2) Any person who is convicted of a summary offence punishable under this Code may be adjudged by the magistrate to make to any person injured by his offence compensation not exceeding five hundred dollars, or, if a higher limit is fixed by an enactment relating to the offence, not exceeding that higher limit.
(3) Any such compensation may be either in addition to or in substitution for any other punishment; and shall be specified in the order of conviction.

                        Ketentuan tentang besarnya kompensasi bagi pelaku tindak pidana ringan merupakan ketentuan yang patut diperhatikan oleh para pembuat kebijakan, karena kerugian akibat tindak pidana hanya mungkin diukur, bila kerugian itu berupa materiil. Bagi kerugian berupa immateriil, tentu sulit mengukurnya.
                        Dalam salah satu tulisan yang berjudul; Kebijakan Legislatif tentang Restitusi dan Kompensasi kepada Korban”, Zul Akrial[11] mengemukakan pandangannya, bahwa ganti kerugian yang dapat dimintakan oleh korban lewat pengadilan hanya terbatas pada ganti kerugian yang bersifat materiil yaitu berupa "rugi" dan "biaya", padahal kerugian yang dapat ditimbulkan oleh pelaku terhadap korban tidak saja kerugian materiil melainkan juga kerugian yang bersifat immateriil.
                        Tidak terdapat alasan tentang dasar pikiran apa yang melatarbelakangi penentuan jumlah ganti kerugian yang ditetapkan secara interval, jika dikaitkan dengan kerugian berupa hilangnya nyawa korban misalnya. Dikaitkan dengan tujuan nasional negara Indonesia, seperti tercantum dalam Pembukaan DUD 1945, yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia” dan "untuk memajukan 'kesejahteraan umum", maka penetapan besarnya jumlah ganti kerugian yang akan dibayarkan pada korban, seyogyanya juga mengacu pada konsep kesejahteraan. Sehingga ganti kerugian tidak sematamata demi ganti kerugian itu sendiri, melainkan pertimbangan penentuan besarnya jumlah ganti kerugian tersebut harus pula bemuansa kesejahteraan. Konsekuensinya adalah, bahwa jumlah ganti kerugian tidak ditetapkan secara limitatif dalam wujud interval minimum maksimum.
                        Dalam segala keputusan hukum, senantiasa melekat “nilai keadilan”, apalagi bila hukum yang dipersoalkan adalah hukum pidana yang keberadaannya untuk melindungi kepentingan hukum masyarakat. Ketika upaya perlindungan dilakukan, hukum pidana menggunakan alat “pidana”. Inilah alat hukum  pidana yang tak akan pernah berhenti dipolemikkan. Di alat inilah “nilai keadilan” ada; baik ketika dia dirumuskan, terlebih ketika dia diterapkan.
                        Adam Smith,[12] seorang guru besar filsafat moral di Universitas of Glasgow, membagi keadilan atas keadilan komutatif dan keadilan distributif. Keadilan komutatif ialah keadilan yang berhubungan dengan persamaan yang diterima oleh setiap orang tanpa melihat jasa seseorang. Keadilan ini boleh disebut keadilan hak asasi, suatu keadilan yang secara alami dimiliki manusia. Misalnya, semua orang berhak untuk hidup. Jikalau seseorang dengan atau tanpa sengaja merampas hak hidup seseorang atau membatasi hak hidup seseorang, ia telah melanggar hak orang lain dan bersalah menurut keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah bahwa manusia secara kodrati mempunyai rasa setia kawan yang kuat yang tidak begitu saja membiarkan sesamanya hidup menderita. Oleh karena itu usaha apapun untuk menjamin suatu kehidupan yang layak bagi mereka yang secara obyektif tidak beruntung akan sangat diterima sebagai hal yang sah dan adil. Keadilan distributif ialah keadilan yang berhubungan dengan jasa, kemakmuran, atau keberadaan menurut kerja, kemampuan, dan kondisi atau keberadaan seseorang.
                        Dari uraian di atas, dapat diwacanakan dengan mengajukan pertanyaan; “apakah nilai keadilan juga dapat dibagi” ?. Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban senantiasa terkait dengan nilai, karena dalam pengambilan kebijakan berarti ada aktifitas mempertimbangkan nilai. Berikut ini dikemukakan “teori nilai’ sebagai plengkap kajian ini. Teori Nilai yang dimaksud dikemukakan oleh : Pudjo Sumedi AS. dan Mustakim.[13]
                        Teori Nilai membahas dua masalah yaitu masalah Etika dan Estetika. Etika membahas tentang baik buruknya tingkah laku manusia sedangkan estetika membahas mengenai keindahan. Ringkasnya dalam pembahasan teori nilai ini bukanlah membahas tentang nilai kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga. Pengertian nilai itu adalah harga dimana sesuatu mempunyai nilai karena dia mempunyai harga atau sesuatu itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai.
                        Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Ilmu pengetahuan membahas masalah benar dan tidak benar. Kebenaran adalah persoalan logika, sedang persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan, dan kepuasan.                                 Persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Masalah kebenaran memang tidak terlepas dari nilai, tetapi nilai adalah menurut nilai logika. Tugas teori nilai adalah menyelesaikan masalah etika dan estetika dimana pembahasan tentang nilai ini banyak teori yang dikemukakan oleh beberapa golongan dan mepunyai pandangan yang tidak sama terhadap nilai itu. Seperti nilai yang dikemukakan oleh agama, positivisme, pragmatisme, fvtalisme, hindunisme dan sebagainya.
                        Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ethos yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nosm yang berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu sama lainnya. Etika ini bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia itu. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum.
                        Secara singkat definisi etika dan moral adalah suatu teori mengenai tingkah laku manusia yaitu baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia (baik dan buruk) menurut situasi yang tertentu. Jelaslah bahwa fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk akan tetapi dalam prakteknya etika banyak sekali mendapatkan kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama (relatif) yaitu tidal terlepas dari alam masing-masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima oleh semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika. Tingkah laku manusia yang dapat dinilai oleh etika itu haruslah mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu :
a.    Perbuatan manusia itu dikerjakan dengan penuh pengertian. Oleh karena itu orang-orang yang mengerjakan sesuatu perbuatan jahat tetapi ia tidak    mengetahui sebelumnya bahwa perbuatan itu jahat, maka perbuatan manusia semacam ini tidak mendapat sanksi dalam etika.
b.    Perbuatan yang dilakukan manusia itu dikerjakan dengan sengaja. Perbuatan manusia (kejahatan) yang dikerjakan dalam keadaan tidak sengaja maka perbuatan manusia semacam itu tidak akan dinilai atau dikenakan sanksi oleh etika.
c.    Perbuatan manusia dikerjakan dengan kebebasan atau dengan kehendak sendiri. Perbuatan manusia yang dilakukan dengan paksaan (dalam keadaan terpaksa) maka perbuatan itu tidak akan dikenakan sanksi etika.
                        Demikianlah persyaratan perbuatan manusia yang dapat dikenakan sanksi (hukuman) dalam etika.
                        Estetika dan etika sebenarnya hampir tidak berbeda. Etika membahas masalah tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk). Sedangkan estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Tujuan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku umum tentang apa yang indah dan tidak indah itu. Yang jelas dalam hal ini adalah karya seni manusia atau mengenai alam semesta ini.
                        Seperti dalam etika dimana kita sangat sukar untuk menemukan ukuran itu bahkan sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia. Estetika juga menghadapi hal yang sama, sebab sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran yang dapat berlaku umum mengenai ukuran indah itu. Dalam hal ini ternyata banyak sekali teori yang membahas mengenai masalah ukuran indah itu. Zaman dahulu kala, orang berkata bahwa keindahan itu bersifat metafisika (abstrak). Sedangkan dalam teori modern, orang menyatakan bahwa keindahan itu adalah kenyataan yang sesungguhnya atau sejenis dengan hakikat yang sebenarnya bersifat tetap. Jika yang dibahas oleh nilai adalah masalah etika dan estetika; yang berkaitan dengan baik dan buruk dan indah atau tidak indah, maka “nilai keadilan”itu masuk masalah yang mana. Nilai-Nilai Islam144 yang dijadikan landasan berdirinya Bank Syariah meliputi; nilai kejujuran, nilai kesetaraan, nilai keadilan dan kebenaran. Nilai-Nilai tersebut merupakan nilai moral yang dalam menjalankan bisnis/ Bank Syariah dilakukan oleh “norma dan etika”. Bila terjadi sengketa perbankan syariah maka ditempuh penyelesaian melalui lembaga perdamaian (shuluh), Tahkim (Arbitrase ) dan lembaga Pengadilan (Al Qadha ).
                        Al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan, menurut istilah syara “berarti menetapkan hukum syara” pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat”. Orang yang diberi wewenang untuk menyelesaikan perkara di pengadilan disebut Qadhi (Hakim) Penyelesaian sengketa melalui peradilan melewati beberapa proses, salah satu yang penting adalah pembuktian.
                        Dengan demikian, dalam Islam, nilai-nilai yang dijadikan dasar pijakan suatu kegiatan di antaranya ; nilai keadilan dan kebenaran. Landasan mengatasi segala persoalan yang timbul dilakukan dengan “penyelesaian melalui lembaga perdamaian”. Tentunya kebijakan menetapkan kompensasi, jika ingin ditinjau ulang, maka lembaga perdamaian inilah yang layak menjadi acuan utama.
3. Kebijakan Hukum Pidana Materil Negara Philippina
                        Kebijakan system pemidanaan yang berorientasi pada korban terlihat dalam Pasal 251, ketentuan tentang “Kematian akibat pertengkaran yang menggemparkan” menyebutkan, ketika beberapa orang saling menyerang dengan kelompok lain secara timbal balik, dan dalam perkelahian tersebut ada seseorang terbunuh, dan tidak dapat dipastikan siapa pembunuhnya, tetapi seseorang yang menimbulkan luka-luka fisik teridentifikasi, yang bersangkutandapat dipidana.
                        Jika dalam kasus tersebut tidak dapat ditetapkan siapa yang menimbulkan luka-luka fisik mengakibatkan kematian, maka pidana pemasyarakatan untuk jangka waktu menengah dan maksimal dapat dijatuhkan kepada siapa saja yang menggunakan kekerasan terhadap korban:
(Art. 251. Death caused in a tumultuous affray. When, while several persons, not composing groups organized for the common purpose of assaulting and attacking each other  reciprocally, quarrel and assault each other in a confused and tumultuous manner, and in the course of the affray someone is killed, and it cannot be ascertained who actually killed the deceased, but the person or persons who inflicted serious physical injuries can be identified, such person or persons shall be punished by prision mayor). If it cannot be determined who inflicted the serious physical injuries on the deceased, the penalty of prision correccional in its medium and maximum periods shall be imposed upon all those who shall have used violence upon the person of the victim.

                        Dicantumkannya upaya perlindungan korban dalam ketentuan tersebut “tidak terlihat dari sanksi pidananya”, tetapi tampak dari ketentuan:

 “shall be imposed upon all those who shall have used violence upon the person of the victim”. Art. 356. Threatening to publish and offer to present such publication for a compensation. — The penalty of arresto mayor or a fine from 200 to 2,000 pesos, or both, shall be imposed upon any person who threatens another to publish a libel concerning him or the parents, spouse, child, or other members of the family of the latter or upon anyone who shall offer to prevent the publication of such libel for a compensation or money consideration”.

                        Pasal 356. Mengancam dan menawarkan melalui publikasi untuk memperoleh kompensasi. Dipidana dengan pidana dari walikota atau denda minimal 200 maksimal 2.000 peso, atau keduanya, bagi setiap orang yang mengancam melalui publikasi berisi fitnah tentang dia atau orang tua, pasangan, anak, atau anggota keluarga yang terakhir atau kepada siapa pun yang menawarkan untuk mencegah publikasi fitnah untuk memeperoleh kompensasi atau upah.
                        Ketentuan “kompensasi” dalam Pasal 356 KUHP Philippina ini, bukan merupakan sanksi bagi pelaku tindak pidana, tetapi merupakan “tujuan” pelaku untuk mendapatkan kompensasi atas publikasi tindak pidana “pengancaman” dan “penawaran mencegah tindak pidana fitnah yang dipublikasikan”. Ketentuan Pasal 356 KUHP Philippina ini hampir mirip dengan ketentuan Pasal 368 KUHP/WvS Indonesia;
1.    Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.
2.    Ketentuan pasal 365 ayat (2), (3), dan (4) berlaku bagi kejahatan ini.

Pasal 369.
1.      Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan ancaman pencemaran, baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, supaya orang itu memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
2.      Kejahatan ini dituntut hanya atas pengaduan orang yang terkena kejahatan itu. (KUHP 35, 310, 335, 370 dst., 486.)

                        Ketentuan di dua pasal di atas berada di bawah Bab XXIII tentang “Pemerasan dan pengancaman”. Corak kesengajaan dalam delik tersebut termasuk “kesengajaan dengan maksud”. Perbedaan formulasi ada pada “tujuan dilakukannya tindak pidana”. Menurut KUHP Philippina, tujuan tersebut untuk memperoleh kompensasi, sedang dalam KUHP/WvS Indonesia tujuan tersebut dirumuskan secara “limitatif”, seperti “supaya orang itu memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain”.
                        Terhadap delik “penawaran”, KUHP/WS Indonesia ada dalam ketentuan :
Pasal 162. (s.d.u. dg. UU No. 18/Prp/1960.)
“Barangsiapa dengan lisan atau dengan tulisan menawarkan di muka umum untuk memberi keterangan, kesempatan atau sarana untuk melakukan tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah’.

            Pasal 163 (1)(s.d. u. dg. UU No. 18/Prp/1960.) :
“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan yang berisi penawaran di muka umum untuk member keterangan, kesempatan atau sarana untuk melakukan tindak pidana dengan maksud agar penawaran itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

                        Dalam ketentuan tersebut, terjadi perbedaan “tujuan” dari delik ini, artinya delik penawaran dalam KUHP Philippina dimaksudkan untuk”mencegah terjadinya tindak pidana”, sedang KUHP/WvS dimaksudkan “untuk melakukan tindak pidana”.
                        Kosep KUHP tahun 2008 Paragraf 2 “Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana”, dalam Pasal 291 “Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana untuk melakukan tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori II”. Dengan demikian, dicantumkannya “kompensasi” dalam KUHP Philippina, bukannya merupakan “keuntungan” korban, tetapi justru merupakan “beban” bagi korban dan ketentuan seperti ini tidak terdapat dalam KUHP/WvS.
                        Setelah dilakukan analisis melalui kaijan komparatif diatas antara Negara Bahamas dan Fliphina dengan KUHP WvS Indonesia, yaitu KUHP WvS Indonesia sistemnya masih bersifat limitative atau kaku, hanya sebagian kecil yang kebijakan system pemidanaanya yang berorientasi kepada korban. Sementara Antara KUHP Negara Bahamas dan KUHP Filphina mereka sudah memadukan ide keseimbangan antara perlindungan kepentingan pelaku dengan perlindungan kepentingan korban yaitu “Upaya Pemaafan”. Upaya pemaafan tersebut tercantum dalam “pedoman pemidanaan” berupa ”pemaafan dari korbandan/atau keluarganya”. Upaya Pemaafan tidak terpisahkan dengan” tujuan pemidanaan” berupa “menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
                        Baik upaya permaafan dan penyelesaian konflik dapat diakomodasi kedalam “Lembaga mediasi Penal atau peradilan Restoratif”, karena dalam lembaga tersebut permaafan dan penyelesaian konflik terwujud. Kalau dipadukan dengan teori pemidanaan, maka uapaya permaafan dan penyelesaian konflik paralel dengan “Teori Absolut yang relatif”/”Teori Gabungan” yang hakikatnya memadukan tujuan pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku tindak pidana dengan “upaya penyelesaian konflik” diantaranya “pemberian maaf” oleh korban atau keluarganya kepada pelaku tindak pidana. Dengan demikian teori gabungan memadukan tujuan pidana sebagai upaya perlindungan kepentingan individu tindak pidana dengan upaya perlindungan kepentingan masyarakat/korban.         

A.    Kesimpulan
                 Setelah dilakukan analisis terhadap Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban Dalam Hukum Pidana Materiil Saat Ini dan Yang Akan Datang serta analisis terhadap berbagai kelemahan dalam hukum positif, analisis komparasi terhadap Konsep KUHP terhadap bahan-bahan KUHP Negara Bahamas, dan Filiphina dengan KUHP/Wvs Indonesia  maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
1.    Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum pidana materiil saat ini.
Yaitu  Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban secara in concreto dalam hukum pidana materiil saat ini tidak ada dalam ketentuan induk KUHP/WvS, namun hanya ada pada sebagian kecil ketentuan perundang-undangan di luarnya, sedangkan pada sebagian besarnya masih berorientasi pada pelaku tindak pidana. Terjadi kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam ketentuan perundang-undangan di luar KUHP/WvS merupakan bentuk kebijakan murni yang tidak terjalin secara sistem dengan induknya. Ketentuan induk memang memberi peluang bagi seluruh ketentuan perundang-undangan menentukan kebijakannya sendiri ( Pasal103 KUHP/WvS).
2.    Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum pidana materiil yang akan datang.
Yaitu Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum pidana materiil yang terkait dengan perlindungan korban dapat dimasukkan/diatur dalam ”aturan umum” (general rules) dan ”aturan khusus” (special rules). Ruang lingkup ”aturan umum” (general rules) meliputi; perumusan ”asas-asas Hukum Pidana”, perumusan ”jenis/bentuk-bentuk sanksi pidana/tindakan” yg berorientasi pada korban, baik untuk pelaku orang maupun korporasi; perumusan ”tujuan dan pedoman pemidanaan”; perumusan ”aturan pemidanaan”. Ruang lingkup ”aturan khusus” (special rules) ada dalam ketentuan perumusan delik/tindak pidana.
                        Keterpaduan antar substansi dalam bidang hukum pidana materiil, dapat dijadikan “Standar Kebijakan Ideal” dalam “Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum pidana materiil yang akan datang”.
B.     Saran
1.    Penyusunan RUU KUHP Baru didasarkan pada “ide keseimbangan” nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu dalam penyusunan kebijakan system  pemidanaan yg berorientasi pada korban, adalah sangat bijak apabila RUU. KUHP Baru juga berpedoman pada nilai-nilai kearifan religius (tuntunan Ketuhanan YME) dalam memberikan perlindungan kepada korban.
2.    Kebijakan perlindungan korban ke depan lebih mengarah pada praktik “mediasi penal atau keadilan restoratif”, oleh karena itu sudah saatnya pula pemerintah merespon kenyataan tersebut dengan menyusun ketentuan perundang-undangan, seperti yang telah ada di bidang perdata yaitu Undang - undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
DAFTAR PUSTAKA
B.     Buku
Barda Nawawi Arief, 2007, Perkembangan System Pemidanaan di Indonesia, Penerbit Pustaka. Magister, Semarang
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
John M. Echols dan Hassan Shadily, 2005,  Kamus Indonesia-Inggris, Gramedia
Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, Semarang.
Moeljatno, 1999, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.
Sudarto, 1979, Suatu Dilemma Dalam Pembaharuan Sistim Pidana Indonesia, Semarang, Fakultas Hukum UNDIP,  Semarang
Simon and Schuster , Webster’s New World College Dictionary , Macmillan, Inc, Cleveland, Ohio.

C.    Website

http://www.ahmadheryawan.com/kolom/94-kolom/3293-keadilan-komutatif-dan-distributif.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/09/teori-nilai.
http://www.businessdictionary.com/definition/system.html
http://www.intelligent-systems.com.ar/intsyst/defsyst.htm
http://en.wikipedia.org/wiki/System
http://eprints.undip.ac.id/12952/

D.    Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Wvs Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Bahamas
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Filiphina


[1] Simon and Schuster , Webster’s New World College Dictionary , Macmillan, Inc, Cleveland,
Ohio, 1997, hal 1045.
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1989 hal. 115
[3] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, Gramedia 2005 hal .437
[4] Simon and Schuster, op cit hal 1359.
[5] http://www.intelligent-systems.com.ar/intsyst/defsyst.htm
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/System
[7] Ibid., Hal.2
[8] Barda Nawawi Arief, Perkembangan System Pemidanaan di Indonesia, Penerbit Pustaka.
    Magister, Semarang 2007.
[9] ibid
[10] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, halaman 40;
Catatan, bahwa Bab IX Buku I KUHP/WvS sebenarnya terdiri dari Pasal 86 sampai dengan Pasal
[11] http://eprints.undip.ac.id/12952/
[12] http://www.ahmadheryawan.com/kolom/94-kolom/3293-keadilan-komutatif-dan-distributif.
[13] http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/09/teori-nilai.

1 komentar:

  1. Online Casino Real Money No Deposit Casino Bonuses
    Online casino no deposit 메리트 카지노 bonus offers are all the same หารายได้เสริม - online casino no deposit bonus 인카지노 codes give you all of your favorite Are online casino real money casinos legal in the US?Do online casino win real money?

    BalasHapus