Jumat, 29 Agustus 2014

KASUS OLIGOPOLI PANGAN INDONESIA



“Praktek oligopoli terjadi pada lima komoditas pertanian. Berdampak kelangkaan, mahalnya harga, dan iklim usaha yang tidak sehat. Butuh ketegasan pemerintah untuk mengatasinya”.
Laporan itu disampaikan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kamis pekan lalu. Pelapornya adalah Komite Ekonomi Nasional (KEN), yang menilai telah terjadi praktek oligopoli dalam lima komoditas pertanian: Beras, Kedelai, Gula, Jagung, dan Daging Sapi. Oligopoli adalah struktur pasar yang hanya dikuasai beberapa pemain. Akibatnya, mereka pun bisa mengendalikan volume, produksi, bahkan harga.
Laporan ke KPPU itu adalah tindak lanjut laporan sebelumnya. Sepekan sebelumnya mendatangi KPPU, KEN yang secara hukum memang berada di bawah presiden dan bertugas memberi masukan mengenai situasi ekonomi nasional, lebih dulu menghadap Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Dipimpin ketua KEN, Chaerul Tanjung, mereka melaporkan hal yang sama kepada presiden.
Indikatornya kuat. Misalnya harga gula. Benny Kusbini, Ketua dewan kedelai nasional, mencontohkan pada tahun 2009 harga gula per kilogram masih Rp 2.900,-. Tapi sekarang harganya sudah dikisaran Rp 12.000,-. Pada hal harga gula masih US$ 489 per ton atau 4.700,-  per kilogram. Ini berarti harga gula Indonesia hampir 3 kali lipat harga gula dunia.
Padahal, dalam laporan tertulis itu, KEN menyebutkan bahwa kelompok masyarakat yang  sangat rentan mencapai 70 juta jiwa. Ini kelompok masyarakat yang miskin atau agak miskin hingga menghabiskan dua pertiga  penghasilan mereka untuk membeli pangan. Karena itulah, Chaerul meminta pemerintah segera bertindak membenahi pasar lima komoditas pangan tersebut. Sebab ada kebutuhan pokok 70 juta jiwa yang jadi taruhan. ”KEN mengusulkan agar komoditas yang tata niaganya oligopolistik diambil tindakan untuk mengontrol tata niaga komoditas tersebut, “katanya dalam jumpa pers usai menghadap SBY.
Pertemuan KEN dengan SBY itu juga di hadiri wakil presiden, dan anggota komite Inovasi Nasional. Menurut Chaerul Tanjung, Presiden menyetujui rekomendasi yang disampaikan KEN dan menugasi Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, untuk mengimplementasikannya ke dalam agenda aksi. Namun butuh kerja keras untuk mengubah tata niaga komoditas pangan yang oligopolistik itu. Sebab KEN menyebutkan, oligopoli pangan tidak hanya terjadi di pasar domestik, melainkan juga di pasar internasional. Dalam laporannya Chaerul Tanjung, antara lain menyebutkan pasar bahwa pasar serealia (biji-bijian) internasional cuman dikuasai empat perusahaan yang besar yang lazim disebut “ABCD”. Mereka adalah Acher Daniels Midland, Bunge, Cargil, dan Louis Dreyfus.
Oligopoli serupa terjadi dipasar agrokimia dan bibit. Laporan KEN menyebutkan bahwa industri agrokimia global hanya di mainkan 6 perusahaan yakni Dupont, Monsanto, Sygenta, Dow Bayer, dan BASF, yang menguasai 75% pasar dunia. Sedangkan industri bibit, pemainya cuman empat, yakni Monsanto, Dupont, Sygenta, dan Limagrain, Dengan penguasaan pasar sampai 50%.
Indonesia, sayangnya, seperti mulai ketularan gejala oligopoli internasional tersebut. Untuk komoditas kedelai, misalnya laporan KEN menyebutkan bahwa hanya ada tiga importir kedelai. Yakni PT Teluk Intan ( menggunakan PT Gerbang Cahaya), PT Sungai Budi, dan PT Cargill Indonesia. Sedangkan komoditas gula, yang dulu dikuasai sembilan pengusaha (kerap disebut “sembilan samurai”), kini menyusut hanya di kuasai enam pengusaha.
Praktek serupa terjadi dikomoditas jagung, yang merupakan bahan baku untuk industri pakan unggas. Laporan KEN  menyebut empat perusahaan yang menguasai sampai 40% pasar pakan unggas. Salah satu anggota KEN yang ikut menyusun laporan itu, Hermanto Siregar, ekonom yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor, kepada GATRA bercerita lebih detail mengenai struktur oligopolistik lima komoditas ini.
Hermanto lalu mencontohkan struktur oligopoli kedelai. Saat ini setengah dari kebutuhan indonesia, sekkitar 500.000 ton, dipenuhi dengan impor.
Namun setelah dicek impor setengah juta ton kedelai tadi hanya dilakukan tiga perusahaan. Pengimpor lain memang masih ada tapi porsinya kecil. “Cuman tiga importir yang pemain utama,”katanya. KEN pun lalu mengecek mengapa Cuma tiga pemain itu yang besar. Mengapa cuman tiga pemain itu yang lain tidak bisa masuk? Apakah ada yang di halang-halangi  hingga bisa mengimpor sedikit? Tanyanya.
Kebijakan impor kedelai sebenarnya bersifat terbuka. Hanya masalahnya, untuk mengimpor kedelai dalam jumlah besar, dibutuhkan modal besar juga, sampai puluhan miliar pula. Inilah yang ternyata membuat pengimpor bermodal kecil kalah. Sehingga hanya pengimpor bermodal besar yang bisa masuk. “Oligopoli terjadi karena kebutuhan modal  yang sangat besar hingga pemain yang bisa masuk sedikit, “ungkapnya. Hal ini sama juga terjadi beberapa komoditas pangan lainnya. Sampai disini, kata Hermanto, KEN pun masih mengecek apakah masih banyak praktek-praktek lain yang terjadi di dalam wilayah ekonomi Indonesia.      

KOMENTAR DAN SOLUSI  UNTUK KELUAR DARI KASUS DI ATAS SEBAGAI BERIKUT:
Menurut penulis, bercerita mengenai struktur oligopolistik lima komoditas pangan ini salah satu indikator munculnya oligopoli, adalah kecenderungan harga terus naik. Kalau kita perhatikan, dalam kurun tiga tahun terakhir ini, harga lima komoditas pangan  merangkak naik. Hal ini disebabkan bermainnya para pemodal besar, dalam bursa impor, hingga pemodal kecil kalah. Sehingga hanya ada beberapa perusahaan saja yang bisa beroperasi. Mereka pemodal besar ini semakin kuat dalam usahanya, meraka tidak  memberikan kesempatan pemodal kecil untuk mengambil kesempatan dalam menjalankan  usahanya.  Dan ini sudah melanggar tata aturan dalam berusaha dan berinfestasi yang baik. Semua sudah dikendalikan dan di pengaruhi politik dan sistem perekonomian Kapital asing.
Sebagai faktanya, Lima komoditas pangan  tersebut merangkak naik di sebabkan beberapa alasan. Sebagai contoh Kedelai, pengusaha kedelai ini ternyata sesuai yang di informasikan oleh majalah GATRA ini hanya di pegang oleh tiga perusahaan saja, sehingga menyebabkan  harganya semakin melambung. Komoditas gula juga hanya di kuasai oleh empat penrusahaan seperti PT.Perkebunan Nusantara (PT.PN) IX, X, XI, dan PT. Rajawali Nusntara Indonesia (RNI), yang menguasai 67% pangsa pasar, dalam hal ini menurut Hermanto penulis majalah GATRA ini, adalah berarti ada kecederungan oligopoli. Oligopoli lain juga terjadi pada komoditas jagung yng dpegang oleh empat perusahaan saja, tetapi kata Hermanto tidak terjadi diwilayah produksi, melainkan distribusi dan juga tidak terlalu ramai  karena konsumennya bukan masyarakat, melainkan pabrik yang membutuhkan pakan ternak. Sehingga mempunyai dampak mahalnya pakan ternak yang dibeli masyarakat.
Menurut penulis dengan melihat gambaran mengenai kondisi ekonomi yang dihadapi negara kita sekarang  ini  beserta implikasinya sepeti kasus di atas di sebabkan  melemahnya daya saing perekonomian nasional, yang diakibatkan, antara lain, oleh lemahnya kinerja dunia usaha swasta dan lembaga perbankan, termasuk kelemahan dalam hal pengawasan sistem keuangan, peningkatan upah/gaji yang tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas kerja sehingga muncul praktek oligopoli pada komoditas pangan kita.
Kondisi ekonomi dengan berbagai dampak negatif di atas menurut penulis mempunyai solusi untuk  bisa diupayakan pemerintah untuk mengatasinya yaitu “dengan melaksanakan kebijaksanaan ekonomi baik yang bersifat makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut yang memiliki dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak negatif dari krisis tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan kedua, pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi. serta ketiga, dengan usaha melakukan langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi yang, antara lain, menghilangkan subsidi tersembunyi dan perlakuan-perlakuan khusus kepada perorangan dan kelompok usaha tertentu.
Kemudian itu menurut penulis,  pemerintah juga untuk menjerat para pelaku oligopoli pada usaha perdagangan ini cukup pemerintah menerapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Akhirnya dengan demikian semua jalanya usaha perekonomian akan bisa berjalan dengan normal kembali.
TERIMAKASIH


Sumber                        : Majalah Gatra
Tanggal Terbit  : 13 Februari 2013
Hal                   : 34-36



Tidak ada komentar:

Posting Komentar