Minggu, 31 Agustus 2014

“ASAS-ASAS HUKUM PIDANA MENURUT CIVIL LAW SYSTEM DAN COMMON LAW SYSTEM”



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
            Sistem hukum di dunia terbagi menjadi dua bagian yakni Common Law System dan Civil Law System, keduanya mempunyai ciri khas yang berbeda.  Dengan adanya perbedaan tersebut  maka timbul suatu metode perbandingan hukum.
Metode perbandingan hukum Mulai berkembang abad 19. Berawal dari minat perseorangan, kemudian didukung oleh kelembagaan seperti Institut Perbandingan Hukum di College de France tahun 1832 dan di University of Paris tahun 1846
 Metode perbandingan hukum memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah untuk menemukan jawaban-jawaban yang tepat atas problem-problem yang konkrit manakala adanya perbedaan system hukum di berbagai belahan dunia yang sebenarnya memiliki tujuan  yang paling hakiki adalah untuk memberikan ketertiban dan kedamaian kepada masyarakat di suatu negara.
Sinzheimer mengatakan bahwa hukum tidak bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak  melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang hidup maka diharapkan disaat melihat negara yang berdasarkan hukum perbedaan system tidaklah menjadi masalah jika dapat memberikan kebahagiaan bagi masyarakatnya.
            Adanya dua system hukum ini dapat berpengaruh pada hubungan-hubungan setiap individu-individu dalam bermasyarakat, sebab hubungan antara individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis, makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon).[1]  
Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum (rechtsbetrekkingen).[2] Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi seperti pada Civil Law System maupun tidak terkodifikasi seperti pada Common Law System tetapi semuanya mempunyai tujuan luhur yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, ataupun tidak terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum. Olehnya itu kita dalam memulai merumuskan suatu peraturan atau perundang-undangan yang akan diberlakukan, hal yang utama untuk memulainya yaitu kita perlu mengidentifikasi suatu system hukum ada dalam masyarakat tersebut, selanjutnya memulai memahami asas-asas pada system hukum tersebut. Jika hal ini dilaksanakan maka hubungan-hubungan hukum dalam bermasyarakat akan kembali normal dan teratur.
Berangkat dari ilustrasi latar belakang di atas, sehingga Penulis tertarik mengangkat judul Makalah ini tentang Asas-asas Hukum Pidana Menurut Civil Law System Dan Common Law System”.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang hendak di angkat dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Bagaimana Pengertian Civi Law System dan Common Law System?
2.    Bagaimana asas-asas hukum pidana menurut Civil Law System Dan Common Law System?
C.    Tujuan
                 Perumusan tujuan makalah ini yaitu Untuk menambah wawasan dan mengetahui secara umum tentang asas-asas hukum pidana menurut Civil Law System Dan Common Law System terutama bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Civi Law System dan Common Law System
a.    Pengertian Civil Law System
“Civil Law” merupakan sistem hukum yang tertua dan paling berpengaruh di dunia. Sistem hukum ini berasal dari tradisi Roman-Germania. Sekitar abad 450 SM, Kerajaan Romawi membuat kumpulan peraturan tertulis mereka yang pertama yang disebut sebagai “Twelve Tables of Rome”. Sistem hukum Romawi ini menyebar ke berbagai belahan dunia bersama dengan meluasnya Kerajaan Romawi. Sistem hukum ini kemudian dikodifikasikan oleh Kaisar Yustinus di abad ke 6. The Corpus Juris Civilis diselesaikan pada tahun 534 M. Sebagaimana istilah dalam bahasa asingnya yaitu:
“ Civil Lawmay be defined as that legal tradition which has its origin in Roman Law, as codified in the Corpus Juris Civilis of Justinian, and subsequently developed in Continental Europe and around the world. Civil Law eventually divided into two streams: The codified Roman Law ( French Civil Code 1804 and its progeny and imitators-continental Europe, Quebec and Louisiana ) and uncodified Roman Law ( Scotland and South Africa ). Civil Law is highly systematized and structured and relies on declarations of board, general principles, often ignoring details.”
Apabila diterjemahkan lebih kurang demikian: Civil Law (hukum sipil) dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari Hukum Roma yang terkodifikasi dalam Corpus Juris Civilis Justinian dan tersebar keseluruh benua Eropa dan seluruh Dunia. Kode sipil terbagi ke dalam dua cabang, yaitu:
1.     Hukum romawi yang terkodifikasi ( Kode sipil Prancis 1804 ) dan daerah lainnya di benua Eropa yang mengadopsinya, Quebec dan Lousiana; dan
2.     Hukum Romawi yang tidak dikodifikasi ( Skotlandia dan Afrika Selatan ). Hukum Kode sipil sangat sistematis, terstruktur yang berdasarkan deklarasi para dewan, prinsip-prinsip umum dan sering menghindari hal-hal yang detail.
System hukum sipil ini atau Civil Law System terus berkembang sampai ketika Eropa mulai mempunyai pemerintahan sendiri, hukum Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara. Napoleon Bonaparte di Prancis dengan Code Napoleonnya di tahun 1804 dan Jerman dengan Civil Codenya di tahun 1896. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius.[3]
            Sistem Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Inkuisitorial maksudnya, bahwa dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara. Hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Hakim dalam civil law berusaha mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal.
Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka menemukan keadilan, para yuris dan lembaga-lembaga yudisial maupun quasi-judisial merujuk kepada sumber-sumber tersebut. Dari sumber-sumber itu, yang menjadi rujukan pertama dalam tradisi sistem hukum Civil Law adalah sebagai berikut:
1.    Peraturan perundang-undangan.
Negara-negara penganut civil law menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Semua negara penganut civil law mempunyai konstitusi tertulis. Peraturan perundang-undangan mempunyai dua karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar. Sifat yang berlaku umum itulah yang membedakan antara perundang-undangan dan penetapan. Penetapan berlaku secara individual tetapi harus dihormati oleh orang lain. Sebagai contoh penetapan, misalnya, pemberian grasi oleh Presiden Republik Indonesia melalui suatu keputusan presiden ( Keppres ) kepada seorang terpidana yang putusan pemidanaannya telah memiliki kekuatan yang tetap.
2. Kebiasaan
Sumber hukum yang kedua yang dirujuk oleh para yuris di negara-negara penganut Civil Law System dalam memecahkan masalah adalah kebiasaan-kebiasaan. Pada kenyataannya, undang-undang tidak pernah lengkap. Kehidupan masyarakat begitu kompleks sehingga undang-undang tidak mungkin dapat menjangkau semua aspek kehidupan tersebut. Sedangkan dilain pihak, dibutuhkan aturan-aturan yang dijadikan pedoman manusia dalam bertingkah laku untuk hidup bermasyarakat. Dalam hal inilah dibutuhkan hukum kebiasaan. Yang menjadi sumber hukum bukanlah kebiasaan, melainkan hukum kebiasaan. Kebiasaan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Agar kebiasaan menjadi hukum kebiasaan diperlukan dua hal, yaitu:
·      Tindakan itu dilakukan secara berulang-ulang dan;
·      Adanya unsur psikologis mengenai pengakuan bahwa apa yang dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang itu aturan hukum.
Unsur ini mempunyai relevansi yuridis, yaitu tindakan itu bukan sekadar dilakukan secara berulang-ulang, melainkan tindakan itu harus disebabkan oleh suatu kewajiban hukum yang menurut pengalaman manusia harus dilakukan. Unsur psikologis itu dalam bahasa latin disebut Opinio Necessitatis, yang berarti pendapat mengenai keharusan bahwa orang bertindak sesuai dengan norma yang berlaku akibat adanya kewajiban hukum.
3.    Yurisprudensi
Ketika mengemukakan bahwa suatu hukum kebiasaan berlaku bagi semua anggota masyarakat secara tidak langsung, melainkan melalui yurisprudensi. Posisi yurisprudensi sebagai sumber hukum di dalam sistem hukum Civil Law belum lama diterima. Hal itu disebabkan oleh pandangan bahwa aturan-aturan tingkah laku, terutama aturan perundang-undangan, ditujukan untuk mengatur situasi yang ada dan menghindari konflik; dengan demikian, aturan-aturan itu dibuat untuk hal-hal setelah undang-undang itu diundangkan. Undang-undang dalam hal demikian merupakan suatu pedoman mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
b.   Pengertian Common Law System
Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system.[4] Common Law System lahir berdasarkan tradisi, costum dan berkembang dari preseden yang dipergunakan oleh hakim untuk menyelesaikan masalah.
Sistem ini berlaku di Inggris dan sebagian besar negara jajahannya, negara-negara persemakmuran antara lain Bahama, Barbados, Kanada, Dominica, Kep. Fiji, Gibraltar, Jamaika, Selandia Baru, Togo, Amerika Serikat, dan lain-lain. Dengan persentase sekitar 6,5% penduduk dunia atau sekitar 350 juta jiwa.
Dalam sistem ini tidak dikenal sumber hukum baku. Sumber hukum tertinggi hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan / telah menjadi keputusan pengadilan. Sumber hukum yang berasal dari kebiasaan inilah yang kemudian menjadikan sistem hukum ini disebut Common Law System atau Uri Written Law (hukum tidak tertulis). Sumber-sumber hukum dalam sistem Anglo-Saxon pun memiliki perbedaan fundamental dengan tidak tersusun secara sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental.[5]
Adapun sumber-sumber hukum dalam sistem Common Law System, meliputi:[6]
1.         Yurisprudensi (judicial decisions)
Yakni hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim–hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis (hukum hakim, rechterrecht, judge made law). Dalam hal ini hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
2.         Statute Law
Yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-undang dalam sistem kontinental. Statute Law merupakan sumber hukum kedua setelah yurisprudensi. Untuk melaksanakan Statute Law dibuat perangkat peraturan pelaksanaan oleh instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan. Fungsi Statute Law sebatas pelengkap common law yang terkadang memiliki celah-celah, dan tidak ditujukan untuk mengatur suatu permasalahan secara menyeluruh.
3.         Custom,
Yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga menjadi sumber nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta membentuk norma-norma hukum. Custom ini kemudian dituangkan dalam putusan pengadilan. Di Inggris dikenal dua macam custom, yaitu local custom (kebiasaan setempat) dan commercial custom (kebiasaan yang menyangkut perdagangan).
4.         Reason (akal sehat)
Reason atau common senses berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani oleh hakim, artinya tidak didapatkan norma hukum yang mampu memberikan penyelesaian mengenai perkara yang sedang diperiksa. Reason merupakan cara penemuan hukum dalam sistem common law ketika menghadapi masalah-masalah hukum yang tidak ditemukan norma-norma hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain. Dengan reason, para hakim dibantu untuk menemukan norma-norma hukum untuk memberikan keputusan.
            Prinsip umum Common Law adalah sumber-sumber hukumnya tidak tersusun secara sistematik dalam hirarki tertentu seperti pada sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam sistem hukum Common Law System (Anglo Saxon) adanya ‘peranan’ yang diberikan kepada seorang hakim yang berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis (pola pikir induktif). Dalam sisitem ini, diberikan prioritas yang besar pada yurisprudensi dan menganut prinsip judge made precedent sebagai hal utama dari hukum.
B.     Asas-asas Hukum Pidana Menurut Civil Law System Dan Common Law System
                 Apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan mengenai asas hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur penting dari peraturan hukum. Barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan, bahwa asas hukum ini merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya.
Menurut van Elkema Hommes, asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
Sedangkan menurut P. Scholten, asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
Kalau peraturan hukum yang konkrit itu dapat diterapkan secara langsung pada peristiwanya, maka asas hukum diterapkan secara tidak langsung. Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkrit. Ini berarti menunjuk kepada kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan yang konkrit itu.
Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa asas hukum pidana adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan-peraturan yang konkrit pada hukum pidana.
Dalam membahas asas-asas hukum ini saya akan mencoba menjelaskan beberapa asas saja yang utama dalam hukum pidana menurut kedua system hukum ini. Adapun asas-asas system hukum tersebut sebagai berikut:
a.    Asas-Asas Hukum Pidana Civil Law System
1.     Asas Legalitas
Asas legalitas atau Nullum crimen sine lege dan nulla poena sine lege. Asas ini lebih cocok untuk hukum pidana tertulis (civil law). Sistem Civil Law System (Eropa continental) cenderung menerapkan asas legalitas lebih kaku daripada penerapannya di negara yang menganut system common law. Di Negara kontinental, asas legalitas menjadi alat untuk membatasi kekuasaan negara.
2.    Asas Hakim tidak harus terikat pada putusan pengadilan sebelumnya
Yaitu Hakim dalam memutuskan perkara tidak selalu terikat kepada putusan-putusan hakim seblumnya, atau hakim bebas memutuskan perkara sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
3.    Asas Hakim Terikat kepada Hukum Tertulis.
Yaitu Hakim dalam memutuskan perkara harus berdasarkan hukum yang tertulis atau hakim tidak bisa memutus suatu perkara jika dalam hukum tidak ada yang mengaturnya.
4.    Asas Kepastian
Kepastian hukumlah yang menjadi tujuan hukum, dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis.

5.    Asas “tidak ada hukum selain undang-undang”
Dengan kata lain, hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang.
6.    Asas Adversary System
Pada Civil Law system ini, hanya dalam perkara perdata yang melihat adanya dua pihak yang bertentangan (penggugat dan tergugat) dan pada perkara pidana keberadaan terdakwa bukan sebagai pihak penentang.
7.     Asas bebas
Yaitu kebalikan dari azas precedent yaitu hakim tidak terikat kepada keputusan-keputusan Hakim sebelumnya pada tingkat sejajar atau kepada Hakim yang lebih tinggi. Azas ini dianut dinegara Belanda dan Perancis. Dalam praktek seperti dinegeri Belanda azas ini tidak dilakukan secara konsekwen, banyak hakim-hakim masih menggunakan keputusan-keputusan hakim yang lebih tinggi dengan beberapa alasan antara lain :
a.    Mencegah terjadinya kesimpang siuran keputusan hakim sehingga mengaburkan atau tidak tercapainya tujuan kepastian hukum.
b.    Mencegah terjadinya pengeluaran biaya yang tidak perlu karena pihak yang tidak puas akan naik banding.
c.    Mencegah pandangan yang kurang baik dari atasan.
Kelebihan system Civil Law System (Eropa Kontinental) , sistem hukumnya tertulis dan terkodifikasi dengan terkodifikasi tersebut tujuannya supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa hukum (kepastian hukum yang lebih ditonjolkan). Contoh tata hukum pidana yang sudah dikodifikasikan (KUHP) di Indonesia , jika terjadi pelanggaran tehadap hukum pidana maka dapat dilihat dalam KUHPidana yang sudah dikodifikasikan tersebut. Sedangkan kelemahannya adalah sistemnya terlalu kaku, tidak bisa mengikuti perkembangan zaman karena hakim harus tunduk terhadap perundang-undang yang sudah berlaku (hukum positif). Padahal untuk mencapai keadilan masyarakat hukum harus dinamis.
b.  Asas-Asas Hukum Pidana Common Law System.
Ciri utama dari sistem Common Law System/Anglo Saxon Berdasar Asas Stare decesis/The binding force of Precedent :  yaitu azas ini hakim terikat kepada keputusan-keputusan yang lebih dahulu dari hakim-hakim yang sederajat atau oleh hakim yang lebih tinggi. Azas ini dianut oleh Negara anglo saxon seperti Inggris, Amerika Serikat. zas ini berlaku berdasarkan 4 faktor yaitu :
a.     Bahwa penerapan pada peraturan-peraturan yang sama pada kasus-kasus yang sama menghasilkan perlakuan yang sama bagi siapa saja yang datang ke Pengadilan;
b.     Bahwa mengikuti preceden secara konsisten dapat menyumbangkan pendapat untuk masalah-masalah di kemudian hari;
c.     Bahwa penggunaan kriteria yang mantap untuk menempatkan masalah-masalah baru dapat menghemat tenaga dan waktu;
d.    Bahwa pemakaian putusan-putusan yang terdahulu menunjukkan adanya kewajiban untuk menghormati kebijaksanaan dan pengalaman Pengadilan generasi sebelumnya;
Dengan demikian asas-asas hukum pidana dalam Common Law System (anglo saxon) ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Asas Legalitas
Di Negara Common Law asas legalitas tidak begitu menonjol, karena prinsip rule of law telah tercapai dengan berkembangnya konsep due process of law.
2.    Bertitik tolak dari doktrin precedent dimaksud maka kekuasaan hakim di sistem Comman Law (anglo saxon) sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan salah satu negara yang mengaut sistem ini yaitu Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan dimaksud tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusan sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari kekuasaan hakim pada sistem ini sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum Comman Law System  (anglo saxon) kurang memperhatikan kepastian hukum. [7]
3.    Ajaran kesalahan dalam sistem hukum comman law dikenal dengan Mens-Rea yang dilandaskan pada maxim “Actus non est reus mens rea” yang berarti suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah, kecuali jika pikiran orang itu jahat.
4.    Dalam sistem hukum Comman Law atau Anglo Saxon pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya “berbuat atau tidak berbuat sesuatu dan sikap bathin yang jahat. Namun demikian unsur sikap bathin yang jahat tersebut merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dahulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan. Dalam perkembangan selanjutnya unsur sikap bathin yang jahat tersebut tidak lagi dianggap sebagai syarat yang utama, misalnya pada delik-delik tentang ketertiban umum atau kesejahteraan umum.
5.    Sistem hukum yang menganut sistem Comman Law System atau anglo saxon tidak mengenal adanya perbedaan kejahatan dan pelanggaran, sebagaimana halnya di negara-negara yang menganut civil law atau eropa continental. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH Pidana) sebagai hukum positif di negara Indonesia mengenal adanya perbedaan di atas.
6.    Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara comman law atau anglo saxon pada prinsipnya menganut sistem Acusatoir.
7.    Asas Adversary system yaitu pandangan bahwa di dalam pemeriksaaan peradilan selalu ada dua pihak yang saling bertentangan, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.
        Kelebihan sistem hukum Common Law System (Anglo Saxon) adalah hakim diberi wewenang untuk melakukan penciptaan hukum melalui yurisprudensi (judge made law). Berdasarkan keyakinan hati nurani dan akal sehatnya keputusannya lebih dinamis dan up to date karena senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat.
                        Kelemahannya adalah tidak ada jaminan kepastian hukumnya. Jika hakim diberi kebebasan untuk melakukan penciptaan hukum dikhawatirkan ada unsur subjektifnya. Kecuali hakim tersebut sudah dibekali dengan integritas dan rasa keadilan yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat membuat suatu kesimpulan sebagai berikut ;
1.       Pada Umumnya antara dua system hukum ini mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing;
2.       Pada sistem hukum pidana civi law system dipengaruhi oleh sistem dari luar terutama oleh sistem hukum adat.
3.       Pada hakikatnyapada Civil Law System ini, dalam menjalankan hukum secara sistematis, kritis dan harmonis sesuai dengan dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidananya yang berlaku
4.       Pada system Common Law System sangat dipengaruhi asas Precendentnya.
5.       Pada sistem hukum Common Law System adalah hakim diberi wewenang untuk melakukan penciptaan hukum melalui yurisprudensi (judge made law). Berdasarkan keyakinan hati nurani dan akal sehatnya keputusannya lebih dinamis dan up to date karena senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat..

DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku

Barda nawawi arif, 2012, Perkembangan asas-asas hukum pidana Indonesia,   Badan penerbit Undip, semarang
Darji Darmodiharjo & Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
L.J. van Apeldoorn, 2000, pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta,
Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya.

B.     Majalah/Makalah

Achmad syauqi et all, 2012,  Sejarah dan politik hukum, Makalah Fakultas Hukum Universitas Mataram.

C.    Website




[1] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm. 73.
[2] L.J. van Apeldoorn, pengantar Ilmu hukum, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, hlm. 6.
[3] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 57.
[4] Philipus M. Hadjon, 1972, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, h. 72.
[5] Achmad syauqi et all, 2012,  Sejarah dan politik hukum, Makalah Fakultas Hukum Universitas Mataram, h.13
[6] Ibid.
[7] http://hukum-on.blogspot.com/2013/01/Perbandingan-Sistem-Hukum-Pidana-Anglo-Saxon-Dan-Sistem-Hukum-Pidana-Nasional.html

1 komentar:

  1. salam Pak La Jaudi, S.H.,M.H, perkenalkan saya Harris Mahasiswa Fakultas Hukum Unikarta di Tenggarong Kutai Kartanegara,saya mau tanya apakah bapak ada tulisan di Blog Bapak yang menjelaskan khusus mengenai Sistem Hukum Civil Law.

    BalasHapus