Jumat, 29 Agustus 2014

PENGARUH TEORI HANS KELSEN TERHADAP STRUKTUR PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA



A. MENGENAL HUKUM INDONESIA
Ketika manusia hidup bersama, salah satu bentuk sifat manusia yaitu zoon politicon (manusia makhluk sosial) dimana saling membutuhkan, dan sifat yang lebih kontradiktif adalah homo humini lupus dimana manusia adalah srigala bagi manusia yang lain, agar tidak terjadi yang demikian maka di bentuklah hukum sehingga hukum tersebut lahir, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat sebab tidak ada suatu masyarakat dan negara yang beradab tidak memerlukan hukum (ubi sosiates ubius),. Hal ini dalam islam juga sangat menginginkan umatnya teratur maka, tak heran dahulu setiap kaum itu Allah SWT menurunkan kitab tersendiri yang tujuannya untuk meciptakan ketentraman bagi kaum atau golongan-golongan kaum tersebut.
Di Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat dan sebagai negara hukum,  maka sudah menjadi suatu kenyataan menentukan sendirinya sistem atau  tata aturan hukumnya, tetapi hal ini tidak menjadikan hukumnya murni dari hasil pemikiran dan teori atau pemikir-pemikirnya dari Indonesia sendiri, hal ini yang menjadi fakta bahwa hukum dimana sistem hukum di negara kita ini merupakan campuran dari sistem hukum-hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
1. Bentuk Hukum Indonesia
a.         Hukum  Tertulis, misalnya: UUD 1945, UU Pokok Agraria, Hukum Pidana (KHUP), Hukum Perdata (KUHPerdata)
b.        Tidak Tertulis, misalnya: Hukum Adat, Hukum Kebiasaan.
Kedua kelompok hukum tersebut merupakan Hukum Indonesia atau Hukum Positif Indonesia, yaitu Hukum yang berlaku pada waktu saat ini, dibentuk oleh badan-badan kenegaraan yang diberi wewenang membentuknya.
Hukum positif itu dikatakan oleh Hans Kelsen sebagai teori hukum murni, merupakan teori tentang hukum positif umum bukan tentang tatanan hukum khusus, ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu, namun menyajikan teori penafsiran.
Badan-badan kenegaraan lainnya yang kedudukannya di bawah Presiden dalam membentuk hukum dipengaruhi oleh alam pikiran bangsa Indonesia atau filsafat hidup bangsa Indonesia. Dasar filsafat dalam pembentukkan hukum Indonesia adalah Pancasila, karenanya Pancasila disebut Filsafat Hukum Indonesia. Bagaimana Pancasila memperoleh legalitas hukumnya sehingga merupakan suatu kaidah yang normatif, yang mengikat, yang mempengaruhi tingkah laku manusia Indonesia, baik sebagai individu dalam masyarakat maupun sebagai pendapat negara yang diserahi tugas membentuk Undang-Undang ditambah peraturan-peraturan lainnya.
Selain itu agar Pancasila merupakan kaidah yang mengikat, maka Pancasila harus merupakan kaidah yang mengikat. Untuk menjadi norma yang mengikat, Pancasila harus mempunyai ”Bentuk”dan ”Isi”,  dan tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Bentuk : Tertulis. Isinya sebagi berikut:
1.      Ketuhanan yang Maha Esa
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta
5.      mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Adapun yang berhak mengisi sila-sila Pancasila adalah Rakyat Indonesia yang mendelegasikannya kepada sebuah badan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, yang membawakan suara dan kehendak rakyat Indonesia. Tampaknya Pancasila masih menjadi kaidah dasar dalam tertib hukum Indonesia.
Sebenarnya Pembentukan nilai-nilai sila pancasila tersebut sangat kuat pengaruhnya dengan pandangan islam. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa indonesia walaupun bukan negara islam di tambah lagi banyak pengaruh-pengaruh teori hukum barat tetapi tidak menjadikan Indonesia sebagai negara yang berpaham barat.
      2.  Isi Hukum Indonesia
Menurut isinya hukum Indonesia dibedakan antara Hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik adalah hukum yang melindungi kepentingan Umum/Negara. Hukum Privat adalah hukum yang melindungi kepentingan Privat/ Perorangan, Misalnya: jual beli, sewa menyewa. Hal ini dalam pemerintahan menurut pandangan islam sangat bagus, karena dalam islam juga sangat mengargai hak setiap kaum dan setiap golongan ummat-Nya.
Hukum Privat disebut juga Hukum Perdata dalam arti luas, mencakup:
a.         Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu ketentuan yang dimuat dalam KUHS, Octrooi dan UU Auteur. UU Octrooi adalah UU yang melindungi hak cipta dalam bidang industri, perdagangan. UU Auteur adalah UU yang melindungi hak cipta dalam bidang kesenian dan kesusastraan.
b.        KUHD: Kitab UU hukum dagang. Sebagian hukum dagang masuk dalam hukum perdata, karena semula hanya terdapat hukum perdata, kemudian dirasakan perlu ada perbedaan antara keduanya, sehingga dampaknya terdapat campuran dalam kedua kitab UU tersebut. Sebagian hukum dagang masuk ke dalam kitab UU hukum perdata, sebagian hukum perdata masuk ke dalam hukum dagang.
Sesudah Indonesia merdeka terdapat 3 kodifikasi hukum, yaitu: Kitab UU Hukum Pidana, Kitab UU Hukum Perdata, Kitab UU Hukum Dagang. Dari perkembangan selanjutnya terdapat  pandangan bahwa Kitab UU Hukum Perdata mestinya seperti semula, hukum dagang masuk ke dalam hukum perdata, karena hukum dagang tidak ada landasan ilmunya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi adalah membukukan hukum ke dalam kitab UU secara sistematis dan lengkap.
3. Tujuan Hukum
Tujuan hukum adalah untuk mencapai masyarakat yang tertib, adil dan damai, selain tujuan tersebut di Indonesia ditambahkan pengayoman, sama juga dalam pemerintahan menurut pandagan islam, hal ini sebagi wujud aturannya terdapat dalam Al-Q ur’an surat An-Nisa’ ayat 135 sebagai mana artinya bahwa ” Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S. An-Nisa’: 135)                                                                                                                         
 UUD 1945 sebagai dasar, berisi instruksi-instruksi untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Ini berarti bahwa hukum adalah alat untuk mendapatkan ketertiban dan alat untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Filosofis-ideologis UUD 1945 adalah untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal berne­gara, yaitu:
1.      Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.      Meningkatkan kesejah­teraan umum;
3.      Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
4.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerde­kaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Selain yang di bahas di atas indonesia juga menganut sistem trias politika barat seperti yang di kemukakan teori Montesqui, tetapi hal itu Yang menjadi poin penting dalam demokrasi bukan sistem trias politiknya, yang membagi pemerintahan kedalam tiga lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif), melainkan dalam   sisitem checks and balances yang berlangsung dalam pemerintahan itu. Tentunya agar bisa berjalan maka, harus ada keterbukaan dari masing-masing elemen dalam pemerintahan itu. Dan keterbukaan itu dapat diwujudkan dalam sebuah bentuk musyawarah yang efisien, efektif dan egaliter. Tentu saja tujuan adalah kesejahteraan rakyat sehinga keadilan dapat terwujud, karena Islam mengharuskan keadilan secara mutlak dalam surat An-Nisa (4). 58 tentang keadilan tuhan menyatakan Artinya “apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”, Q.s An-Nisa (4).
B. PENGARUH TEORI HANS KELSEN TERHADAP SUSUNAN ATAU STRUKTUR PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
Sebenarnya berbicara tentang persoalan  hukum dan negara, jauh sebelumnya itu telah mendapat perhatian dan menjadi obyek kegiatan intelektual dari para pemikir dunia sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu sampai sekarang. Plato (429-347 S.M) dan Cicerio (106-43 S.M) merupakan pemikir-pemikir besar tentang negara dan hukum pada zaman purbakala, Thomas Aquinas (1225 – 1274) sebagai pemikir pada zaman pertengahan serta Montesquieu (1689-1755), Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dan Hans Kelsen sebagai pemikir setelah pada zaman pertengahan. 
Pemikiran hukum ini berkembang setelah abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Aliran ini mengidentikan hukum dengan undang-undang. Tidak ada hukum di luar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Hal inilah yang di namakan dengan aliran positivisme hukum, yang mana salah satu tokoh yang mengemukakan aliaran ini adalah Hans Kelsen.
Sebagai penganut aliran positivisme hukum, Hans Kelsen terkenal dengan konsep hukum murninya (reine rechtslehre, the pure theory of law), yang ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya nonhukum, seperti kultur, moral, politik, sosiologis, dan sebagainya.
Menurut Hans Kelsen tentang positivisme dinyatakan bahwa “Law is a coercive order of human behavior, it is the primary norm which stipulates the sanction.” (Hukum adalah sesuatu perintah memaksa terhadap perilaku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi).
Karakteristik postivistis dari Hans Kelsen, sangat kental dalam tiga ajarannya yang utama, yang sangat menekankan pengakuannya hanya pada eksistensi hukum positif. Ada tiga ajaran utama dari Hans Kelsen, yaitu :
 a.  Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre)
            Hans Kelsen ingin membersihkan ilmu hukum dari anasir-anasir yang sifatnya nonhukum, Kelsen menolak masalah keadilan dijadikan bagian pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Kelsen, keadilan masalah ideologi yang ideal-rasional. Kelsen hanya ingin menerima hukum apa adanya.
b.   Ajaran Tentang Grundnorm
            Bertolak dari pemikiran yang hanya mengakui undang-undang sebagai hukum, maka Kelsen mengajarkan adanya grundnorm yang merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum, dalam suatu tatanan sistem hukum tertentu. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum itu ditaati dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan hukum.
c.    Ajaran Tentang Stufenbautheorie 
           Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.
            Berdasarkan hal tersebut, bagi penganut positivisme, analisis mereka melibatkan  pengkosenterasian pada kajian tentang undang-undang sebagai keberadaannya, yakni undang-undang yang diberlakukan bagi warga negate. Jadi bagi kaum postivis, hukum di pahami sebagai berikut:
1.      Hukum adalah seperangkat perintah.
2.      Yang dibuat oleh penguasa tertinggi (negara).
3.      Ditujukan kepada warga masyarakat.
4.      Hukum berlaku local (dalam yurisdiksi negara pembuatnya).
5.      Hukum harus dipisahkan dari moralitas.
6.      Selalu tersedia sanksi eksternal bagi pelanggar hukum.

Menyimak dari pemahaman aliran filsafat hukum positivistik adalah : pertama, ia memisahkan hubungan antara moral dan hukum; kedua, ia tidak mampu menjelaskan realitas hukum secara lebih holistik, sehingga orang akan mempelajari atau mengkaji hukum terlepas dari ikatannya dengan masyarakat tempat ia beroperasi, Inilah batas yang membedakan antara sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya dalam  seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Di dalam khazanah Indonesia menjadi negara hukum, meskipun demikian  tetapi  sebenarnya hukum di Indonesia itu merupakan paduan dari norma dan moralitas yang hidup di masyarakat. Selain itu juga di Indonesia tidak sepenuhnya memberlakukan setiap putusan hakim itu sesuai dengan Undang-Undang yang tertulis saja, tetapi Hakim harus mampu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, agar keadilan dan kepastian hukum itu tetap di tegakan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Karena prinsip supermasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan.
Sistem pemerintahan dalam negara sebenarnya Menurut Muhammad Imarah Islam tidak menerima sistem pemerintahan barat secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Bertolak dari pemikiran di atas bahwa pemikiran teori hukum hans Kelsen yang terkenal dengan teori piramida hukumnya, maka sebagai bentuk pengaruhnya adalah sebagai berikut:

a. Kedudukan Pancasila Dalam Hukum Nasional (pandangan Kalsen dan Nawiaski dalam bentuk piramida)
1. Kedudukan Pancasila
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia, Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa. Pancasila adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kedudukan Pancasila dalam tata hukum nasional?
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada di atas dan diluar konstitusi. Pancasila disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dengan menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky.
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie), artinya Peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkret. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan. salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
1.      Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.      Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.      Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar              (basicnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grund norm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi, inilah karya manusia, tetapi pandangan islam bahwa norma tertinggi adalah Al-Qur’an yang menjadi sumber semua hukum dalam mengatur hidup manusia dan tidak bisa di ganggu gugat selain Allah SWT.
Berdasarkan teori Hans Nawiaky, A. Hamid S. Attamimi memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1)      Staats fundamental norm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)      Staats grundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)      Formell gesetz: Undang-Undang.
4)      Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staats fundamental norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staats fundamental norm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamental norm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Hans Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.
Hans Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamentalnorm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm  dengan alasan  bahwa  grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamen­talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa. Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama.
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau merupakan bagian dari konstitusi. 
2. Pancasila Dalam Lintasan sejarah
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno Tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup.
Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari 8 orang, yaitu: Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wachid Hasjim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada Tanggal 10 Juli 1945. Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.
Jika masalah dasar negara disebutkan oleh Soekarno sebagai Philosofische grondslag ataupun Weltanschauung, maka hasil dari persidangan-persidangan tersebut, yaitu Piagam Jakarta yang selanjutnya menjadi dan disebut dengan Pembukaan UUD 1945, yang merupakan Philosofische grondslag dan  Weltanschauung bangsa Indonesia. Seluruh nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara Indonesia, termasuk di dalamnya Pancasila.
3.  Pokok Pikiran dan subtansi Penjelasan UUD 1945
Selain Pancasila, telah dikenal adanya empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945, yaitu; (1) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi segala paham golongan dan paham perseorangan; (2) bahwa Negara Indonesia hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warganya; (3) bahwa Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat. Negara dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat; dan (4) bahwa Negara Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Jika mencermati Pembukaan UUD 1945, masing-masing alenia mengandung pula cita-cita luhur dan filosofis yang harus menjiwai keseluruhan sistem berpikir materi Undang-Undang Dasar. Alenia pertama menegaskan keyakinan bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan adalah hak asasi segala bangsa, dan karena itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Alenia kedua menggambarkan proses perjuangan bangsa Indonesia yang panjang dan penuh penderitaan yang akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Alenia ketiga menegaskan pengakuan bangsa Indonesia akan ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan dorongan spiritual kepada segenap bangsa untuk memperjuangkan perwujudan cita-cita luhurnya sehingga rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Terakhir alenia keempat menggambarkan visi bangsa Indonesia mengenai bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk dan diselenggarakan dalam rangka melembagakan keseluruhan cita-cita bangsa untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah Negara Indonesia. Dalam alenia keempat inilah disebutkan tujuan negara dan dasar negara.
Keseluruhan Pembukaan UUD 1945 yang berisi latar belakang kemerdekaan, pandangan hidup, tujuan negara, dan dasar negara dalam bentuk pokok-pokok pikiran sebagaimana telah diuraikan tersebut-lah yang dalam bahasa Soekarno disebut sebagai Philosofische grondslag atau dasar negara secara umum. Jelas bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai ideologi bangsa tidak hanya berisi Pancasila. Dalam ilmu politik, Pembukaan UUD 1945 tersebut dapat disebut sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Pembukaan UUD 1945 merupakan staatsfundamentalnorm di Indonesia? Jika merupakan staats-fundamen­talnorm maka Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian terpisah dari pasal-pasal dalam UUD 1945 karena sebagai staatsfundamentalnorm Pembukaan UUD 1945 merupakan norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung), atau dalam bahasa Kelsen Pembukaan UUD 1945 adalah yang mempresuposisikan validitas UUD 1945.
Jimli Asiddiq mengatakan UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang harus tercermin dalam segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan kenegaraan, dan harus ditegakkan sebagaimana mestinya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.
Penjelasan UUD 1945 yang merupakan bagian dari keseluruhan UUD 1945 menyatakan bahwa “Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya”. Bahkan para founding fathers juga menyadari akan perkembangan masyarakat sehingga tidak tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk(Gelstaltung). Penjelasan ini sebenarnya memberi ruang perubahan terhadap perwujudan pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa Pembukaan UUD 1945 termasuk pancasila merupakan satu kesatuan dengan pasal-pasal UUD 1945. Hal ini juga dapat dilihat dari proses penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang merupakan satu kesatuan dengan pembahasan masalah lain dalam Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI, yaitu masalah bentuk negara, daerah negara, badan perwakilan rakyat, dan badan penasehat. Status Pembukaan UUD 1945 sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasalnya menjadi sangat tegas berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.
Jika Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasalnya  merupakan satu  kesatuan, tentu  tidak dapat memisahkannya dengan menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai  staatsfundamentalnorms yang lebih tinggi dari pasal-pasalnya sebagai staatsverfassung. Apalagi dengan  menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah dasar  pembentukan pasal-pasal UUD 1945 sebagai konstitusi, atau Pembukaan UUD 1945 adalah presuposisi bagi validitas pasal-pasal UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 (termasuk di dalamnya Pancasila) dan pasal-pasalnya adalah konstitusi tertulis bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 walaupun merupakan pokok-pokok pikiran yang abstraksinya tinggi dan dijabarkan dalam pasal-pasalnya, tetapi bukan merupakan dasar keberlakuan pasal-pasal UUD 1945 dan berarti bukan pula presuposisi validitas pasal-pasal tersebut. Pembukaan UUD 1945 bukan sekedar sebuah postulat dari juristic-thinking. UUD 1945 secara keseluruhan ditetapkan sebagai konstitusi (staatsverfassung) yang mengikat dalam satu tindakan hukum, yaitu keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945.
Penempatan Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari Konstitusi sekaligus menempatkannya sebagai norma abstrak yang dapat dijadikan sebagai standar valuasi konstitusionalitas norma hukum yang lebih rendah. Bahkan juga dapat digunakan sebagai prinsip-prinsip dalam menafsirkan konstitusi. Dengan posisi Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian dari konstitusi, maka pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalamnya, termasuk Pancasila, benar-benar dapat menjadi rechtsidee dalam pembangunan tata hukum Indonesia.
Jika Pancasila bukan merupakan staatsfundamental-norms, lalu apa yang menjadi dasar keberlakuan UUD 1945 sebagai konstitusi? Apa yang mempresuposisikan validitas UUD 1945? Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi menurut hukum yang berlaku pada saat itu bukan merupakan tindakan hukum karena dilakukan bukan oleh organ hukum dan tidak sesuai dengan prosedur hukum. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menandai berdirinya Negara Republik Indonesia, yang berarti terbentuknya suatu tata hukum baru (New Legal Order). Adanya Negara Indonesia setelah diproklamasikan adalah postulat berpikir yuridis (juristic thinking) sebagai dasar keberlakuan UUD 1945 menjadi konstitusi Negara Indonesia. Keberadaan Negara Indonesia yang merdeka adalah presuposisi validitas tata hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 sekaligus meniadakan tata hukum lama sebagai sebuah sistem.
b. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2011 Yang (Sesuai Pandangan Teory Piramida Hukum Hans Kelsen).
Hierarki atau tata urutan peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia (Pasal 7) adalah sebagai berikut :
(1)  Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Peraturan Perundangundangan di Indonesia, sebenarnya bukanlah merupakan suatu konsep baru, melainkan sudah berjalan atau dilaksanakan cukup lama oleh pembuat kebijakan (penyusun peraturan perundang-undangan/law maker), yaitu telah ada sebelum dilakukannya perubahan/amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”).
Perubahan/amandemen atau pengharmonisasian dalam peraturan perundang-undangan boleh-boleh saja tetapi dengan tujuan untuk menciptakan suatu keadilan hukum bagi masyarakat, hal ini sejalan dengan ajaran islam, karena kita patut mencontoh Allah SWT banyak menurunkan kitab-kitab sampai yang terakhir kitab A-Qur’an, Hal ini dengan tujuan tidak lain hanya untuk mewujudkan suatu keadilan dan jalan terang bagi semua ummat-Nya yang ada di dunia ini dan sebagimana di tuangkan dalam Al-Qur’an surat al-maidah ayat 48.
Kebijakan mengenai harmonisasi peraturan perundang-undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tatacara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupakan pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.
Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan amanat dari Pasal 22A UUD 1945. Oleh karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran praktik empririkal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Pengaturan terkait pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih lengkap pengaturannya dibandingkan kebijakan-kebijakan sebelumnya. Seperti mengatur pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR. Selain itu diatur pula pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi semua rancangan peraturan perundang-undangan, dari RUU, RPP, Perpres, sampai dengan Raperda, baik Raperda Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
A. Kesimpulan
Berkaitan dengan pandangan aliran hukum positivisme yang mengedepankan pada prinsip hukum itu ada apabila di wujudkan dalam undang-undang, Hukum itu di buat oleh penguasa, selain itu hukum bersifat memaksa. Dalam aliran hukum positivisme  adanya pemisahan antara hukum dengan moral. Inilah batas yang membedakan antara sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
 Selain itu peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada di puncak priamida, dan semakin ke bawah semakin beragam dalam artian hukum itu berjenjang. Berkaitan dengan ini jika dikaitkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia jelaslah bahwa aliran ini diterapkan. Hal ini dapat kita lihat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
B. Saran

Melihat pada perkembangan dan kemajuan masyarakat Indonesia hukum juga mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam hal ini hukum di Indonesia masih jauh tertinggal  pada perkembangan masyarakat dan kemajuan  zaman. Dikarenakan  masih diberlakukanya produk-produk hukum yang lama dan sistem hukum yang tidak sesuai lagi jika diterapkan pada masyarakat Indonesia pada masa kini. Diharapkn dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih mengedepankan kepada keseimbangan antara hukum dengan moral dan hukum harus diposisikan sebagai variabel yang berubah seiring dengan perubahan masyarakat, hukum untuk masyarakat bukan masyarakat untuk hukum (The Legal science is always changing). Dan tak lupa pula muda-mudahan konsep pembentukan peraturan perundang-undangannya tetap tidak jauh beda dengan konsep Islami agar aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajaran-Nya, dengan cara yang sangat mungkin bisa dilakukan dimana dalam  parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.

 DAFTAR PUSTAKA
Prof.DR.Moh.Mahfud  MD,SH.,S.U”Dasar dan Struktur Ketatanegaraan  Indonesia” edisi revisi, PT.rineka cipta,Jakarta,2001,hal,3. 
Prof.DR.H.Dahlan Thaib,S.H.,M.Si.dkk ”Teori dan hukum Konstitusi”,PT.Raja grafindo persada, Jakarta,1999,hlm.75.
Prof.DR.Moh.Mahfud  MD,SH.,S.U”Dasar dan Struktur Ketatanegaraan  Indonesia” edisi revisi, PT.rineka cipta,Jakarta,2001, hlm.4
Hans Kelsen “Teori hukum murni-dasar-dasar ilmu hukum normative” terjemahan The fure of teory :Barkely University of California press :1978 : Nusa Media,bandung,2010, hlm “Teori ini di kritik oleh hari chand :konsep norma dasar yg di kemukakan kelsen tidak jelas. Yang di sebut dengan norma dasar itu bukan mrupakan hukum positif tapi suatu presuposisi pengetahuan yuridis.
Piramida hukum hans kelsen dan nawiaski dalam bentuk piramida hukum nasional Indonesia”
A.Amin S Attamimi menerapkan dalam struktur tata hukum nasional indonesia
 Aziz, Abdul, Alqur’anul karim wa tarjamatu ma’anihi ila allughati al indunisiyah,( Arab Saudi: Maktabah Malik, 1420 h)
 “Piagam Jakarta dalam perumusan dasar Negara oleh tim 8 dalam perjalanannya setelah rumusan tersebut di serahkan kepada BPUPKI masi terdapat beberapa pertentangan antara nasionalis dengan agamawan”
 Jimly Asiddiq “ UUD 1945 adalah sumber hukum/staatfundamentalnorm”
Undang-undang RI nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ketentuan umum pasal 1
Dalam undang undang-undang nomor 10 Tahun 2004 Tap MPR tidak masuk dalam struktur peraturan perundangan-undangan hal itu kemudian di masukkan dalam amndemen tahun 2011 dan sebelum tahun 2004 tap MPR masih berlaku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar