Minggu, 31 Agustus 2014

BUKTI PERMULAAN DALAM MELAKUKAN PENANGKAPAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA



USULAN PENELITIAN








PROPOSAL TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Fakultas Universitas Islam Sultan Agung



Oleh :
La Jaudi, SH
N.I.M.                         : MH.12.21.1339
Program Studi           : Ilmu Hukum

 









PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN TESIS
            Tesis ini telah di periksa dan di setujui oleh pembimbing untuk diajukan dalam ujian Tesis pada program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
Nama                                       : LA JAUDI, SH
Satambuk                                : MH.12.21.1339
Program Studi                         : Ilmu Hukum/Hukum Pidana
Fakultas                                   : Hukum
Judul Tesis                         : BUKTI PERMULAAN DALAM MELAKUKAN PENANGKAPAN TINDAK PIDANA TERORISME

                                                                                   
Semarang, April 2014
                                                           
Menegetahui
Pembimbing I                                                  Pembimbing II



DR.......                                                                       DR......


                                                            Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum                      Ketua Bagian Ilmu Hukum




    H. JAWADE HAFIDZ, SH., MH      LATIFAH HANIM,SH., M.Hum, M.Kn
HALAMAN PENGESAHAN

BUKTI PERMULAAN DALAM MELAKUKAN PENANGKAPAN TINDAK PIDANA TERORISME

Disusun Oleh:
Nama               : LA JAUDI
Stambuk          : MH.12.21.1339
Telah dipertahankan di hadapan panitia Ujian Tesis Pada Program kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Guna memperoleh Gelar Magister Hukum Strata dua (S2) pada hari........., Tanggal ..Bulan.. tahun.. dan di nyatakan Lulus dengan Nilai Yang sangat Memuaskan.

PANITIA UJIAN
Ketua                                                  :
Sekretaris                                            :
Pembimbing I                                      :
Pembimbing II                                    :
Tim Penguji                                         :
                                               

                                                                                                                                                                                                            Semarang, April 2014
                                                                        Disahkan Oleh
                                                                        Dekan Fakultas Hukum
                                                                        Univesrsitas Islam Sultan Agung




                                                                        H. JAWADE HAFIDZ, SH., MH
ABSTRAK

LA JAUDI,  SH (MH 12.21 1339) dengan judul “ Bukti Permulaan dalam  melakukan penangkapan Tindak Pidana Terorisme” di bawah bimbingan Bapak................sebagai Pembimbing I dan Bapak ............. sebagai Pembimbing II.
            Penelitian inibertujuan untuk menegetahui bukti permulaan dalam melakukan tindak pidana terorisme di Indonesia.
            Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adlalah metode penelitian hokum normatif dengan menggunakan data sekunder sebagai acuan utama dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis deskriptip kualitatif yakni teknik analisis yang tidak didasarkan ats angka-angka akan tetapi pada peraturan yang berlaku. Selanjutnya dalam penarikan kesimpulan dilakaukan dengan metode deduktif, yaitu metode analisa yang dimualai dengan pengetahuan yang di mulai bersifat umum untuk menyimpulkan suatu peristiwa secara umum.
Hasil penelitian menunjukan bahwa laporan intelijen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan dalam melakukan penangkapan sesuai dengan pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dengan melalui mekanisme/proses hearing oleh Ketua/Wakil Ketua pengadilan Negeri dan tidak semua laporan intelijen di gunakan sebagai bukti permulaan, hanya laporan intelijen  yang bersifat factual dan di sampaikan secara kelembagaan. Walaupun ketentuan dalam pasal tersebut merupakan penyimpangan dari KUHP/aturan hokum umum atas bukti permulaan, dimana bukti permulaan di artikan sebagai batas minimum pembuktian diajukan ke muka persidangan sesuai ketentuan pasal 183 KUHP dengan alat bukti seperti  yang terdapat dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka di pakai asas “Spesial Derogate Lex Generalis” sehingga ketentuan pasal tersebut dapat di berlakukan, jadi KUHP sebagai atuaran umum sedangkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003  tentang pemeberantasan tindak pidana Terorisme sebagai aturan khusus untuk mencegah dan menaggulangi tindakan terorisme di Indonesia yang dapat menimbulakan kehancuran serta kerusakan bagi masyarakat banyak.     
KATA PENGANTAR
Tiada kata selain mengucapkan Puji Syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya Tesis ini Dengan Judul “BUKTI PERMULAAN DALAM  MELAKUKAN PENANGKAPAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA”.
Penyususn Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mencapai gelar Magister Hukum Pada Fakultas Hukum Jurusan Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
Penulis Menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena keterbatasan kemampuan dan penegetahuan yang penulis dapatkan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penuli mohon maaf atas segala kekurangan.
Penyusunan Tesis ini tidak akan berhasil tanpa ada bantuan dan kerjasama dari pihak lain. Oleh karena itu pada kesemoatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendorong terwujudnya Tesis ini.
Segala kerendahan hati, Penulis mengucapakan terima kasih khususnya Kepada:
1.      Bapak Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, MSC., M.Eng , Selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung.
2.      Bapak H. Jawade Hafidz, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
3.      Ibu Latifah Hanim, SH.,M.Hum., M.Kn, Selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.
4.      Bapak....................................................., selaku Dosen Pembimbing I, dan Bapak ..........,selaku pembimbing II, yang telah benar-benar Penulis Rasakan penuh dedikasi membantu untuk penyelesaian Tesis ini.
5.      Bapak/Ibu Dosen Pengajar pada fakultas hokum yang telah memberikan ilmunya demi memperluas wawasan terhadap dunia ilmu pengetahuan terhadap dunia ilmu pengetahuan pada umumnya dan disiplin ilmu pada khusunya.
6.      Seluruh Karyawan  Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung yang telah membantu kelancaran dalam bidang administrasi.
7.      Terspesial kudedikasikan Tesis ini kepada kedua orang tuaku, LA MEDI selaku ayah saya tercinta, dan WA DAWI selaku Ibunda tercinta saya, yang telah memberikan kasih dan sayangnya selama ini.
8.      Saudara-saudaraku tercinta TAJUDDIN, POPI MARDIYANTI, dan IRFAN yang selalu memberi semangat dalam penulisan Tesis ini.
9.      Semua sahabat-sahabatku seangakatan program magister hokum Universitas Islam Sultan Agung yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, Penulis berharap semoga hasil pemikiran yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat sebagaimana di harapkan. Aminn........!!!!!



                                                                                    Hormat Saya


                                                                                    Penulis












BAB I
PENDHAULUAN
A.    Latar Belakang
Hak untuk hidup merupakan hak asasi yang paling dasar bagi seluruh manusia, Hak untuk hidup adalah bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat di tawar lagi ( Non Derigable) artinya hak ini mutlak harus di miliki oleh setiap umat orang, karena tanpa adanya hak untuk hidup maka tidak ada hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak mengambil hak hidupnya dalam hal ini terdapat beberapa pengeculian seperti tujuan untuk penegakan hokum.
Pengecualian tehadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup seseorang oleh orang lainnya tanpa ada alasan hak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alasan hak adalah pembunuhan melalui aksi teror, aksi terror jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan, martabat, dan norma agama. Teror juga telah menunjukan gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia ( Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004:2).
Terorisme adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu di lakukan pemeberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia  yang termaksud dalam Undang-Undang 1945 yaitu melindungi segenap Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertibaan dunia.
Aksi terorisme menjadi salah satu wacana yang akrab di telinga kita, di Indonesia terorisme mencuat kepermukaan setelah terjadinya bom Bali I pada 12 Okktober 2002, Peristiwa ini tepatnya terjadi  di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta Bali. Sebelumnya tercatat juga beberapa aksi terror di Indonesia antara lain Bom Istiqlal pada 1999, bom malam natal pada 24 Desenber 2000 yang terjadi di dua puluh Gereja, bom di Bursa Efek Jakarta pada September 2000, serta yang masih hangat didengar ledakan bom di Masjid At Takwa yang berada di area Markas Kepolisisan Resor Cirebon, pada hari Jumat 15 April 2011 sangat mengguncang hati kita dengan kengerian yang luar bisa, ribuan orang meninggal, trauma, cacat seumur hidup dalam waktu seketika.
Indonesia sebagai Negara hokum (Reschtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan warga Negara dari tindakan aksi terorisme adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hokum yang sesuai. Upaya itu diwujudkan pemerintah dengan mnegeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian di setujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemeberantasan tindak pidana terorisme.
Di perlukannya Undang-Undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime, sehingga membutuhkan penanganan yang luar bisa pula (extraordinary measures). Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini selain mengatur aspek materil juga mengatur formil. Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang khusus (lex specislis) dari kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Hukum Acra Pidana. Dengan adanya Undang-Undang ini dii harapkan menyelesaikan perkara pidana yang terkait dengam terorisme dari aspek materil dan formil dpat segera di lakukan.
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasa 25 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hokum acara berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ( Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana/ KUHAP). Pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas hokum pidana dan hokum acara pidana yang telah ada.  Nmaun pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut Mengurangi hak asasi manusia, apabila di bandingkan asas-asas yang terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan hak asasi manusia atau mungkin karena sifatnya sebagai undang-undang yang khusus, maka buan penyimpangan asas yang terjadi disini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun di khususkan sesuai dengan ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang- Undang khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara tindak pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari penyelidikan dan penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas kepada Jaksa Penuntut Umum. Pada pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah mmelakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Menegenai batasan dari pengertian bukti permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan hokum pidana karena masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegaka hokum. Sedangkan menegenai bukti permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 26 yang berbunyi:
1.      Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.
2.      Penetapan bahwa sudah dapat atau di peroleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua Dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3.      Proses pemeriksaan yang dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4.      Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di tetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan di laksanakan penyidikan.
Bahwa Ketentuan dalam pasal 26 tersebut diatas masih terdapat kesimpangsiuran tentang bukti permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai bukti permulaan. Selanjutnya, pasal tersebut memeberikan wewenang  begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan suatu tindak pidana terorisme.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permaslaahan yang hendak di angkat dapat dorumuskan sebgai berikut:
1.      Bagaimana Laporan Intelijen dapat dijadikan bukti permulaan untuk melakukan penangkapan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme?
2.      Bagaiamana  Laporan Intelijen dapat dijadikan.

C.    Tujuan Penelitian
Perumusan tujuan penelitian terbagi menjadi tujuan secara umum dan Tujuan Secara Khusus.
1.      Tujuan Secara Umum yaitu:
Untuk menambah wawasan hokum acara pidana dalam prakteknya di   Indonesia teerutama bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.
2.      Tujuan Secara Khusus Yaitu:
Untuk mengetahui dengan jelas laporan intelijen yang dijadikan alat bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia.

D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian adalah:
1.      Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan kepada masyarakat khususnya mengenai masalah Laporan Intelijen yang dijadikan sebgai bukti permulaan untuk melakukan penangkapan dalam pemeberantasan tindak pidana terorisme.
2.      Dengan adanya penelitian ini dapat memeberikan sumbangan dan masukan guna mengembangkan ilmu hukum.




    




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Penegrtian terorisme
1.      Pengertian Terorisme Secara Umum
Asas hokum menyatakan Nullum crimen sine poena, artinya tiada kejahatan yang boleh di biarkan begitu saja tanpa hukuman. Demeikian pula dengan kejahatan terorisme  yang harus dibuatkan suatu instrument hukumnya. Saat ini terorisme telah menjadi suatu kejahatan lintas Negara, terorganisir, dan bahkan merupakan tindak pidanan internasional  yang  mempunyai jaringan luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.(soeharto,2007:2).
Hingga saat ini defenisi mengenai terorisme sendiri sampai saat ini masih menimbulkan silang pendapat, akan tetapi untuk memperoleh pemahaman terhadap terorisme yang konsisten dalam penulisan tetaplah perlua adanya suatu defenisi. Agar dapat mendapatkan suatu defenisi tentang terorisme, perlu di kaji berbagai defenisi mengenai terorisme.
Kata terorisme bersal dari bahasa latin terrere yang  kurang lebih di artikan sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan (Lukman Hakim, 2004:9). 
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan rasa ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990:1094).
Menurut Muladi,“tindak pidana terorisme dapat di kategorikan sebagai mala per se atau mala in se, tergolong kejahatan hati nurani (crmes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau di larang oleh undang-undang”. (Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004:2).
Menurut Wikipedia Indonesia terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertjuan untuk membangkitkan serangan terror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak unduk pada tata cara peperangan sperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang seringkali merupakan warga sipil (http/id.wikipedia.org/wiki/terorisme).
Secara bebas, defenisi terorisme tersebut dapat diartikan kekerasan namun tidak setiap bentuk kekerasan adalah terorisme (walter Laqueur, 2005:7).
Kekerasan (violence) merujuk pada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau mengakibatkan kematian pada seseorang (Romli Atasasmita, 2005:66).
Terorisme juga dapat diartikan sebagai suatu ancaman teror untuk melakukan kejahatan dan kekerasan dengan tujuan meneror orang lain, menimbulkan ketidaknyamanan atau gangguan terhadap publik, dengan mengabaikan akibat yang tindul dari teror tersebut. Dilihat dari tujuannya yaitu menimbulkan gangguan terhadap publik, terhadap kesamaan antara kejahatan biasa, peperangan, dan terorisme, tetapi sesungguhnya terdapat parameter perbedaan antara terorisme, peperangan, dan nuansa criminal biasa (ordinary crime).
Wilian G. Cunningham, menggambarkan parameter yang berbeda dari terorisme, peperangan, dan kejahatan biasa. Sebuah kejahatan biasa terutama memiliki motif ekonomi, yang  bentuknya dapat berupa teror untuk mendapatkan harta orang lain, atau dapat berupa pembunuhan dengan alasan balas dendam atau untuk mempertahankan harta yang telah di rampas (Lukman Hakim, 2004:11).
Dalam hal peperangan, terdapat motif serta tujuan yang lebih bersifat instrumental dan juga banyak aturan, salah satunya tidak boleh menyerang rakyat yang tidak bersenjata (non-combantans). Selain itu, para pihak yang berperang merupakan suatu instansi resmi di masing-masing pihak. Sedangkan dalam terorisme hamper tidak ada aturan dan penyerangan dilakukan secara membabi buta.
Seorang ahli bernama Jack Gibbs menyatakan, suatu tindakan dapat di definisikan sebagi terorisme apabila merupakan suatu kejahatan atau suatu ancaman secara langsung terhadap kemanusiaan atau terhadap objek tertentu (Jack Gibbs, http//en.wikipedia.org/wiki/Defenition of terrorism).
Namun hal tersebut menurut Gibbs masih merupakan defenisi yang umum, artinya cakupan dari defenisi tersebut masih terlalu luas dan masih mencakup juga defenisi dari kejahatan biasa.
Untuk mempermudah pemahaman terhadap terorisme, Gibbs menambahkan bebeapa cirri perbutan yang merupakan terorisme dengan merujuk pada:
1.      Perbuatan yang dilaksanakan atau ditujukan dengan maksud untuk mengubah atau mempertahankan paling sedikit suatu norma dalam suatu wilayah atau suatu populasi. Dengan pengertian tersebut tersebut, defenisi itu mencakup kejahatan biasa seperti pembunuhan atau perusakan gedung, sehingga tidak terlihat perbedaan antara kejahatan biasa (ordinary crime) dengan terorisme.
2.      Memiliki kerahasiaan, tersembunyi tentang keberadaan partisipan, identitas anggota , dan tempat persembunyian.
3.      Tidak bersifat menetap pada suatu area tertentu .
4.      Bukan merupakan tindakan peperangan biasa karena mereka menyembunyikan identitas mereka, lokasi penyerangan, berikut ancaman dan pergerakan mereka.
5.      Adanya partisipasi yang memiliki pikiran dan ideology yang sejalan konseptor teror, dan pemberian kontribusi untuk memperjuangkan norma yang dianggap benar oleh kelompok tersebut tetap memperhitungkan kerusakan atau akibat yang ditimbulkan (Jack Gibbs,http/en.wikipedia.org/wiki/definition of terrorism).
Berdasarkan cirri tersebut, suatu peristiwa dapat dirumuskan menjadi suatu deskripsi tentang terorisme yang paling mendekati nilai objektifitas. Disamping hal tersebut, untuk itu terorisme perlu pula dipandang dari dua pendekatan, yaitu pendekatan secara spesifik dan pendekatan secara umum.
Pendekatan spesifik mengkalsifikasikan kejahatan biasa yang telah ada sebagai terorisme, contohnya adalah mengklasifikasikan sebuah pembajakan pesawat atau penyanderaan yang semula sebagai kejahatan biasa menjdai terorisme. Dengan kata lain, dalam defenisi ini peristiwa umum dijadikan hal khusus, sehingga pendekatan ini sering juga disebut sebgai pendekatan induktif. Sementara itu, pendekatan secara umum berusaha memberikan penjelasan umum mengenai terorisme, berdasarkan suatu kriteria seperti intensi, motivasi, dan tujuan. Pendekatan ini merupakan penjabaran peristiwa umum (metode deduktif).
2.      Pengertian Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.   
Setelah menguraikan pengertian terorisme secara umum,maka perlu diketahui pengetahuan terorisme menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Pada konsinderan undang-undang tersebut bagian menimbang, dijelaskan terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilakukan langkah pemberantasan.
Namun, peraturan perundang-undangan yang berlaku samapai saat ini belum secara komprehesif dan memnadai untuk memberantas tindak pidana terorisme, sehingga Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini mutlak diperlukan. Tujuan utama lahirnya Undang-Undang ini adalah menjadikan terorisme sebgai suatu tindak pidana di Indonesia. Agar kejahatan terorisme dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, perlu diuraikan terlebih dahulu mengenai unsur tindak pidana dan subyeknya.


a.       Tindak Pidana
Jika melihat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yaitu tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, terdapat suatu istilah yang menunjukan peristiwa terorisme merupakan kejahatan, yakni istilah “Tindak Pidana”. Istilah tersebut telah digunakanoleh masing-masing penerjemah telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strfbaarfeit tersebut.
Dalam kepustakaan hokum pidana, istilah “tindak pidana” merupakan istilah Belanda. Sebenarnya banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk pada penegrtian “strafbaarfeit”.
Istilah “het strabare feit” telah di terjemahkan kedalam bahsa Indonesia sebagai:
1)      Perbuatana yang dapat/boleh dihukum,
2)      Peristiwa pidana,
3)      Perbuatan pidana,
4)      Tindak pidana.
  Lebih lanjut pembentuk undang-undang kita telah menyebut strafbaarfeit sebgai tindak pidana (P.A.F. Lamintang, 1990: 172).
Sedangkan menurut Moeljanto (2000: 54) memakai istilah perbuatan pidan meskipun tidak menerjemahkan strafbaarfeit itu, mereka menolak istilah peristiwa pidana karena pengertian yang konkret yang hanya penunjuk pada suatu peristiwa tertentu saja, misalnya matinya orang, hokum pidana tidak melarang oranng mati tetapi melarang adanya rang mati karena perbuatan orang lain. Utrecht, menyalin istilah strafbaarfeit menjadi peristiwa pidana.
Simons merumuskan bahwa strafbaarfeit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yangbersifat melawan hokum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Jonkers dan Utrecht memandang rumusan Simons meruapakann rumusan yang lengkap, yang meliputi:
1)      Diancam dengan pidana oleh hokum,
2)      Bertentangan dengan hokum,
3)      Dilakukan oleh orang yang bersalah,
4)      Orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatanya.
Van Hammel merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai berikut: Eene wetelijke, omschreven menschelijke gedraging, onrecchtmating, strafwaarding en aan schuld tewitjen (kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hokum, yang patut dipidana, dan dilakukan dengan kesalahan) (Andi Hamzah, 2008: 88).
Jika mengkalasifikasikan terorisme sebagai tindak pidana, maka unsur tersebut tersebut harus melekat dalam tindakan terorisme. Unsur yang pertama yaitu melawan hukum, unsur melawan hokum dapat memiliki dua penegertian yaitu melawan hokum secara formal dengan melakukan sesuatu terbatas pada yang dilarang undang-undang dan melawan hokum secara materil adalah melakukan sesuatu yang dilarang dalam perundang-undangan maupun berdasarkan asas hokum yang tidak tertulis (A.Fuad Usfa, 2006: 73-74).
Pencantuman unsur melawan hokum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Unsur yang kedua, yaitu unsure kesalahan (schuld). Kesalahan disamakan artinya dengan kesengajaan (opzet) atau kehendak (voomawen), geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan) ini berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah. Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet) yang berarti berbuat dengan hendak dan maksud, sedangkan dalam arti luas berarti luas berarti dolus dan culpa. Culpa sendiri berarti kealpaan, dimana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan kekurangan kebijakasanaan yang diperlukan. Unsur ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Agar dapat dipidana, dalam diri subjek dalam dan pelaku pidana tidak dapat dasr pengahpusan pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf (Jan Remmelink, 2003: 173).
Mengenai masalah unsur tindak pidana ini menurut Lamintang (900: 173) secara umum di bedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsure-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan diri si pelaku, dan termaksud didalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya.
Sedangkan unsure objektif adalah unsure-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
b.      Subyek Tindak Pidana
Dalam hokum tindak pidana yang dianggap sebagai subyek tindak pidana adalah manusia sebagai natuurlijke-persoonen, dan badan hokum atau rechts persooneen. Terkait dengan tindak pidana bahwa pertanggungjawaban pidana, bersifat pribadi artinya barang siapa melakukan tindak pidana maka ia harus mempertanggungjawabkan sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapusan pidana. Selanjutnya dalam hokum  pidana dikenal juga adanya konsep penyertaan (deelneming), konsep penyertaan ini berarti dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan atau melakukan tindak pidana.
Masalah yang berkaitan dengan pelaku dan keturutsertaan diatur dalam ketentuan pasal 55 dan 56 KUHP. Dalam KUHP terdapat lima bentuk penyertaan yaitu sebagai berikut:
1.      Mereka yang melakukan (dader) satu orang atau lebih melakukan tindak pidana.
2.      Menyuruh melakukan (doen plegen, pada prinsip orang yang mau disuruh tidak mampu bertanggungjawabkan perbuatannya.
3.      Mereka turut serta (medeplegen), beberapa orang yang mempunyai niat yang sama untuk melakukan tindak pidana.
4.      Pergerakan (uritlokking0, membujuk orang lain untuk melakukan tindak pidana.
5.      Pembantuan (medeplichtigheid), pihak yang melakukan membantu mengetahui akan jenis kejahatan yang akan ia bantu. Pertanggungjawaban pidana pembantu hanya sebatas pada kejahatan yang dibantunya saja (H.K. Moch.Anwar, 1981: 39).
Setelah menguraikan menegenai tindak pidana dan subyek tindak pidana, berikut akan diuraikan kedua unsure tersebut dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perumusan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terbagi menjadi dua, yaitu tindak pidana terorisme yang di atur dalam BAB III, dan tindak pidana lain yang terkait dengan tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB IV Undang-Undang tersebut.
Untuk merumuskan tindak pidana dalam hokum pidana biasaxnya dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1.      Menguraikan atau menyebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan.
2.      Hnaya disebut kualifikasi dari delik, tanpa menguraikan unsure-unsurnya.
3.      Penggunaan cara pertama dan kedua yaitu menyebutkan unsure-unsurnya serta diikuti pula dengan penyebutan kualifikasi dari delik yang bersangkutan.
Contoh dari pasal yang menggunakan cara perumusan tindak pidana dengan menguraikan unsure-unsurnya saja tanpa memberikan kualifikasi tindak pidananya adalah pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang isinya sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror dan rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjaara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.       
            Pasal tersebut dapat di uraikan sebagai berikut berdasarkan unsure subjektifnya dan unsure objektifnya.
1.      Unsur subjektif.
-          Setiap orang.
-          Dengan sengaja.
-          Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal.
2.      Unsur objektif.
-          Merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain.
-          Atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang stretegis.
-          Atau lingkungan hidup atau fasilitas public.
-          Atau fasilitas Internasional.
Pada pasal ini hanya menguraikan unsure-unsur tindak pidana, tetapi tidak memberikan klasifikasi tindakan tersebut sebagai tindakan terorisme, hal yang sama juga terdapat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun2003, yaitu:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud menimbulkan suasana teror dan rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat missal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran alat-alat vital yang strategis dan lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana seumur hidup”.
            Pengaturan pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut hamper sama dengan  ketentuan pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, akan tetapi terdapat perbedaan yaitu unsur “bermaksud.......”. Unsur tersebut menandakan pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan pasal percobaan tindak pidana. Sehingga yanh harus dibuktikan adalah adanya maksud untukmenimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun ancaman kekerasan belum dilakukan.
            Syarat percobaan tindak pidana pada ketentuan pasal 53 KUHP adalah:
1)      Adanya niat (voormeken), dalam arti orang itulah haruslah mempunyai niat untuk melakukan suatu kejahatan.
2)      Adanya permulaan pelaksanaan, dalam arti bahwa niat orang tesebut telah diwujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang dikehendaki itu.
3)      Pelaksanakan untuk melakukan kejahatan yang dikehendaki itu kemudian tidak selesai, dimana tidak selesainya pelaksanaan itudisebabkan oleh keadaan-keadaan yang tidak bergantung pada kemauannya, atau dengan kata lain tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan itu disebabkan oleh hal-hal berada diluar kkehendaknya sendiri ( A Fuad Usfa, 2006: 100-104).
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah contoh pasal yang dalam Undang-Undang tersebut cara merumuskannya hanya menguraikan unsure-unsur pidananya. Kedua pasal tersebut juga menggunakan pendekatan secara umum, yaitu menjadikan serangkaian tindak pidana menjadi tindak pidana terorisme.
Untuk pasal yang menggunakan cara perumusan dengan menguraikan unsur dan dan memberikan klasifikasi tindak pidana terdapat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang terdiri dari delapan belas tindak pidana yang dikategorikan tindak pidana terorisme. Sebagai contoh, dikutip dalam pasal 8 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 : 
“Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 6, setiap orang yang:
a.       Menghancurkan, membuat tidak dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan laulintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut”.
Dalam pasal tersebut, terdapat uraian unsure-unsur yaitu menghancurkan membuat tidak dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan laulintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut, hal mana perbuatan tersebut diklasifikasikan sebagai tindak pidana atau disamakan dengan tindak pidana terorisme. Pasal ini menggunakan pendekatan spesifik, yaitu menjadikan tindak pidana biasa sebagai atau disamakan dengan tindak pidana terorisme.
Selanjutnya, selain tindak pidanna terorisme dalam BAB III Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 juga di atur mengenai pidana yangberkaitan dengan terorisme contohnya hal intimidasi terhadap aparat penegaka hukum yang sedang memeriksa atau mengadili kasus terorisme, kesaksian, barang bukti, dan alat bukti palsu serta menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme.
Dengan demikian, pasal yang termasuk tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana teroris pada dasarnya merupakan tindakan yang terkait dalam upaya proses hukum  dalam kasusu tindak pidana terorisme, dan tidak berkaitan langsung dengan tindak pidana terorisme itu sendiri.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai subyek dari tindak pidana terorisme yang termaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menurut pasal 1 butir 2 dan pasal 3 dapat dilakukan oleh manusia/perorangan. Dalam rumusan pasal tersebut menyatakan bahwa subyek pelaku dalam tindak pidana terorime adalah setiap orang, yang didefifnisikan sebagai seorang, beberapa orang atau korporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari orang sipil ataupun militer maupun polisi yang bertanggungjawab secara individual atau korporasi (badan hukum , perseroan, perserikatan, organisasi, yayasan, dan laini-lain organisasi).
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini jugaterdapat pengaturan menegenai konsep penyertaan. Hal ini terlihat dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, sebagai beriukut:
“setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan:
a.       Memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme.
b.      Menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme, atau
c.       Menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme”.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini mengatur hukuman terhadap tindak pidana dalam hal terjadi penyertaan berbentuk perbuatan (medeplichtigheid), bentuk penyertaan yang lainnya juga terlihat dalam pasal 14.
Pengaturan hukuman terhadap pembantuan dalam pasal 57 ayat (2) KUHP tidak ditentukan batas minimum pemidanaan. Berbdea dengan pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang menentukan batas minimum dan maksimum pemidanaan.
Demikian aspek pidana materil dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, hal lain terkait ketentuan pidana materil yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tetap merujuk kepada KUHP berdasarkan penafsiran aturan penutup KUHP dalam pasal 103 KUHP yang menyatakan ketentuan dalam KUHP berlaku juga bagi Undang-Undang lain kecuali jika Undang-Undang lain ditentukan  lain (Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004: 82).
B.     Tinjauan Tentang Laporan Intelijen
1.    Pengertian Intelijen
Pengertian Intelijen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
orang-orang yang bertugas mencari keterangan (mengamat-amati) seseorang; dinas rahasia. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990: 52).
                        Menurut ringkasan pengertian defenisi intelijen dalam buku intelijen, adalah perkiraan, merupakan informasi terpercaya untuk digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan (Kunarto, 1999:335).
                        Menurut Kunarto (1999: 24), penegertian intelijen sebagai berikut:
a)      Intelijen sebagai bahan keterangan yang diolah (intel sebagai produk) adalah suatu hasil akhir atau produk dari pengoalahan bahan-bahan keterangan tentang berbagai penyusunan masalah yang di perguanakan sebagai bahan penyusun rencana penentuan kebijaksanaan pengambilan keputusan atau tindakan.
b)      Intelijen sebagai organisasi adalah badan atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan intelijen.
c)      Intelijen sebagai kegiatan adalah penyelenggaraan fungsi-fungsi intelijen berupa penyelidikan, pengamatan, dan penggalangan yang mencakup pengertian kegiatan yang bersifat terus-menerus dan kegiatan bersifat operasi intel, yaitu kegiatan intelijen yang dilakukan secara selektif terhadap sarana-sarana tertentu atas dasar perintah dari pimpinan yang berwenang dan dalam batas waktu yang telah di tentukan sebelumnya.
d)     Kesimpulan, intelijen merupakan usaha kegiatan meruapakan usaha kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu dan secara terorganisir untuk mendapatkan pengetahuan tentang masalah-masalah yang akan dihadapi kemudian disajikan kepada pemimpin sebagai bahan untuk mengambil suatu keputusan atau tindakan atau perumusan kebijaksanaan.
Menurut AC Manullang (2001:48) menyatakan bahwa intelijen adalah produk yang dihasilkan dari usaha pengumpulan, penilaian, analisis, pengintegrasian, dan penafsiran terhadap semua informasi yang tersedia berkaitan dengan satu atau beberapa aspek Negara asing (negara akreditasi) atau daerah operasi, dimana informasi tersebut secara langsung bermanfaat bagi pengembangan dan pelaksanaan renacana, kebijaksanaan dan operasi lebih lanjut.
Jadi, hakekat intelijen adalah kegiatan yang dilakukan secara rahasia. Berdasarkan rumusan hakekat intelijen tersebut dan pendapat para ahli, maka penegertian intelijen meliputi:
a)      Kemampuan untuk memecahkan masalah.
b)      Suatu badan yang erat kaitannya dengan Angkatan Bersenjata, yang bertugas mencegah dan mengatasi suatu keadaan yang dianggap membahayakan Negara/kepala Negara.
c)      Suatu kegiatan yang dilakukan secara rahasia, untuk memperoleh data/fakta menegenai suatu hal tertentu.
d)     Produk itu sendiri, yang berupa informasi terpercaya, sebagai hasil dari kegiatan yang dilakukan secara rahasia.
2.    Kegiatan  Intelijen
Intelijen dilakukan melalui kegiatan mencari, mengumpulkan data, mengolah dan mengamankan organisasi dan informasi, serta pengkondisian agar diperoleh suasana yang menguntungkan organisasi, dengan melakukan penggalangan (AC Manullang, 2001:51).
Penugasan kegiatan intelijen adalah tindakan yang tidak dapat disamakan dengan pendekatan tugas polisi secara konsensus. Meskipun dari sisi fungsi, pengumpulan data-data intelijen merupakan salah satu aspek utama dan penting dalam kerja polisi setiap hari, dalam konteks kegiatan tersebut intelijen criminal tidak memiliki fungsi politik secara eksplisit (G Ambar Wulan, 2009: 62-63).
Sedangkan proses kegiatan intelijen meliputi:
a)      Pengumpulan data intelijen, yang dikumpulkan dari dua sumber utama yaitu sumber terbuka dan sumber tertutup.
b)      Evaluasi dan interpretasi serta produksi dalam bentuk laporan kepada pengambilan keputusan, berupa laporan deskriptif dasar, laporan penting, atau perkiraan spekulasi (Kunarto, 1999: 38).
Dalam hal penugasan kegiatan intelijen adalah tindakan yang tidak dapat disamakan dengan pendekatan tugas polisi secara consensus. Meskipun dari sisi fungsi, pengumpulan data-data intelijen merupakan salah satu aspek utama dan penting dalam kerja polisi setiap hari. Walaupun demikian, kegiatan intelijen sebagai salah satu fungsi kepolisian memilki proporsi kerja yang memberikan peluang besar terkait dengan pelaksanaan tugasnya terhadap tindakan-tindakan infiltrasi dalam semua jenis institusi dan aspek kehidupan masyarakat.
Pengumpulan bahan intelijen yang dilakukan dalam kegiatan intelijen terdiri lima tahap, yaitu:
a)      Menyusun pertanyaan, apa yang ingin diketahui untuk dipakai sebagai bahan pengambilan keputusan, untuk ditentukan kebutuhan konkretnya.
b)      Mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dengan menemukan dimana dan dari siapa suatu informasi yang paling tepat diperoleh.
c)      Produksi intelijen, dimana kumpulan data kasar dibentuk, dievaluasi, disusun, diperiksa dan dibandingkan untuk dijadikan jawaban terbaik atas pertanyaan awal.
d)     Mengomunikasikan pemrosesan informasi dengan pengambilan keputusan agar benar-benar bermanfaat, informasi harus disajikan tepat waktu, akurat dan mudah dipahami.
e)      Penggunaan intelijen, pengambilan keputusan dapat mengabaikan infprmasi yang disajikan, atau menggunakan informasi yang diperoleh sebagi dasar pengambilan tindakan selanjutnya (Kunarto: 1999: 27).


3.    Produk Intelijen
Tahapan untuk mengahsilkan suatu produk intelijen meliputi kegiatan:
a)      Perencanaan, Meliputi:
1)     Pemberian arahan kepada kegiatan peneyelidikan dalam bentuk perintah/permintaan dilakukannya penyelidikan secara tertutup atau terbuka.
2)     Bahan keterangan apa yang harus dikumpulkan sesuai dengan kebutuhan .
3)     Harus selesai tepat waktu.
4)     Badan pengumpul mana yang digunakan, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
b.      Pengumpulan Informasi/Keterangan
1)      Secara terbuka atau tertutup.
2)      Cara penelitian, pengamatan, deteksi, penyusupan Badan Pengumpul Keterangan.
3)      Badan Pengumpul Keterangan organik berada dibawah komando langsung mengumpulkan keterangan atas perintah.
4)      Badan pengumpul keterangan non organik dan badan pengumpul Keterangan lain bekerja sesuai permintaan.



c.       Pengolahan
Proses pengolahan meliputi:
            Pencatatan-penilaian-analisa-integrasi-kesimpulan dan penafsiran. Sehingga bahan keterangan yang pada mulanya masih merupakan bahan mentah ditransformasikan menjadi produk intelijen (Kunarto, 1999: 27).
Sebagai hasil dari proses kegiatan intelijen tersebut, diperoleh suatu hasil yaitu laporan intelijen. Pada umunya laporan intelijen dikategorikan kedalam dua karakteristik, yaitu berdasarkan ketelitian sumber berita dan berdasarkan ketelitian informasi. Berdasrkan sumber berita dan berdasrkan ketelitian informasi. Berdasarkan sumber berita, terdiri dari beberapa tingkatan yaitu:
a)      A= sangat dipercaya
b)      B= dapat dipercaya
c)      C= biasanya dapat dipercaya
d)     D= diragukan/biasanya tidak dapat dipercaya
e)      E= tidak dapat dipercaya
f)       F= kepercayaanya tidak dapat dinilai.
Sedangkan berdasarkan ketelitian informasi, terdiri dari:
a)      1 = berita yang dibenarkan dengan adanya berita yang serupa
b)      2 = berita yang mengandung kebenaran
c)      3 = berita yang mungkin mengandung kebenaran
d)     4 = kebenaran yang di ragukan
e)      5 = kebenaran berita tidak dapat dinlai.
Laporan intelijen yang mempunyai kualifikasi sangat dapat dipercaya dan dianggap sahih adalah laporan intelijen kualifikasi A1 dan A2. Pengertian laporan intelijen A1 adalah laporan intelijen yang diperoleh dari sumber yang sepenuhnya dipercaya dan kebenarannya diperkuat dengan adanya bukti lain. Sedangkan laporan intelijen dengan kualifikasi A2 adalah laporan intelijen yang diperoleh dari sumber yang biasanya dapat dipercaya dan tingkat kebenaran laporannya sangat mungkin benar. 
Kegiatan intelijen ditujukan untuk menghasilkan suatu produk intelijen yang berupa laporan intelijen yang mempunyai nilai keakuratan tinggi setelah melalui proses pengolahan dan analisa secara komprehensif yang dilakuka n oleh suatu badan resmi yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Keputusan pemrintah atas laporan intelijen mempunyai 2 (dua) fungsi. Fungsi preventif ditujukan untuk upaya pencegahan yang meliputi bagaimana seandainya terjadi suatu peristiwa dan menentukan langkah yang tepat untuk menangani peristiwa tersebut. Selanjutnya, fungsi reperesif yang menitikberatkan pada upaya penyelesaian yang meliputi tindakan-tindakan konkret yang harus secepatnya di ambil agar sesuatu yang bertentangan dengan hkum sehingga lebih dapat diisesaikan, secepat (http.  Lintangsurya ningtias. Blogsopt.com)
C.    Tinjauan Tentang Bukti Permulaan
Defenisi bukti permulaan yang cukup berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, bukti permulaan yang cukup adalah “Bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14”. Sementara pasal butir 14 KUHAP menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatan dan keadaanya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebgai pelaku tindak pidana. Berdasarkan hasil rapat tenaga kerja gabungan mahkamah agung, kehakiman, kejaksaan, kepolisian (Rakergap Makehgapol), dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan bukti permulan yang cukup, seyogyanya minimal laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya (Harun M.Husein,1991:112).
Menurut Kapolri dalam SKEP/04/1982 tanggal 18 Februari 1982 ditentukan bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung didalam dua diantara:
1.      Laporan Polisi
2.      Berkas Acara Pemeriksaan ditempat Kejadian Perkara (TKP)
3.      Laporan Hasil Penyelidikan
4.      Keterangan Saksi/Ahli, dan
5.      Barang Bukti.
Sedangkan menurut Rapat Kerja Makehjapol tanggal 21 Maret 1984 menyimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukkti lainnya. Karena penangkapan ini adalah bentuk pelanggaran hak bebas seseorang yang belum terbukti bersalah, berdasarkan ketentuan pasal 19 ayat (1)KUHAP waktu penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari. Apabila penangkapan dilakukan lewat lewat dari satu hari, berarti telah terjadi pelanggaran hokum dengan sendirinya penangkapan dianggap tidak sah.
Mengenai Bukti Permulaan Lamintang menyatakan bahwa “secara paraktisi bukti permulaan yang cukup dalam pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai”bukti minimal” berupa alat bukti seperti yang termaksud dalam pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan” (Harun M.Huesin, 19991: 113).
Menurut M. Yahya Harahap (2007:158), mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup, pembuat Undang-Undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan yang demikian bisa menimbulkan “ketidakpastian” dalam ooraktek hokum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperaadlian untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup. Yang paling rasional dan realistis, apabila perkataan “permulaan” yang dibuang, sehingga kalimat itu berbunyi “diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup”. Jika seperti ini rumusan pasal 17, pengertian dan penerapan itu lebih pasti.
Jika ditelaah bukti permulaan yang cukup, pengertiannya hamper serupa dengan apa yang dirumuskan pasal 183 KUHAP, yakni harus berdasar prinsip “batas minimal pembuktian” yang terdiri dari sekurang-kurangnya dua alat bukti bisa terdiri dari dua orang saksi atau di tambah saksi ditambah satu alat bukti lain.
Metode kerja penyidik menurut KUHAP harus dibalik, lakukan  penyelidikan yang cermat dengan tehnik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan alat bukti, baru dilakukan pemeriksaan penyidikan ataupun penangkapan dan penahanan.
Sementara berdasarkan pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dijelaskana sebagai berikut:
1.      Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapatkan menggunakan setiap laporan intelijen.
2.      Penetapan bahwa sudah dapat atau di peroleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3.      Proses pemeriksaan sebagaiman yang dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4.      Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka ketua pengadilan negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Berdasarkan pasal tersebut, terdapat pengaturan baru yaitu penggunaan laporan intelijen sebagai bukti permulaan yang cukup.
Dari uraian tersebut diatas, dengan mengacu pengertian tentang bukti permulaan menurut undang-undang maupun para ahli maka penulis menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana, dimana bukti tersebut memenuhi batas minimal pembuktian yakni apabila telah ditemukan sekurang-kurangya dua alat bukti yang sah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP (Sumitro, 1994: 61). 
D.    Penyelidikan, penyidikan, dan Upaya Paksa: Penangkapan, Penggeledahan, dan Penahanan dalam Tindak PidanaTerorisme.
Dalam rangka penanganan tindak pidana terorisme, pemerintah Indonesia telah membuat aturan dalam bentuk hukum acara pidana khusus dimana ada beberapa ketentuan yang tidak ada ataupun berbeda dengan KUHAP. Pada dasarnya, dibentuknya hokum acara yang berbeda bertujuan disatu pihak, memberikan landasan bagi alat kekuasaan negarauntuk melakukan tindakan pemeberantasan dan pencegahan terhadap terorisme, namun di lain pihak memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hukum acara pidana yang dipergunakan untuk menangani tindak pidana terorisme, pada dasarnya berlaku ketentuan yang tercantum dalam KUHAP kecuali undang-undang Pemberantasan tindak Pidana Terorisme sendiri menentukan lain. Atau dengan perkataan lain hukum acara yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah hokum acara pidana khusus (lex spesialis) (Abdull Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004: 103).
Untuk memperjelas letak Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorismedalam hokum pidana Indonesia, dapat dilihat berikut ini:
1.      Penyelidikan
Pasal 1 butir 5 KUHAP, dinyatakan penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan meskipun penyidikan berdiri sendiri (Djoko Prakoso, 1986: 110).
Peneyelidikan juga merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahuui tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat , pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Fungsi dan wewenang dari penyelidik tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sehingga baik fungs maupun wewenangnya tunduk terhadap pengaturan yang diatur dalam KUHAP, adapun fungsi dan wewenang dari penyelidik diatur dalam pasal 5 KUHAP, yaitu sebagai berikut:
1)      Menerima laporan atau pengaduan,
2)      Mencari keterangan dan barang bukti,
3)      Menyuruh berhenti orang yang dicurigai,
4)      Tindakan lain menurut hakim.
Penyelidikan dalam kasus terorisme berarti serangakaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan terorisme atau yang diduga sebagai terorisme, dilakukan untuk melakukan penyelidik, apakah terhadap peristiwa yang ditemukan itu dapat dilakukan “penyelidikan”atau tidak. Penyelidikan itu dapat disebut pula “pengusutan”, yakni merupakan usaha mencari menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga sebagai terorisme/aksi terorisme (Koesno, 2003:5 dalam Abdul wahid, Sunardi, Muhammad Imam sidik, 2004: 104).
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tidak diatur secara khusus mengenai siapa yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan dalam undang-undang ini juga memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut safeguarding rules.
Ketentuan tersebut antara lain memperkenalkan lembaga hokum baru dalam hokum acara pidana yang disebut dengan hearing dan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan legal audit terhadap seluruh dokumen atau laporan intelijen yang disampaikan oleh penyelidik atau menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindak pidana terorisme (Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004: 106).
2.      Penyidikan
Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP, penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menentukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya (Sumitro, 1994: 56).
Terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan suatu tindak pidana, dapat diketahui oleh penyelidik dengan berbagai cara, mengetahui sendiri, atau menerima laporan atau pengaduan dari seseorang. Dalam hal demikian, penyidik perlu segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan seperti yang dotentukan dalam pasal 106 KUHAP. Pada tahap penyidikan titik berat tekananya diletakan pada  tindakan mencari serta mengumpulkna bukti  supaya tindak pidana atau peristiwa pidana yang ditemukan menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya (Soetomo, 1990: 20).
Dalam pasal 7 KUHAP lebih lanjut dijelaskan menegenai wewenang dari penyidik antara lain melakukan serangkaian upaya paksa yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan serta melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. Selanjutnya dalam undang-Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdapat ketentuan dengan pengatuaran secara khusus terkait penyidikan jika dibandingkan dalam KUHAP. Hal ini terlihat dalam pasal 25 ayat (1)  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 sebagai berikut:
“penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hokum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalalm peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini”.
Adapun yang membedakan yang membedakan pengaturan dalam KUHAP dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah terkait dengan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, dan penggeledahan.
Dalam pasal 6 ayat(1) huruf a KUHAP dinyatakan yang berhak menjadi penyidik adalah sebagai berikut:
a)      Pejabat penyidik Polri,
b)      Penyidik pegawai Negeri Sipil.
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, tidak diatur secara khusus mengenai siapa yang berwenang melakukan penyidikan sehingga ketentuan menegenai yang berhak menjadi penyidik mengikuti ketentuan yang diatur dalam KUHAP (Abdul Wahid, Sunardi, Munhammad Imam Sidik,2004: 106).
3.      Upaya Paksa: Penangkapan, penggeledahan, dan Penahanan.
Upaya paksa adalah bentuk upaya dalam mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi sekaligus menemukan siapa tersangkanya dan tersangka dan terkadang mengurangi kemerdekaan seseorang serta mengganggu kebebasan seseorang (Soetomo, 1990:20).
a)      Penangkapan
Salah satu tindakan yang mungkin tidak bisa dihindarkan sebgai langkah permulaan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan ataupun mengadili adalah “penangkapan” (Atang Ranaemiharja), 1983: 39).
Pengertian penangkapan ditinjau dari etimologi berasal dari kata tangkap. Kata tangkap menurut pendapat Sutan Mohammad Zain adalah memegang suatu yang bergerak cepat, lepas, jadi penangkapan adalah perbuatan mengangkap (Sumitro, 1994: 60).
Pengertian penangkapan juga dapat dijumpai pada pasal 1 butir 20 KUHP:
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur  dalam Undang-Undang ini”.
Penangkapan (arrest) memang berbeda dengan penahanan (detention) baik dalam hal tugas, syarat, waktu, maupun prosedurnya.
Pasal 16 KUHAP menyebutkan penyidik dalam hal ini mempunyai wewenang untuk melakukan terhadap tersangka dilakukan:
1)      Untuk kepentingan penyelidikan.
2)      Untuk kepentingan penyelidikan (Djoko Prakoso, 1986: 117).
Jadi yang berwenang untuk melakukan penangkapan adalah:
1)      Penyelidik atas perintah penyidik, yang dimaksud penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
2)      Penyidik yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Inodnesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
3)      Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
4)      Siapa saja yang melihat, mendengar serta menyaksikan terjadinya tindak pidana, khususnya dalam hal tertangkap tangan (Djoko Prakoso, 1986: 118).
Dalam pasal 18 KUHAP, dijelaskan terdapat dua jenis penagkapan yaitu penangkapan dengan surat perintah penangkapan dan penangkapan tanpa surat perintah dalam hal tertangkapa tangan (Sitompul, 1985: 13).
Pasal 17 KUHAP menjelaskan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang cukup”, yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai denga pasal 1 butir 14 KUHAP. Pasal ini menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana (Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004: 107).
Ketentuan penangkapan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur ketentuan yang berbeda dengan KUHAP yaitu dalam hal Bukti permulaan yang cukup. Dalam pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dijelaskan sebagai berikut:
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Pengaturan terkait dengan batas waktu penangkapan, dalam pasal 19 ayat (1) KUHAP batas waktu penangkapan adalah satu hari, sedangkan dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dijelaskan, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7x24 jam (tujuh kali dua puluh empat jam). Dengan demikian, seseorang yang ditangkap karena dugaan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup , seseorang tersebut dapat ditangkap dalam batas waktu tujuh kali dua puluh empat jam.
b)      Penggeledahan
Penggeledahan merupakan bagian dari wewenang dari penyidik. Terdapat perbedaan antara penahanan dengan penggeledahan dalam hal instansi yang melakukannya. Pada penahanan, masing-masing instansi penegak hokum dalam semua tingkat pemeriksaan berwenang melakukan penahanan, sedangkan dalam penggeledahan yang berwenang adalah penyidik. Meskipun demikian, dalam penggeledahan penyidik tidak bertindak sendiri melainkan ada campur tangan dari ketua pengadilan negeri dalam bentuk surat izin untuk dapat melakukan penggeledahan.
Penggeledahan dibagi menjadi dua, yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan, dan atau penangkapan. Sedangkan yang dimaksud dengan penggeledahan  badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya untuk disita (Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil, 2010: 49-53).
c)      Penahanan
Penegertian penahanan menurut pendapat W.J.S Poerwadarmita ialah perbuatan menahan, yaitu mengurung atau memenjarakan sementara (Djoko Prakoso, 1986: 121). Sedangkan menurut pasal 1 butir 21 KUHAP menyebutkan :
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cata yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Dari dua pengertian tersebut terliaht semua instansi penegak hukum memiliki wewenang dalam hal penahanan, tergantung dari tujuan penahannya. Sebagai contoh, untuk melakukan penyidikan pelaku kejahatan dapat dikenakan penahanan.
Dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menjelaskan penahanan dilakukan terhadap seseorang atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,  dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melakukan:
a.       Melarikan diri
b.      Merusak atau menghilangkan barang bukti, atau
c.       Mengulangi tindak pidana (S.M Amin, 1975: 153 dalam Djoko Prakoso, 1986: 123).
Ketentuan mengenai batas waktu penahanan dalam KUHAP dibagi berdasarkan instansi mana yang melakukan penahanan. Jika penahanan tersebut diberikan oleh penyidik, maka batas waktu penahanannya paling lama dua puluh hari, dan dapat diperpanjang paling lama empat puluh hari. Sehingga maksimal penahanan atas perintah penyidik adalah selam enam puluh hari.atau sekitar dua bulan.
Penahanan atas perintah penuntut umum hanya berlaku paling lama dua puluh hari, dan guna kepentingan pemeriksaan ysng belum selelsai dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan Negeri yang berwenang paling lama tiga puluh hari. Sehingga seorang tersangka paling lama ditahan atas perintah penuntut umum adlah lima puluh hari.
Jika penahanan atas dasar perintah hakim pengadilan Negeri, penahanan tersebut dilakaukan paling lama tiga pulu hari dan guna kepentingan pemriksaan yang belum selesai , dapat diperpanjang oleh ppengadilan negeri untuk paling lama enam puluh hari sehingga lama penahanan Sembilan puluh hari.
Dalam penyidikan delik terorisme mengenai panahanan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana terorisme terdapat ketentuan khusus. Dalam rumusan  pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan:
“Untuk kepentingan penyidkan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lam 6 (enam) bulan”.
Mengenai penahanan atas perintah hakim pengadilan negeri sebagaimana yang diatur dalam pasal 26 ayat (1) KUHAP tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, sehingga ketentuannya mengikuti ketentuan dalam KUHAP (Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, 2004: 115). 
BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang penulis akan gunakan adalah penelitian hokum normatif. Penelitian hokum normatif adalah suatu penelitian hokum yang mengkaji norma-norma tertulis dalam produk hokum tertulis dari berbagai aspek meliputi aspek teori hokum, sejarah hokum, filsafata hokum, perbandingan hokum dan asas-asas hokum (Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2009: 2009:14).
B.     Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hokum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan Undang-Undang (statute approach ), Pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), Pendekatan konseptual (conceptual approach), (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 93).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), yang dilakukan dengan melakukan telaah terhadap pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang penggunaan laporan intelijen sebagai bukti permulaan untuk melakukan penangkapan.
C.    Jenis dan Sumber Bahan Hukum 
Jenis dan sumber bahan hokum yang di perlukan dalam penelitian ini adalah bahan hukum sekunder. Bahan hokum sekunder yaitu bahan hokum yang diperoleh melalui studi kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis terhadap tinjauan yuridis atas penggunaan lapaoran intelijen sebagai bukti permulaan yang untuk melakukan penangkapan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Bahan hokum tersebut:
1.    Bahan hokum Primer yaitu bahan hokum yang mengikat antara lain sebagai berikut:
a)      Undang-Undang 1945
b)      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
c)      Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
d)     Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
e)      Undang-Undang  Nomor 15 Tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Terorisme Menjadi Undana-Undang.
2.    Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hokum yang member penjelasan terhadap bahan hokum primer antara lain buku, tulisan ilmiah, makalah, jurnal, skripsi, hasil penelitian ilmiah, serta laporan hokum media cetak dan media elektronik.
3.    Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hokum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hokum primer dan bahan hokum sekunder yang terdiri atas:
a)      Kamus Hukum
b)      Bahan yang bersumber dari internet
c)      Kamus Bahasa Indonesia
d)     Kamus Bahasa Inggris.
D.    Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum   
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian yang merupakan penelitian normatif, maka metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka dengan cara membaca buku, mempelajari literatur dan mengumpulkan data-data yang selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis.
E.     Tehnik Analisis Bahan Baku
Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan diolah secara teratur dan sistematis, selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif yaitu meneliti bahan hokum yang ada dalam bentuk uraian secara deskriptif kualitatif untuk menjawab rumusan masalah.
Metode deskriptif kualitatif yaitu analisis yang tidak didasarkan atas angka-angka tetapi melalui uraian-uraian terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dengan menghubungkan bahan hukum sekunder guna memperoleh gambaran yang jelas dan lengkap menegenai maslah yang akan dibahas.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMABAHASAN

Laporan Intelijen Sebagai Bukti Permulaan Untuk Melakukan Penangkapan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia
            Penangkapan pada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana merupakan rangkaian penyidikan, yang didahului dengan penyelidikan. Penyelidikan pada perkara pidana dimaksudkan mencari bukti permulaan atau alat bukti yang cukup agar melanjutkan ketahap selanjutnya, dapat dikatakan telah melakukan tindakan pidana jika perbuatan seseorang tersebut telah memenuhi unsure-unsur yang dikemukakan para ahli yang salah satunya adalah Moeljanto (2000: 43) yaitu, adanya perbuatan ( manusia), yang memenuhi rumusan dalam Undang-Undang (syarat formil), dan bersifat melawan hokum (syarat materil). Sehubungan dengan penangkapan, pada pasal 17 KUHAP dijelaskan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan.
            Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pemberantasan tindaak pidana terorisme mengenai bukti permulaan dapat dilihat pada pasal 26 yang berbunyi:
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Menurut pasal tersebut pada ayat (1) dinyatakan bahwa “untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup”, penyidik dapat menggunakan laporan intelijen. “Kata dapat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bisa, mampu, sanggup, boleh, mungki (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990: 209).
1.      Pengertian Laporan Intelijen sebagai Bukti  Permulaan Untuk melakukan Penangkapan.
Telah dijelaskan dalam pasal 26   Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa laporan intelijen erat kaitannya dengan bukti permulaan, oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu ketentuan dalam undang-undang dan sumber-sumber lain diluar undang-undang yang berisi ketentuan yang memiliki hubungannya dengan bukti permulaan, sehingga pada akhirnya dapat diketahui apa yang dimaksud dengan bukti permulaan. Ketentuan tersebut antara lain sebagai berikut:
1)      Menurut pasal 1 butir 14 KUHAP, menyatakan bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan hal tersebut seseorang dapat diduga sebagai tersangka dan selanjutnya dapat dilakukan penangkapan jika bukti permulaan tersebut telah sesuai pada dirinya. Penyidik harus mengumpulkan bukti permulaan terlebih dahulu untuk menangkapa seseorang, artinya harus terdapat cukup bukti atau fakta dari informasi yang sangat dapat dipercaya untuk menduga seseorang sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti bukan sekedar konklusi.
2)      Menurut pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang melakukan tindak pidana karena bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana sesuai bunyi pasal 1 butir 14 KUHAP, pengertian tersebut tidak jelas karena hanya mengulang bukti permulaan tanpa menjelaskan arti yang sesungguhnya.
Jadi pengertian ketentuan Pasal 17 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 1 butir 14 KUHAP maka bukti permulaan dapat diartikan sebagai suatu nilai bukti yang telah mampu atau telah selaras untuk menduga seseorang sebagai tersangka, dimana bukti yang diperoleh penyidik telah bersesuian dengan keadaan yang dijumpai pada seseorang tersebut.
3)      Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, pengertian bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai tindak pidana terorisme. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan apa itu bukti permulaan hanya mengulang kata bukti permulaan sama halnya yang ada dalam KUHAP.
b.      Sumber Lain diluar Undang-Undang
1)      Menurut Lamintang mengatakan bahwa bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-butki minimal, berupa alat-alat bukti seperti yang dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan (Harun M. Husein, 1991: 113).
Alat bukti pada pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu:
a)      Keterangan saksi,
b)      Keterangan ahli,
c)      Surat,
d)     Petunjuk,
e)      Keterangan terdakwa.
Semua alat bukti tersebut dapat dijelaskan defenisisnya masing-masing yaitu:
a)      Keterangan saksi
Alat keterangan saksi diatur dalam pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP. Bila lebih cermat lagi terhadap aspek, saksi dikenal sebagai person (Bab I ayat (1) anka 26 KUHAP) dan sebagai alat bukti (Bab I ayat (1) angka 27 KUHAP), Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Untuk lebih jelasnya ketentuan tersebut menyebutkan bahwa:
Saksi dalam KUHAP pada pasal 1 butir 27 yaitu:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, dan ia alami sendiri”.
Sedangkan keterangan saksi terdapat dalam pasal 1 butir 27 yaitu:
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan-alasan dari pengetahuannya itu”.
               Menurut Lilik Mulyadi (2007: 62), apabila seseorang yang mendengar, melihat, dan mengalami sendiri suatu perkara pidana kemudian orang tersebut diminta keterangannya serta dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), secara yuridis orang tersebut statusnya masih sebagai saksi dan belum pula sebagai keterangan saksi karena keterangan tersebut belum “saksi nyatakan disidang pengadilan” (Pasal 185 Ayat (1)  KUHAP).
b)      Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 Butir 28 KUHAP).
Keterangan ahli sebagai gradasi kedua alat bukti yang sah (Pasal 184 Ayat (1) huruf b KUHAP) adalah “apa seorang ahli dinyatakan disidang pengadilan” (Pasal 186 KUHAP). Tapi menurut penjelasan Pasal 186 KUHAP menyebutkan keterangan ahli juga dapat diberikan pada saat pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, (Lilik Mulyadi, 2007: 183).
c)      Surat
Pada KUHAP secara substansial tentng bukti surat ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
1.      Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
2.      Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat olleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjdai tanggung jawabnya dan orang yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal keadaan.
3.      Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadannya.
4.      Surat lain yang hanya dapat berlaku jika hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Berdasarkan keterangan diatas maka pada hakikatnya surat sebagai alat bukti sah menurut undang-undang jika memenuhi kriteria sebagai berikut ini:
1.      Surat tersebut dibuat atas dasar sumpah jabatan, dan
2.      Surat itu dibuat dengan sumpah (Lilik Mulyadi, 2007: 92).
d)     Petunjuk
Petunjuk adalah suatu kejadian-kejadian atau keadaan hal lain, yang keadaannya dan persamaannya satu sama lain maupun dengan peristiwa itu sendiri, nyata menunjukan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana. Didalam pasal 188 KUHAP menyatakan yang dimaksud dengan petunjuk adalah:
1.      Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainnya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2.      Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
·        Keterangan saksi;
·        Surat-surat;
·        Keterangan terdakwa.
3.      Penilaian atau kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan beradasarkan hati nurani.
Untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan dakwaannya, maka diperlukan beberapa petunjuk dimana undang-undang menyebutkan “kejadian atau keadaan yang karena ada persesuaiannya” dan seterusnya. Sehingga kejadian tersebut dianggap sebagai petunjuk-petunjuk karena ada persesuaian dengan tindak pidana yang terjadi, yaitu antara kejadian itu ada hubungan yang masuk akal (logis). Hubungan yang logis ini erat kaitannya dengan keterangan saksi, surat-surat keterangan terdakwa. Penilaian yang tepat dari petunjuk sebagai alat bukti diserahkan pada kebijaksanaan hakim.
e)      Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa dalam persidangan yang dinyatakan dihadapan hakim, merupakan keterangan yang menggambarkan bagaimana suatu peristiwa telah terjadi. Kalau keterangan terdakwa dijadikan bukti, maka ia harus diiringi dengan alat bukti lain. Pasal 189 memperinci keterangan terdakwa sebagi berikut:
1.       Keterangan terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri, atau alami sendiri.
2.       Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti sidang, asalkan keterangan itudidukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3.       Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4.       Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakn kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.
2)         

    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar