Minggu, 31 Agustus 2014

“PELAKSANAAN POLITIK HUKUM PIDANA DALAM UPAYA MENANGGULANGI KEJAHATAN”



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan, baik dalam arti sebagai tindak pidana (konsepsi yuridis) maupun dalam arti sebagai perilaku yang menyimpang (konsepsi sosiologis), eksistensinya diakui dan diterima sebagai suatu fakta, baik oleh masyarakat yang paling sederhana maupun oleh masyarakat yang paling modern. Salah satu alasan pengakuan terhadap eksistensi kejahatan tersebut, karena kejahatan itu merupakan salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat merugikan masyarakat, seperti pemerkosaan, pembunuhan, penganiayaan, perampokan dan lain-lain.
Kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat merugikan masyarakat (karena mengancam norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial), tidak saja diakui oleh para ahli secara perorangan atau oleh masyarakat tertentu, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa melalui kongres-kongres internasional, antara lain dinyatakan di dalam :
a.    Laporan Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa, telah dinyatakan, bahwa tidak diragukan lagi kejahatan telah membawa akibat-akibat sebagai berikut :
1)        Mengganggu atau merintangi tercapainya tujuan nasional;
2)        Mencegah penggunaan optimal sumber-sumber nasional.
b.    Kongres ke-6 tahun 1980 di Caracas, dalam salah satu pertimbangan deklarasinya, antara lain dinyatakan :
“Bahwa fenomena kejahatan melalui pengaruhnya terhadap masyarakat, mengganggu seluruh pembangunan bangsa-bangsa, merusak kesejahteraan rakyat baik spiritual maupun material, membahayakan martabat kemanusian dan menciptakan suasana takut dan kekerasan yang merongrong kualitas lingkungan hidup”.
Berdasarkan luasnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan, dapat dipahami apabila bangsa-bangsa di dunia berupaya dengan segala daya yang ada untuk melakukan penanggulangan terhadap kejahatan.
Salah satu upaya penanggulangan terhadap kejahatan yang telah dilakukan selama ini bahkan merupakan cara yang paling tua setua peradaban manusia itu sendiri, ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana. Beberapa alasan penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, dikemukakan oleh :
a.  Roeslan Saleh, menyatakan :
1) Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan yang hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan dalam dari batasbatas kebebasan pribadi masing-masing;
2) Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus ada reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja;
3) Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan kepada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
b. H.L. Packer, menyatakan :
1) Sanksi pidana sangatlah dipelukan : kita tidak dapat hidup, sekarang maupun dimasa yang akan datang tanpa pidana;
2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya itu;
3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama atau terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancaman yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-hemat dan digunakan secara manusiawi. Sebaliknya ia merupakan pengancaman apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.
c.  Marc Ancel, menyatakan :
Sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap sipelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni dan pidana merupakan lembaga-lembaga yang harus tetap dipertahankan.
d. Muladi, menyatakan :
Hukum pidana dan pidana masih tetap diperlukan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena di dalamnya tidak saja terkandung aspek rehabilitasi dan koreksi, tetapi juga aspek pengamanan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang berat.
Pengguna hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, dalam kenyataanya bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, tetapi lebih parah daripada itu telah menimbulkan penderitaan yang sangat besar bagi yang terkena, baik sebagai akibat dari proses menegakkannya (dalam arti sempit) maupun sebagai akibat dari pengenaan pidananya. Tidak yang selalu bersifat sejahtera (welfare), baik tujuan jangka pendek berupa resosialisasi terpidana, tujuan menengah berupa pengendalian kejahatan, maupun tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial, seringkali bersifat unwelfare sebagai dampak penerapan sanksi negatif berupa pidana, baik hal ini berupa hilangnya kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya harta benda, hilangnya nyawa, stigma sosial, dan sebagainya[1].
Dengan kata lain, dalam kenyataannya hukum pidana telah gagal melaksanakan fungsinya, yaitu menanggulangi kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan pemerintah dalam menanggulangi kejahatan (fungsi sekunder). Kegagalan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, terbukti dengan meningkatnya kejahatan dari tahun ke tahun. Peningkatan itu tidak hanya dari segi kuantitasnya, tetapi juga pada kualitasnya[2]. Misalnya penggunaan teknologi canggih dan perubahan pola modus operandi yang melahirkan kejahatan white collar, seperti kejahatan korporasi, kejahatan pemalsuan pajak, kejahatan komputer, pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, penipuan konsumen dan sebagainya dengan korban yang tidak hanya berorienasi kepada individu, tetapi juga kepada masyarakat dan bahkan negara. Barda Nawawi Arief, menyatakan, bahwa “tindak pidana ekonomi dan tindak piana lingkungan merupakan salah satu bentuk dan dimensi perkembangan kejahatan yang ada di dunia internasional. Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa membicarakan beberapa bentuk dan dimensi kejahatan[3], antara lain :
a. Crime as Business, yaitu bentuk kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan material melalui kegiatan dalam bidang usaha (bisnis) atau industri, yang pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan terpandang di dalam masyarakat.
b. Perbuatan kekerasan yang bersifat transnasional dan internasional yang bisa disebut perbuatan “terorisme”.
c.       Kejahatan yang berhubungan dengan perpindahan tempat, misalnya mengenai pelanggaran paspor dan visa, pelacuran dan sebagainya.
Masalah yang berhubungan dengan pengungsi, antara lain pengalihan bantuan dan spionase. Menurut Muladi, “Perkembangan kejahatan ini telah melewati batas-batas negara dan menunjukkan adanya kerja sama kejahatan yang bersifat regional dan internasional[4]. Hal ini nampaknya merupakan hasil sampingan dari perkembangan sarana transportasi dan komunikasi modern”.
Terdapatnya masalah dalam penanggulangan kejahatan melalui penegakan
hukum pidana, telah menimbulkan kritik dan kecaman yang sangat pedas terhadap penggunaan hukum pidana dan pidana. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan (hukum) pidana oeh Gene Kassebaum disebut sebagai older philosophy of control. Pendapat lain menyatakan, bahwa (hukum) pidana merupakan “peninggalan dari K ebiadaban kita masa lalu (a vestige of our savage past)” yang seharusnya dihindari. Pendapat ini nampaknya didasarkan pada pandangan, bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam. Memang sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Dikemukakan selanjutnya bahwa gerakan pembaharuan pidana di Eropa Kontinental dan di Inggris, terutama justru merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana.
Atas dasar pandangan yang demikian pulalah kiranya, ada pendapat yang menyatakan bahwa teori retirbutif atau teori pembalasan dalam hal pemindanaan merupakan a relic of barbarism[5]. Disamping kegagalan hukum pidana memenuhi fungsinya, dasar pemikiran lain yang menjadi penyebab penolakan terhadap penggunaan hukum pidana dan pemidanaan dalam menanggulangi kejahatan, yakni adanya paham “determinisme” yang menyatakan, bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan, karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor-faktor lingkungan kemasyarakatan. Dengan demikian, kejahatan tidak dapat dipersilahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana. Karena seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidaknormalan organic dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya, melainkan tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan memperbaiki. Pandangan determinisme inilah yang menjadi ide dasar dan sangat mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi, dengan tokohnya antara lain Lambroso, Garofalo dan Ferri.
Kampanye anti pidana tersebut masih terdengar di abad ke-20 ini, dengan slogan barunya yang terkenal the struggle against punish atau abolition of punishment. Ditemukan oleh seorang ahli psychiatry forensic sekaligus seorang kriminolog bernama Olof Kingberg. Bahwa kejahatan pada umumnya merupakan perwujudan dari ketidaknormalan atau ketidakmatangan si pelanggar (the exoression of an offrenders abnormality or immaturity) dari pada (punishment). kriminolog lainnya bernama Karl Mengatakan, “sikap memidana” (punitive Attitude) harus diganti dengan :sikap mengobati” (therepeutic attitude) Ide penghapusan pidana ini dikemukakan pula oleh Filippo Gramatica, seorang tokoh ekstrim dari aliran defense sociale yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern. Menurut Gramatica, hokum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang[6].
Tujuan utama hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan tempatnya digantikan oleh pandangan tentang perbuatan anti Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengadakan suatu penelitian yang dituangkan dalam sebuah tesis yang diberi judul “Pelaksanaan Politik Hukum Pidana dalam upaya Menanggulangi Kejahatan”.
B. Perumusan Masalah :
Berdasarkan uraian dalam bab pendahuluan di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
1.    Apakah yang dimaksud Politik Hukum Pidana ?
2. Bagaimanakah Pelaksanaan Politik Hukum dalam Penanggulangan Kejahatan ?
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian :
a.       Untuk mengetahui dan menjelaskan pengertian dan ruang lingkup politik hukum pidana;
b.      Untuk mengetahui dan menjelaskan fungsi politik hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan.
2. Kegunaan Penelitian :
a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagiperkembangan ilmu hukum di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana[7].
   b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan dan alternative bagi pemerintah dan penegakan hukum dalam rangka penanggulangan terhadap kejahatan.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian menurut Robert Mayer dan Ernest Greenwood adalah suatu pendekatan umum kearah fenomena yang telah dipilih peneliti untuk diselidiki[8]. Dengan demikian metode penelitian ini melihat kepada pelaksanaan politik hokum pidana dalam menanggulangi kejahatan di masyarakat. Dengan demikian metode penelitian merupakan sejenis logika yang mengarahkan penelitian. Pokok-pokoknya adalah sebagai berikut :
1.  Pendekaan Masalah :
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normative dan pendekatan yuridis empiris karena penelitian ini melihat kepada pelaksanaan politik hokum pidana dalam menanggulangi kejahatan.
2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan, yang dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam masalah penegakan hokum pidana. Sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, terbagi dalam bahan hokum primer, bahan hokum sekunder dan bahan hokum tersier.
3. Penentuan Populasi dan Sampel
Penentuan Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah penyidik dan jaksa yang ada di wilayah POLDA Sulawesi Tenggara. Dalam menentukan sample dari populasi digunakan metode pengambilan sample secara purposive sampling yaitu berdasarkan penunjukkan sesuai dengan kewenangan atau kedudukan sample. Adapun Responden yang dijadikan sample adalah:


Penyidik di POLDA Sulawesi Tenggara                                10 orang
Penuntut Umum di  Propinsi Sulawesi Tenggara                   10 orang
Jadi Jumlah Keseluruhan                                                        20 orang
4. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Untuk memperoleh data primer dilakukan melalui metode wawancara terhadap seluruh responden yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya secara langsung dengan mengunakan daftar pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu (interview guiding);
b. Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan serangkaian kegiatan studi kepustakaan dan dokumentasi dengan cara membaca, mencatat dan mengutip serta menelaah peraturan-peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.
5. Penyajian dan Analisis Data
Data yang diperoleh secara kuantitatif dan kualitatif. Analisa data dilakukan secara kualitatif dengan melakukan analisa deskriptif serta preskriptif. Analisis ini bertolak dari bentuk pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris.
E. Kerangka Teoritis
Istilah “Politik Hukum Pidana” dalam tulisan ini diambil dari istilah Policy (Inggris) atau Politiek (Belanda). Oleh karena itu, maka istilah “Politik Hukum Pidana” dapat pula disebut dengan istilah “Kebijaksanaan Hukum Pidana”.
Dalam kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal politik, criminal policy atau strafrechtspolitiek. Pengertian politik hukum pidana, antara lain :
a. Menurut Marcx Ancel, Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk member pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan[9].
b. Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan:
1) diperbaharui.
2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
c. Menurut Soerjono Soekanto, Politik hukum pidana pada dasarnya mencakup tindakan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik untuk mencegah terjadinya delinkuensi dan kejahatan  dengan lain perkattaan, maka politik hokum pidana merupakan upaya untuk secara rasional mengorganisasikan reaksireaksi sosial rasional mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial terhadap delinkuensi dan kejahatan. 10
Disamping beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, pengertian politik hukum pidana dapat pula dikemukakan berdasarkan pengertian politik kriminal. Politik kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik hukum pidana mengejawantah dalam bentuk Penal (hokum pidana) dan Nonpenal (tanpa hukum pidana). Dengan demikian, sebagai bagian dari politik kriminal, politik hukum pidana dapat diartikan sebagai
“suatu usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana”.
Bertolak dari beberapa uraian mengenai pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan diatas, maka secara umum dapat dinyatakan, bahwa politik hukum pidana adalah : “suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional, yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa politik gukum pidana sebagai salah satu usaha penanggulangan kejahatan, mengejawantah dalam bentuk
penegakan hukum pidana yang rasional. Ada tiga tahap dalam penegakan hukum pidana yaitu :
a. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana inabstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini yang akan datang. Kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif.
b. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakan serta menerapkan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap kedua ini dapat pula disebut sebagai tahap kebijakan yudikatif.
c. Tahap eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakan peraturan perundangundangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana ini dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.
Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.
Bertolak dari uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penegakan hukum pidana yang rasional sebagai pengejawantahan politik hukum pidana, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait, yaitu penegak hokum pidana, nilai-nilai dan hukum, (perundang-undangan) pidana. Pembagian tiga faktor tersebut dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu “substansi hukum:, “struktur hukum” dan“budaya hukum,”.
a. Faktor Penegak Hukum
Faktor ini menunjukkan pada adanya kelembagaan yang mempunyai fungsi-fungsi tersendiri dan bergerak didalam suatu mekanisme. Adapun faktor penegak hukum atau dapat pula disebut komponen struktur hukum, meliputi :
1)      Badan pembentukan undang-undang atau lembaga legislatif.
2)      Aparat penegak hukum dalam arti sempit, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Penasehat Hukum dan Pengadilan,
3)      Aparat pelaksanaan pidana.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa faktor penegak hukum merupakan tempat kita menggantungkan harapan bagaimana suatu sistem hukum itu seharusnya bekerja (law in the books) dan bagaimana bekerjanya suatu system hukum dalam kenyataan (law in action). Di sini berlaku adagium yang berbunyi, bahwa “baik buruknya sesuatu tergantung kepada baik buruknya manusianya”. Dalam kerangka penegakan hukum pidana, hal ini mengandung makna bahwa baik buruknya penegakkan hukum pidana tergantung kepada baik buruknya aparat penegak hukum. Jadi bukan tergantung kepada hukumnya. Tegasnya, walaupun hukumnya baik, tetapi jika para penegaknya (penegak hukum dalam arti sempit) tidak baik, maka penegakkannya pun tidak akan baik, demikian pula sebaliknya. Adapun baik buruknya penegak hukum tergantung kepada nilai-nilai yang diterima dan dipahaminya. Singkat kata, penegakan hukum yang baik harus bermula darinilai yang baik[10].
b. Faktor Nilai
Telah dikemukakan diatas, bahwa faktor nilai merupakan sumber dari segala aktivitas dalam penegakan hukum pidana. Jika nilanya baik, maka akan baik pula penegakan hukum pidana, demikian pula sebaliknya. Hal ini menunjukkan betapa urgennya kedudukan nilai dalam mewujudkan penegakan hukum yang baik. Sejauh mana urgensi nilai dalam mewujudkan penegakan hukum pidana yang baik, Soerjono Soekanto11 menyatakan. Jika komponen yang bersifat struktur (baca : penegak hukum, pen) dapat kita ibaratkan sebagai suatu mesin, maka komponen kedua (baca : nilai.Pen.) dapat kita ibaratkan sebagai bensin, yang merupakan penggerak dari mesin tadi. Jikalau bensin yang kita pakai untuk mengisi mesin tadi adalah bensin campuran, maka hal ini akan mempengaruhi daya laju mesin tadi.
Apabila yang dibicarakan adalah tentang bensin campuran sebagai pengisi mesin tadi, maka yang menjadi masalah adalah nilai yang diterima oleh para penegak hukum yang bekerja dalam lingkungan penegakan dan pelaksanaan hukum itu. Faktor nilai akan membentuk pemahaman dan sikap para penegak hokum dalam melaksanakan tugasnya menegakkan hukum pidana, baik mengenai bagaimana suatu sistem hukum itu seharusnya bekerja (law in the books) maupun tentang bagaimana bekerjanya suatu sistem hokum dalam kenyataan (law in action[11]). Contoh populer mengenal hal ini adalah pemahaman para penegak hokum terhadap asas legislatif.
Sebagaimana diketahui, bahwa ada tiga pemahaman bentuk pemahaman terhadap asas legalitas, yaitu :
1) Asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang positif (positief Wettelijke). Disini orang menterjemahkan asas legalitas semata-mata didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Jadi sah (legal) atau tidaknya suatu perbuatan semata-mata berpegang kepada ada atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur perbuatan itu, tanpa memperhitungkan sama sekali hukum yang hidup (rasa keadilan) dalam masyarakat. Adapun perumusan asas legalitas yang demikian ini dapat dibaca di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Contoh konkretnya adalah penanggulangan terhadap Tindak Pidana subversi. Para penegak hukum berpegang teguh pada ketentuan Undang-undang No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, walaupun perbuatan-perbuatan yang dirumuskan di dalam undang-undang tersebut oleh masyarakat tidak dianggap lagi sebagai kejahatan, tetapi karena peraturan perundangundangan tersebut belum dicabut, maka aparat penegak hukum akan tetap memproses dan menghukum orang yang melakukan perbuatan tersebut. Disini yang dipegang hanya kepastian hukum, sedangkan keadilan sama sekali tidak diperhatikan.
2) Asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang negative (negatief wettlelijke). Berbeda dengan pemahaman asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang positif (positief wettelijke). Pemahaman asas legalitas dalam arti peraturan perundang-undangan yang negative (negatief wettelijke) ini memperluas hukum yang hidup (hukum yang tidak tertulis/hukum adat) sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan, sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak diatur di dalam undang-undang. Perluasan pemahaman terhadap asas legalitas ini tidak dapat dilepaskan dari pokok pemikiran untuk mewujudkan dan sekaligus menjamin asas keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum dengan keadilan. Adapun perumusan asas legalitas yang demikian ini dapat dibaca di dalam Naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (baru) Konsep tahun 1991/1992 yang telah disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan tanggal 13 Maret 1993, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1 ayat (1) :
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali perbuatan yang dilakukannya atau tidak dilakukannya telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.
Pasal 1 ayat (3) :
“Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur di dalam peaturan perundang-undangan”.
Ketentuan pasal 1 ayat (3) di atas sekilas memang terlihat menampung atau memperhatikan aspirasi masyarakat karena member tempat bagi berlakunya hukum adat, tetapi jika dikaitkan dengan salah satu tujuan keberadaan asas legalitas, yaitu untuk melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang penguasa dalam menanggulangi kejahatan, maka ketentuan Pasal 1 ayat (3) konsep tersebut justru merupakan ancaman bagi warga masyarakat. Jika Pasal 1 ayat (3) tersebut betul-betul dimaksudkan untuk menampung aspirasi masyarakat mengenai keadilan, maka rumusannya harus ditambah, sehingga berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundangundangan”, (tambahnya) “sebaliknya walaupun suatu perbuatan telah dinyatakan di dalam peraturan perundang-undangan sebagai tindak pidana tetapi apabila karena perbuatan itu masyarakat tidak dirugikan dan tidak ada hak yang dilanggar, maka perbuatan itu tidak patut dipidana”.
Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 1 ayat (3) konsep KUHP Baru tersebut diatas, sebenarnya sudah sejak lama dan tersebar dalam produk legislatif selama ini, seperti termuat di dalam : Pasal 5 ayat (3) Sub b Undang-undang No. 1 Drs. 1951 : …bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum …, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup dibandingnya dalam Kitab Hukum Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang lama yaitu UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, mengatur sebagai berikut :
Pasal 14 ayat (1) :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”.
Pasal 23 ayat (1) :
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertent dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis”.
Pasal 27 ayat (1) :
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup”. Walaupun pengakuan terhadap hokum yang hidup sudah sejak lama ada di dalam peraturan perundang-undangan (hukum positif), tetapi kenyataannya aparat penegak hukum (terutama Polisi, Jaksa dan Hakim) enggan memproses seseorang yang menurut hukum yang hidup patut dipidana. Dengan kata lain, aparat penegak huku, hanya bepegang kepada peraturan perundang-undangan (hukum positif) saja.Khusus mengenai ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14
tahun 1970, kami berpendapat bahwa ketentuan ini di samping memberi kebebasan kepada hakim untuk memidana suatu perbuatan berdasarkan hukum yang hidup, juga memberi kebebasan kepada hakim untuk tidak memidana suatu perbuatan yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dipidana, tetapi menurut hukum yang hidup tidak perlu dipidana. Mengapa aparat penegak hukum (dalam arti sempit) dalam menegakan hukum tidak mau menggunakan hukum yang hidup, padahal peraturan perundang-undangan memperbolehkannya? Inilah yang merupakan masalah nilai. Disini aparat penegak hukum sama sekali tidak memahami apa yang dimaksud dengan nilai dan sekaligus tidak memahami makna sebenarnya dari asas legalitas. Aparat penegak hukum (Indonesia) tidak lebih dari sekedar mulut atau kaki angan undang-undang, bahkan lebih parah lagi merupakan mulut atau kaki tangan penguasa.
3) Asas legalitas sebagai salah satu ciri negara hokum Negara hukum atau Rule of law dalam arti menurut konsepsi dewasa ini, mempunyai sendi-sendi yang bersifat universal, seperti : pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).
Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya, dan terjaminnya peradilan yang bebas. Konsepsi negara hukum atau rule of law beserta sendi-sendinya
sebagaimana tersebut diatas, membawa konsekuensi adanya keharusan untuk mencerminkan sendi-sendi tersebut dalam berbagai hukum, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Penceminan sendi-sendi tersebut tersebut di bidang hukum pidana, akan menimbulkan penciptaan asas-asass yang merupakan dasar hukum pidana yang bersangkutan. Asas-asas tersebut pada dasarnya bersifat universal dan selalu dikaitkan dengan sendi yang utama, yaitu pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Bertolak dari uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa dalam kerangka negara hukum, asas legilalitas harus dipahami sebagai sarana pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian sah tidaknya suatu perbuatan tidak hanya diukur dengan ada tidaknya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, melainkan juga harus ada perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam perbuatan itu. Disini nilai-nilai kemanusiaan merupakan dasar legalisasi perbuatan. Jika faktor nilai dianggap sebagai sumber dari segala aktivitas dalam penegakan hukum pidana, maka pemahaman yang sama aparat penegak hukum terhadap makna asas legalitas merupakan prasyarat bagi terwujudnya penegakan hukum, pidana yang berkeadilan.
c. Faktor Substansi Hukum
Faktor substansi hukum ini merupakan hasil aktual (output) yang sekaligus merupakan dasar bagi bekerjanya sistem hukum dalam kenyataan. Baik buruknya suatu substansi hukum tergantung kepada baik buruknya sikap para penegak hukum, sedangkan baik buruknya sikap para penegak hukum tergantung kepada baik buruknya nilai-nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum. Dengan demikian, baik buruknya substansi hukum pada hakikatnya sangat ditentukan oleh baik buruknya nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum. Jadi, sebagai hasil aktual dari bekerjanya sistem hukum, maka substansi hukum pada hakikatnya merupakan aktualisasi nilai-nilai yang diterima dan dipahami oleh para penegak hukum. Adapun substansi hukum di bidang hukum pidana meliputi :
1) Hukum pidana tertulis yang mencakup hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana;
2) Hukum pidana tidak tertulis
Dari keseluruhan uraian diatas secara ringkas dapat dinyatakan, bahwa ruang lingkup politik hukum pidana mencakup: “Usaha atau kegiatan untuk memilih nilai nilai yang diperkirakan mampu mengekspresikan apa yang terkandung di dalam masyarakat serta usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataan sebagai bentuk reaksi terhadap kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini dibagi menjadi 4 (empat) bab, yang terdiri dari : Bab I yang berisi uraian tentang pendahuluan, Bab II yang berisi uraian tentang tinjauan pustaka; dan Bab III yang berisi uraian tentang hasil penelitian dan anlisisnya,. Bab I sebagai pendahuluan yang mengungkapkan latar belakang yang dipakai sebagai titik tolak merumuskan permasalahan yang muncul dalalm kaitannya dengan penegakan hukum terhadap politik hukumpidana . setelah perumusan masalah dikemukakan, hal lain yang menentukan arah penelitian dalam tesis ini adalah tujuan yang ingin dicapai dan kegunaan penelitian yang diharapkan, baik dari segi teoritis maupun praktisnya. Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan maupun tujuan dan kegunaan penelitian yang diharapkan, kerangka teoritis perlu dipaparkan sebagai titik tolak bagi pemecahan masalah. Sedangkan bagian lain yang sangat menentukan hasil akhir dari penelitian dan tesis ini adalah metode penelitian yang dipergunakan. Bab I terdiri dari 7 Sub Bab . Sub Bab yang pertama mengenai latar belakang masalah. Sub Bab yang ke dua mengenai perumusan masalah. Sub Bab ketiga mengenai tujuan penelitian. Sub Bab yang ke empat mengenai kegunaan penelitian. Sub Bab ke lima mengenai kerangka teoritis. Sub Bab ke enam mengenai metode penelitian. Sub Bab ke tujuh mengenai sistematika penulisan. Bab II berisi tinjauan pustaka sebagai dasar teoritis dalam rangkap membahas permasalahan yang di teliti, terdiri dari 4 (empat)) sub bab.
Sub Bab pertama membahas urgensi penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, Sub Bab kedua berisi uraian tentang dasar hukum politik hukum pidana, bab ketiga berisi tentang tujuan dasar hukum, dan bab keempat tentang pembaharuan hukum pidana Bab III merupakan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan , yaitu melakukan analisis terhadap temuan atas hasil penelitian yang dikonsultasikan dengan teori-teori yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, dalam bab ini dibagi menjadi 8 (delapan) sub bab, Sub bab pertama tentang Pengertian pelaksanaan politik hukum pidana, sub bab kedua tentang Pendekatan pelaksanaan politik hukum pidana sub bab ketiga tentang Tahap Pelaksanaan Poltik Hukum Pidana, sub bab keempat tentang dimensi Kemanusiaan dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pidana, sub bab kelima Keterpaduan dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pidana, sub bab ke enam tentang Pembinaan Struktur Hukum Pidana, sub Bab ketujuh tentang Pembangunan Kultur Hukum Pidana.





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Urgensi Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana.
Disatu sisi muncul kampanye anti pidana dan hukum pidana sebagai reaksi terhadap kenyataan, bahwa penggunaan hukum pidana dan sanksinya berupa pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, melainkan juga telah menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena, tidak boleh diabaikan. Di sisi lain hukum pidana dan pidana masih tetap diperlukan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, karena sampai saat ini masih tetap dipergunakan dan sampai saat ini pula belum ada satu pun negara yang tidak mempergunakan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Bahkan penggunaan hukum pidana semakin berkembang sejalan dengan perkembangan kejahatan itu sendiri, walaupun perdebatan mengenai hokum pidana menurut Ankeri Anttilia.12 telah berlangsung beratus-ratus tahun. Bahkan menurut Muladi 13 dewasa ini masalah hukum pidana dan pidana menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta menjadikan hukum pidana dan pidana bersifat operasional dan fungsional. Persoalannya sekarang, apabila hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana ingin tetap dipergunakan sebagai sarana penanggulangan kejahatan, maka tidak ada cara lain kecuali mengupayakan agar penegakan hokum pidana disamping mampu menanggulangi kejahatan juga tidak boleh menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena. Untuk mewujudkan hukum pidana dan pemidanaan yang mampu menanggulangi kejahatan dan tidak menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan bagi yang terkena, maka :
a.  Penegakan hukum pidana dan pemidanaan tidak boleh lagi dilihat sebagai satu-satunya tumpuan harapan untuk dapat menyelesaikan atau menanggulangi kejahatan secara tuntas. Sebab, pada hakikatnya kejahatan merupakan “masalah kemanusiaan” dan “masalah sosial”, yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan hukum pidana. Sebagai suatu masalah sosial, kejahatan merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis yang selalu tumbuh dan terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks.
b. Penegakkan hukum pidana dan pemidanaan tidak boleh lagi dilihat sebagai masalah hukum semata-mata (tidak boleh lagi berpegang pada asas legalitas yang rigit dan tujuan pemidanaan yang sempit), tetapi juga merugikan masalah kebijakan (the problem of policy). Sebagai suatu masalah-masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana, hanya merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan dari sekian banyak alternatif yang dapat dilakukan. Sebagai salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, maka penegakkan hukum pidana harus dilihat sebagai bagian dari politik kriminal (criminal policy), yakni usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Sebagai bagian dari politik kriminal, maka penegakan hokum pidana sebagai suatu proses kebijakan dapat diartikan sebagai “usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan hukum pidana”. Ini pulalah yang menjadi definisi dari “politik hukum pidana”. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa latar belakang penggunaan politik hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana adalah keadaan penegakan hukum pidana yang bukan saja tidak mampu menanggulangi kejahatan secara tuntas, tetapi juga telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi yang terkena, baik hal itu berupa hilangnya kemerdekaan, hilangnya atau berkurangnya harta benda, hilangnya nyawa, stigma sosial dan lain sebagainya. Dengan kata lain, hukum pidana telah gagal melaksanakan fungsinya, yaitu menanggulangi kejahatan (fungsi primer) dan membatasi kekuasaan pemerintah dalam menaggulangi kejahatan (fungsi sekunder). Kegagalan hukum pidana melaksanakan fungsinya (baik fungsi primer maupun fungsi sekunder) merupakan akibat dari sikap aparat penegak hokum yang memandang penegakan hukum pidana dan penerapan sanksinya berupa pidana sebagai konsekuensi logis dari setiap kejahatan, sehingga apabila hukum pidana dan pidana telah diterapkan, maka penanggulangan kejahatan dianggap selesai. Pandangan yang demikian telah membentuk sikap para penegak hukum untuk selalu menegakkan hukum pidana dengan mengenakan pidana yang berat terhadap setiap kejahatan. Walaupun untuk menerapkan hukum pidana dan pidana tersebut, aparat penegak hukum harus menempuh berbagai cara termasuk cara-cara yang bertentangan dengan hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Dengan menggunakan politik hukum pidana (pendekatan kebijakan), penegakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana tidak dilihat sebagai suatu keharusan dalam menanggulangi kejahatan, melainkan dilihat sebagai suatu kebijakan yang menempatkan hukum pidana dan sanksinya berupa pidana sebagai salah satu alternatif dari sekian banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan. Dengan pandangan yang demikian, maka penegakkan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana hanya akan digunakan untuk dicapai dengan hukum pidana dan pidana tersebut. Dengan kata lain, politik hukum melihat penegakan hukum pidana dan pemidanaan sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai salah satu sarana, maka penggunaan hukum pidana dan pidana bukan suatu keharusan.
1. Tujuan Politik Hukum Pidana        
Telah dikemukakan diatas, bahwa politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal). Tujuan akhir politik kriminal ialah “pelindungan masyarakat” (social deference) untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah misalnya “Kebahagiaan warga masyarakat/penduduk (happiness of the citizenz) : Kehidupan Kultural yang sehat dan menyegarkan” (a wholesome and cultural living) : “kesejahteraan masyarakat” (sosial welfare) ; atau untuk mencapai “keseimbangan” (equality). Dengan demikian politik hukum pidana yang merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sehubungan dengan itu, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan politik hukum pidana adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat’.
Secara sistematis hal diatas dapat digambarkan sebagai berikut :
Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan politik/kebijakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, maka wajarlah bila dikatakan bahwa penanggulangan kejahatan (termasuk politik hukum pidana melalui penegakan hukum pidana) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan (tujuan politik sosial). Oleh karena itu, maka ketiga tahap penegakan hukum pidana, yaitu tahao formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi haruslah merupakan perwujudan dari kebijakan (pembangunan) nasional. Jadi tegasnya, kebijakan pembangunan harus diusahakan terwujud pada tiga tahap kebijakan penegakan hukum pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan, bahwa politik hukum pidana merupakan bagian integral dari politik sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by criminal law. Konsekuensi semikian jelas menuntut “kemampuan yang lebih” atau “kemampuan plus” Social Welfare Social Policy Social Defence Criminal Policy Penal Penal Policy Nonpenal
Tujuan dari setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan dibidang yuridis, tetapi juga kesadaran kebijakan pembangunan yang menyeluruh. Tanpa kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya “pembangunan masyarakat dengan hukum pidana”. Selain itu, karena pembangunan mengandung berbagai dimesi (multi-dimensi), maka juga diperlukan peningkatan berbagai pengetahuan (multi-disiplin).
Disamping hal di atas, agar penegakkan hukum pidana dapat menunjang program-program pembangunan, maka patut diperhatikan Guiding Principle yang dikemukakan oleh Kongres PBB ke-7, bahwa pelu dilakukan studi dan penelitian mengenai hubungan timbal balik antara kejahatan dan beberapa aspek tertentu dari pembangunan. Ditegaskan dalam Guiding principle tersebut, bahwa studi itu sejauh mungkin dilakukan dari perspektif interdisipliner dan ditujukan untuk perumusan kebijakan dan tindakan praktis. Studi demikian dimaksudkan untuk meningkatkan sifat responsif dari kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam rangka merubah kondisi-kondisi sosial, ekonomi, kultur dan politik. Dengan demikian pengetahuan yang memadai dari para penegak hukum mengenai beberapa aspek dari pembangunan dan hubungan timbal baliknya dengan kejahatan, tidak hanya penting dalam merumuskan kebijakan penegakan hukum pidana pada tahap formulasi, tetapi juga pada tahap aplikasi yang lebih bersifat operasional.
Sehubungan dengan tahap aplikasi, sangat diharapkan perhatian para penegak hukum terhadap Guiding principle dari Kongres PBB ke-7 yang menyatakan menyatakan, bahwa “kebijakan pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat structural termasuk sebab-sebab sosio-ekonomis” (polities for crime prevention and criminal justice should take structural including socio-economic causes of injustice). Ini berarti, bahwa pengetahuan yang memadai dari penegak hokum mengenai sebab-sebab ketidakadilan atau keimpangan (termasuk sebab-sebab terjadinya kejahatan) yang bersifat struktural sebagai dampak dari kebijakan pembangunan, dapat dipertimbangkan sebagai salah satu faktor untuk menyatakan suatu perbuatan secara materiil tidak melawan hukum atau sebagai suatu alasan untuk memperingan pidana. Bertolak dari konsepsi kebijakan integral yang demikian itu, maka dapat dikatakan bahwa penegakan hukum pidana (sebagai pengejewantahan politik hukum pidana) tidak banyak artinya apabila politik sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan viktimogen. Sehubungan dengan masalah itu patut, kiranya diperhatikan Laporan Komisi I Kongres PBB ke-6 yang membicarakan Crime trends and crime prevention strategies, antara lain menegaskan, bahwa :
a.  Pembangunan itu sendiri pada hakikatnya tidak bersifat kriminogen, khususnya apabila hasil pembangunan itu didistribusikan secara pantas mdan adil kepada semua rakyat serta menunjang kemajuan seluruh kondisi sosial;
b. Pembangunan dapat bersifat kriminogen atau dapat meningkatkan kriminalitas, apabila pembangunan itu direncanakan secara idak rasional, timpang atau tidak seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural dan modal serta tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral. Dengan penegasan diatas jelas terlihat, bahwa dilihat dari sudut politik kriminal masalah strategis yang jusru harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Ini berarti dilihat dari sudut politik kriminal masalah-masalah ini justru merupakan posisi kunci. Oleh karena itu adalah wajar apabila Kongres PBBke-6 tahun 1980 sangat memperhatikan masalah-masalah itu seperti terlihat didalam resolusi mengenai crime trends and crime prevention strategies. Dalam pertimbangan resolusi itu antara lain dikemukakan :
1) Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk mencapai kualitas hidup yang pantas bagi semua orang ; (The crime problem impedes progress towards the attainment of an aceptable quality of life for all people) ;
2) Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan; (crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime);
3) Bahwa penyebab utama kejahatan di banyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan di antara golongan besar penduduk. (the main causes of crime in many countaries are social in-equality, racial and nation discrimination, law standard of living, unemployment and illiteracy among broad sections of the population). Setelah mempertimbangkan hal-hal diatas, maka dalam resolusi itu dinyatakan antara lain : Menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan, diskriminasi rasial dan nasional dan bermacam-macam bentuk dari ketimpangan sosial.

B. Dasar Hukum Politik Hukum Pidana
a.       Pengertian Dasar Hukum
Sebagaimana telah dikemukakan di dalam Bab I, bahwa politik hokum pidana mengejewantah dalam bentuk penegakan hukum padana, sebagai pengejewantahan politik hukum pidana, penegakan hukum pidana dilihat sebagai suatu proses dan kebijakan untuk menanggulangi kejahatan secara rasional melalui sarana hukum pidana yang dilaksanakan melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap formulasi, yaitu tahap pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang tahap pembuatan oleh Badan Pembuat Undang-undang, kemudian tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana (penegakan hukum pidana dalam arti sempit) yang dilakukan oleh aparat atau instansi penegak gukum, (dalam arti sempit), mulai dari kepolisian sampai pengadilan, akhirnya tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh aparat atau instansi pelaksana pidana. Agar penegakan hukum pidana dapat mencapai tujuannya, maka masing-masing tahap penegakan hukum pidana tersebut harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Untuk itu, dasar hukum atau landasan hukum yang jelas ke arah itu sangat dibutuhkan sebagai acuan. Dasar hukum penegakan hukum pidana inilah yang dimaksud dengan “Dasar Hukum Politik Hukum Pidana”. Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa “Dasar hukum politik hukum pidana adalah keseluruhan hukum yang menjadi acuan dalam pelaksanaan politik hukum pidana sebagai upaya untuk mewujudkan penegakan hukum pidana yang rasional dalam arti memenuhi rasa keadilan dan daya guna”. Adapun yang dimaksud dengan “hukum” dalam arti “dasar ” dalam politik hukum pidana, penulis sependapat dengan Yap Thiam Hiam. Dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Sebagai Dasar dan Sistem Penertiban Pembangunan yang Merupakan Wahana Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berperikemanusiaan, Adil, Damai dan Sejahtera” Thiam Hien[12] menyatakan: Dalam konteks tulisan ini hukum dilihat sebagai kesauan peraturan yang dibuat oleh semua kuasa membuat perundang-undangan (legislatif authority), lembaga kekuasaan kehakiman dan putusannya; semua prosedur dan proses pembuatan produk perundang-undangan dan penegakannya serta semua sumber hukum; semua gagasan; asas; nilai dan norma yang memberi jiwa dan  landasan bagi tertib hukum; dan prinsip-prinsip yang memperoleh pengakuan dunia internasional.
Pendapat diatas mengandung arti, bahwa hukum (sebagai dasar hukum) tidak hanya mencakup pengertian aturan atau peraturan baik formal maupun informal, melainkan mencakup segala sesuatu yang (dapat) digunakan sebagai acuan dan ukuran untuk melaksanakan suatu perbuatan yang baik.  Dengan demikian, istilah “dasar hukum” atau “landasan hukum” pada hakikatnya sama dengan istilah “sumber hukum”. Mengenai istilah “sumber hukum”, ada bermacam-macam pendapat. Kita dapat membedakan istilah sumber hukum formal dan sumber material. Sumber hukum formal adalah bentuk hukum yang menyebabkan hukum itu berlaku menjadi hukum positif dan diberi sanksi oleh pemerintah. Misalnya Undang-undang, hukum adat, traktat, yurisprudensi dan doktrin. Sedangkan sumber hukum material adalah sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum. Ahli sejarah beranggapan bahwa yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang dan dokumen-dokumen yang bernilai undang-undang, sedangkan ahli sosiolosi dan ahli antropologi budaya beranggapan, bahwa yang menjadi sumber hukum adalah masyarakat seluruhnya. Bagi ahli ekonomi, yang menjadi sumber hukum adalah apa yang tampak di lapangan ekonomi. Kaum agama beranggapan, bahwa yang menjadi sumber hokum adalah kitab-kitab suci. Tentunya masih banyak anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat tentang sumber hukum ini. Adapun kalangan orang-orang filsafat, mengenai sumber hukum ini menurut Bodenheimer, yang dipermasalahkan adalah ukuran apa yang dipakai untuk menentukan suatu hukum itu adil, dan dapatkah kita membuat semacam grundnorm atau Ursprungsnorm yang menjadi dasar ethis bagi berlakunya sistem hokum formal.
Apabila kita memperhatikan bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan, bahwa sumber hokum adalah masyarakat. Inipun masih belum selesai, sebab sumber sebenarnya adalah kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup tersebut harus mengalirkan aturan-aturan hidup (kaidahkaidah hidup) yang adil dan sesuai dengan perasaan atau kesadaran masyarakat yang dapat menciptakan suasana damai dan teratur karena kepentingan mereka diperhatikan (dilindungi)[13]. Aliran hukum positif menganggap bahwa undang-undanglah satu-satunya sumber hukum, karena hukum disamakan dengan undang-undang. Jadi yang ada hanya sumber hukum formal saja. Pendapat ini tidak tepat. Sebab, hokum yang dirasakan adil dan sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat tidak semuanya atau belum semuanya berasal dari undang-undang yang telah ada. Bahkan sering kita jumpai undang-undang yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, disamping hukum yang berwujud undang-undang masih diperlukan sumber hukum, bahkan sumber dari segala sumber hukum yang dipergunakan sebagai ukuran atau batu ujian terhadap hukum yang berlaku, agar hukum yang berlaku benar-benar sesuai dengan rasa keadilan yang menciptakan suasana damai dan hidup tertib dalam masyarakat.
b.      Latar Belakang Perlunya Dasar Hukum
Membahas masalah dasar hukum tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai negara hukum. Negara hukum atau Rule of law menurut konsepsi dewasa ini mempunyai sendi-sendi yang bersifat universal. Sendi-sendi tersebut antara lain :
1).  Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asas manusia (HAM) yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan budaya;
2). Adanya peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan dan kekuatan lain serta tidak memihak;
c.       Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya
Konkretnya demikian, bahwa negara hukum adalah negara yang mengakui dan melindungi HAM. Untuk mewujudkan pengakuan dan perlindungan tersebut, maka kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam negara hukum diatur oleh kaidah-kaidah hukum yang pada dasarnya berkesamaan (equality before the law). Tidak ada orang yang berada di atas hukum, tidak ada perbuatan yang berada diluar ketentuan hukum. Artinya semua semua gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hanya sah jika berlandaskan atau berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk menjamin terwujudnya pengakuan dan perlindungan HAM didalam hukum, maka perlu adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa hakikat negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan HAM, sedangkan keberadaan hukum (sebagai penjelmaan asas elegilitas) dan peradilan yang bebas serta tidak memihak merupakan sarana untuk menjamin terwujudnya pengakuan dan perlindungan HAM dalam kenyataan. Dengan kata lain, tujuan negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan HAM.
Adapun ruang lingkup HAM (yang mencakup hak politik, hak hukum, hak sosial, hak ekonomi dan hak budaya), secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu hak atas perlindungan (the right to defence) dan hak atas kesejahteraan (the right to welfare). Hak-hak (HAM) ini adalah hak warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara. Untuk itulah, maka dalam tatanan negara hukum yang dinamis, negara ikut terlibat secara aktif dalam usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat disamping melaksanakan kewajiban untuk melindungi segenap warga negaranya[14]. Peranan negara yang bersifat ganda ini harus selalu selaras dalam pelaksanaanya, mampu menjamin dan melindungi HAM dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyat itu sendiri. Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa politik hukum pidana sebagai salah satu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan tujuan akhir perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama
kesejahteraan msyarakat, pada hakikatnya juga merupakan usaha untuk mewujudkan HAM. Sebagai bagian dari usaha untuk mewujudkan HAM (Perlindungan masyarakat dalam rangka kesejahteraan masyarakat), politik hukum pidana juga merupakan bagian dari gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang harus berdasarkan hukum.

d. Bentuk-bentuk Dasar Hukum
           
Dasar suatu hukum biasanya berawal dari nilai-nilai yang di ilhami oleh suatu masyarakt tertentu yang dalam prakteknya dominan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Nilai yang dalam bahasa Inggris disebut value adalah termasuk pengertian filsafat. Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan nilai dapat mengatakan: “berguna atau tidak berguna:, :benar atau baik”, “religius atau tidak religius”. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa dan kepercayaan. Pernyataan ini mewujudkan, bahwa masalah nilai berkaitan erat dengan masalah manusia yang menjadi subyek nilai tersebut. Artinya, baik buruknya nilai sesuatu sangat tergantung kepada manusia yang melakukan penilaian terhadap sesuatu itu[15]. Menurut A.P. Sugiarto, “Ada dua faktor yang mempengaruhi penilitian manusia terhadap sesuatu, pertama, faktor subyektif yang bersumber pada diri sendiri meliputi kondisi sosial budaya, lingkungan dalam arti luas dan lain-lain”[16]. Dengan demikian dapat saja sesuatu itu bernilai buruk (tidak baik) bagi manusia yang lain. Contoh konkretnya  mengenai (nilai) individualism bagi bangsa yang berpaham liberal, individulisme. Bagi nilai luhur (baik), tetapi bangsa yang berpaham kebersamaan, individualisme merupakan nilai buruk.
Jika uraian diatas dikaitkan dengan nilai sebagai dasar hukum politik hukum pidana, maka yang dimaksud dengan “nilai “ sebagai dasar hukum politik hukum pidana adalah “nilai luhur” atau “nilai baik” yang berguna bagi upaya mewujudkan politik hukum pidana sebagai salah satu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan tujuan akhir perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat. Adapun nilai-nilai luhur yang menjadi dasar hukum politik hukum pidana adalah nilai-nilai mengenai kebenaran (logis). Keindahan (esthetis), kebaikan (ethis) dan agama (religius) yang merupakan prinsip hidup dan prinsippikiran bangsa[17]. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai luhur tersebut menurut Kansil telah dipadatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia yang dinamakan Pancasila, dengan rumusan lengkap sebagai berikut :
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Pancasila sebagai dasar hukum nasional (termasuk sebagai dasar politik hukum pidana) berfungsi sebagai patokan/ukuran sekaligus sebagai tujuan hukum nasional Indonesia.
e. Beberapa dasar Hukum Politik Hukum Pidana                                                      
1)      Undang-Undang Dasar
Telah dikemukakan dalam uraian terdahulu, bahwa nilai-nilai yang dijadikan dasar hukum bagi setiap tata hukum (termasuk didalamnya politik hokum pidana) oleh suatu bangsa, merupakan hasil penghayatan religius, etik dan moral yang diterima dan dianut oleh bangsa tersebut dengan kondisi sosial, budaya dan lingkungannya. Sebagai dasar hukum, nilai-nilai tersebut menjelma menjadi cita hokum (Rechtsidee). Menurut karl Larenz, cita hukum adalah cita-cita yang terdiri dari perangkat nilai-nilai intrinsik, bersifat normatif dan konstitutif, merupakan prasyarat transendental yang mendasari hukum. Tanpa cita hukum tak akan ada hukum yang memiliki watak normatif (De rechtsidee is het Normative en Conxtitutieve apriori, dat als een Trancendentalem Voorwaarde aan elk Wezenlijk recht in Gronslagligt buiten haar bestaat geen recht in Normatieve zin)22 . Undang-undang Dasar (UUD) merupakan perwujudan cita hukum yang tersimpul dalam dasar falsafah negara, hanya menggambarkan beberapa prinsip dalam garis besarnya saja tentang bagaimana arah dan sasaran politik hukum (pidana) nasional suatu bangsa.
2)     Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) mengandung political will bangsa Indonesia, termasuk pedoman untuk menyusun politik hokum pidana nasional seperti yang tercantum dalam TAP MPR tentang GBHN. Dalam GBHN 1993 – 1998 sebagaimana termuat dalam TAP MPR No. II/MPR/1993, dinyatakan, bahwa arah dan kebijaksanaan pembangunan nasional di bidang hukum sebagai berikut :
1) Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem nasional yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang mencakup pembangunan materi dalam rangka pembangunan Negara hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman dan tenteram. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaharuan hukum yang berlaku yang mencakup upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum, kepastian hukum dan pelayanan hukum yang beintikan keadilan dan kebenaran dalam rangka menyelenggarakan negara yang maski tertib dan teratur, serta penyelenggaraan pembangunan nasional yang makin lancar (Bab IV F Butir 37).
2) Hukum nasional sebagai sarana ketertiban dan kesejahteraan yang berintikan keadilan dan kebenaran, harus dapat berperan mengayomi masyarakat serta mengabdi pada kepentingan nasional (Bab II Huruf G Butir 3).
3) Pembangunan hukum dan perundang-undangan telah menciptakan system hukum dan produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasanhukum bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Kesadaran hukum yang makin meningkat dan makin lajunya nasional dan produk hukum yang mendukung dan bersumber pada Pancasila dan Undangundang Dasar 1945[18]. Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu memperhatikan peningkatan pemasyarakatan hukum, peningkatan pelaksanaan penegakan hukum yang berkualias dan bertanggung jawab, serta menyediakan sarana dan prasarana pendukung yang memadai (bab III Huruf A Butir 9).
4) Pembangunan hukum yang menuju terbentuknya sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 masih menghadapi berbagai macam tantangan yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku. Kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap hukum telah makin meningkat, di lain pihak tuntutan masyarakat terhadap kepastian dan pengayoman hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran meningkat lebih cepat, sehingga pembangunan hukum pembangunan hukum yang menuju terwujudnya sistem hukum nasional perlu sungguh-sungguh diperhatikan (bab IV Huruf A Butir 18). Dari prinsip-prinsip tersebut diatas dapat dinyatakan, bahwa politik hokum (pidana) nasional harus mengandung mutiara-mutiara tertib hukum stimulant pembangunan di segala bidang dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (HAM) . sebagai pedoman dalam menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana dengan tujuan akhir perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat, maka politik hokum pidana nasional harus pula berdasarkan prinsip-prinsip dasar manusia Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pancasila, baik sebagai falsafah maupun sebagai ideologi negara. Pedoman yang bersedikan ideologi itu harus pula menampung materai utama hukum nasional sebagai penjabaran dari tujuan hukum UUD 1945 dan TAP – MPR.
3)      Peraturan Perundang-undangan Pidana
Adapun peraturan perundang-undangan pidana sebagai dasar hukum politik hukum pidana, mencakup :
1) Hukum pidana material (hukum pidana substansi), yaitu hukum pidana yang berisikan petunjuk dan uraian tentang tindak pidana (delik), peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidanya suatu perbuatan, petunjuk tentang orang-orang yang dapat dipidana dan aturan-aturan tentang pemidanaan serta mengatur tentang kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan.
2) Hukum pidana formal (hukum acara pidana), yaitu hukum pidana yang mengatur tentang cara bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan hak dan kewajibannya untuk menegakkan hukum pidana material.
3) Hukum pelaksanaan pidana, yaitu peraturan hukum tentang mekanisme pelaksanaan pidana dan organisasi lembaga-lembaga pelaksanaan pidana Ketiga hukum pidana diatas dikatakan sebagai dasar hukum politik hokum pidana, karena secara yuridis ketiga hukum pidana itu yang menjadi dasar utama segala aktivitas aparat penegak hukum pidana (dalam arti sempit, mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta pelaksana pidana) dimulai dan dilaksanakan. Dengan kata lain politik hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan, secara konkret terwujud dalam bentuk penegakan hukum pidana (dalam arti sempit), yaitu penanggulangan kejahatan berdasarkan hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Agar penegakan hukum pidana dalam arti sempit dapat mencapai sasaran yang diinginkan oleh politik hukum pidana, maka berdasarkan nilai-nilai dan tujuan yang telah ditentukan oleh Pancasila, UUD 1945 dan GBHN.
4)      Keputusan Hakim dan Yurisprudensi
Karena politik hukum pidana mengejewantah dalam bentuk penegakan hukum pidana yang mencakup tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi, maka keputusan hakim sebagai dasar hukum utama(karena eksekusi didasarkan/berdasarkan pada keputusan hakim) pelaksanaan eksekusi dapat dikategorikan sebagai dasar hukum politik pidana. Untuk menelaah keputusan hakim, lebih banyak berpangkal pada nilai-nilai serta norma-norma hukum yang mendasari pendirian dan pengetahuan dalam menetapkan keputusan/putusannya, ada juga yang secara politis dikaitkan dengan upaya untuk :
1)      Menguji materi politik hukum nasional;
2)      Menguji secara pasif keputusan hakim itu sendiri;
3)      Meneliti hal-hal yang baru dalam keputusan hakim itu untuk diselaraskan dengan materi hukum nasional yang akan datang.
Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan dijadikan sebagai dokumen. Dokumen ini dinamakan yurisprudensi. Yurisprudensi banyak mengandung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan ternyata kebenarannya. Bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum. Suatu yurisprudensi memuat pula petunjuk bagi praktisi hukum, aparat penegak hukum maupun pencari keadilan, sehingga memungkinkan diselidiki lebih lanjut untuk diambil saripatinya sebagai dasar politik hukum (pidana) nasional.
5)   Hukum Adat
Dari berbagai kepustakaan jelas sekali peranan hukum adat, disamping sebagai hukum kebiasaan (hukum yang hidup) yang tidak tertulis yang berlaku dan mengikat suatu masyarakat hukum adat. Oleh karena itu di Indonesia hukum adat pun menjadi salah satu dasar hukum. Beberapa peraturan perundang-undangan dengan tegas menyatakan hal ini. Pasal 27 ayat (1) (3) Undang-undang No. 1 drt. Tahun 1951, pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 tahun 1970 dan pasal 3 ayat (1) Konsep KUHP Baru tahun 1991/1992, sehingga banyak proses peradilan dan keputusan hakim dipedomani oleh norma-norma hukum adat.
Sehubungan dengan uraian diatas, maka untuk mewujudkan politik hokum pidana yang mampu mempedomani para penegak hukum pidana khususnya dan warga negara (masyarakat) pada umunya, maka kaidah kaidah hokum adat (berdasarkan seleksi) perlu dijadikan dasar hukum (ditampung) oleh politik hukum (pidana) nasional, khususnya kaidah-kaidah hukum adat yang menyangkut
1)    Kepentingan umum;
2)    Kesamaan dan kepentingan hukum dasar dan hukum positif tertulis yang telah ada maupun yang akan datang;
3)    Perwujudan kaidah-kaidah moral;
4)    Tertib hukum yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali;
5)    Keselarasan dan keselarasan untuk menumbuhkan kesadaran hokum bersama serta manunjang dan kesatuan bangsa.
Perkembangan hukum adat ditinjau dari segi pembangunan hukum nasional adalah saling melengkapi, sehingga dapat mengisi arah politik hokum nasional baik secara umum maupun secara khusus. Hal ini sangat penting untuk merintis jalan bagi para penegak hukum, dalam arti luas yang mencakup pembuat dirinya dengan pengetahuan hukum yang mendalam dan terarah, sehingga mencakup segala aspek hukum yang terpadu.
Sebagai dasar hukum, hukum adat banyak mengandung norma-norma susila/moral yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama, bahkan ada diantaranya yang menyatu dengan hukum adat (Aceh, Bali, Toraja dan Kalimantan Tengah). Dengan demikian akan memperkaya materi yang dapat ditampung dalam politik hukum (pidana) nasional.
6)   Doktrin
Doktrin adalah ajaran para sarjana ahli hukum yang lebih banyak mengandalkan teori hukum untuk berusaha menyadarkan masyarakat tentang kebenaran suatu doktrin tertentu. Karena sifatnya ilmiah, tentunya banyak pula yang tidak sesuai dengan praktik dan pola dasar hukum positif. Namun tidak sedikit pula yang mengandung ajaran hukum sebagai politik hukum. Dalam hal ini perlu dikaji terlebih dahulu titik-titik temu yang meyakinkan bahwa dalam doktrin cukup terdapat nilai-nilai hukum yang sesuai dengan kepentingan pembangunan hukum nasional dalam rangka melaksanakannya disalurkan melalui lembaga perguruan tinggi dan terutama sekali para ilmuan dan praktisi hukum.
7)    Asas
Telah diketahui bahwa dasar hukum yang tertinggi adalah nilai-nilai yang merupakan hasil penghayatan religius, etik dan moral yang dilakukan oleh suatu bangsa berdasarkan kondisi sosial budaya dan lingkungannya yang menjelma menjadi cita hukum (rechtsidee). Cita hukum atau rechtsidee beserta nilai-nilai yang terkandung didalamnya membawa konsekuensi adanya keharusan untuk mencerminkan nilai-nilai tersebut dalam berbagai hukum, termasuk hukum pidana melalui pelaksanaan politik hukum pidana. Pencerminan nilai-nilai tersebut dalam bidang hokum pidana menimbulkan penciptaan asas-asas yang merupakan dasar bagi hokum pidana yang bersangkutan terlepas dari sistem hukum yang dianut. Apakah sistem Civil Law sebagai mana yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental atau sistem Common Law sebagaimana yang dianut oleh negaranegara Anglo Saxon maupun sistem hukum lainnya yang digunakan oleh negara tertentu. Asas-asas tersebut pada dasarnya bersifat universal dan selalu dikaitkan dengan tujuan nasional, yaitu perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masarakat.
Adapun asas-asas tersebut antara lain :
1)     Asas legalitas;
2)     Asas kesamaan;
3)     Asas proporsionalitas;
4)     Asas publisitas; dan
5)     Asas subsidiaritas.
Pembangunan asas-asas ini sebagai dasar politik hukum pidana, semata-mata ditunjukan untuk mewujudkan perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka penempatan asas-asas tersebut sebagai dasar politik hukum pidana tidak boleh terlepas antara yang satu dengan yang lain.
8)    Instrumen Internasional
Politik hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan yang mengejawantah dalam bentuk penegakkan hukum pidana, sarat dengan masalah HAM, jelas tidak akan mampu mencapai tujuannya jika hanya mendasarkan diri pada nilai-nilai dan peraturan perundang-perundangan yang bersifat lokal. Oleh karena itu menjadikan instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan HAM (terutama yang menyangkut hak politik dan hak sipil) dan instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan HAM (terutama yang penyangkut hak politik dan hak sipil) dan instrumeninstrumen internasional yang berkaitan dengan penanggulangan kejahatan dan peradilan pidana sebagai dasar hukum politik hukum pidana, merupakan keharusan yang bersifat etis terlepas dari apakah instrumen internasional itu sudah diratifikasi atau belum[19]. Frank Newman, seorang pengajar Hukum Internasional di Unversitas California, Berkeley selalu mengatakan, bahwa ratifikasi instrumen-instrumen internasional bukan merupakan syarat mutlak untuk berlakunya instrumen-instrumen tersebut. Keberadaan sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saja sudah cukup untuk mengikat Negara tersebut agar tunduk kepada keputusan-keputusan yang dibuat oleh PBB. Dalam praktis kehidupan masyarakat internasional, insrumen-instrumen internasional yang dikeluarkan oleh PBB sering menjadi barometer atau pengukur pelaksanaan kegiatan yang bersifat umum, baik untuk menilai hasil kerja organisasi PBB umum, baik untuk memantau gerak-gerik dan perilaku negara-negara berdaulat yang menjadi anggota PBB. Demikian pula dalam kerangka penanggulangan kejahatan dan peradilan pidana. Sebagaimana dinyatakan didalam Keputusan Menteri Kehakiman RI. No. M. 01.PW.07.03 tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi sebagai berikut : Namun dalam sehubungan dengan hukum acara pidana baru, yang lebih memberi jaminan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang dalam hal ini memunyai sifat yang universal, maka deklarasi maupun konvensi-konvensi internasional seperti The Universal Declaration of Human Rights yang diterima dan disahkan oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 10 Desember 198 dan the International Cenvenant on Civil and Political Rights beserta Optional Protocal-nya yang diterima 16 Desember 1966 dapat digunakan untuk mengukur nilai hukum acara pidana baru ini. Berkaitan dengan uraian diatas, uraian dibawah ini dapat menjadi bahan renungan bagi bangsa Indonesia yang harus diterima dengan kepala dingin. Penilaian internasional ini didasarkan atas laporan Mr. P. Kooijmans, Special Repporteur yang ditunjuk oleh Commission on Human Rights untuk mempelajari tuduhan terhadap Indonesia tentang terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia.
Setelah mengunjungi Jakarta dan mengadakan dialog dengan berbagai pihak, sepanjang menyangkut hukum acara pidana Indonesia, ia mengemukakan evaluasi, konklusi dan rekomendasi sebagai berikut :
1)    Administrasi peradilan pidana di Indonesia bersifat kontroversial dan merupakan political issue. Hal ini dibuktikan dengan adanya dua organisasi pengacara, yang satu terdaftar dan diakui pemerintah, sedangkan yang lain bebas. Bukti lain adalah keberadaan dua lembaga bantuan hukum, satu terdaftar pada pemerintah dan yang lain independen, dengan segala konsekuensinya.
2)    Pelaksanaan KUHAP sudah maksimal tetapi praktik-praktik pelanggaran HAM (torture) tetap terjadi.
3)    Perlu penjelasan apakah ketentuan KUHAP masih berlaku apabila jaksa Agung telah memutuskan bahwa seseorang tersangka akan diproses atas dasar Undang-undang No. 11 PNPS tahun 1963.
4)    Kedudukan hukum dari penahanan dan introgasi terhadap pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan nasional yang dilakukan BAKORSTRANAS perlu diperjelas sehubungan dengan KUHAP. Perlu pula dipikirkan kemungkinan bantuan hukum dan perlindungan hokum terhadap terdakwa.
5)    Salah satu kelemahan utama di dalam struktur administrasi peradilan pidana berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi peradilan, tidak ada kewajiban yang ditetapkan oleh hukum agar penyidik menghargai hokum dengan konsekuensi menolak segala pembuktian yang diperoleh melalui penahanan yang tidak sah dan penangkapan illegal. Tidak ada kasus dimana pengadilan berkesimpulan bahwa suatu penahanan bersifat illegal. Demikian pula kasus yang menyatakan adanya pernyataan yang diperoleh karena paksaan.
6)    Kelamahan lain dari administrasi peradilan pidana khususnya dalamstruktur pencegahan penganiayaan atau perlakuan salah lainnya.
7)    Kenyataan bahwa polisi mempunyai kewenangan penuh selama 20 hari penahanan, memungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap HAM.
C.  Tujuan Dasar Hukum   
Keharusan adanya dasar hukum bagi setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam negara hukum termasuk pelaksanaan politik hukum pidana, merupakan konsekuensi logis dari penempatan asas legalitas sebagai salah satu sendi negara hukum dalam rangka mewujudkan pengakuan dan perlindungan HAM dalam kenyataan sebagai sendi utama sekaligus sebagai tujuan negara hukum[20]. Sebagai sarana untuk mewujudkan pengakuan dan perlindungan HAM dalam kenyataan, asas legalitas dalam kerangka negara hukum mengandung tiga hal. Pertama, supremasi hukum. Artinya setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dalam negara hukum haruslah berdasarkan hukum dan memperoleh legalisasi hukum. Kedua, hukum yang dipergunakan sebagai dasar bagi setiap gerak langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hanyalah hukum yang mengandung motivasi dan memberi ruang gerak bagi terwujudnya pengakuan dan perlindungan HAM. Ketiga, menolak keberadaan hukum yang bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan HAM. Artinya, asas legalitas melarang rakyat dan pemerintah menggunakan hukum yang bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan HAM sebagai dasar hukum bagi setiap langkah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berkaitan dengan uraian diatas, sangatlah tidak etis jika masih ada warga masyarakat atau aparatur pemerintah apalagi aparat penegak hokum melakukan tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan HAM dengan dalih sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bagi politik hukum pidana sesuai dengan yang diharapkan, yaitu mampu melindungi warga masyarakat. Hal ini
dimungkinkan karena dasar hukum tersebut berfungsi sebagai pedoman, tolak ukur keadilan, rambu-rambu dan alasan pembenaran bagi pelaksanaan politik hukum pidana. Bertolak dari fungsi dasar hukum tersebut diatas, dapat dinyatakan, bahwa tujuan dasar hukum politik hukum pidana adalah “terlaksananya politik hukum pidana yang mampu melindungi warga masyarakat dari kejahatan dalam rangka mensejahterakan warga masyarakat.

D. Pembaharuan Substansi Hukum Pidana
a.       Pengertian Pembaharuan Hukum Pidana
“Pembaharuan” atau “Pembaruan” dalam kamus umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta[21] diartikan sebagai “perbuatan atau cara membarui”. “Membarui” mempunyai tiga pengertian, yaitu (1) Memperbaiki supaya menjadi baru (merehab, pen.); (2) Mengulang sekali lagi/memulai lagi; (3) Mengganti dengan yang baru. Menghubungkan ketiga pengertian di atas dengan hukum pidana sebagai obyek pembaharuan, maka pengertian yang paling tepat untuk digunakan untuk pembaharuan hukum pidana adalah pengertian yang ketiga, yaitu “mengganti dengan yang baru”. Sebab, menurut Gustav Radbruch 27membarui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana, akan tetapi menggantikannya dengan yang lebih baik Bertolak dari pendapat Gustav Radbruch diatas dikaitkan dengan pembahruan hukum pidana Indonesia, khususnya KUHP, Sudarto mengatakan, bahwa cukup banyak yang telah dilakukan, amun apa yang telah dikerjakan itu sama sekali tidak bisa dikatakan suatu law Reform secara total seperti yang dimaksud oleh Gustav Radbrrch[22]. Apa yang telah dilakukan adalah tambal sulam. Berdasarkan uraian tentang pengertian “pembaharuan” yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pembaharuan diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pembaharuan hukum pidana diartikan sebagai usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hokum pidana yang lebih baik, yang sesuai dengan keadilan dan perkembanganmasyarakat.
Hukum pidana meliputi hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana atau sering juga disebut hukum pidana substantif, hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ruang lingkup pidana tersebut, yaitu hukum pidana material atau hukum pidana substantif, hukum pidana formal atau hokum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana.
Sehubungan dengan ruang lingkup pembaharuan hukum pidana tersebut, Sudarto[23] menyatakan : Pelaksanaan pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaharuan hukum pidana material (substantif). Hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana (strafvillsteckuenggesterz). Ketiga bidang hukum pidana itu harus bersamasama dibaharui. Kalau hanya salah satu timbul kesulitan dalam pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaharuan itu tidak akan tercapai sepenuhnya. Adapun tujuan utama dari pembaharuan itu ialah penanggulangan kejahatan. Ketiga bidang hukum itu erat sekali hubungannya.
Oleh karena itu menurut Barda Nawawi Arief30 Dengan direncanakannya pembaharuan hukum pidana material, yaitu dengan telah disiapkannya konsep KUHP Baru, perlu kiranya dilakukan pengkajian seberapa jauh beberapa aspek baru tersebut menimbulkan permasalahan dilihat dari sudut hukum acara pidana. Seberapa jauh pula konsep KUHP baru dalam konsep tersebut memerlukan dukungan aturan-aturan bari dibidang hukum acara pidana, atau sebaliknya seberapa jauh hukum acara pidana yang saat ini berlaku (khususnya yang terdapat didalam KUHAP) memerlukan peninjauan dan penyesuaian kembali dengan ketentuanketentuan yang terdapat di dalam konsep KUHP Baru tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembaharuan hukum pidana diartikan sebagai suatu usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik, yang sesuai dengan keadilan dan perkembangan masyarakat. Ini berarti bahwa pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari politik hukum pidana sebagai bagian dari politik hukum, yang mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik. Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari politik kriminal (dalam arti penal). Sebab menurut Sudarto 31 tujuan utama dari pembaharuan hukum pidana adalah penanggulangan kejahatan. Pengertian ini sama dengan pengertian politik kriminal.
Sebagai bagian dari upaya penanggulangan kejahatan (melalui sarana penal), maka pembaharuan hukum pidana juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir dari pembaharuan hukum pidana ialah perlindungan masyarakat (social defence). Sehubungan dengan social defence, Barda Nawawi Arief[24] mengemukakan dua interprestasi pokok mengenai social defence :
1)      Interprestasi yang kuno tradisional, yang membatasi pengertian perlindungan masyarakat itu dalam arti “penindasan kejahatan” (repression of crime).
2)      Konsepsi modern, yang menafsirkan perlindungan masyarakat dalam arti “pencegahan kejahatan dan pembinaan pada pelanggar” (the prevention of crime and the treatment of offenders).
Dari uraian di atas, ternyatakan pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian integral dari politik sosial.
b.   Alasan Pembaharuan Hukum Pidana
Timbulnya keadaan yang menuntut usaha untuk menciptakan hukum pidana yang sebaik-baiknya atau melakukan pembaharuan hukum pidana, tentunya karena hukum pidana yang ada sekarang dianggap belum baik dan tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat sekarang. Timbulnya keadaan yang demikian itu tidak lain karena adanya perkembangan masyarakat, baik nasional, regional maupun global dan perkembangan hukum pidana itu sendiri (dalam arti luas yang menyangkut perkembangan teori-teori, ide-ide dan asas-asas serta perkembangan hukum pidana Negara lain). Sehubungan dengan perkembangan masyarakat internasional, Muladi[25] menyatakan bahwa perkambangan internasional ini pada hakikatnya mencakup perkembangan dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan modern tentang kejahatan (modern criminal science), kriminologi maupun dalam bidang politik hukum pidana
Alasan pembaharuan hukum pidana yang dikemukakan diatas, oleh Muladi disebut dengan istilah alasan “adaftif”, yakni bahwa KUHP nasional di masamasa yang akan datang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang telah disepakati oleh masyarakat beradab.
Urgensi untuk melakukan pembaharuan hukum pidana, sehubungan dengan perkembangan masyarakat (termasuk juga meningkatnya kriminalitas), menjadi topik pembicaraan dalam forum internasional, yaitu dalam Kongres PBB mengenai Prevention of crime and the Treatment af Offenders. Pada Kongres ke-4 tahun 1970 di Kyoto antara lain dikemukakan, bahwa perbedaan telah terjadi antara perubahan-perubahan yang cepat didalam pola-pola kejahatan pada dua puluh lima tahun yang lalu dengan perubahanperubahan yang relatif lembat dan konvensional di dalam perundangundanganpidana. Keadaan ini menuntut suatu pembaharuan hukum apabila negara-negara akan secara efektif menghadapi tantangan-tantangan dari masyarakat modern. Kemudian pada tahun 1975, PBB melalui Kongresnya di Jenewa mengemukakan suatu penilaian mengenai sistem peradilan pidana, antara lain dinyatakan dalam salah satu laporannya, bahwa mekanisme hukum dan peradilan pidana dibanyak negara telah menjadi ketinggalan zaman atau tidak sesuai dengan kenyataan.
Disamping alasan perkembangan masyarakat, masih ada alasan lain yang menuntut perlunya dilakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu alasan  politis, alasan sosiologis dan alasan praktis[26]. Ketiga alasan ini sebenarnya merupakan alasan klasik yang menuntut perlunya suatu negara melakukan pembaharuan hukum. Alasan politik dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional. Alasan sosiologi menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, sedangkan alasan praktis, antara lain bersumber pada kenyataan bahwa biasanya bekas-bekas negara jajahan mewarisi hukum negara yang menjajahnya dengan bahasa aslinya, yang kemudian banyak tidak dipahami oleh generasi mudai dari negara yang baru merdeka tersebut. Hal ini disebabkan oleh keinginan bangsa yang baru merdeka untuk menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa kesatuan. Demikian juga halnya dengan bangsa Indonesia yang berusaha untuk melakukan pembaharuan hukumnya secara menyeluruh, baik hukum perdata, hukum administrasi, maupun hukum pidana.
Di dalam TAP MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN tersurat beberapa pedoman yang dapat dijadikan landasan bagi pembangunan di bdiang hukum. Pertama, ialah yang terdapat didalam Pola dasar Pembangunan Nasional, khususnya mengenai Wawasan Nusantara (Bab II Huruf E) yang antara lain menegaskan, bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam artibahwa hanya ada satu Hukum Nasional yag mengabdi kepada Kepentingan Nasional. Kedua, adalah pedoman yang terdapat didalam Sasaran Bidang Pembangunan Jangka Panjang Kedua Bidang Hukum (Bab III Huruf E Butir 5) yang berbunyi :Terbentuknya dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan memperhatikan Kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjalani kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum.
Dari kutipan diatas, ternyata pembaharuan hukum pidana Indonesia tidak saja didasarkan pada alasan politik, alasan sosiologis, alasan praktis, serta alasan adaptif, tetapi juga didasarkan pada alasan pembangunan nasional. Dibidang hukum pidana sejak lama telah dilakukan usaha-usaha untuk memperbaharui hukum pidana material (hukum pidana substantif), yang harus dilakukan bersama-sama dengan hukum pidana yang lain, yakni hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckunsdgesetz). Semuanya dalam kerangka mewujudkan satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.
Dibidang hukum pidana material, usaha pembaharuan tersebut dalam arti pembentukan KUHP baru untuk menggantikan Wetboekvan Strafrevht (WvS) yang sering disebut Kitab Undang-undang Hukium Pidana (KUHP) yang telah bertahan selama hampir 100 tahun sejak dinyatakan berlaku pada tangal 1 Januari 1918, telah dimulai sejak tahun 1963, yaitu sejak adanya rekomendasi Seminar Hukum Nasional I, yang menegaskan agar pembuatan Rancangan Kodifikasi Hukum Pidana baru segera dilaksanakan, maka dimulai penyusunan Rancangan Konsep) KUHP Baru tahun 1964 sebagai rancangan yang pertama. Kemudian berturut-turut tahun 1968, Rancangan tahun 1971/1972, Rancangan tahun 1982/1983, Rancangan tahun 1987/1988 dan terakhir sampai saat ini dengan melalui pengkajian dan penyempurnaan dihasilkan Rancangan tahun 1991/1992.
Menganalisis pengertian kelima alasan pembaharuan hukum pidana diatas,
dapat dinyatakan bahwa kelima alasan pembaharuan hukum tersebut mengandung makna yang sangat penting dalam mewujudkan hukum pidana yang lebih baik dari pada hukum pidana yang ada sebelumnya. Penting, artinya sebagai ukuran dalam menentukan baik atau tidaknya hukum pidana sebagai hasil pembaharuan itu. Dikatakan baik apabila hukum pidana yang dihasilkan oleh pembaharuan itu sesuai dengan arti dan hakikat kelima alasan tersebut. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa kelima alasan pembaharuan hukum pidana tersebut, disamping sebagai alasan sekaligus berperan sebagai tujuan. Untuk mengetahui tentang sejauhmana peranan kelima alasan pembaharuan hukum pidana tersebut dalam mewujudkan hukum pidana yang baik, dapat dilihat dalam uraian berikut ini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pembaharuan hukum pidana dapat diartikan sebagai usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik. Menjadi pertanyaan sekarang, apa yang dimaksud dengan lebih baik itu? Apakah yang dimaksud dengan lebih baik itu adalah sesuai dengan tujuan pembaharuan, yaitu penanggulangan kejahatan. Jika demikian, maka bukan tidak mungkin hukum pidana yang baru justru akan lebih buruk daripada yang ada sekarang. Sebab, menurut barda Nawawi Arief[27] penanggulangan kejahatan sebagai tujuan sering digunakan dengan berbagai istilah seperti “penindasan kejahatan” (repression of crime), “pengurangan kejahatan” (reduction of crime), dan “pengendalian kejahatan”(control of crime).
Melihat banyaknya istilah yang dapat digunakan terhadap “penanggulangan kejahatan” disatu sisi, dan belum adanya definisi istilah “lebih baik” disisi lain, maka bukan tidak mungkin dalam rangka mewujudkan tujuan pembaharuan hukum pidana (penanggulangan kejahatan), hukum pidaba yang akan datang (sebagai hasil pembaharuan) lebih tidak manusiawi daripada hukum pidana yang ada sekarang, sebab hukum pidana yang ada sekarang tidak mungkin menanggulangi kejahaan karena ketidakmampuannya. Oleh karena itu hukum pidana yang akan datang harus lebih keras lagi. Kalau demikian, maka produk pembaharuan bukannya yang lebih baik, tetapi yang lebih buruk dan tidak manusiawi. Untuk menghindari kemungkinan terciptanya hukum pidana yang hanya berorientasi terciptanya hukum pidana yang hanya berorientasi pada tujuan pembaharuan hukum pidana, yaitu penanggulangan kejahatan, maka penempatan kelima alasan pembaharuan hukum pidana sebagai acuan untuk menentukan baik buruknya suatu hukum pidana merupakan kebijakan yang sangat tepat. Bagaimana tidak, alasan politik yang dilandasi oleh pemikiran bahwa suatu negara merdeka harus mempunyai hukum sendiri yang bersifat nasional, akan menuntut penciptaan hukum yang lebih baik, lebih manusiawi daripada hukum kolonial, karena subyek hukum bukan lagi bangsa jajahan, tetapi bangsa sendiri yang merdeka. Demikian pula dengan pembuat hukumnya, bukan lagi bangsa penjajah, melainkan bangsa sendiri yang merdeka.
Alasan sosiologi menghendaki adanya hukum yang mencerminkan nilai kebudayaan bangsa, jelas menuntut penciptaan hukum sesuai dengan nilainilai Pancasila. Ini berarti bahwa hukum harus melihat subyeknya sebagai manusia pribadi, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan. Alasan praktis menuntut penciptaan hukum yang mudah dimengerti, singkat, jelas dan tidak berbelit-belit bahasanya, sehingga masyarakat umum mudah memahaminya. Alasan adaptif menuntut penciptaan hukum yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat, baik nasional, regional maupun internasional. Kecenderungan internasional saat ini lebih banyak melihat kejahatan sebagai masalah sosial daripada kejahatan sebagai masalah kemanusiaan. Oleh karena itu kecenderungan internasional saat ini dalam menanggulangi kejahatan lebih menitikberatkan pada upaya preventif. Kecenderungan internasional itu harus benar-benar diperhatikan dalam melaksanakan pembaharuan hukum pidana, jika bangsa Indonesia tidak ingin dikatakan sebagai bangsa terbelakang. Terakhir adalah alasan ini menuntut penciptaan hukum pidana yang mengabdi kepada kepentingan nasional, dalam arti hukum harus mampu memantapkan dan mengamankan pelaksanaan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya. Dalam hal ini hukum berfungsi sebagai instrumen, alasan ini nampaknya lebih mengedepankan dalam pelaksanaan politik hukum pidana selama ini.
c.  Pelaksanaan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Dengan keluarnya Undang-undang No. 1 tahun 1946, pembaharuan hukum pidana di Indonesia dimulai. Undang-undang ini ditetapkan pada tanggal 26 Februari 1946 di Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia, oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Menteri Kehakiman Soewardi. Satusatunya konsideran dari Undang-undang ini berbunyi : “Menimbang, bahwa hukum pidana baru, perlu peraturan hukum pidana disesuaikan dengan keadaan sekarang”. Dengan demikian maka undang-undang ini merupakan peraturan peralihan, yang memuat hukum transitoir, dan hal ini tampak dalam Pasal 1, yang menetapkan, “Bahwa peraturan-peraturan hukum perdata yang
sekarang berlaku dan peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1945”[28]. Beberapa hal yang perlu diketahui dalam undang-undang No. 1 tahun 1946 sebagai berikut :
1)      Pasal V yang mendandai undang-undang tersebut sebagai aturan peralihan menetapkan, bahwa “peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku lagi”. Pasal ini menurut Sudarto 38 merupakan pasal penguji apakah suatu ketentuan peraturan perundang-undangan pidana masih dapat diterapkan oleh hakim atau tidak. Jadi pasal ini dapat digunakan untuk mendekriminalisasikan atau mendepenalisasikan suatu ketentuan dalam hukum pidana.
2)      Pasal VI merubah secara resmi nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht saja, yang disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana” (KUHP
3)      Pasal VII memuat perubahan kata-kata dan penghapusan berbagai pasal dalam KUHP.Adanya penciptaan delik-delik baru yang dianut dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI. Dari delik-delik baru itu, yang menarik perhatian ialah delik yang dimuat dalam Pasal XVI, ialah “dengan sengaja menjalankan suatu perbuatan terhadap bendera kebangsaan Indonesia yang dapat menimbulkan perasaan penghinaan-penghinaan kebangsaan”. Pasal ini kemudian dicabut pengaturan di dalam {pasal 154a KUHP).
Selain Undang-undang No. 1 tahun 1946, masih banyak undang-undang yang lain yang dianggap produk pembaharuan hukum pidana di Indonesia, yaitu antara lain Undang-undang No. 20 tahun 1946, Undang-undang No. 73 tahun 1958, Undang-undang No. 1 PNPS tahun 1965, Undang-undang No. 11 PNPS tahun 1963, Undang-undang No. 7 tahun 1955 dan lain-lain. Undang-undang No. 20 tahun 1946 menambahkan jenis pidana pokok. Dalam Pasal 10a KUHP dan Pasal 6a KUHPT dengan satu pidana pokok baru ialah hukuman tutupan. Undang-undang No. 73 tahun 1958 mencabut Pasal XVI Undang-undang No. 1 tahun 1946 dan memasukkan beberapa Pasal dalam KUHP, yaitu pasal 5a, Pasal 142a, dan Pasal 154a, yang semuanya menyangkut bendera Indonesia. Pada awal tahun 1965, dalam KUHP disisipkan satu pasal, yaitu Pasal 156a berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965. PNPS ini bertujuan untuk melindungi agama terhadap ucapan-ucapan dan praktik-praktik yang dipandang dapat mengurangi kesucian agama. Undang-undang No. 11 PNPS tahun 1963 tentang Pemberitahuan Kegiatan Subversi ini merupakan peraturan dalam keadaan darurat. Hal ini dapat disimpulkan dari bentuknya semula sebagai Penetapan Presiden.
d.  Dilema Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Sistem hukum pidana Indonesia menampakkan diri sebagai suatu dilema. Disatu pihak ia menghendaki pembaharuan, dilain pihak terdapat keadaan yang kurang mendukung pembaharuan itu. Sementara itu dengan tidak terasa Wetboek (selanjutnya disingkat WvS atau KUHP) yang sehari-hari digunakan di pengadilan-pengadilan, telah berusia hampir 100 tahun. Selama itu ia mengalami penambahan, pengurangan atau perubahan. Namun jiwanya tetap tidak beruhan. Kedudukan WvS ini dalam sistem hukum pidana Indonesia penting sekali, bahkan bersifat sentral. Pertama, karena di dalamnya terdapat penyebutan tindak pidana-tindak pidana yang meliputi hampir seluruh kehidupan negara, masyarakat umum dan orang perorangan.
Kenyataan ini sesuai dengan sifatnya sebagai kodifikasi hukum pidana, yang menghendaki pembukuan hukum pidana secara sistematis, lengkap dan tuntas. Kedua, karena ketentuan umum yang terdapat di dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku kesatu berlaku juga untuk tindak pidana-tindak pidana yang dirumuskan di dalam peraturan di luar WvS, kecuali apabila oleh undang-undang ditentukan lain. Sehubungan dengan kedudukan sentral tersebut, maka pembaharuan hukum pidana mau tidak mau harus menyangkut pembaharuan WvS atau KUHP. Hanya saja masih menjadi masalah apakah pembaharuan itu hanya berupa suatu revisi atau perombakan sama sekali. Dalam hal ini baik juga untuk diperhatikan apa yang dikatakan oleh Gustav Radbruch, bahwa membaharui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana, melainkan menggantikannya dengan yang lebih
baik (Das Strafrecht re formieren heiszt nicht das Strafrecht verbesser, sondern er ersetzen durch etwas Besseres)[29] Usaha pembaharuan itu tidak begitu saja timbul, melainkan didorong oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi sesudah perang dunia II, baik nasional, regional maupun internasional, dan untuk negara yang baru merdeka juga karena ada peruahan di bidang ketatanegaraan. Hukum pidana sebagai sistem sanksi yang negatif, memberi sanksi terhadap perbuatanperbuatan yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Hal ini berhubungan dengan pandangan hidup, tata susila dan moral keagamaan serta kepentingan dari bangsa yang bersangkutan. Tidak salah kiranya kalau sampai batas tertentu dapat dikatakan bahwa hukum pidana suatu bangsa dapat merupakan indikasi dari peradaban bangsa itu.
Di Indonesia telah sejak lama dilakukan usaha-usaha untuk melakukan pembaharuan hukum pidana, baik hukum pidana material (hukum pidana substantif), hukum pidana formal (hukum acara pidana) maupun hukum pelaksanaan pidana. Semuanya ini di dalam suatu kerangka untuk mewujudkan suatu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 194542 Selanjutnya dikemukakan oleh Muladi, bahwa pembangunan dalam bidang hukum tersebut dan khususnya dalam hal ini pembangunan hukum pidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktual, yakni pembangunan lembaga-lembaga hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme, tetapi harus pula mencakup pembangunan substansial berupa produk-produk yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan-peraturan hukum pidana dan yang bersifat kultural, yakni sikapsikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya suatu sistem hukum. Pembaharuan hukum pidana sebagai perwujudan pembangunan hukum pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masma yang akan datang dalam rangka menjamin terwujudnya negara hukum, menjamin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah makna pembangunan hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di bidang hukum pidana formal (hukum acara pidana), makna pembangunan hukum yang demikian itu dapat dianggap telah terwujud dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), walaupun di sana sini masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan. Di bidang hukum pidana material (hukum pidana substantif), usaha pertama untuk mengadakan pembaharuan ialah dengan dibentuknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam Seminar Hukum Nasional ke-1 tahun 1963 diterima resolusi yang antara lain “menyerukan dengan sangat agar rancangan kodifikasi Hukum Pidana nasional selekas mungkin diselesaikan”. Kemudian pada tahun 1964 keluarlah Konsep Rancangan Undang-undang tentang asas-asas dan dasar-dasar pokok tata hukum dan hukum pidana Indonesia, yang dimaksudkan untuk menggantikan asas-asas dan dasar-dasar serta Pasal 1 sampai dengan 103 WvS. Pada tahun 1968 keluarlah penerbitan dari Lembaga Pembinaan Hukujm Nasional yang memuat Konsep Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku I, di samping konsep ruangan rancangan undangundang yang lain. Konsep Rancangan KUHP tahun 1968 itu, pada tahun 1971 mendapat meninjau dari suatu kelompok yang disebut TIM Penyusun Rencana Undang-undang KUHP dari Lembaga Pembinaan Hukum Nasional.





BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Pengertian Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang ditertibkan oleh Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Cetakan ke-3 tahun 1990. “Pelaksanaan adalah proses atau cara perbuatan melaksanakan”. Menurut Sudarto[30] “Melaksanakan Politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna”. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan[31] “Bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang”. Dengan demikian pelaksanaan politik hukum pidana dapat diartikan sebagai proses atau cara mewujudkan peraturan perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi saat ini dan masa yang akan datang dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Adapun proses atau cara mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana tersebut dalam kenyataan, mencakup tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekusi yang melibatkan tiga komponen atau faktor yang terkait dalam penegakan hukum, yaitu komponen kultur atau nilai hukum, komponen struktur hukum dan komponen substansi hukum.
B. Pendekatan Dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
1.  Pendekatan Integral Antara Kebijaksanaan Penal dan Nonpenal
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi juga dapat menggunakan sarana nonpenal. Usaha-usaha nonpenal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka pengembangan tanggung jawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara terus-menerus oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Usaha-usaha ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali mencakup seluruh sektor kehidupan nasional.
Tujuan uatama usaha nonpenal tersebut adalah memperbaiki kondisi-kondisisosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang nonpenal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci yang harus diefektifan dan diiternsifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu, suatu politik kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan negara yang teratur dan terpadu.
Dengan pendekatan politik yang integral inilah diharapkan social defence planning benar-benar dapat berhasil dan dengan demikian diharapkan pula tercapai hakikat tujuan politik sosial yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional, yaitu kualitas lingkungan hidup yang sehat dan bermakna.
2.  Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai
Tiga masalah sentral dalam politik kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (politik hukum pidana), yaitu masalah penentuan:
1)      Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
2)      Siapa yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana; dan
3)      Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisaan terhadap ketiga masalah sentral diatas tidak dapat dilepaskan dari konsepsi, bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari politik sosial. Ini berarti bahwa pemecahan masalah-masalah tersebut diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari politik sosial yang telah ditetapkan. Dngan demikian politik hukum pidana (termasuk pula dalam menangani tiga masalah sentral di atas) harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasikan pada kebijakan (policy oriented approach). Berdasarkan pada pendekatan yang berorientasi pada politik sosial inilah kiranya Sudarto[32] berpendapat, bahwa dalam mengatasi masalah sentral di atas yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
1)      Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengangguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2)      Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan ketugian baik material maupun spiritual atas warganya. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan kelampauan beban tugas (overbelasting)
Penggunaan sarana penal atau (hukum) pidana dalam suatu politik criminal memang bukan merupakan posisi strategis dan memang banyak menimbulkan persoalan. Sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan yang dapat disederhanakan dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan saja hukum pidana dan pidana sama sekali. Persoalannya tidak terletak pada masalah eksistensinya. Tetapi terletak pada masalah kebijakan penggunaannya. Oleh karena itu, sebagai suatu masalah kebijaksan/politik, sudah barang tentu penggunaannyapun tidak dilakukan seara absolut, karena pada hakikatnya tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan/politik.
C. Tahap Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
Upaya penanggulangannya kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari upaya penegakan hukum. Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari politik atau kebijakan penegakan hukum. Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dilihat sebagai suatu proses kebijakan, pelaksanaan politik hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap:
1)      Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan/pelaksanaan politik hukum pidana inabstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan legislatif.
2)      Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan politik hukum pidana oleh para penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kadua ini sering pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3)      Tahap aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau administrasi.
Ketiga tahap tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Jadi tegasnya, kebijakan (pembangunan) nasional harus diusahakan terwujudnya pada ketiga tahap pelaksanaan politik hukum pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa politik hukum pidana merupakan bagian integral dari politik sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by “kemampuan yang lebih” atau “kemampuan plus” dari setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuanb dan kemampuanyang memadai di bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya “pembagunan masyarakat denganmhukum pidana”. Disamping itu, karena pambangunan mengandung berbagai dimensi (multi dimensi), maka juga peningkatan berbagai pengetahuan (multidisiplin).
D. Dimensi Kemanusiaan Dalam Pelaksanaan Politik Hukum
Menurut Mulyana W. Kusumah[33] Proses penegakan hukum dapat dilihat melalui dua sudut pandang :
1)      Dari sudut pandang kultural, penegakan hukum adalah upaya yang dilaksanakan oleh alat-alat sosial kontrol (pengendalian sosial) resmi untuk melaksanakan internalisasi hukum pada warga masyarakat.
2)      Dari sudut pandang struktural, penegakan hukum adalah bekerjanya berbagai organisasi yang mewakili pola kepentingan dan konstelasi nilai-nilai dominan untuk menciptakan “keamanan dan ketertiban” sesuai dengan ideologi hukum yang berkuasa.
Selanjutnya dinyatakan oleh Mulyana W. Kusumah, bahwa pada suatu masyarakat yang menampilkan kondisi hukum represif, terlihat bahwa dasar keabsahannya terutama terletak pada social defence (perlindungan sosial) dengan ciri-ciri antara lain pranata hukum tunduk pada politik kekuasaan dalam arti kelestarian adalah tugas penegakan hukum dengan sifat-sifat paksaan yang meluas. Dalam kondisi ini, seringkali terjadi apa yang disebut “keadilan kelas” (class justice) dengan kecenderungan kuat kearah kriminalisasi tindakan golongan masyarakat yang dipandang membahayakan pusat-pusat kekuasaan. Dalam hal ini ,unsur-unsur sistem peradilan pidana (misalnya), bekerja melalui proses sangat selektif dan melibatkan suatu jaringan diskresi yang luas oleh aparat penegak hukum. Prinsip penegakan hukum yang berpijak pada gagasan tentang negara hukum dan the rule of law, pada dasarnya telah meletakkan syarat-syarat bagi transpormasi hukum represif (yang merupakan ciri hukum kolonial) ke kondisi dasar hukum otonom yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri serta hukum responsif yang merupakan sarana respon atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, aparat penegak hukum di Indonesia sesungguhnya telah mempunyai landasan yang kokoh, oleh karena prinsip tersebut telah terkandung di dalam UUD 1945.
Persoalan yang utama dalam proses penegakan hukum berkisar antara lain pada efektifitas dan dampak sosialnya. Efektivitas penegakan hukum jelas tidak dapat diukur semata-mata berdasarkan kriteria rancu, seperti jumlah warga negara yang terkena sasaran penegakan hukum dan sebagainya. Penilaian terhadap efektivitas penegakan hukum ditentukan oleh seberapa jauh rangkaian upaya penegakan hukum dalam kurun waktu tertentu sudah mendekatkan pada tujuan hukum, yakni keadilan, atau seberapa jauh nilainilai hukum proses-proses maupun nilai-nilai hukum substansi telah terimplementasi melalui penegakan hukum.
E. Keterpaduan Dalam Pelaksanaan Politik Hukum Pidana
Untuk dapat menilai keterpaduan dalam pelaksanaan politik hukum pidana, maka komponen-komponen yang terdapat dalam politik hukum pidana harus benar-benar diinventarisasikan, baik komponen yang bersifat substansial,
komponen yang bersifat struktural maupun komponen yang bersifat kultural. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan politik hukum pidana dalam arti sempit, merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana material, hukum pidana formal maupun pelaksanaan pidana. Namun demikian, Kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja, akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran yang bersifat material yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus dipehatikan dalam penegakan hukum pidana. Untuk itu, Oemar Senoaji pernah memperkenalkan apa yang dinamakan penafsiran yang bersifat futuristik. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini apa yang dinamakan batas umur minimal pertanggungjawaban pidana (minimum age criminal responsibility). Apabila kita hanya mengacu pada Pasal 45 KUHP, maka bayi yang baru lahir pun dapat dijatuhi pidana. Hal ini tidak akan terjadi apabila aparat penegak hukum berani, mau dan mampu berpikir maju, sebagaimana sudah dirumuskan dalam Konsep Rancangan KUHP baru, bahwa “Batas minimum pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun”. Rumusan ini sekalipun masih bersifat konsep, namun menurut Muladi[34] “merupakan kristalisasi pandangan yang sudah diakui oleh legal community Indonesia”. Menerapkan hukum pidana yang diciptakan lebih dari 100 tahun yang lalu secara yuridis dogmatis dalam konteks sosial sekarang, jelas akan memberikan citra buruk bagi sistem peradilan pidana Indonesia.
Secara struktural pertama-tama harus dilihat lembaga atau badan pembuat
hukum. Sejauh mana lembaga legislatif ini mampu mengekspresikan nilai-nilai
yang diakui dan diterima oleh masyarakat kedalam substansi hukum pidana, baik hukum pidana material. Kemudian lembaga atau badan pelaksana hukum pidana, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga-lembaga koreksi, baik yang bersifat institusional maupun noninstitusional. Dalam hal ini lembaga penasehat hukum harus ditambahkan. Demikian pula apabila yang dibicarakan kelembagaan yang bersifat kultural. Dalam hal ini harus ada konsistensi terhadap pandangan, sikap dan bahkan falsafah yang mendasari sistem peradilan pidana.
F. Pembinaan Struktur Hukum Pidana
1. Pengertian Pembinaan Struktur Hukum Pidana
Sebelum merumuskan pengertian pembinaan struktur hukum pidana, terletih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan pembinaan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa Cetakan ke-3 tahun 1990. 117), Pembinaan diartikan sebagai:
1)      Proses, perbuatan, cara membina;
2)      Pembaharuan, penyempurnaan;
3)      Usaha, tindakan, kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Bertolak dari pengertian pembinaan tersebut, maka pembinaan struktur hukum pidana dapat diartikan sebagai usaha atau kegiatan penyempurnaan struktur hukum pidana yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil berupa struktur hukum pidana yang benar dan adil sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Bertolak dari pengertian di atas dapat dinyatakan, bahwa penempatan istilah pembinaan dalam istilah struktur hukum pidana memberi bebagai macam interprestasi terhadap struktur hukum pidana. Berbagai macam interprestasi tersebut antara lain :
1)      Bahwa struktur hukum pidana belum baik, oleh karena itu perlu dibina agar menjadi baik.
2)      Bahwa struktur hukum pidana sudah baik, tetapi belum maksimal, oleh karena itu masih perlu dibina agar lebih baik.
3)      Bahwa struktur hukum pidana sudah baik, agar tetap baik maka perlu dibina.
Ketiga interprestasi diatas menunjukkan bahwa apapun keadaan struktur hukum pidana (belum baik, sudah baik atau lebih baik), pembinaan tetap diperlukan. Menurut Soetjipto Rahardjo[35] istilah pembinaan hukum (baca struktur hukum, lebih mengacu kepada efisiensi, sehingga istilah tersebut hukum. Namun apakah dengan demikian ia lalu meninggalkan segi pembuatan hukum? Apabila kita ingin berbicara mengenai pembinaan struktur hukum dalam arti yang lengkap, masalah pembuatan hukum pun termasuk di dalamnya. Tentukanlah kita tidak dapat mengharapkan berbicara tentang pembinaan struktur hukum secara bersungguh-sungguh apabila kita hanya mempersoalkan tentang bagaimana meningkatkan efisiensi kerja dari lembaga-lembaga penegak hukum. Pada suatu ketika, usaha untuk meningkatkan efisiensi hukum juga dimulai dari pembuatan peraturannya sendiri. Dengan demikian, kita akan menjumpai wilayah-wilayah tempat kaitan antara pembaharuan (substansi) hukum, pembinaan (struktur) hukum dan pembangunan (kultur) hukum tersebut bertemu.
Untuk Indonesia, masalah pembinaan (struktur) hukum dalam kaitan dengan pembaharuan (substansi) hukum, perlu mendapat tempat yang seksama dalam pembicaraan. Pembaharuan hukum mempunyai kaitan yang kuat dengan
pengertian politik, mulai dari pembentukannya sampai kepada pelembagaannya melalui berbagai lembaga dan kekuatan di Indonesia, yang ingin dimulai dari landasannya yang paling fundamental, yaitu pembuatan atau penyusunan tata hukum Indonesia baru. Hal ini berarti usaha perubahan secara fundamental terhadap tatanan hukum yang lama untuk digantikan dengan tatanan yang baru sama sekali. Oleh karena itu pembahasan mengenai pembinaan struktur hukum pidana tidak hanya terbatas pada lembaga atau badan penegak hukum dalam arti sempit saja (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakat dan lain-lain), melainkan juga mencakup lembaga atau badan pembuat hukum (undang-undang). Masing-masing komponen struktur hukum ini mempunyai fungsi-fungsi tersendiri di dalam bekerjanya sistem hukum, dnegan satu tujuan, yaitu terwujudnya penegakan hukum yang benar dan adil. Secara singkat dapat dikatakan bahwa hukum bekerja melalui manusia (aparat penegak hukum). Oleh karena itu tidak dapat disangkal apa yang dikatakan oleh Soerjoino Soekanto, Hengkie Liklikuwata dan Mulyana W. Kusumah[36] bahwa komponen yang bersifat struktur ini memungkinkan kita untuk mengharapkan bagaimana suatu system hukum itu seharusnya bekerja (law in the books).
2. Alasan Pembinaan Struktur Hukum Pidana
Dalam ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok Reformasi
Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, dinyatakan : Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa telah terjadi penyalahgunaan wewenang , pelecehan hukum, pengabdian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Selanjutnya dinyatakan di dalam TAP MPR No. X/MPR/1998 diatas, bahwa : Pembinaan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan sertaberkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradilan. Penegakkan hukum belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihak yang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pda posisi yang lemah.
Dilihat dari segi hukum sebagai suatu sistem di mana komponen structural dapat diibaratkan sebagai suatu mesin yang menjadikan hukum itu bekerja, maka dapat dinyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya kenyataan sebagaimana dinyatakan di dalam Ketetapan MPR diatas, adalah karena komponen struktur hukum belum berfungsi dengan baik. Artinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berfungsi sebagai pembuat hukum belum melaksanakan tugasnya dengan baik; demikian juga halnya dengan kepolisian yang berfungsi sebagai penyidik dan penyelidik; kejaksaan yang berfungsi sebagai penuntut; pengadilan yang berfungsi mengadili dan lainlain lembaga yang termasuk dalam kategori komponen struktural hukum, belum melaksanakan fungsinya dengan baik. Secara umum ada dua faktor yang menyebabkan komponen struktural belum berfungsi dengan baik :
1)      Lembaga atau badan yang termasuk dalam kategori komponen struktural belum memahami fungsinya yang sebenarnya.
2)      Lembaga atau badan yang termasuk dalam kategori komponen struktural sudah mengerti dan memahami fungsinya masing-masing, tetapi enggan melaksanakannya.
3)      Untuk mengatasi permasalahan diatas, maka tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembinan secara benar terhadap kelembagaan struktural tersebut.
3. Keadaan Struktur Hukum Pidana
Dewasa ini perundang-undangan dan pemerintah memegang peranan dalam berbagai bidang pengaturan kehidupan sehari-hari yang semakin hari semakin besar pula. Proses sosial ekonomi tidak lagi dibiarkan kepada percaturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Pemerintah mencampuri hal-hal ini dengan jalan memeliharanya, mengaturnya, bahkan membagi-bagi diantara mereka. Dikatakan pula, bahwa tendensi liberal “dari status kepada kontrak”, ternyata dapat dibalik. Semakin banyak bidang yang menghapuskan kebebasan berkontrak dan secara paksa pembentuk undang-undang masuk diantaranya. Hubungan-hubungan kerja diatur dengan undangun dan dan berbagi kewajiban-kewjiban jaminan sosial lahir berturut-turut.
Masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat ditangani dengan perundang-undangan. Begitu pula politik moneter dan kebijakan penanaman modal. Pemerintah berusaha memelihara keseimbangan dalam pasar. Perhatian diarahkan kepada persoalan seberapa jauhkah hukum mampu mempengaruhi hubungan-hubungan kemasyarakatan. Pemerintah berusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan alat-alat yang ada padanya. Salah satu alat-alat itu adalah hukum pidana. Tidak seorang pun dewasa ini meragukan, bahwa pemerintah mempunyai fungsi mengatur yang penting sekali dan bahwa ia harus melindungi kesehatan dan lingkundan hidup, bahwa ia harus menjaga agar terbuka kesempatan kerja, bahwa ia menjaga agar terjadi pembagian yang baik atas barang-barang. Namun adalah penting pula untuk diketahui bagaimanakah dia melakukan segala sesuatunya itu dan kenapa dia telah menetapkan prioritas-prioritas atas hal-hal tertentu. Apakah peranan pemerintah yang telah merubah itu memang dapat menimbulkan perubahan yang mendalam menganai hubungan kekuasaan yang bersifat sosial ekonomi, adalah suatu pertanyaan yang tidak dapat secara positif dijawab dengan sama. Politik pemerintah dalam bidang sosial ekonomi pasti bukan hanya hasil dari suatu usaha yang bersifat kolektif, yang keseimbangannya tidak dapat lagi dijamin oleh pasar bebas dari barang-barang dan jasa-jasa. Ekploitasi modal dapat dipertahankan jika pemerintah menjalankan politik sosial dan ekonomi yang dapat menstabilkan jalan ekonomi itu. Diadakannya jaminan sosial, dijaminnya kesejahteraan minimal, dijadikannya upah yang dapat memberikan kesejahteraan, semua ini membuat masa setia kepada suatu sistem sosial ekonomi.
Dalam bidang peradilan pidana menonjol suatu kenyataan yang melenyapkan kepastian-kepastian yang selama ini didasarkan rasionalisme. Gambaran tentang manusia yang rasional dan individual yang dipandang dapat dengan bebas menguasai dirinya sendiri dan dengan bebas pula menentukan perbuatan-perbuatan apa yang akan dilakukannya yang tahu benar tentang segala akibat dari kelakuan yang dilakukannya atas dasar pilihannya sendiri itu, dan dengan demikian ia sendiri pula akan bertanggung jawab, ternyata tidak cocok dengan apa yang ditemukan oleh ilmu-ilmu tentang kelakuan manusia. Perhatian lalu bergeser dari delik sebagai hasil pilihan yang bebas oleh pelaku itu sendiri, yang sejak Lambroso dan Gorafalo dipandang sebagai suatu produk dari pengaruh-pengaruh bioantropologis, psikologis dan sosial. Suatu hukum pidana yang didasarkan kepada pembalasan terhadap kesalahan yang bersifat proporsional, ternyata tidak mampu melindungi masyarakat.
Pada bagian akhir dari abad ke-19 semakin kenara tentang adanya gerakan dalam hukum pidana yang mempengaruhi pikiran hukum pidana abad ke-20, yaitu yang disebut Defense Sociale. Jelas sekali diterangkan, bahwa perhatian haruslah terutama “ditujukan kepada perlindungan masyarakat”. Pembalasan kesalahan yang bersifat proporsional tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang suci. Pembalasan kesalahan yang bersifatproporsional tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang suci. Pembalasan kesalahan yang bersifat proporsional tidak dapat memberikan perlindungan dari penjahat-penjahat yang “berbahaya”. Terhadap penjahat-penjahat seperti itu orang dapat bertindak dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengamankan dan jika perlu untuk waktu tidak tertentu. Juga “pikiran-pikiran untuk merawat dan memelihara” masuk ke dalam hukum pidana. Paralel dengan pertumbuhan dan perkembangan negara kesejahteraan yang bersifat sosial, hukum pidana berkambang menjadi hukum yang bersifat “memelihara”, “resosialisasi”, “memberikan bentuan” dan sebagainya. Akhirnya hukum pidana lalu menutup wajahnya yang bersifat represif itu dengan usaha-usaha membuat penjahat dapat lebih baik menyesuaikan diri. Akhir-akhir ini dibanyak negara semakin banyak perhatian tertuju kepada masalah penentuan perbuatan sebagai delik (kriminalisasi) hukum penghapusan penentuan perbuatan sebagai delik (dekriminalisasi). Perhatian yang demikian ini adalah akibat dari keresahan yang ditimbulkan oleh caracara hukum pidana melakukan tugasnya. Juga karena bertambahnya pengetahuan orang-orang tentang akibat-akibat dari penggunaan hukum pidana, baik terhadap mereka yang dinyatakan sebagai penjahat (misalnya stigmatisasi), terhadap korban kejahatan maupun terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Teori-teori kriminalitas yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya perbuatan dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor-faktor determinan yang mempengaruhi proses ini, ternyata masih terbatas sekali. Sampai saat ini masih terlalu sedikit teori yang diversifisikaasi secara empiris. Disamping hukum pidana tradisional telah tumbuh cabang-cabang hukum pidana yang lain, seperti hukum pidana tentang perlindungan lingkungan dan hukum pidana internasional. Dengan memperhatikan hal-hal yang dikemukakan diatas, kiranya jelas bahwa asas subsidiaritas ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hukum pidana tidak merupakan ultimatum remedium melainkan sebagai primum remedium. Sementara itu dalam keadaan yang bagaimanakah pada umumnya hukum pidana masih dapat berfungsi sebagai remedium? Waktu penentuan-penentuan pidana itu telah menimbulkan beban-benan terlalu berat terhadap para penegak hukum dan lembaga-lembaga hukum pidana dan beban-beban ini langsung menimbulkan akibat-akibat yang tidak baik terhadap bobot dari “kegunaan” hukum pidana itu dan bobot dari “ketetapan” hukum pidana. Beberapa contoh tentang hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut[37] :
1)     Menurut pandangan tradisional, dalam asas legalitas telah tersimpul hal, bahwa dari penentuan pidana di dalam undang-undang terpancar daya kerja yang bersifat prevensi umum terhadap pda penegak hukum. Tandansi kriminalisasi yang tidak dapat disangkal lagi dan menjadi keyakinan dari hukum pidana modern, menunjukkan pikiran picik penguasa mengenai dapat dengan sendirinya ia bekerja untuk mempengaruhi kelakuan-kelakuan orang yang ditimbulkan oleh penentuan dari undang-undang itu.
2)     Bahwa pembentuk undang-undang tidak menduga-duga tentang apa yang dikerjakan itu. Semakin jelas kita dapat mengemukakan bahwa ia sama sekali tidak memperhitungkan tentang akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh “penyidikan” dan “penentuan” terhadap penentuan pidana itu. Oleh karena kemungkinan-kemungkinan dan tenaga lembagalembaga penyidikan dan penuntutan sangat terbatas, maka mereka terpaksa melakukan autoregulasi. Hal ini juga karena semakin bertambahnya penentuan pidana itu. Tidak semua perbuatan pidana akan ada akibatnya. Memang hal ini tidak merupakan suatu masalah, dan dilihat dari asas subsidiaritas pun hal ini bukalnah yang diharapkan. Yang merupakan masalah adalah bagaimana caranya hal ini sampai terjadi.
3)     Jika ingin menggu8nakan hukum oidana sebagai ultimum remedium, maka pertama sekali yang harus diselidiki adalah apakah tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan hukum pidana itu tidak dapat dicapai juga dengan cara-cara lain yang lebih kecil ongkos-ongkos social dan individualnya? Ini menghendaki agar kita mengetahui tentang akibatakibat dari penentuan pidana itu, dan kita dapat menjamin bahwa campur tangan hukum pidana itu memang sangat berguna. Namun dilihat dari segi perundang-undangan ternyata, bahwa tidak satupun pertanyaanpertanyaan itu terpikirkan.
Bertambahnya penentuan pidana disamping telah merusak dimensi asas legalitas (tiga dimensi asa legalitas, yaitu dimensi politik hukum, dimensi politik kriminal dan dimensi organisasi) juga telah mendesak asas perlindungan hukum.
4. Arah Pembinaan Struktur Hukum Pidana
a. Menahan Diri dan Teliti Dalam Menggunakan Hukum Pidana
Pada tahun 1921 seorang pun sarjana terkenuka bernama Leo Polak pernah mengemukakan pada halaman-halaman pertama dari bukunya tentang persoalan-persoalan dasar dari hukum pidana yang belum terpecahkan. Yang dimaksud adalah mengenai kegunaan, tujuan dan lebih-lebih lagi ukuran derita pidana yang dipandang “pantas”. Sekarang telah lebih dari setengah abad sejak Leo Polak mengemukakan hal ini, orang masih juga belum teguh dengan pendapat mengenai persoalan dasar dari hukum pidana itu. Oleh karena itu Van Veen, seorang sarjana lain mengatakan, bahwa hanya karena sopan santunlah maka dikatakan bahwa hukum pidana itu masih mempunyai arti. Maksud sopan santun itu adalah sopan santun terhadap mereka yang bekerja dilingkungan hukum pidana.
b. Menahan Diri dan Teliti Dalam Menggunakan Hukum Pidana diBidang Pembuatan Hukum Pidana.
Menahan diri dan teliti itu, pertama-tama harus dilakukan dalam bidang perundang-undangan. Telah diketahui bahwa mengenai perbuatan pidana ini pertama-tama yang diperlukan adalah adanya suatu undang-undang hukum pidana. Untuk menetapkan undang-undang ini memang memerlukan ahli-ahli hukum sebagai perencana undang-undang. Merekalah yang akan menyusun aturan-aturan hukum dan mereka pulalah nanti yang akan mengusahakan agar aturan-aturan hukum ini berfungsi dengan baik. Namun orang mempertanyakan, apakah cukup dengan ahli-ahli hukum saja? Dikatakan, bahwa tidaklah bijaksana jika pendapat dan keterangan-keterangan dari ahli-ahli ilmu sosial lainnya terutama ahli-ahli sosiologi hukum dan ahli kriminologi tidak didengar. Ketentuan-ketentuan pidana yang telah diadakan itu harus sewaktu-waktu diteliti lagi, apakah masih mempunyai nilai kemasyarakatan untuk diberlakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan pandangan-pandangan dari berbagai segi. Apakah telah dapat dikatakan, bahwa pembentuk undang-undang telah sangat teliti sekali dalam menetapkan aturan-aturan hukum pidana ini? Sukar untuk mengatakan “ya” dengan cukup alasan dan tepat pula. Banyak ketentuanketentuan pidana yang dapat ditunjukkan mengandung ketentuan-ketentuan pidana yang dapat ditunjukkan mengandung kelemahan-kelemahan karena pengaruh “waktu” yang mengusahakan daya manfaatnya itu.
Di samping itu perlu diketahui, bahwa justru pertumbuhan hukum pidana itu pula yang memaksa kita untuk melihat secara kritis dan rasional, apakah yang seharusnya ditentukan oleh pembentuk undang-undang sebagai perbuatan yang dapat pidana. Apa pulakah yang seharusnya dibiarkan untuk tetap tidak dipidana atau menjadi tidak dipidana. Dalam hubungan ini suatu penilaian yang diperbaharui kembali mengenai kelakuan-kelakuan tertentu memainkan peranannya yang penting. Ini adalah persoalan mengenai apakah hukum pidana memang adalah suatu alat untuk mengatur hal-hal seperti itu.
Kenyataan telah memperingatkan dan menunjukkan pula, bahwa banyak kelakuan-kelakuan yang sebenarnya “tidak diinginkan” juga akan lebih tepat memberantasnya dengan sanksi-sanksi yang tidak bersifat pidana. Tegasnya sanksi-sanksi yang tidak mengancam pidana, yang dapat memberantas kelakuan-kelakuan seperti itu dengan baik pula.
Agar menahan diri dan teliti dalam menggunakan hukum pidana ini benarbenar dapat terwujud di bidang perundang-undangan, maka para pembentuk undang-undang hendaknya benar-benar berpegang teguh kepada hal-hal sebagai berikut :
(a) Tujuan dan fungsi hukum pidana;
(b) Asas-asas hukum pidana;
(c) Perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi;
(d)Perlindungan hak-hak asasi manusia berdasarkan instrumen-instrumen internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
(e) Pertimbangan biaya dan hasil;
(f)  Kemampuan aparat penegah hukum;
(g) Lain-lain factor yang berpengaruh pada efektivitas dan kegunaan hukum pidana.
Beberapa hal yang dikemukakan di atas pada intinya mengandung makna,bahwa para pembentuk undang-undang dalam melaksanakan tugasnya harus sadar sesadarnya akan akibat yang ditimbulkan oleh undang-undang yang dibuatnya. Telah disoroti pula mengenai pembentukan undang-undang yang tidak hanya menetapkan mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dikenai hukum pidana, tetapi juga menunjuk macam-macam pidana yang dapat diterapkan. Begitu pula maksimum ukuran pidana. Sekedar mengenai hukum pidana umum tentu telah diketahui, bahwa untuk kejahatan yang dilakukan dengan kesengajaan sampai saat ini yang ditentukan sebagai hukuman pokoknya adalah pidana penjara. Tentu saja ada beberapa pengecualian, tetapi bukanlah tidak terbuka jalan untuk hukum-hukuman lain. Misalnya tentang kemungkinan dijatuhkannya pidana bersyarat. Kemungkinan-kemungkinan ini dalam praktik hukum pidana ternyata banyak sekali digunakan.
Sementara itu banyak laporan penelitian yang telah mengungkapkan, bahwa selagi pidana penjara itu dijalani masih banyak akibat-akibat sampingan yang negatif. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang seharusnyalah berhemat dengan jenis pidana penjara ini. di lain pihak, pembentuk undang-undang seharusnya pula bersikap hati-hati dan menahan diri dalam memberikan wewenang yang besar kepada alat-alat kekuasaan yang menerapkan hukum pidana. Juga alat-alat kekuasaan yang melaksanakan pemidanaan. Suatu kenyataan akhir-akhir ini, banyak bahkan hampir seluruh alat-alat kekuasaan yang menghadapi protes masyarakat selalu “menyanyikan lagu” yang sama, bahwa mereka telah berbuat dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Menahan Diri dan Teliti Dalam Menggunakan Hukum Pidana di Bidang Penerapan dan Pelaksanaan Hukum Pidana.
Melaksanakan hukum pidana berarti menegakkan hukum pidana dalam arti sempit, yaitu menerapkan aturan-aturan pidana jika terjadi atau diperkirakan terjadi perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur hukum pidana. Penegakan hukum pidana dalam arti sempit pula, yaitu polisi, jaksa hakim dan aparat pelaksana pidana termasuk juga penasehat hukum. Pertanyaan sekarang, dengan cara bagaimana aparat penegak hukum dalam arti sempit itu dapat dan harus berusaha untuk menahan diri dan teliti dalam menggunakan hukum pidana? Seperti diketahui, menurut sistem peradilan pidana Indonesia, suatu perkara pidana pada dasarnya tidak akan sampai kepada kejaksaan tanpa terlebih dahulu meliwati kepolisian, sedangkan hakim akan diikutsertakan dalam peradilan pidana hanyalah bilamana kejaksaan berpendapat, bahwa perkara itu perlu diadili. Dalam hubungan ini asas subsidiaritas merupakan pegangan.
Untuk hal-hal yang sekarang dibicarakan, asas ini dapat diterapkan pada tiga jurusan. Pertama, aparat penegak hukum yang melaksanakan hukum pidana itu tidak sampai bergerak bilamana melalui sanksi yang bersifat sosial, tujuan yang sama telah dicapai atau dapat dicapai. Dengan kata lain, hal tidak hukum sebanyak mungkin diusahakan untuk diselesaikan melalui cara-cara diluar hukum pidana. Hal ini berarti pula, bahwa aparat penegak hukum berikutnya hanyalah bilamana, baik dari segi prevensi umum maupun dari segi prevensi khusus benar-benar perlu diteruskan untuk diselesaikan dengan menggunakan hukum pidana. Jika tidak perlu diteruskan, maka polisi akan memberikan peringatan kepada yang bersangkutan tanpa meneruskan perkara itu kepada kejaksaan. Seperti bagaimanakah hakim dapat sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa hukuman yang merampas kemerdekaan itu tidaklah diperlukan atau sudah cukup dengan suatu pidana bersyarat saja? Inilah persoalan yang pelik. Si pembuat mempunyai kesalahan ternyata tidak banyak membantu hakim untuk mencapai kesimpulan mengenai hal itu. Memang kesalahan adalah suatu yang penting dalam menentukan ukuran pidana, tetapi bukanlah suatu alat untuk mencari ukuran pidana itu. Faktor manfaat ternyata juga merupakan suatu syarat bagi kepatutan pidana, baik dilihat dari segi ancaman maupun dari segi ukuran dan bentuk pelaksanaannya. Semua yang dikemukakan terakhir ini merupakan pandangan baru di masa akhir-akhir ini. kebetulan sudah sejak dulu perihal pidana penjara ini menjadi persoalan yang terpenting dalam hukum pidana, bahkan banyak penulis mengatakan, bahwa persoalan pidana penjara ini pulalah yang memberi warna pada hukum pidana dalam gerak dan pertumbuhannya.
G. Pembangunan Kultur Hukum Pidana
1. Pengertian Pembangunan Kultur Hukum Pidana
Untuk merumuskan pengertian pembangunan kultur hukum pidana, terlebihdahulu perlu diketahui rumusan pengertian pembangunan dan rumusan pengertian kultur hukum pidana. Pembangunan adalah segenap tindakan dan kebijakan manusia yang berencana, terpadu dan kontinyu dengan merombak keadaan lama yang menghambat dan mendirikan yang baru yang menopang tujuan itu, sebagai wahana untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohaniah bagi semua individu dan kelompok social[38]. Adapun kultur hukum pidana adalah nilai dan sikap para penegak hukum yang bekerja dalam lingkungan penegakan dan pelaksanaan hukum pidana, yang mengikat system hukum tentang bekerjanya sistem hukum pidana dalam kenyataan.
Bertolak dari pengertian pembangunan dan pengertian kultur hukum pidana diatas, maka pengertian pembangunan kultur hukum pidana dapat dirumuskan sebagai segenap tindakan dan kebijakan manusia yang berencana, terpadu dan kontinyu dengan merombak keadaan kultur hukum pidana yang lama yang menghambat dan mendirikan kultur hukum pidana yang baru yang menopang tujuan penegakan hukum pidana, sebagai wahana untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan rohaniah bagi semua individu dan bagi masyarakat.
2. Alasan Pembangunan Kultur Hukum Pidana
Kalau kita membaca rumusan tujuan kita bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, maka pembangunan hukum paling tidak bertujuan menegakan hukum dalam rangka mewujudkan hak-hak asas manusia, yaitu melindungi dan mensejahterakan segenap bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya selama 32 tahun pemerintahan Orde baru, pembangunan hukum jangankan menghasilkan perlindungan dan kesejahteraan bagi segenap bangsa Indonesia, tetapi yang tejadi jusru sebaliknya. Pembangunan hukum telah menumbuhsuburkan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyimpangan berupa penafsiran hukum yang hanya sesuai dengan selera penguasa. Telah tejadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum pengabaian rasa keadilan, kurangnya pelindungan dan kepastian hukum bagi warga masyarakat. Bertolak dari kenyataan yang dihasilkan oleh pembangunan hukum selama 32 tahun pemerintahan Orde baru, timbul pertanyaan, bagaimana arah dan kebijaksan pembangunan hukum kita selama 32 tahun itu? Sehingga bukannya perlindungan dan kesejahteraan rakyat yang dihasilkan, melainkan sebaliknya, yaitu penindasan dan kemiskinan.
Dengan rumusan yang demikian ini, pembangunan hukum yang mengutamakan pembangunan materi hukum, member keleluasaan kepada pemerintah untuk menciptakan materi hukum yang memberi legitimasi dan mengamankan kebijakan pemerintahan. Sehingga setiap kebijakan dan tindakan pemerintah, sekalipun bertentangan dengan kepentingan (perlindungan dan kesejahteraan) rakyat, tetapi jika sudah ada undang-undang yang mengaturnya (ada dasar hukumnya), maka rakyat wajib menerimanya dan mendukungnya. Penentangan terhadap tindakan dan
kebijakan pemerintah (sekalipun kebijakan dan tindakan itu bertentangan dengan hal-hak asasi manusia) merupakan perbuatan salah dan oleh karena itu (dengan cara apa pun) harus dihukum. Disini kegunaan hukum yang sebenarnya (sesuai dengan makna dan jakikat negara hukum) sama sekali tidak ada.
Menurut konsepsi negara hukum, kegunaan hukum adalah sebagai sarana pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Penegakan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di dalam Pembukaan UUD 1945 telah dirumuskan dalam bentuk tujuan negara, yang terangkum dalam istilah “perlindungan dan kesejahteraan segenap bangsa Indonesia”. Dibidang hukum pidana, jika sejak awal pemerintahan Orde Baru telah dilaksanakan pembangunan kultur hukum yang sesuai dengan konsepsi negara hukum, maka segala peraturan perundang-perundang, kebijakan dan
tindakan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan hak-hak asasi manusia dalam menanggulangi kejahatan tidak akan terjadi. Kalaupun terjadi, rakyat akan menolak dan menggugatnya.
.      Untuk mengejawantahkan kultur hukum yang sesuai dengan konsepsi dan sendi-sendi negara hukum dalam kenyataan, maka kultur itu perlu diformulasikan, disosialisasikan dan dituangkan kedalam mesin hukum yang disebut struktur hukum yang berintikan penegak hukum. Untuk itu, pembangunan kultur hukum (pidana) merupakan suatu keharusan.
3.  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kultur Hukum Pidana
Telah dikemukakan, bahwa kultur hukum pidana adalah nilai dan sikap para penegak hukum yang bekerja dalam lingkungan penegakan dan pelaksanaan hukum pidana. Nilai dan sikap ini akan memberi pemahaman tentang bekerjanya suatu sistem hukum dalam kenyataan (law in action). Dengan demikian, faktor-faktor yang mempengaruhi kultur hukum pidana adalah faktor-faktor yang mempengaruhi nilai dan sikap para penegak hukum pidana.
Jadi Sebagai suatu proses kebijakan, pelaksanaan politik hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap :
1)      Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan/pelaksanaan politik hukum pidana inabstracto oleh badan pembuat undangundang. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakanlegislatif.
2)      Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan politik hukum pidana oleh para penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kedua ini sering pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3)      Tahap aksekusi, yaitu tahap pelaksanaan politik hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Tahap ini sering pula disebut tahap kebijakan aksekutif atau administrasi.
Ketiga tahap tersebut dilihat sebagai suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang merupakan perwujudan dari kebijakan nasional. Kebijakan (pembangunan) nasional harus diusahakan terwujudnya pada ketiga tahap pelaksanaan politik hukum pidana itu. Inilah makna dan konsekuensi dari pernyataan bahwa politik hukum pidana merupakan bagian integral dari politik sosial seperti diuraikan di muka. Jadi tersimpul di dalamnya pengertian social engineering by “kemampuan yang lebih” atau “kemampuan plus” dari setiap aparat penegak hukum pidana, yaitu tidak hanya kemampuan di bidang yuridis, tetapi juga kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang memadai di bidang pembangunan, sulit diharapkan berhasilnya “pembangunan masyarakat dengan hukum pidana”.Disamping itu, karena pambangunan mengandung berbagai dimensi (multi dimensi), maka juga peningkatan berbagai pengetahuan (multi disiplin).

DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Kebijakan sanksi Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan, hal. 28-41 Fakultas Hukum Undip Semarang, 1991;
Muladi, Stelsel Pidana dan Tindakan dalam Konsep KUHP Baru, Makalah yang disajikan dalam penataran Nasional Kriminologi yang diselenggarakan oleh Universitas Andalas Padang Tanggal 30 Oktober -11 November
Barda Nawawi. Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Ekonomi dan Lingkungan Hidup”, Makalah yang disajikan dalam Penataran Hukum Pidana Angkatan IV yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Unsud di Purwokerto tanggal 25 Maret – 10 April 1990;
Muladi, Sistem Peradilan Pidana dan Relevansinya dengan Instrumen-instrumen Internasional, Makalah yang disajikan dalam penataran Nasional Hukum Pidana. Tanggal 20 april 1990
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Undip semarang, hal. 24, tanpa tahun
Sudarto, Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, hal. 5, PidatoPengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, 1974;
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, hal 62, Sinar Baru, Bandung. 1983
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional, hal. 11, Sinar Baru, Bandung, 1985
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hal . 273 – 286 Alumni Bandung, 1986
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Hal. 140.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Hal. 215





[1] Barda Nawawi Arief, Kebijakan sanksi Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan, hal. 28-
41 Fakultas Hukum Undip Semarang, 1991;
[2] Muladi, Stelsel Pidana dan Tindakan dalam Konsep KUHP Baru, Makalah yang disajikan
dalam penataran Nasional Kriminologi yang diselenggarakan oleh Universitas Andalas
Padang Tanggal 30 Oktober -11 November[2]

[3] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Ekonomi dan Lingkungan Hidup”, Makalah yang disajikan dalam Penataran Hukum Pidana Angkatan IV yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Unsud di Purwokerto tanggal 25 Maret – 10 April 1990;
[4] Muladi, Sistem Peradilan Pidana dan Relevansinya dengan Instrumen-instrumen
Internasional, Makalah yang disajikan dalam penataran Nasional Hukum Pidana dan

[5] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, hal. 149-150
[6] Kriminologi yang diselenggaran oleh Undip disSemarang, tanggal 12 – 31 Januari 1993;


[8] Mulyana W. Kusuma, Op. Cit, hal 14-16
[9] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, hal. 1, Fakultas Hukum Undip Semarang,
[10] Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan
Hukum Nasional, hal. 11, Sinar Baru, Bandung, 1985
[11] soejono soekanto. Penegakan hokum.ghalilea Indonesia, Jakarta
[12] Yap Thian Hin, Hukum sebagai Dasar dan Sistem Penertiban Pembangunan Yang Merupakan Wahana Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berperikemanusiaan, Adil, Damai dan Sejahtera. 19=20 dalam FH. UKI (ed) Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Erlangga Jakarta, 1983;

[13] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, hal . 273 – 286 Alumni Bandung, 1986

[14] Ramdon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, hal. 27 – 28
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,
Jakarta. Tahun 1983;

[15]Dardji Darmodihadjo, Sumber dari Segala Sumber Hukum (Suatu Tinjauan dari segi
Filsafat) hal.
[16] Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Universitas Brawidjaja Malang, 1976;

[17]Kansil. Sekelumit tentang Ketetapan MPR Tahun 1960 – 1983. Hal 14-15. Dalam FH UKI
(ed) Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945, Erlangga Jakarta, 1983


[18] Bambang Purnomo, Perkembangan dan Paradigma Baru Hukum Pelaksanaan Pidana
Dalam Subbidang Hukum Pidana, hal. 10, Makalah disajikan dalam Penataran Nasional
Hukum Pidana dan Kriminologi yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro di
Semarang tanggal 12 – 31 Januaari 1993;

[19] T. Mulya Lubis, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, hal. 86, Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1976;

[20] Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, hal 62, Sinar Baru, Bandung. 1983


[22] Sudarto, Op. Cit, hal 94
[23]Sudarto, Op. Cit, hal. 60;
30 Barda Nawawi Arief, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pidana dalam Mengantisipasi
Berlakunya Konsep KUHP Baru. hal. 1, Makalah disajikan dalam Penataran Nasional
Hukum Pidana dan Kriminologi yang diselenggarakan Undip Semarang tanggal 12-31
Januari 1993;
31 Sudarto, Op. Cit, hal. 60;

[24]  Barda Nawawi Arief, Penetapan Pidana Penjara dalam Perundang-Undangan Dalam
Rangka Usaha Penanggulangan Kejahatan, hal. 149, Disertasi Doktor Universitas
Padjadjaran, 1986;
[25] Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Masa Datang, hal 3, Pengukuhan Guru Besar
Universitas Diponegoro Semarang1990;
34 Ibid;

[26] Sudarto Op. Cit, hal. 66 – 68;

[27] Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 153;

[28] Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Op. Cit, hal. 70;
38 Sudarto, Op. Cit. hal. 71;

[29] Sudarto, Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, hal. 5, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, 1974;
41 Sudarto, Op.Cit. hal 6;
42 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, hal. 4, Alumni Bandung, 1985;

[30]Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, hal. 159, Alumni Bandung, 1981;
[31] 52 Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, hal. 20, Sinar Baru Bandung, 1983

[32] Sudarto, Op. Cit. hal 44-48;
[33] Mulyana W. Kusuma, Loc. Cit. hal 59-61;

[34]    Muladi, Sinkronisasi Pelaksnaan Penegakan Hukum Dalam Mewujudkan integrated Criminal Justice system, hal. 8, Makalah disajikan dalam Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Undip Semarang, 1990;

[35] 63 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan
Hukum Nasional, hal. 11, Sinar Baru, Bandung, 1985;

[36]  Soerjono Soekanto, Hengkie LikLikkuata dan Mulyana W. Kusuma, Kriminologi SuatuPengantar, hal. 32, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981;

[37]  Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, hal. 58, Aksara Baru,
Jakarta, 1981;

[38] 68 Yap Thian Hien, Op. Cit. Hal. 2

1 komentar: