Minggu, 31 Agustus 2014

“ANALISIS KOMPARATIF KETENTUAN YANG DI ATUR DALAM KUHP NEGARA KOREA, NORWEGIA, DAN GREENDLAND DENGAN KUHP INDONESIA YANG BERLAKU SAAT INI ”




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kondisi hukum pidana materiel khususnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang masih berlaku saat ini, masih merupakan KUHP peninggalan kolonial Belanda yang masih menyisakan pelbagai persoalan. Hal inilah yang menyebabkan KUHP kita masih dianggap tidak sejalan dengan rasa keadilan dan perkembangan zaman.
Berkenaan dengan kondisi KUHP kita, Kongres PBB menyebutkan bahwa KUHP sebagai hasil peninggalan masa kolonial bersifat telah usang, tidak adil. Bahkan ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan.[1] Kondisi yang demikian menurut Barda Nawawi Arief mengharuskan adanya re-orientasi dan re-evaluasi terhadap KUHP kita dengan mendasarkan pada nilai-nilai sosiopoloitik, sosiofolosofis dan sosiokultural bangsa Indonesia, sebab bukan merupakan refoermasi (pembaharuan) hukum pidana jika reorientasi dan re-evaluasi masih mendasarkan pada KUHP lama warisan penjajah.[2]
Namun dalam  melakukan kajian perbandingan ini , hal yang paling utama dalam melakukan kajian ini, diperlukan tehnik atau metode perbandingan terhadap KUHP yang berlaku di berbagai negara, sehingga pembaharuan terhadap KUHP Indonesia, nilai-nilai keadilan dan kesesuai dengan perkembangan zaman dapat diwujudkan.
Olenhya itu dalam tugas mata kuliah kapita selekta Hukum pidana ini, penulis mencoba melakukan kajian perbandingan hukum dengan pada “Pasal 1 (3), pasal 15 (2)  KUHP Korea, Pasal 51 KUHP Norwegia, selanjunya penulias melakukan telaah tentang ide dasar/konsep filosofis yang terkandung dalam KUHP Greenland”.
B.     Rumusan Masalah
                             Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang hendak di angkat dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.         Jelaskan dan bandingkan dengan KUHP Indonesia materi yang diatur dalam pasal-pasal di Pasal1 (3) KUHP Korea, 15 (2) KUHP Korea, dan pasal 51 Norwegia?
b.         Bagaimana ide dasar/konsep filosofis yang terkandung dalam KUHP Greenland?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Materi Yang Diatur Dalam Pasal-Pasal Negara Asing Dan Perbandingannya Dengan KUHP Indonesia.
1.    Pasal 1 (3) KUHP Korea
 “Where a statute is changed after a sentence imposed under it upon a criminal conduct has become final, with the effect that such conduct no longer constitutes a crime, the execution of the punishment shall be remitted”.

Komentar:
Dalam pasal ini dikatakan bahwa “ Apabila suatu undang-undang berubah setelah pidana yang dijatuhkan (berdasarkan Undang-undang itu) terhadap suatu perbuatan jahat berkekuatan tetap, dengan akibat bahwa perbuatan itu tidak lagi merupakan suatu kejahatan, maka pelaksanaan pidana itu akan dibatalkan/dihapuskan.[3]
Pasal 1 Ayat (3) KUHP Korea ini merupakan pengaturan tentang adanya suatu perubahan undang-undang karena adanya putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap, di mana suatu perbuatan yang menurut undang-undang yang lama yang dijadikan dasar putusan dianggap sebagai kejahatan, akan tetapi oleh undang-undang yang baru perbuatan tersebut tidak lagi dianggap sebagai suatu tindak pidana atau kejahatan, maka pelaksanaan atau eksekusi pidana itu dibatalkan atau dihapuskan.
Pasal 1 ayat (3) KUHP Korea tersebut menunjukkan bahwa Undang-undang Hukum Pidana Korea telah menganut aliran modern, di mana sanksi pidana berorientasi pada individualisasi pidana yang menitik beratkan pada perbaikan atau rehabilitasi, yang dalam hal ini mengadung asas modification of sanction, “the Alteration/annulment/revocation of sanction atau ide redetermining of punishment.[4]
Ketentuan sebagaimana dalam pasal 1 ayat (3) KUHP Korea tersebut tidak dijumpai dalam KUHP Indonesia yang saat ini berlaku. Kalau pun ada perubahan terhadap undang-undang mengenai suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana maka jangkauannya tidak sampai pada penghapusan pidana atau pembatalan terhadap pelaksanaan pidana, tetapi hanya pada berat ringannya suatu sanksi yang diterapkan. Itu pun tidak pada putusan hakim yang sudah berkekuatan tetap, Hal demikian ditegaskan dalam pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia yang menyatakan “ jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam undang-undang, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.[5]
Jadi sekalipun ada perubahan terhadap undang-undang yang baru yang menyatakan bahwa perbuatan yang pernah diputus itu tidak lagi merupakan tindak pidana, dan hakim telah memutus suatu perkara dengan berkekuatan hukum tetap berdasarkan undang-undang yang lama yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak pidana, maka putusan hakim itu harus tetap dijalankan atau dieksekusi. Dengan demikian terpidana yang sedang menjalani masa pidananya tidak dapat dibebaskan. Ini berbeda dengan di Korea, terpidana itu harus dibebaskan.
2.    Pasal  15 (2) KUHP Korea
“Where a more severe punishment is imposed upon a crime because of certain results, such higher punishment shall not be applied if these results Wet not foreseable”

Komentar:
Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa “apabila pidana yang lebih berat diancamkan terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu kejahatan, pidana yang lebih berat itu tidak diterapkan apabila akibat-akibat itu tidak dibayangkan atau diduga sebelumnya.[6] Pasal 15 ayat (2) KUHP Korea ini merupakan penegasan atas ajaran Erfolgshaftung yang tidak murni( mengalami penghalusan atau modifikasi) Pasal ini hendak menegaskan bahwa untuk dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan seseorang terhadap akibat yang sebenarnya tidak dikehendaki tetap memerlukan unsur kesalahan (dolus atau culpa) walaupun dalam bentuknya yang paling ringan.
Dalam KUHP Indonesia yang berlaku perumusan tersebut tercermin dalam Pasal 187 yang menegaskan Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir diancam :
Ke-2. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi barang;
Ke-3. dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan  mengakibatkan matinya orang.[7]
Kemudian dalam Pasal 333 ayat (3) jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama dua belas tahun,[8] dan dalam Pasal 354 ayat (2) jika perbuatan mengakibatkan mati, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.[9]
Pasal-Pasal dalam KUHP Indonesia tersebut di atas menunjukkan perumusan delik-delik yang dikualifisir atau yang diperberat oleh akibatnya.
3.    Pasal 51 Norwegia
“An attempt shall be punished by a milder penalty than a completed felony. The penalty may be reduced to less than the minimum provided for such felony and to a milder form of punishment.

Komentar:
                        Dalam Pasal 51 KUHP Norwegia tersebut dikatakan bahwa “percobaan dipidana lebih ringan dari pada kejahatan selesai; pidana itu dapat dikurangi lebih ringan dari pidana minimal yang ditetapkan untuk kejahatan yang bersangkutan atau dikenakan jenis pidana yang lebih ringan.[10]
                        Pasal 51 Norwegia ini mengatur bahwa sanksi pidana percobaan ini lebih ringan dari kejahatan yang selesai, jika dibandingkan dengan KUHP Indonesia ada beberapa perbedaan mengenai pengaturan percobaan ini yaitu:
a.    Dalam KUHP Norwegia berdasarkan Pasal 51 ini lamanya jumlah pidana yang “lebih ringan” untuk percobaan tidak ditentukan secara pasti dalam undang-undang, sedangkan dalam KUHP Indonesia ditentukan yaitu dapat dikurangi sepertiga sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2). Jadi KUHP Indonesia dapat dikatakan lebih pasti sekalipun terdapat kata dapat (sesuai terjemahan Moeljatno)
b.    Pemidanaan mengenai percobaan dalam KUHP Norwegia mengenai adanya pengurangan berdasarkan minimum khusus sedang dalam KUHP Indonesia tidak mengenal pidana minimum khusus jadi sanksi terhadap tindak pidana percobaan pun tidak mengenal pengurangan berdasarkan sanksi pidana minimum khusus
c.    Dalam penjatuhan sanksi berdasarkan pasal 51 KUHP Norwegia tidak hanya pada jumlah atau lamanya pidana tetapi juga pada jenis pidananya, dalam KUHP Indonesia hanya pada jumlah pidana saja.
B.       Ide Dasar/Konsep Filosofis Yang Terkandung Dalam KUHP Greenland
Konsep dalam KUHP Greenland:
a.    Perumusan delik tidak disertai dengan ancaman sanksi à tidak digunakan istilah “pidana” (punishment), tetapi “sanksi” (sanctions);
b.    Sanksi ditempatkan dalam bagian lain secara umum (ada 9 jenis) & berlaku untuk semua jenis tindak pidana.
c.    Hakim bebas memilih satu atau beberapa sanksi, dan juga bisa tidak memberikan sanksi apapun (Psl. 86).
Komentar:
                 Menurut Pendapat penulis bahwa dalam KUHP Greendland ini untuk jenis verbal sanction menggunakan istilah “Warning” . Jenis sanksi ini dimasukan sebagai jenis sanksi yang diatur dalam Bab 23 mengenai “sanctions” yang ada dalam ururtan pertama dari Sembilan jenis sanksi yang disebut dalam pasal 85.
                 Selanjutnya dalam Bab 24 pasal 94 diatur khusus mengenai “Warning”. Dalam pasal 94 dikemukakan:
Where the court finds the accused guilty but does not think it expedient ether to apply an authorized sancitonor to abstain complete from the use of any sanction, it my deliver a warni g to the accused”.

                 Pasal 94 tersebut dapat diartikan sebagai berikut: “ Apabila pengadilan menemukan kesalahan terdakwa tetapi berpendapat bahwa adalah bijaksana untuk menerapkan sanksi apapun, maka pengadilan dapat menyampaikan/memberikan peringatan (Warning) kepada terdakwa.
Bila diperhatikan berdasarkan pasal 94 tersebut, sanksi “warning” dapat diberikan apabila;
a.    Hakim menemukan kesalahan pada diri terdakwa,
b.    Namun hakim berpendirian bahwa tidak bijaksana baik untuk menerapkan sanksi apapun
                 Dari Pedoman yang demikian umum, demikian pula pengaturan sebagai jenis pidana pertama dari 9 jenis sanksi yang tersedia, terkesan bahwa sanksi peringatan (warning) ini dapat diberikan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana apapun . Pasal 94 ini hanya memeberikan dasar kewenangan kepada hakim sekaligus pedoman dalam memberikan “warning” tanpa syarat-syarat untuk penjatuhannya.
                 Kesan Bahwa sanksi peringatan ( Warning) ini dapat diberikan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana apapun dapat ditangkap pula dari orientasi pemidanaan yang dianut dalam KUHP Greendland, yaitu sama sekali tidak mengatur mengenai jenis-jenis pidana yang diterapkan secara khusus dalam pasal-pasal menegenai tindak pidana. Jadi dalam hal ini hakim bebas untuk menukar jenis pidana apapun yang diatur dalam KUHP Greendland.
                 Sehubungan dengan hal ini, dalam introduksi KUHP Greendland yang ditulis secara bersama-sama oleh Le3onard Kaplan, Michael Merrit dan Norval Morris dikemukakan bahwa:[11]
The Greendland Criminal Code is Unique in is creation of a system of sanction which are inspired not by the gravity of the offence it self, but by a desire to rehabilitatie the offender and to protech society.... Our criminal code was intended to preserve the existing pattrern of individualized treatment of criminals without isolating them from society ....The outstanding characteristic of the informal system of sanctions was its flexibility and its reflection of the prison.

                 Syarat-syarat untuk penjatuhan “Warning” tidak diatur dalam KUHP ini. Pasal 94 hanya memberikan dasar kewenangan kepada hakim sekaligus pedoman dalam memberikan “Warning” yaitu apabila pengadilan menemukan kesalahan terdakwa tetapi berpendapat bahwa adalah tidak bijaksana baik untuk menerapkan sanksi ataupun tidak menerapkan sanksi apapun.
                 Jadi dalam KUHP Greendland ini dalam menerapkan “warning” ini hanya sebagai perwujudan verbal sanction sebagai pidana non- custodial.
                 Jika dibandingkan dengan KUHP Indonesia  Warning” ini hanya sebagai perwujudan verbal sanction sebagai pidana non custodial belum diatur dalam system pemidanaan di Indonesia pada saat ini (Ius constitutum), karena memang pada saat dibuat KUHP belum mengantisipasi perkembangan tersebut, maka seyogyanya perlu dipikirkan untuk merekomendasikan sanksi tersebut dalam kebijakan formulasi hukum pidana di Indonesia yang akan dating (Ius constituendum).
                 Sebenarnya Menerapkan “warning” sebagai verbal sanction sebagai pidana non custodial, telah disebutkan dalam KUHP Indonesia tetapi itu hanya sebagai pidana tambahan dari tindakan yang dapat diberikan oleh hakim. Jadi sifatnya bukan sebagai pidana, juga sebagai tindakan, hanya sebagai tambahan saja dari tindakan yang dapat dilakukan oleh sipelaku tindak pidana tersebut  seperti yang di atur dalam pasala 24 UU No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak.
 
BAB III
PENUTUP
Dari penulisan Artikel  ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang diambil adalah berdasar pembahasan permasalahan disertai dengan uraian penjelasannya, bahwa KUHP Korea, Norwegia, dan Greenland ini tersebut menunjukkan/telah menganut aliran modern, di mana sanksi pidana/pemidannanya berorientasi pada individualisasi pidana yang menitikberatkan pada perbaikan atau rehabilitasi, yang dalam hal ini mengadung asas modification of sanction, “the Alteration/annulment/revocation of sanction atau ide redetermining of punishment.

DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
       , Kebijakan Hukum Pidana, 2008, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana , Jakarta.
       , 2008, Perbandingan Hukum, Rajawali Pers,  Jakarta.
       , 2009, Tujuan dan pedoman pemidanaan, perspektif  Pembaharuan Hukum  Pidana dan Perbandingan Beberap Negara, , Badan Penerbit Undip,  Semarang.
Moljatno, 1999, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta.



[1]  Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005:8
[2]  Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta, Kencana, 2008:26
[3] Barda Nawawi Arief, 2008, Perbandingan Hukum, Rajawali Pers , Jakarta, h.78
[4] Barda Nawawi Arief, 2009, Tujuan dan pedoman pemidanaan, perspektif  Pembaharuan Hukum  Pidana dan Perbandingan Beberap Negara,Semarang, Badan Penerbit Undip, h. 19
[5] Moljatno, 1999, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi Aksara,h .3
[6] Barda Nawai Arief, op.cit. 2008: 97
[7] Moeljatno, op.cit. h. 69
[8] Ibid, h.121
[9] Ibid. h. 126
[10] Barda Nawawi Arief, op.cit. 2009: h. 107
[11]  Leonard Kaplan, Michael Merrit, Noval Merris, 1970, Introduction of the Greendland Criminal Code, London, Sweet &Maxwel Limited, , hal.1-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar