Minggu, 31 Agustus 2014

“IMPLEMENTASI PRINSIP INDIVIDUALISASI PIDANA DALAM KONSEP KUHP INDONESIA”



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                 Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang bersifat melawan hukum. Hal ini berarti bahwa meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk adanya penjatuhan pidana terhadap pelaku. Untuk adanya pemidanaan, masih diperlukan syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan demikian orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
Dalam hukum pidana berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” atau “nulla poena sine culpa” yang berarti tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana kecuali orang tersebut telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan pada dirinya.
Negara Indonesia mengakui bahwa keberadaan bangsa Indonesia merupakan campur tangan dan kehendak Allah Yang Maha Kuasa. Pengakuan ini tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 (kalimat “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”) dan Sila pertama Pancasila (kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”).
Pengakuan ini membawa konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar filosofis bangsa, yang berarti bahwa dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia harus menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis yang menjiwai setiap langkah pembangunan termasuk pembangunan di  bidang hukum. Prinsip atau asas tiada pidana tanpa kesalahan untuk menentukan pemidanaan dalam hukum Islam terdapat dalam Al Quran surat Al Ahzab (surat 33) ayat 5 yang artinya :
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudarasaudaramu seagama dan maulana-maulanamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dalam membangun kerangka dasar hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, maka postulat moral dari kalimat “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” dan “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan unsur rohaniah dalam pembangunan di negara Indonesia perlu dihayati dan dipahami agar setiap usaha pembangunan hukum tidak menyimpang dari spirit perjuangan dan landasan moral yang dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945 tersebut.
Berdasarkan dari ilustrasi latar belakang di atas, sehingga Penulis tertarik mengangkat judul Makalah ini tentang “Implementasi Prinsip Individualisasi Pidana Dalam Konsep KUHP Indonesia”.


B.     Rumusan Masalah
                 Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang hendak di angkat dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Bagamana Pengertian Prinsip Indualisasi pidana?
2.    Bagamana Bentuk Individualisasi dalam Konsep KUHP Indonesia?
C.    Tujuan
                 Perumusan tujuan makalah ini yaitu Untuk menambah wawasan dan mengetahui dan memahami secara umum tentang pengertian dan Bentuk Individualisasi dalam Konsep KUHP Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Prinsip Individualisasi Pidana
                 Menurut Sudarto, individualisasi pidana artinya dalam memberikan sanksi pidana selalu memperhatikan sifat-sifat dan keadaan-keadaan si pelaku. Beberapa karakteristik prinsip individualisasi pidana menurut Barda Nawawi Arief adalah :
1.    Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal). Orang yang bersalah melakukan tindak pidanalah yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan tidak dapat diwakili oleh orang lain.
2.    Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas). Hal ini berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana dengan kesalahanlah yang dapat dipidana. Kesalahan tersebut baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kealpaan.
3.    Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan keadaan si pelaku. Hal ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya pidana) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

                 Berdasar penegrtian diatas penulis mengambil keputusan bahwa prinsip individualisasi pidana ini berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan khususnya pada individu (pelaku) kejahatan juga sesuai dengan teori utilitarian (teori tujuan) dari pemidanaan, yang menyatakan bahwa pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada pelaku tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Hal ini prinsip individualisasi ini sama juga dengan Teori Johannes Andenaes disebut dengan teori perlindungan masyarakat.
     Prinsip individualisasi pidana bertolak pada pentingnya perlindungan individu (pelaku tindak pidana) dalam sistem hukum pidana. Prinsip ini juga menjadi salah satu karakteristik aliran modern hukum pidana sebagai reaksi dari aliran klasik yang menghendaki hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan (daadstrafrecht).      Pandangan modern mendasarkan pada pandangan bahwa karena kejahatan merupakan kenyataan sosial dan sebagai perbuatan manusia, maka proses memperlakukan pelaku kejahatan tidaklah selesai dengan merumuskan perbuatan tersebut dan sanksi pidana dalam undang-undang. Melainkan masih diperlukan pemahaman terhadap terjadinya kejahatan dan upaya penanggulangannya, dan pada akhirnya perlu menanyakan pada diri sendiri mengenai apakah sikap kita terhadap si pelaku tersebut melampaui kualifikasi yang ditetapkan undang-undang.
     Akhirnya pada prinsip individualisasi pidana ini bersifat sosiologis, ideologis dan filosofis masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan mengutamakan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara kehidupan masyarakat dan kehidupan individu disebut sebagai pandangan integratif dalam tujuan pemidanaan.
B.     Bentuk Individualisasi dalam Konsep KUHP Indonesia
1.    Asas Kesalahan (Asas Culpabilitas)
Asas kesalahan (asas culpabilitas) merupakan salah satu asas pokok dalam hukum pidana dan merupakan salah satu problem pokok dalam hukum pidana selain sifat melawan hukum perbuatan dan pidana. Asas ini mengajarkan bahwa hanya orang yang bersalahlah yang dapat dikenai pidana. Dalam bahasa asing, asas ini sering disebut dengan adagium nulla poena sine culpa, atau Keine Strafe ohne Schuld (bahasa Jerman) dan Geen straf zonder schuld (bahasa Belanda) yang berarti “tiada pidana tanpa kesalahan”.
Dengan demikian dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah nyata-nyata melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun ditinjau secara obyektif perbuatan seseorang telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih diperlukan syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan terlarang tersebut mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).
Sebenarnya asas kesalahan ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia saat ini (baca: Wetboek van Strafrecht). Asas kesalahan hanya dicantumkan dalam MvT (Memory van Toelichting) sebagai penjelasan dari Wetboek van Starfrecht. Padahal masalah kesalahan dalam hukum pidana termasuk salah satu ajaran-ajaran umum hukum pidana. Akan tetapi, asas kesalahan teidak mendapatkan tempatnya dalam Buku I KUHP mengenai Ketentuan Umum. Namun demikian, jelas akan bertentangan dengan keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal sama sekali ia tidak bersalah.
Untuk itulah, dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan asas kesalahan ini. Selengkapnya, Pasal 6 ayat (2) tersebut berbunyi:
“Tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.

Asas kesalahan tidak terlepas dari sejarah hukum pidana itu sendiri. Pada awalnya, hukum pidana menitikberatkan pada perbuatan orang beserta akibatnya (Daadstrafrecht). Pada perkembangan selanjutnya, arah hukum pidana berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (Daderstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Daadstrafrecht. Oleh karena itu, hukum pidana masa kini dapat disebut Daad-Daderstrafrecht, yaitu hukum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun pada orang/pelakunya. Karena penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan dari pelakunya, maka ada juga yang menyebut bahwa hukum pidana dewasa ini disebut sebagai Sculdstrafrecht.
Dengan tidak dicantumkannya asas kesalahan dalam KUHP sekarang, maka di dalam Konsep KUHP asas kesalahan dicantumkan dengan pertimbangan bahwa asas kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana. Pasal 34 Konsep KUHP menyatakan “Tiada pidana atau tindakan tanpa kesalahan”.
Menurut Barda Nawawi Arief, pencantuman asas kesalahan dalam Konsep KUHP bertitik tolak pada pokok pemikiran keseimbangan mono-dualisti. Pandangan mono-dualistik inilah yang dalam hukum pidana dikenal dengan istilah Daad-daderstrafrech yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi obyektif (perbuatan/daad) dan segi sobyektif (pelaku/dader).
Bertolak dari pandangan keseimbangan mono-dualistik ini, Konsep KUHP mencantumkan secara eksplisit asas legalitas sebagai “asas kemasyarakatan”, serta asas kesalahan sebagai “asas kemanusiaan”. Sedangkan dalam KUHP sekarang, asas yang tercantum secara eksplisit hanyalah asas legalitas, yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Asas legalitas disebut sebagai asas kemasyarakatan berarti, bahwa suatu pidana dapat dijatuhkan terhadap perbuatan yang menurut masyarakat dianggap sebagai kejahatan atau patut mendapatkan pidana. Ukuran “menurut masyarakat” dapat diartikan perbuatan-perbuatan yang dipidana tersebut telah tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana (ukuran formil/legalitas formil), atau yang menurut masyarakat setempat (walaupun tidak tercantum dalam perundang-undangan) dianggap sebagai perbuatan terlarang dan patut mendapatkan sanksi pidana (ukuran materiel/legalitas materiel).
Sedangkan asas kesalahan disebut sebagai asas kemanusiaan berarti pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku harus dipertimbangkan bahwa pelaku memang benar-benar bersalah melakukan tindak pidana yang bersangkutan.
Namun demikian, walaupun pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana berdasar pada kesalahan, hal baru yang diatur oleh Konsep KUHP berkaitan dengan kesalahan ini adalah adanya kemungkinan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability).
Pasal 35 Konsep KUHP menyebutkan tentang pertanggungjawaban pengganti: “Suatu undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.”
Sedangkan pertanggungjawaban yang ketat disebutkan dalam Pasal 36 Konsep KUHP sebagai berikut:
“Undang-undang dapat menentukan bahwa pelaku tindak pidana tertentu dapat dipidana semata-mata karena telah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana atas perbuatannya, tanpa memperhatikan lebih dahulu kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut”.

Jika membandingkan asas kesalahan dengan hukum pidana asing, ternyata tidak banyak hukum pidana asing yang mencantumkan secara eksplisit asas kesalahannya. Biasanya perumusan asas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility/liability), khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.
Dalam KUHP Uni Soviet (1958) Pasal 3 merumuskan secara tegas the Basis for Criminal Responsibility (Dasar pertanggungjawaban pidana), yaitu:
“Only person gulty of the commision of a crime. that is who has, either deliberately or by negligence, commited any of the socially dangerous acts defined by the criminal law, is deemed liable to criminal responsibility and to punishment”.

Artinya: “Hanya orang yang bersalah melakukan kejahatan, yaitu orang yang dengan sengaja atau dengan kealpaan melakukan suatu perbuatan yang berbahaya bagi masyarakat yang ditetapkan oleh undang-undang pidana, dapat dipertimbangkan untuk pertanggungjawaban pidana dan pidana”.
KUHP Republik Demokrasi Jerman (1968) menyatakan asas kesalahan dalam Pasal II Aturan Umum: “the proper application of criminal law demands that every criminal act is detected and that guilty person is called to accoun”.
Artinya: (Penerapan hukum pidana yang tepat menuntut, bahwa setiap tindak pidana diusut dan orang yang bersalah dipertanggungjawabkan).
KUHP Greenland mengatur asas kesalahan dalam Pasal 86 yang termasuk dalam aturan umum mengenai penerapan sanksi: “Upon the finding of guiltthe court shall indicate which one or ones of the above sanctions shal be imposed.”
Artinya: (Berdasarkan penemuan kesalahan, pengadilan akan menunjuk/menyatakan mana di antara satu atau beberapa sanksi di atas yang akan dikenakan kepada si pelaku tindak pidana).
2.    Penambahan Alasan Penghapus Pidana
Alasan penghapus pidana yang dikenal dalam KUHP adalah tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44), daya paksa  atau overmacht (Pasal 48), pembelaan darurat atau noodweer (Pasal 49 ayat (1)), pembelaan darurat yang melampaui batas atau noodweer exces (Pasal 49 ayat (2)), menjalankan perintah undang-undang (Pasal 50), dan melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 ayat (1) dan (2)).
Namun dengan dasar prinsip/ide individualisasi pidana ini, Konsep KUHP menambah beberapa alasan penghapus pidana lagi serta membedakan secara jelas antara alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pemaaf” dan alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pembenar”.
Selengkapnya, alasan-alasan penghapus pidana dalam kategori “alasan pemaaf” yang baru dalam Konsep KUHP dan membedakannya dari KUHP lama adalah sebagai berikut:
1.    Error atau sesat
                    Kesesatan (error) adalah alasan penghapus pidana baru yang dalam KUHP sebelumnya tidak dimuat. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, sebenarnya terdapat adagium bahwa error facti non nocet, eror iuris nocet (kesesatan mengenai faktanya tidak dipidana, sedangkan kesesatan mengenai hukumnya tetap dipidana).
Akan tetapi Konsep KUHP tidak berpendirian demikian. Walaupun kesesatan dianggap sebagai alasan penghapus pidana, akan tetapi jika pelaku patut dipersalahkan karena kesesatan tersebut, maka pelaku tetap dapat dipidana. Namun, ancaman pidananya maksimum dikurangi atau tidak melebihi separuh dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.
Selengkapnya Pasal 40 Konsep KUHP menyebutkan:
(1)      Tidak dipidana, jika pelaku tindak pidana tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau jika pelaku berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya tersebut patut dipersalahkan.
(2)      Jika pembuat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) patut dipersalahkan atau dipidana, maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi separuh dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.”

2.    Anak di bawah umur 12 tahun.
Anak di bawah umur 12 tahun, merupakan alasan pidana yang baru, yang berbeda dengan aturan alasan penghapus pidana dalam KUHP. Dalam KUHP, anak di bawah umur 16 tahun bukanlah sebagai alasan penghapus pidana walaupun bila dicermati pasal yang mengatur dalam KUHP dikelompokkan kepada pasal-pasal yang mengatur tentang alasan penghapus pidana. Pasal 45-47 yang mengatur anak di bawah umur 16 tahun tersebut, hanya mengatur mengenai aturan pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak berumur di bawah 16 tahun.
Pasal 45-47 itu sebagai berikut:
Pasal 45
“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun.

                    Atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan paal-pasal 489, 490, 496, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Pasal 46
(1)     Jika hakim memerintahkan supaya yang beralah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada sorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.
(2)     Aturan yang melaksanakan ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 47

(1)     Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.
(2)     Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(3)     Pidana tambahan dalam Pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3 tidak dapat diterapkan.

                    Memperhatikan Pasal 45-47 KUHP di atas, dapat disimpulkan bahwa jika terdakwanya seorang anak di bawah umur 16 tahun, maka hakim diberikan alternatif sebagai berikut:
a.    mengembalikan kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun;
b.    menyerahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika melakukan tindak pidana tertentu; dan
c.    menjatuhkan pidana
                    Dengan tidak diakuinya anak di bawah umur sebagai salah satu alasan penghapus pidana dalam KUHP, maka dengan mendasrkan diri pada ide-ide individualisasi pidana, maka Konsep KUHP kemudian memasukkan anak di bawah umur tertentu sebagai alasan penghapus pidana.
                    Hal ini merupakan perkembangan baru dalam dunia ilmu hukum pidana. Sebelumnya, apabila kejahatan itu dilakukan oleh seseorang yang berusia anak-anak atau di bawah umur, maka pemidanaan pelaku anak-anak akan disamakan dengan pemidanaan orang tua/dewasa. Padahal secara psikologis tentunya berbeda motif orang dewasa dan anak-anak dalam melakukan tindak pidana.
                    Pada saat ini, pandangan dunia semakin bijak dalam memandang anak dan perilakunya. Hal ini dikarenakan aliran modern hukum pidana memberikan individualisasi dan differesiansi dalam pemberian pidana, yaitu pemidanaan yang sesuai dengan keadaan dan diri si pembuat. Termasuk pula dalam kenakalan-kenakalan anak yang termasuk dalam tindak pidana (kejahatan). Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak kemudian harus diselesaikan dengan proses peradilan pidana yang disesuaikan dengan kondisi psikologis anak. Hal ini jelas menunjukkan adanya perkembangan dalam perlindungan anak.
                    Di negara Belanda, Undang-undang Anak (Kinderwetten) telah ada sejak 1901 dan mulai berlaku pada tahun 1905. Sedangkan di Indonesia, awalnya hanya tiga pasal ini, yaitu Pasal 45-47 KUHP yang mengatur mengenai pidana anak. Selanjutnya, ternyata perlindungan anak di Indonesia juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ini ditandai dengan adanya aturan khusus proses peradilan pidana yang memperhatikan psikologi anak dalam acara peradilan.
                    Dengan dasar ide individulaisasi ini pula kemudian dalam Konsep KUHP diatur mengenai batas umur yang tidak dapat dipertanggungjkawabkan secara pidana yaitu umur 12 (dua belas) tahun.
Pasal 111 Konsep KUHP menyatakan sebagai berikut:
Pasal 111
(1)     Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(2)     Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 tahun dan 18 tahun yang melakukan tindak pidana.

                    Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak Pasal 3 juga menyebutkan bahwa batas anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun, dengan pengecualian anak yang belum umur 8 tahun dapat juga diajukan ke sidang anak apabila berdasarkan pemeriksanaan, anak itu sudah tidak dapat dibina lagi oleh orang tuanya (Pasal 5 ayat (3)).
                    Sedangkan batas usia minimal untuk dapat dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana dan tindakan) adalah 12 tahun ke atas, di bawah 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan dengan ketentuan (Pasal 26 ayat (3) dan (4)):
a.    apabila melakukan tidank pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup hanya dikenakan tindakan menurut Pasal 24 ayat (1) b yaitu diserahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
b.    apabila melakukan tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka dijatuhi salah satu tindakan dalam Pasal 24, yaitu dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, diserahkan kepada negara atau diserahkan kepada organisasi sosial.

                    Mencermati batas umur pertanggungjawaban pidana demikian memang telah memenuhi himbauan-himbauan internasional yang tercantum dalam dokumen internasional. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (Beijing Rules) yang disepakati 6 September 1985 menyebutkan dalam prinsip-prinsip umum (General principles) ke-4 tentang age of criminal responsibility bahwa:
“In those legal systems recognizing the concept of the age of criminal responsibility for juveniles, the beginning of that age shal not be fixed at too low an age level, bearing in mind the facts of emotional, mental and intellectual maturity.

3.    Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Tujuan dan pedoman pemidanaan merupakan implementasi ide individualisasi pidana. Tujuan dan pedoman pemidanaan ini belum dikenal (belum dicantumkan) dalam KUHP sekarang. Oleh karena itu, Konsep KUHP mengakomodir dan mengimplementasikan tujuan dan pedoman pemidanaan dalam Pasal 54 dan 55.
Pasal 54
(1)      Pemidanaan dimaksudkan untuk:
a.    mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.    menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oelh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
c.    memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan berguna; dan
d.   membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2)  Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Pasal 55
(1)      Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a.    kesalahan pelaku tindak pidana
b.   motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c.    cara melakukan tindak pidana;
d.   sikap batin pelaku tindak pidana;
e.    riwayat hidup dam keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana;
f.    sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;
g.   pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana;
h.   pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan;
i.     pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan atau
j.     apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Dirumuskannya pedoman pemidanaan dalam Konsep KUHP menurut Barda Nawawi Arief, bertolak dari pokok pemikiran sebagai berikut:
a.    Pada hakikatnya undang-unang merupakan sistem hukum yang bertujuan (purposive system). Dirumuskannya pidana aturan pemidanaan dalam undang-undang pada hakikatnya hany merupakan sarana untuk mencapai tujuan, oleh karena itu perlu dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan.
b.    Dilihat secara fungsional dan operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijaksanaan ynag konkretisasinya sengaja dirancanakan melalaui tahap “formulasi” oleh pembuat undang-undang, tahap “aplikasi” oleh aparat yang berwenang dan tahap “eksekusi” atau aparat pelaksana pidana. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itusebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
c.    Sistem pemidanaan yang bertolak dari individualisasi pidana tidak berarti memberi kebebasan sepenuhnya kepada hakim dan aprat-aparat lainnya tanpa pedoman atau kendali/kontrol. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi pengendali/kontrol” dan sekaligus memberikan dasar filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.
4.    Pedoman Pemberian Pengampunan oleh Hakim
Di samping memuat tujuan dan pedoman pemidanaan, Konsep KUHP juga memuat adanya ketentuan mengenai pedoman pengampunan hakim (rechtelijk pardon). Pedoman pengampunan hakim merupakan implementasi dari ide individualisasi pidana.
Pedoman pengampunan hakim disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) sebagai berikut:
“Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”.

Dengan dasar ini maka hakim masa mendatang diperbolehkan memaafkan orang yang nyata-nyata melakukan tindak pidana dengan alasan keadaan pribadi si pembuat dan pertimbangan kemanusiaan. Aturan pengampunan hakim tersebut tidak ada dalam KUHP.
5.    Alasan Peringanan dan Pemberatan Pidana
Alasan yang memperingan dan memperberat pidana pada umumnya menjadi dasar putusan hakim dalam memutuskan jenis dan berat/ringannya pidana. Selama ini, dengan tidak dicantumkannya alasan peringanan dan pemberatan pidana secara khusus dalam KUHP. hakim dalam memutuskan putusannya berdasarkan jurisprudensi mengenai beberapa hal yang dapat menjadi alasan peringanan dan pemberatan tersebut.
Oleh karena itu, dengan berpijak pada ide individualisasi pidana, maka dalam Konsep KUHP dicantumkan beberapa alasan/faktor yang dapat memperingan dan memperberat pidana, sebagai acuan formal bagi hakim dalam memutuskan putusan pidana, seperti penyerahan diri secara sukarela, pemberian ganti kerugian yang layak, dan tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang hebat.
Selengkapnya Pasal 128 Konsep KUHP menyebutkan:
Pasal 128 “Faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi:
a.    percobaan melakukan tindak pidana;
b.    pembantuan terjadinya tindak pidana;
c.    penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana;
d.   tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;
e.    pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela, akibat tindak pidana yang dilakukan;
f.     tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; atau
g.    tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 (kurang dapat dipertanggungjawabkan,).
6.    Elastisitas Pemidanaan
Ide individualisasi pidana berupa elastisitas pemidanaan (elasticity of sentencing) dalam Konsep KUHP telah diimplementasikan dalam beberapa pasal, yang intinya adanya keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi (pidana atau tindakan) yang sekiranya tepat untuk individu atau pelaku tindak pidana. Namun demikian, keleluasaan hakim tersebut tetap dalam dalam batas-batas kebebasan menurut undang-undang.
Konsep KUHP mengimplementasikan ide individualisasi pidana berupa elasticity of sentencing sebagai berikut:
1.    Sanksi yang tersedia dalam Konsep KUHP adalah berupa “pidana” (yaitu pidana pokok dan pidana tambahan), serta “tindakan”. Walaupun demikian, dalam penerapannya hakim dapat menjatuhkan beberapa alternatif sanksi sebagai berikut:
a.    menjatuhkan pidana pokok saja;
b.    menjatuhkan pidana tambahan saja;
c.    menjatuhkan tindakan saja
d.   menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan;
e.    menjatuhkan pidana pokok dan tindakan;
f.      menjatuhkan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan.
2.         Walaupun pada prinsipnya sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pidana pokok saja yang diancamkan dalam perumusan delik yang bersangkutan (dalam Buku II Konsep KUHP), namun hakim dapat juga menjatuhkan jenis sanksi lainnya (pidana pokok/pidana tambahan/tindakan) yang tidak tercantum, sepanjang dimungkinkan menurut Buku I aturan umum Konsep KUHP. Sebagai contoh pidana yang diancamkan berupa pidana penjara, namun mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dan tindak pidana yang dilakukan terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim dapat menjatuhkan pidana tutupan (Pasal 77). Hakim dapat juga menjatuhkan pidana pengawasan, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya (Pasal 78 dan 79) dengan catatan bahwa tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Jika pidana penjara diancamkan secara tunggal, setelah memperhatikan tujuan dan pedoman pemidanaan serta pedoman penjatuhan pidana penjara, maka hakim dapat menjatuhkan pidana denda (Pasal 58). Hakim dapat juga menjatuhkan pidana kerja sosial jika ancaman pidana yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 bulan (Pasal 85).
3.         Hakim diperbolehkan memilih alternatif pidana lain, jika sanksi pidana diancamkan secara tunggal (Pasal 58 untuk pidana penjara tunggal, dan Pasal 60 untuk pidana denda tunggal).
4.         Hakim dapat menjatuhkan pidana secara kumulatif, walaupun sanksi pidana diancamkan secara alternatif (Pasal 61).
7.    Modifikasi Pemidanaan
Sisi lain dari ide individualisasi pidana yang dituangkan dalam Konsep KUHP adalah adanya ketentuan mengenai modifikasi/perubahan/penyesuaian atau peninjauan kembali putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang didasarkan pada adanya perubahan/perkembangan/perbaikan pada diri pelaku sendiri.
Dengan demikian Konsep KUHP mempunyai pemikiran mengenai ide individualisasi pidana tidak hanya pada tataran pidana yang akan dijatuhkan harus disesuaikan dengan kondisi pribadi/individu, namun pidana yang telah dijatuhkan dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijde) dapat pula dilakukan perubahan atau penyesuaian berdasarkan pada perkembangan atau perbaikan  individu terpidana serta mempertimbangkan pada tujuan pemidanaan
BAB III
PENUTUP
Prinsip individualisasi pidana menjadi dasar dalam pemidanaan, agar dapat memberikan perlindungan secara integratif kepada individu dan masyarakat. Artinya untuk perlindungan masyarakat dan melakukan pembinaan kepada pelaku.
Hal ini tercermin dari 4 tujuan pemidanaan yang lebih banyak menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. Tujuan pemidanaan yang bermaksud untuk merehabilitir pelaku ini dikuatkan dengan ketentuan bahwa tujuan pemidanaan bukan dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan martabat manusia.

DAFTAR PUSTAKA
A.    Buku
Nawawi Arief, Barda, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , Citra Aditya Bakti, Bandung.
            1998, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti.
H.A.Djazuli, 1997, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), 1997, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Ichtiyanto, 1997, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

B. Website

C. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Konsep Rancangan KUHP 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar