Jumat, 29 Agustus 2014

PERMASALAHAN PARADIGMA DALAM ILMU HUKUM

A.    RANAH KAJIAN ILMU HUKUM

                  Ilmu yang mempelajari hukum disebut secara umum sebagai ilmu hukum yang dalam bahasa inggrisnya disebut sebagai Jurisprudence. Kata Jurisprudence muncul dari kata Latin Jurisprudential yang artinya the study, knowledge, or science of law. Ranah kajian ilmu hukum sesungguhnya selalu berkembang seiring perkembangan umat manusia dalam pencarian keadilan (searching for the justice) itu sendiri. Oleh karena itu kajian tentang hukum tidak terlepas dari kajian  yang telah ada sebelumnya. Implikasi lebih lanjut, sebenarnya tidak boleh ada pemisahan secara ketat dan dikotomik terhadap pemahaman study normatif (doktrinal) dengan pemahaman study hukum non doktrinal.

                  Tulisan ini bermaksud untuk menjelaskan ilmu hukum sebagai study normatif dengan segala implikasinya dan ilmu sebagai study keilmuan dengan segala implikasinya pula. Hasil yang diharapkan dari penjelasan ini agar kita tidak terkunkung dari pandangan yang mendikotomikan (atau bahkan mempertentangkan) secara ekstrim bahwa kajian hukum dalam prespektif keilmuan ( yang sifatnya mendoktrinalkan adalah salah sebaliknya. Keduanya tidak dapat dipisahkan begitu saja karena masing-masing saling memberi sumbangan satu sama lain dan muaranya pun juga demi tujuan keterbukaaan hukum itu sendiri  agar lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia.

                  Adapun ranah kajian Ilmu hukum di jabarkan beberapa kajian sebagai berikut:

1.      Hukum sebagai obyek study

Yaitu hukum disini di konsepsikan sebagai sistem kumpulan norma-norma positif didalam kehidupan masyarakat. Jadi kalau hukum dijadikan study maka penelitian yang dilakukan dlaam study hukum padaa akhirnya adalah untuk mengetahui kaidah-kaidah hukum yang seharusnya berlaku dan sebaliknya yang tidak boleh berlaku. Artinya pemahaman hukum sebagai obyek study ini harus tetap menjadi pegangan bagi mereka yang hendak mengkaji hukum dalam ranah kajian doktrinal maupun ranah kajian non-doktrinal. Hal ini semata-mata untuk mengembalikan pemikiran bahwa kajian doktrinal maupun non-doktrinal dalam ilmu hukum tetap sama yaitu mewujudkan tujuan hukum yang diidentifikasi berikut: Menstabilkan pergaulan hidup, merealisasikan ketertiban dan perdamaian serta mewujudkan keadilan.

2.      Legal formalism (Jurisprudence)

Dalam konteks ini, maka tugas pendidikan hukum tidak ubahnya sekedar memelihara kemurnian ajaran-ajaran hukum tersebut, danmenghasilkan praktisi-praktisi hukum yang mampu menerapkan peraturan-peraturan yang dilandasi doktrin-doktrin netralitas, imparsialitas dan objektifitas hukum. Pendidikan hukum, dengan demikian lebih cenderung akan menghasilkan praktisi profesional. Praktisi hukum yang dihasilkan adalah pelaku-pelaku hukum yang diharapkan mampu membuat keputusan pihak mana yang salah dan mana yang benar berdasarkan ketentuan hukum.

3.      Sosiological Jurisprudence

Pendidikan hukum disini bukn bermisi mencari dan menemukan dasar legitimasi suatu fakta apakah fakta itu bertentangan dengan hukum atau tidak, tetapi bermisi menemukan pola-pola keajegan, keteraturan yang berulang yang menimbulkan Opinio juris sive nececitatis, yang akhirnya bisa dimanifestasikan dalam perturan atau landasan keputusan hakim dalam suatu kasus. Akan tetapi sekalipun cara studynya sudah menggunakan logika silogisme induktif, tetapi Sociological Jurisprudence masih mengkonsepsikan hukum yang lahir dari realitas itu sebagai ketentuan hukum yang bersifat netral, tidak berpihak dan impersonal seperti pandangan Legal Formalism terhadap hukum. Jadi bisa dikatakan bahwa Sociological Jurisprudence, sekalipun sudah melihat pentingnya fakta sosial, tetapi masih merupakan kajian hukum dalam ranah Jurisprudence yang berparadigma positivistik. Realitas yang ada dianggap merupakan realitas yang sesungguhnya.

4.      Sociolegal Studies

Kajian-kajian ilmu sosial meneunjukan bahwa penelitian sosial yang mengadopsi metode sains empirik seperti yang dianut aliran Leagal Ralism dan ranah kajian hukum Sociologocal Jurisprudence merupakan kajian yang dianggap masih konvensional. Dalam kajian ini ada pembagian realitas empirik dan realitas virtual atau simbolik. Istilah realiats empirik dalam ranah kajianmenunjukan bahwa realitas yang tampak kasat mata di yakini merupakan realiats yang sebenarnya. Istilah realitas virtual atau simbolik menunjukan bahwa realitas yang tampak bukanlah hal yang sesungguhnya. Hal(relitas) yang sesnugguhnya tersembunyi dibalik perilaku yang kasat mata, dan ini hanya bisa teliti melalui Learning From The People baik secara hermenutik atau melalui observasi parsitipatif yang dibantu dengan kajian sosial lain, seperti sejarah, politik dan ekonomi. Kajian dalam ilmu hukum yang tidak lagi mendasarkan pendekatan pada paradigma positvisme (yang elihat fakta sebagaimana adanya) dan mulai melihat karakter tertentu dari perilaku sosial (bahwa perilaku sosial tidak pernah pasti, selalu penuh dengan ketidakaturan, baik realitas emp-irik maupun virtual) dengan bantuan-bantuan ilmu lain. Inilah hal-hal yang dikajian Sociolegal Studies.

5.       Sociology Of Law

            Dalam kajian ini hukum dikonsepsikan sebagai instrumen untuk meneliti atau menjelaskan keadaan masyarakat yang sebenarnya, dengan tujuan akhir adanya upaya mendeskripsikan keadaan masyarakat ataupun melakukan perubahan masyarakat. Jadi didalam Sosiologi Hukum, hukum di kaji bukan untuk tujuan hukum itu sendiri, tetapi dikaji untuk menjelaskan masyarakat (tatanan sosial).

            Dalam konteks Sosiologi Hukum inilah, kajian hukum mulai dilibatkan penelitian empirik, karena kajian tentang perilaku masyarakat ( yang kemudian melahirkan hukum-hukum dalam masyarakat tersebut) mesti merupakan kajian empirik . Kosekuensinya, didalam Sosiologi Hukum, bahasan tentang dimensi tentang hakiki dari tujuan hukum bukan tujuan utama.

            Berdasarkan penjelasan uraian diatas maka kami sebagai penulis merumuskan bahwa semua kajian-kajian keilmuan hukum diatas sangat ditentukan oleh kajian-kajian teori para pakar ilmuwan terdahulu. Dimana para ilmuwan ini mereka dengan satu pendapat kemudian muncul nama istilah paradigma keilmuan, dimana kajian keilmuan ini sangat berpengaruh dengan tujuan kajian yang ditelusuri kedepannya. Perubahan suatu keilmuan sangat di tentukan dengan paradigma yang ada pada jamanya khusunya di bidang paradigma keilmuan hukum.

B.     HUBUNGAN PARADIGMA DENGAN ILMU HUKUM

                  Ilmu hukum merupakan salah satu disiplin ilmu tertua di dunia, jauh  sebelum  ilmu  lain, seperti teknik, ekonomi, psikologi, sosiologi dan lainnya. Di  dalam perkembangannya  dalam  ribuan  tahun  tersebut  dapat diperkirakan  bahwa  struktur pengkajiannya juga telah mencapai tingkat kemapanannya. Perpengkajian hukum tersebut sudah barang tentu tidak terlepas  dari  kajian  tentang  hukum  itu  sendiri sehingga memunculkan paradigma-paradigma Ilmu hukum yang berbeda-beda pula sesuai dengan fenomena-fenomena hukum  dalam  kehidupan  masyarakat. Sebab Ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan yang terikat dengan paradigma yang terus mengalami perkembangan yang tidak putus-putus melainkan berkelanjutan.

C.    BENTUK-BENTUK PARADIGMA

1.       Paradigma Thomas Khuhn

                        Yaitu di dalam karya pikirnya yang terkenal yaitu “The structure of Scientific Revolution (1962)”, Khuhn mengemukakan pardigma merupakan sistem berpikir ilmiah.

            Menekankan revolusi sains dan penggabungan peran penegetahuan keilmuan sosial kedalam ilmu filsafat.

            Thomas Khun dalam karyanya menggunakan istilah paradigma. Paradigma menurut Kuhn adalah keseluruhan konstelasi asumsi teoritis umum,  hukum, dan prinsip-prinsip metafisis  yang  membimbing  para  ilmuwan  dalam bekerja dan berkomunitas di dalam masyarakat ilmiahnya. Dengan perkembangan pardigmanya yang terkenal  yaitu ajaran “normal science” .

      Dalam tahap normal science ini terdapat tiga focus penelitian sains faktual, yaitu:

§  menentukan fakta yang penting,

§  menyesuaikan fakta dengan teori.

§  mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa.

2.   Paradigma Circles (Mashab Wina  atau "Wissenchaftliche Welstanchaung)

Paradigma yang menjadi ciri mashab ini ialah logika positivisme, satu    pandangan yang melihat  pengetahuan  keilmuan sebagai sesuatu yang  bersifat induktif, verifikasi yang didasarkan pada pengalaman (pengamatan),  itu diyakini sebagai sifat obyek dari sains.

             Dalam perkembangannya logika positifisme karena pengaruh pemikiran pragmatis Amerika, berubah menjadi logika empirisme, suatu pandangan bahwa obyektivitas sain dapat dilakukan dengan proses            berpikir aksiomatis.

Proses yang bermula dari  basil pengamatan yang  dikaitkan dengan pemahaman teori (yang sudah menghasilkan kesimpulan hukum empiri baru (proportions verify propotions).

2.    Paradigma Robert  K.  Merton

                                    Hasil karya Merton yang menonjol adalah modifikasi pendekatan fungsional dalam mempelajari pelaku sosial manusia melalui penyusunan "middle range theory".Upaya yang diwujudkan melalui paradigma fungsional itu diarahkan untuk menyusun spesifikasi dan pengelaborasian konsep-konsep yang relevan, serta mendorong  diadakannya  revisi  dan  reformulasi  sistematik  yang didasarkan temuan-temuan  empirik. 

            Fungsionalisme bagi Merton adalah strategi penataan konsep dan pensortiran proses sosial yang bermanfaat dari sejumlah proses sosial yang nirmanfaat. Maka tak heran Robert K. Merton di juluki pengikut  aliran fungsional strukturalis dalam sosiologi.

        3. Paradigma Circles (Mashab Wina  atau "Wissenchaftliche Welstanchaung)

Paradigma yang menjadi ciri mashab ini ialah logika positivisme, satu pandangan yang melihat  pengetahuan  keilmuan sebagai sesuatu yang  bersifat induktif, verifikasi yang didasarkan pada pengalaman,(pengamatan), itu diyakini sebagai sifat obyek dari sains.

            Dalam perkembangannya logika positifisme karena pengaruh pemikiran pragmatis Amerika, berubah menjadi logika empirisme, suatu pandangan bahwa obyektivitas sain dapat dilakukan dengan proses            berpikir aksiomatis.

            Proses yang bermula dari  basil pengamatan yang  dikaitkan dengan pemahaman teori (yang sudah menghasilkan kesimpulan hukum empiri baru (proportions verify propotions).

           

 

 

 

D.     PERMASALAHAN PARADIGMA DALAM ILMU HUKUM

1.     Adanya Pemikiran Hukum Alam (Natural Law)

Yaitu terarah pada pencarian keadilan absolut, pencarian hukum ideal melampaui pemikiran hukum positif.

Teori hukum alam dapat dikatakan sebagai sebuah paradigma yang paling tua dan sekaligus paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam sesungguhnya merupakan pengembangan/ penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum dianggap sebagai nilai universal yang selalu hidup di setiap sanubari manusia, masyarakat, maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.

Bahkan disebutkan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat Ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi atau hukum alam itu sendiri, sehingga hukum alam lebih superior dibandingkan dengan hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang dibentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif, atau pun relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum yang dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorang yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum. 
[1]

Kekuatan utama dari paradigma/aliran ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaian nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Para pemikir hukum alam berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan keduanya sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara. 
[2]

Keadilan merupakan tujuan utama dari aliran hukum alam. Menurut Plato (427-347 SM) yang juga merupakan murid dari Socrates (399 SM), kekuatan moral adalah unsur dari hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia. Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki sifat universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial.
[3]

Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh negara kepada setiap penduduk/warga negara dan hukum yang baik adalah hukum yang menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa terkecuali dan non-diskriminatif. Secara eksplisit, Aristoteles menyatakan bahwa “keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak”.
[4] Plato dan Aristoteles merupakan pelopor dari paradigma hukum alam yang banyak memengaruhi pikiran-pikiran filsuf Romawi Kuno seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinas, yang keduanya merupakan tokoh-tokoh pembaruan hukum alam. 


St. Agustinus

St. Agustinus menekankan pentingnya keadilan dalam setiap hembusan napas hukum negara. Dia mengatakan bahwa “hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum”. St. Agustinus juga membedakan antara hukum ilahi (jus divinum) dan hukum manusia (jus humana). Apa yang disebut dengan hukum alam adalah hukum ilahi, sedangkan jus humana adalah kebiasaan (customs).[5] 


Thomas Aquinas

Di sisi lain, Thomas Aquinas menyatakan bahwa: “semua hukum buatan manusia dalam penalarannya memiliki kedudukan sebagai yang diturunkan dari hukum alam, jika suatu aspek hukum tidak diturunkan oleh hukum alam, maka hukum tersebut cacat sebagai hukum, hukum tersebut tidak dapat memberikan keadilan dan itu bukanlah hukum.” Thomas Aquinas menggambarkan hukum alam sebagai puncak hierarki hukum abadi, dimaknai suatu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta.

Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa hukum alam sebenarnya bukan suatu jenis hukum, tetapi penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan menjadi satu nama, yaitu “Hukum Alam”. Esensi dari hukum alam dapat disimpulkan sebagai berikut:
[6]

1.             Merupakan ideal-ideal yang menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,

2.             Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”,

3.             Suatu metode untuk menemukan hukum yang sempurna,

4.             Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat dideduksikan melalui akal, Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

 

2.    Adanya Pemikiran analyitis Positivisme (Rechtsdogmatic)

 

Yaitu Cirinya bersifat transendental yang merupakan awal lahirnya analytical wrisprudence.

Bicara mengenai aliran positivisme, bahwa aliran ini sama tuanya dengan filsafat. Namun baru berkembang pesat pada abad ke 19 tatkala empirisme mendominasi pemikiran. Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan empirisme[8] . Artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat dipisahkan.
Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat[9] .
Di dalam aliran positivisme hukum dikenal dua sub aliran yaitu :
Aliran hukum yang analisis, pendasarnya adalah John Austin
Aliran hukum positif yang murni, didepelopori oleh Hans Kelsen.
Dalam tulisan ini sebagaimana dinyatakan terdahulu, memfokuskan pada aliran hukum positif yang analitis oleh John Austin. Positivisme yang dirintis John Austin, yang diberi nama Analytical Judisprudence, dekat sekali dengan mazhab hukum umum. Austin menggunakan metode analisa saja. Melalui analisa sistem-sistem hukum tertentu Austin ingin sampai pada suatu ide umum tentang hukum.
Berdasarkan metodenya yang empiris belaka, Austin sampai pada pengertian tentang Negara, yang menurutnya berlaku secara mutlak. Negara dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah tertentu. Negara-negara timbul dan dipertahankan, oleh sebab kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan mentaati pemerintah. Bila kebiasaan itu berhenti maka sudah tidak terdapat negara lagi. Terdapat bermacam-macam alasan untuk mentaati pemerintah. Ada orang yang mentaati oleh sebab mereka berpegang teguh pada prasangka bahwa pemerintah selalu harus ditaati. Sementara alasan lain karena takut akan kekacauan, bila negara dirombak. Semuanya ini dipastikan dalam pengalaman. Nilai-nilainya tidak dipersoalkan. Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum. Di atas yang berkuasa hukum tidak ditemukan. Diungkapkan oleh Austin bahwa tiap-tiap Undang-undang positif ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota-anggota dari suatu masyarakat politik yang berdaulat, dalam mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi. Dengan ketentuan ini Austin tidak menyangkal adanya norma-norma hukum ilahi, norma-norma moral dan juga hukum internasional. Dipastikannya saja, bahwa semua prinsip tersebut tidak mampu untuk meneguhkan atau meniadakan hukum yang berlaku dalam suatu negara[10] .
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai “a command of the Lawgiver” (perintah dari pembentuk Undang-undang atau penguasa), yaitu : suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk.
Aliran positivisme hukum yang analitis yang dipelopori oleh John Austin tersebut pada sekitar abad ke-19 dan dalam bagian pertama abad ke-20, tampaknya menguasai pemikiran hukum di Barat, yang kemudian juga di dasarkan pada filsafat Yunani. Dimana cukup jelas peranan aliran positivisme terutama yang analitis tersebut bahwa penerapan hukumnya dilakukan oleh pihak penguasa. Dengan adanya identifikasi hukum yang aplikasinya diterapkan dengan undang-undang akan menjamin bahwa setiap individu dapat mengetahui dengan pasti apa saja perbuatannya yang boleh dilakukan dan apa saja perbuatannya yang tidak boleh dilakukan. Bahkan negarapun kemudian akan bertindak dengan tegas dan konsekuen sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan, dalam melaksanakan keadilan menurut ketentuan negara. Begitu pula dengan penerapan hukum melalui ketentuan-ketentuannya dan peraturan-peraturannya yang ada yang telah dibuat harus dilaksanakan sesuai dengan segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Austin adalah tokoh pertama yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahasa hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama. Tanpa memperdulikan baik atau buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh masyarakat.
Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar. Semua hukum positif adalah perintah. Perintah dari yang berdaulat atau command of sovereign atau command of law-giver.
Pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh peraturan yang dibuatnya sendiri, maupun oleh asas-asas yang berasal dari atas (moral dan agama). Masalah kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari hukum positif adalah bersifat pra-legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau sosiologi) dan hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataannya[12] .
Namun disamping kebaikan-kebaikan yang ada dan dikemukakan oleh Aliran Positivisme yang Analitis tersebut sudah, sudah barang tentu terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaran-ajarannya yang kurang sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakatnya yang hidup dan berdiam dalam masa tersebut. Apabila dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran Positivisme yang Analitis tersebut adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang-undang tersebut. Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan dalam masyarakat dan juga secara langsung hakim akan menjadi terikat pada Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga memiliki kelemahan/ kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:
1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum (Bagir Manan. 1992:8)
Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan Undang-undang yang demikian kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan pemerintah, kemudian pada akhirnya dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan Undang-undang tersebut disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang akan menguasai negara secara mutlak dan absolut sesuai dengan keinginannya yang ada pada masa itu. Dimana kemudian pihak penguasa dalam negara dapat menggunakan ketentuan hukum dan Undang-undang untuk memberikan legitimasi kepada tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya, dimana menurut perasaan hukum masyarakat tindakan tersebut adalah merupakan tindakan yang tidak bermoral dan kriminal serta menjadi kejam. Sehingga kemudian semua-semua ketentuan dan kehendak yang dikeluarkan oleh perintah pribadi penguasa dapat dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakatnya, dan kemudian individu-individu yang ada dalam lingkup masyarakat akan berada pada posisi yang dilematis, dimana disatu pihak hukum dan ketentuan dari penguasa tidak dapat dipertahankan secara konsekuen, apabila ketentuan hukum dan perundang-undangan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk menindas dari ketidak adilan.
Pendapat yang menyatakan bahwa jika undang-undang telah tersedia, terkodifikasi atau fragmentaris maka sudahlah cukup sarana perundang-undangan untuk diandalkan buat menindak setiap pelanggaran ataupun untuk melindungi kepentingan dalam masyarakat. Kurang diperhatikan dan disadari, bahwa pada aturan hukum yang dianggap mendekati keadilan harus dipenuhi syarat bahwa hukum harus mampu mencerminkan tuntutan hati nurani masyarakat khususnya perasaan keadilan mereka.
Telah terjadi pergeseran prinsip dan konsepsi dari Negara Hukum menjadi negara Undang-undang yang meletakkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Di dalam undang-undang seperti ini setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan perbuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi kewenangan sehingga hukum ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist – instrumentalistik.
Dalam ajaran Austin dikatakan bahwa hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Dengan sifat tetap dan tertutup dari hukum tersebut, maka hukum pada masa itu tidak menerima perkembangan dari pihak manapun sekalipun perkembangan tersebut berasal dari dalam masyarakat lingkup negaranya, akibatnya hukum tidak mengenal dispensasi dan penyimpangan yang dianggap oleh masyarakat setempat tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa setiap hukum harus selalu dipatuhi, oleh karena kadang-kadang hukum pun memberikan dispensasi bagi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sepanjang ketentuan tersebut tidak atau bukan merupakan suatu kejahatan atau delik. Terutama dalam ketentuan hukum yang bersifat privat (terutama dalam hal pembuatan perjanjian diantara pihak-pihak), bahwa ketentuan hukum yang dibuat biasanya tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban, kesusilaan dan kepatutan. Dengan demikian, masalah utamanya adalah bagaimana mengusahakan agar warga-warga masyarakat secara maksimal dapat mematuhi ketentuan hukum tanpa menterapkan paksaan atau kekerasan. Jadi secara sederhana dapat dikatakan, bahwa yang harus diusahakan adalah peraturan-peraturan yang sifatnya tertulis, baik, kewibawaan petugas dan fasilitas pendukung yang cukup, walaupun secara nyata tidaklah dapat dikatakan sebagai hal yang sederhana.
Terhadap ajaran dari Austin yang menyatakan tentang hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yakni hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, bahwa dari ketentuan tersebut jelas terlihat, meskipun hukum disini dapat saja dibuat atau ditetapkan bukan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang, akan tetapi tetap keberadaan dari hukum tersebut pada akhirnya tidak diakui oleh pihak penguasa. Karena konsepnya jelas bahwa hukum tersebut diklasifikasikan sebagai hukum dalam arti yang tidak sebenarnya. Dengan demikian, tetap saja ajaran dari Austin tersebut tidak dapat memberikan tempat bagi masyarakat, berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dianut sehingga kemungkinan terbentuk menjadi suatu aturan yang lebih dihormati dalam masyarakat yang ada menjadi tidak berdaya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dari kehidupan bersama manusia yang kemudian mengadakan hubungan dan saling berinterksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan tercipta hukum. Baik negara maupun hukum timbul dari kehidupan manusia karena keinginan hati dari masing-masing individu untuk memperoleh ketertiban. Akan tetapi konsep yang seperti ini tidak tampak pada ajaran positivisme yang analitis. Dengan adanya hukum dalam arti yang absolut dan mutlak dari konsekuensi aliran positivisme yang analitik ini, karena makna dari hukum yang dibuat oleh manusia tersebut akan menjadi suatu bentuk dari perintah dan ketentuan yang mutlak yang berasal dari penguasa menjadi suatu keharusan bagi masing-masing individu untuk menjalankannya dengan suka atau tidak suka ataupun mau dan tidak mau. Masyarakat diwajibkan untuk menjalankan dengan sepenuh hati sehingga kemungkinan untuk terbentuknya suatu rezim penguasa yang otoriter dari negara yang menganut ajaran ini akan tercipta dengan mudah sekali.
PENUTUP
Sebagai penutup dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aliran hukum positif yang analitis mempunyai suatu kekuatan yakni aliran ini banyak dianut oleh para pemikir hukum di Barat di abad ke 19 dan awal abad ke-20. keberhasilan dari aliran ini terlihat pada bentuk kepastian hukum yang benar-benar terjamin pada masing-masing negara yang menganutnya. Akan tetapi dari ajaran tersebut yang telah berkembang pada konsep para pemikir di Barat, ajaran-ajran dari hukum positif yang analitis ini juga mempunyai banyak kelemahan di sana-sini. Adapun titik kelemahannya yang pokok, bahwa aliran hukum positif yang analitis itu cenderung membuat suatu kekuatan dari penguasa untuk membentuk suatu pemerintahan absolut. Hal ini disebabkan karena adanya empat unsure penting dari ajaran John Austin untuk dapat dinamakan hukum, yang di dalamnya terdiri dari perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sehingga dengan empat unsur penting dari hukum tersebut membuat para penguasa yang mebentuk ketentuan hukum dan undang-undang menjadi suatu keputusan yang mutlak harus dilaksanakan tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memberikan masukan-masukan yang berkembang dan tumbuh dari dalam masyarakatnya sendiri. Semua ketentuan hukum dan undang-undang yang terbentuk menjadi suatu perintah dan kewajiban yang harus dijalankan dan ditaati, kemudian mempunyai sanksi yang mengikat para pelaksana hukum menjadi secara langsung terikat karenanya. Kemudian yang terakhir bahwa semua pembuat ketentuan hukum dan undang-undang yang dalam hal ini adalah pihak penguasa hanya dapat terlaksana jika pihak penguasa sebagai pihak yang memerintah tersebut merupakan pihak yang berdaulat. Dari ketentuan tersebut dapat dianalisa bahwa pihak penguasa ataupun pihak pemerintah yang berdaulat sebagai pembentuk ketentuan hukum dan undang-undang sebetulnya tidak perlu dipertegas lagi, karena jelas suatu Negara yang telah memiliki pemeritahan sendiri, rakyat sendiri dan wilayah sendiri tentunya sudah merupakan sesuatu (dalam hal ini dapat disebut Negara) yang dianggap berdaulat atau memiliki kedaulatan sendiri, dan juga sebenarnya dengan telah adanya kedaulatan yang merupakan bagian dari suatu negara yang tidak dapat dipisahkan, maka kedaulatan sudah merupakan bagian dari bentuk dan sistem politik pemerintahan dalam negara itu sendiri
.

3.    Adanya Pemikiran Hukum Umum

                                    Yaitu yang terfokus pada pembicaraan tentang sistemisasi hukum, Penafsiran Hukum oleh piranti-piranti hukum (legal proffesions).

                                    Yaitu dicirikan pada

1.     Teori Hukum Menurut Jan Gijssels dan mark van Hoecke

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, adalah dua pemikir yang ada pada tradisi berbeda dengan Black dan Milovanovich, yaitu keduanya ada pada ranah pemikiran kontinental. Menurut mereka, Teori Hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan Ajaran Hukum Umum,[1] setelah pada tahun 1930-an Teori Hukum mengalami kemerosotan, tetapi kemudian seiring dengan perkembangan banyak disiplin kajian lain, Teori Hukum mengalami perkembangan yang pesat,

“…… Hidupnya kembali Teori Hukum memperlihatkan hubungan erat dengan penyebab timbulnya ajaran Hukum Umum pada abad ke sembilanbelas. Jika perkembangan dari Ajaran Hukum Umum, sebagai dosiplin yang baru pada abad kesembilanbelas diinspirasi (diilhami) oleh sukses ilmu-ilmu hukum positif, maka perkembangan definitif dari teori hukum menjadi sebuah disiplin mendiri pada paruh waktu kedua dari abad duapuluh diinspirasi oleh timbulnya ilmu-ilmu baru atau cabang-cabang baru dari ilmu yang sudah ada, seperti informatika, Logika Deontik, Kibernetika, Sosiologi Hukum, Etiologi (hukum) dan sejenisnya.[2]

 

Kesinambungan antara Teori Hukum dengan Ajaran Hukum Umum dalam dua aspek sebagai berikut:

1.     Teori Hukum sebagai kelanjutan dari Ajaran Hukum Umum memiliki obyek disiplin mandiri, suatu tempat di antara Dogmatik Hukum di sati sisi dan Filsafat Hukum di sisi lainnya. Di saat ajaran Ajaran Hukum Umum oleh beberapa penulis, di antaranya Adolf Merkel masih dipandang sebagai pengganti (penerus) ilmiah positif dari Filsafat Hukum Metafisikal yang tidak ilmiah, dewasa ini teori Hukum diakui sebagai disiplin ketiga di samping dan untuk melengkapi, Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum, yang masing-masing memiliki (mempertahankan) wilayah dan nilai sendiri-sendiri.

2.     Sama seperti Ajaran Hukum Umum dewasa itu, Teori Hukum, setidaknya oleh kebanyakan dipandang sebagai ilmu a-normatif yang bebas nilai. Ini yang persisnya membedakan Teori Hukum dan Ajaran Hukum Umum dan Dogmatika Hukum.[3]

 

Namun satu hal yang sangat fundamental menurut kedua pemikir itu, terjadinya proses evolusi dari apa yang menjadi obyek penelitian Ajaran Hukum Umum, seperti isi aturan hukum dan pengertian-pengertian hukum atau konsep yuridik, menjadi suatu penelitian tentang struktur dan fungsi dari kaidah hukum dan dari sistem hukum, yaitu merupakan tema-tema penting objek penelitian teori Hukum.[4]

Untuk lebih memahami apa itu Teori Hukum, khususnya batas-batas wilayahnya, lebih lanjut dalam pemikiran mereka perlu dijelaskan secara rinci tentang apa yang disebut Dogmatik Hukum, Filsafat Hukum serta perbedaannya tentang Teori Hukum.

1.     Dogmatik Hukum

Ajaran Hukum (rechtsleer) atau Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek), juga sering disebut Ilmu Hukum (rechtswetenschap) dalam arti sempit, bertujuan untuk mempaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku.[5] Walaupun demikian, Dogmatik Hukum itu bukanlah ilmu netral yang bebas nilai.[6] Tidak karena hukum itu adalah suatu kesalingterkaitan nilai-nilai dan kaidah-kaidah, bukanlah dalam asasnya sangat mungkin untuk mempaparkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah sebagai ketentuan-ketentuan faktual secara sepenuhnya netral dan objektif. Ajaran Hukum tidak dapat membatasi pada suatu pemaparan dan sistematisasi, melainkan secara sadar mengambil sikap berkenaan dengan butir-butir yang diperdebatkan. Jadi Ajaran Hukum dalam hal-hal yang penting tidak hanya deskriptifmelainkan juga preskriptif (bersifat normatif).[7]

1.     Filsafat Hukum

Filsafat Hukum adalah Filsafat Umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-pertanyaan yang paling dalam dibahas dalam hubungannya dengan makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan.[8] Menurut mereka Filsafat Hukum memiliki telaah sebagai berikut :[9]

1.     Ontologi hukum, penelitian tentang hakekat dari hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral;

2.     Aksiologi hukum, penentuan isi dan nilai-seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan lain-lain;

3.     Ideologi Hukum (ajaran pengetahuan), bentuk metafilsafat;

4.     Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan), bentuk metafilsafat;

5.     Theologi Hukum, hal menentukan makna dan tujuan;

6.     Ajaran ilmu dari Hukum, meta-teori dari Ilmu Hukum;

7.     g.        Logika Hukum.

 

Hasil dari penalaran Filsafat Hukum tidak dapat diuji secara empirik untuk keeluruhannya, dan secara rasional untuk sebagaiannya. Penalaran filosofis sendiri memang harus selalu memenuhi syarat-syarat minimum tertentu dari rasionalitas, yakni harus tepat secara logikal dan terbuka bagi diskusi rasional.

1.     Hubungan Dogmatik Hukum dengan Teori Hukum

Tentang hal ini dikatakan oleh keduanya, bahwa Dogmatika Hukum dan Teori Hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana di bawah ini.

1.     Dogmatik Hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka Teori Hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini;

2.     Dogmatika Hukum berbicara tentang hukum. Teori Hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum;

3.     Dogmatika Hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak dapat diterapkan pada situasi masalah konkret, maka Teori Hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasi dan sejenisnya.[10]

 

Teori Hukum tidak terarah pada penyelesaian masalah-masalah hukum yang konkret satu kategori-kategori dari masalah hukum sebagaimana kajian Dogmatika Hukum, melainkan hanya pada upaya mempelajari teknik-teknik dan metode yang digunakan Dogmatika Hukum dan prektek hukum untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum. Jadi masalah-masalah hukum konkret memeng dapat mempengaruhi persoalan-persoalan Teori Hukum.[11]

1.     Hubungan Filsafat Hukum dan Teori Hukum

2.     Jika Teori Hukum mewujudkan sebuah meta-teori berkenaan dengan Dogmatika Hukum, maka Filsafat Hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.

3.     Secara struktural Teori Hukum terhubungkan pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatika Hukum terhadap Teori Hukum.

4.     Filsafat Hukum merupakan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.

5.     Filsafat Hukum sebagai ajaran nilai dari teori Hukum dan Filsafat Hukum sebagai ajaran Ilmu dari Teori Hukum.

6.     Filsafat Hukum sebagai Ajaran ilmu dari Teori Hukum dan sebagai Ajaran Pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh, mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari kegiatan-kegiatan dari Teori Hukum itu sendiri sebagai obyek studi.[12]

Dari hal di atas dapatlah disimpulkan sebagai berikut; hubungan Teori Hukum dan Filsafat dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-disiplin (Filsafat Hukum) terhadap disiplin obyek (Teori Hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah positif terhadap gejala hukum. Dengan demikian maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya sendiri didiskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya Teori Hukum itu rasional (atau tidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar kriteria umum, yang diterima oleh setiap orang.[13]

1.     Teori Hukum dan Ilmu Lain yang Objek Penelitiannya Hukum

Teori Hukum secara esensial bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa Teori Hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan hasil-hasil penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum; Sejarah Hukum, Logika Hukum, Antropologi Hukum, Sosiologi Hukum, Psikologi Hukum dan sejenisnya.

Tipikal dari Teori Hukum adalah bahwa dalam hal ini ia memainkan peranan mengintegrasikan, baik yang berkenaan dengan hubungan antara disiplin-disiplin ini satu terhadap yang lainnya maupun yang berkenaan dengan integrasi hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin ini dengan unsur-unsur Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum.[14]

Secara umum kedua pemikir itu menjelaskan bahwa, sudut pandang bidang Teori Hukum adalah kepentingan untuk lewat jalan ilmiah metodikal memperoleh sesuatu pemahaman teoritikal yang lebih baik secara global dan memberikan suatu penjelasan global tentang gejala-gejala hukum. Jadi sifatnya ini sama sekali bukan sudut pendekatan yuridik-teknikal, melainkan sesuatu pendekatan yang lebih teoretikal, yang didalamnya bukan pemeparan dan sistematisasi hukum yang mewujudkan titik tolak melainkan analisis dan penjelasan terhadap gejala hukum dalam semua aspeknya.

************************************

Sinzheimer

Hukum tidaklah bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan dalam lingkup manusia-manusia yang hidup. Jadi bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum.

Dengan demikian masalah efisiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting. Oleh karena menyangkut pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya, yaitu meninjau hubungan hukum dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial di luarnya.

Agar hukum benar-benar digunakan secara efisien dan efektif untuk mengatur masyarakat, komponen-komponen sosial yang mengintari proses hukum tersebut perlu mendapat perhatian dan harus dimanfaatkan untuk membangun suatu tatanan hukum yang bermanfaat bagi masyarakat, karena akan membawa kita untuk lebih memahami kehidupan masyarakat dan membuat kita lebih mampu memecahkan problema-problema sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

 Robert B. Seidman

Komponen-komponen kekuatan sosial dan personal akan selalu bersinergi dalam proses bekerjanya hukum. Sehingga hukum yang multi wajah, tidak memadai jika hanya dilihat dari satu sudut pandang (perspektif) saja. Studi-studi yang normatif maupun yang sosiologis, antropologis, psikologis, politik, ekonomi, dan sebagainya dikembangkan agar penggalan-penggalan wajah hukum yang dikemukakan oleh masing-masing perspektif dapat disatukan menjadi satu kesatuan wajah hukum yang utuh dan benar-benar sempurna.

 Gustav Radbruch

Tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum:

1)      Keadilan;

2)      Kepastian hukum;

3)      Kemanfaatan.

                        Nilai kemanfaatan akan mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan masyarakat pada suatu saat tertentu, sehingga hukum itu benar-benar mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakatnya.

Bredermeier

      Di dalam suatu sistem sosial dapat dijumpai bekerjanya 4 proses-proses fungsional utama, yaitu:

1.     Adaptasi;

a.     Perwujudan tujuan;

2.     Mempertahankan pola; dan

3.     Integrasi.

Keempat proses itu saling kait-mengkait dan secara timbal-balik saling memberikan input. Setiap sub-proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara itu, output dari salah satu proses juga akan menjadi input bagi sub-proses yang lain.

Semua itu menunjukkan bahwa pemanfaatan hasil studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum sangat diperlukan. Ini tidak dapat terjadi bila kerangka berfikir yang kita ikuti masih tetap bertumpu pada aliran analisis-positivitis.

Sekalipun aliran analisis-positivitis melihat masalah pengaturan oleh hukum dari segi legitimasinya dan semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai keadilan, justru banyak tugas-tugas yang menyangkut pelaksanaan keadilan yang memerlukan keahlian-keahlian yang bersifat non-hukum, yang seringkali belum dikuasai benar oleh para petugas hukum yang ada pada saat ini.

Montesquieu

            Hukum manusia tidak lain adalah hasil akhir dari bekerjanya berbagai faktor, seperti adat kebiasaan setempat serta lingkungan fisik di sekitarnya. Untuk dapat memahami bekerjanya berbagai faktor tersebut, perlu bantuan dari ilmu pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial bersifat dekriptif. Ilmu pengetahuan hukum bersifat normatif dan evaluatif. Keterbatasan ilmu hukum inilah yang menyebabkan diperlukannya “teori hukum sosial” untuk memperluas wawasan keilmuan dari hukum agar keluar dari kungkungan paradigma lama yang bersifat normatif dan evaluatif semata.

 Northop

            Hukum memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari norma-norma sosial sebagai “hukum yang hidup”.

 

 Eugen Ehrlich

            Hukum yang hidup dinamakan sebagai hukum yang menguasai hidup itu sendiri, sekalipun ia tidak dicantumkan dalam peraturan-peraturan hukum.

 

 Yehezkel Dror

            Bidang budaya atau aktivitas masyarakat tertentu ternyata sangat berjalinan erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat. Oleh karena itu, usaha untuk mempelajari hukum secara terpisah dari konteks sosialnya akan menjadi sukar.

 

Yulius Stone

            Sekalipun ilmu sosialnya telah bisa selesai, namun persoalan pertimbangan kebijakan dan keadilan masih perlu dipertanyakan. Kerja mengumpulkan data dan bahkan juga usaha inferensinya untuk menarik simpulan umum dari fakta-fakta ini haruslah dipandang sekedar sebagai landasan penggarapan masalah yang lebih pokok. Adapun masalah yang lebih pokok ini ialah apakah yang seharusnya diperbuat terhadap fakta-fakta itu? Pertanyaan Yulius Stone ini adalah persoalan etik kebijakan sosial dan keadilan.

 

Yap Thiam Hien

            Sekalipun komponen-komponen sosial teramat penting dalam penataan lembaga dan pranata hukum, namun belum mendapat perhatian serius dari para pekerja hukum, baik di kalangan intelektual, legislator maupun aparat penegak hukum. Mengenai kekurangan pengetahuan dan kekurangan pedulian terhadap aspek non yuridik itu juga dirasakan oleh seorang pengacara kondang ini.

Lemaire

Hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif.

Mr. Dr. Kisch

Hukum itu tidak dapat dilihat/ditangkap oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang memuaskan umum.

Van Vollen Hoven

Hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya.

 Soediman

Hukum sebagai pikiran atau anggapan orang tentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antar manusia.

Pengertian-pengertian tersebut menunjukkan hukum memiliki banyak dimensi, masing-masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum dapat dikelompokkan menjadi tiga pengertian dasar:

1.     Hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat filosofis;

2.     Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka pesat perhatian terfokus pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, yang bisa kita bicarakan sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat normative-analitis;

3.     Hukum dipahami sebagai sarana/alat untuk mengatur masyrakat, maka metoda yang digunakan adalah metoda sosiologis. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkrit da;lam masyarakat.

1. Teori Etis 

Genny

Hukum semata-mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil. Hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan.

Hakikat keadilan terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan. Kesulitan teori ini pada pemberian batasan terhadap isi keadilan itu.

Aristoteles

Keadilan ada dua macam:

a.   justisia distributive

Menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya

b.   justisia communicative

      Menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan yang menyamakan).

Roscoe Pound

Melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat.

Jeremy Bentham (Teori Utilitas)

Tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number). Pada hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak. Penganutnya.

Mochtar Kusumaatmadja (Teori Campuran)

Tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat dan zamannya.

 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto

Tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ektern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi.

 

Van Apeldoorn

Hukum bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.

Soebekti

Hukum mengabdi pada tujuan untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Dengan mengabdi pada tujuan negara itu, hukum mewujudkan keadilan dan ketertiban.

Secara garis besar tujuan hukum meliputi:

1.     Pencapaian suatu masyarakat yang tertib dan damai;

2.     Mewujudkan keadilan; serta

a.     Untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan atau kesejahteraan.

Fungsi-fungsi Hukum :

Hoebel

Ada empat fungsi dasar dari hukum:

1.     Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa yang pula dilarang;

a.     Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus menaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif;

b.    Menyelesaikan sengketa; dan

c.     Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.

Di samping itu hukum berfungsi:

a.   Sebagai kontrol sosial;

b.   Sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata di hamper seluruh sector kehidupan masyarakat.

Parsons

Fungsi utama suatu sistem hukum bersifat integratif:

1.     untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat, dan

2.     untuk melicinkan proses pergaulan sosial.

 

Aubert

Fungsi hukum yang bersifat prevention to promotion.

Brockman dan Ewald

Fungsi hukum adalah socialization of Law.

Luhman

Fungsi hukum sebagai social engineering as a political approach to law.

            Penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan tingkat kemampuan masyarakatnya. Pada masing-masing tingkat kemampuan masyarakat terdapat tatanan hukum yang berbeda-beda.

Hukum sebagai suatu sistem norma :

Bertalanffy, Kenncth Building

            Dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya.

            Dalam hal sistem, definisi sistem yang dikemukakan mengandung implikasi yang sangat berarti terhadap hukum terutama berkaitan dengan aspek:

1.     Keintegrasian;

2.     Keteraturan;

3.     Keutuhan;

4.     Keteror-ganisasian;

5.     Keterhubungan komponen satu sama lain; dan

6.     Ketergantungan komponen satu sama lain.

 

Shrode dan Voich

            Sistem harus berorientasi kepada tujuan. Karena hukum sebagai suatu sistem, untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem.

 

Lawrence M. Friedman

Hukum itu merupakan gabungan antara komponen:

1.     1.      Struktur

      Kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.

      Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.

1.     2.      Substansi

      Sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.

1.     3.      Kultur

      Terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau olehLawrence M. Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat. Kultur hukum dibedakan antara:

1.     Internal legal culture

Kultur hukum para lawyer and judges.

1.     External legal culture

Kultur hukum masyarakat luas.

 

 

Lon L. Fuller

            Untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan azas atau principle of legality:

1.     Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;

2.     Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;

3.     Peraturan tidak boleh berlaku surut;

4.     Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;

5.     Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;

6.     Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;

7.     Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah;

8.     Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengn pelaksanaannya sehari-hari.

 

Hans Kelsen

            Perwujudan norma tampak sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang mulai dari norma positif tertinggi hingga perwujudan yang paling rendah yang disebut sebagai individual norm. Teori Hans Kelsen yang membentuk bangunan berjenjang tersebut disebut juga stufen theory.

            Hukum sebagai suatu sistem norma, dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi ini pun dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya sampai berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat.

            Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm(norma dasar). Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah. Melalui Grundnorm inilah semua peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara hirarkhis, dan dengan demikian ia juga merupaklan suatu sistem. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum. Norma-norma yang terkandung dalam hukum positip itu pun harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Grundnorm.

            Dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Agar keberadaan hukum sebagai suatu sistem tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu mewujudkan tingkat kegunaan (efficaces) secara minimum. Efficacy suatu norma ini dapat terwujud apabila:

1.     ketaatan warga dipandang sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh norma;

2.     perlu adanya persyaratan berupa sanksi yang diberikan oleh norma.

            Untuk mengatakan hukum sebagai suatu sistem norma, Hans Kelsen menghendaki obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis. Sumber yang mengandung penilaian etis diletakan di luar kajian hukum atau bersifat trancenden terhadap hukum positif, dan oleh karenanya kajiannya bersifat meta-yuridis.

 

Elemen-Elemen Pembentukan Hukum :

Burkhardt Krems

Pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan:

1.     isi atau substansi peraturan;

2.     metoda pembentukan;

3.     proses; dan

4.     prosedur pembentukan peraturan.

Setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun sosiologis.

 

Krems

Pembentukan peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan kegiatan yuridis semata, melainkan suatu kegiatan yang bersifat interdisipliner. Artinya setiap aktivitas pembentukan peraturan perundang-undangan memerlukan bantuan ilmu-ilmu tersebut agar produk hukum yang dihasilkan itu dapat diterima dan mendapat pengakuan dari masyarakat.

            Metode pembentukan peraturan perundang-undangan menentukan apakah suatu peraturan dapat mencapai sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Untuk itulah maka bantuan dari sosiologis hukum, ilmu pengetahuan tata hukum dan ilmu tentang perencanaan sangat diperlukan. Apa lagi dalam kehidupan dewasa ini semua perencanaan kebijaksanaan dan program-program pembangunan cenderung menjadikan pranata hukum sebagai sandarannya.

 

Teori Labeling, menerangkan dua hal, yaitu :

Pertama, tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau “label” dan,

Kedua, bagaimana efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya pada diri seseorang terhadap mana ia memperoleh cap.

 

Thomas Aquinas

Menjelaskan bahwa hukum adalah aturan-aturan atau ukuran-ukuran perbuatan baik sebagai petunjuk yang pastibagi tingkah laku dan mengendalikan perilaku manusia. Tujuan hukum adalah kebaikan bersama, menurut Aquinas,hukum tergantung dari tingkat keadilannya, oleh karena itu hukum yang digunakan setiap manusia untuk mencapai keadilan adalah adalah melalui hukum yang berasal dari hukum alam.

 

Grotius

Hukum alam adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia. Menuryt Grotius, hukum alam tidak bisa diubah secara ekstrim meskipun oleh Tuhan sekalipun. Hukum alam diperoleh manusia dari akalnya tetapi Tuhan lah yang member kekuatan mengikatnya

Fuller

Hukum sebagai aktivitas yang bertujuan yang dalam hal ini moralitas dari gagasan yang mendorong manusia untuk mencapai hal-hal ideal untuk memenuhi kemampuannya. Fuller melihat hukum sebagai suatu aktivitas yang bertujuan untuk mencapai tujuan, maka untuk itu ada pembenaran pada moralitas gagasan.

Hart dan hukum alam

Menurut hart ada aturan-aturan dasar yang bersifat subtantif tertentu yang bersifat esensial, jika manusia hidup manusia secara intim. Hart meletakkan penekannya yang utama pada suatu asumsi kelangsungan hidup sebagai tujuan kemanusian yang utama. Menurutnya,terdapat aturan-aturan yang tertentu yang mengisi setiap organisasi sosial dan merupakan fakta dari sifat manusia yang memberikan pertimbngan pada postulasi ( dalil) dari suatu isi minimum dari hukum kodrat.

Cicero

Mengajarkan konsepnya tentang “ a true law “ ( hukum yang benar yang sesuaidengan  “ right reason” (penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam dan menyebar diantara kemanusian dan sifatnya “imnutable” dan “eternal” : hukum apapun harus bersumber dari “ true law”, menurut Cicero hukum yang benar adalah adanya kesesuaian antra akal dan alam. Hal ini merupakan suatu kebutuhan yang universal, tidak berubah, dan abadi (kekal). Hukum yang benar akan memuat tentang perintah-perintah untuk melaksanakan kewajiban dan berpaling dari perbuatan jahat da larangan-larangan.

Justinian

Hukum alam dibedakan antara hukum sipil dan hukum universal. Hukum sipil adalah merupakaan hukum yang sifatnya khusus yang tiap-tiap manusia atau bangsa membuatnya khusus atau sesuai dengan kebutuhannya masing – masing. Sedangkan hukum universal adalah merupakan hukum yang digunakan oleh seluruh ciptaan Tuhan yang bersifat kekaal dan abadi.

 

Locge dan Pemerintahan sipil

Timbulnya Negara dan hukum adalah dengan melukiskan situasi hidup pada jaman primitive. Pada jaman primitive, orang-orang hidup menurut hukum alam.sebab pada jaman itu orang-orang memiliki kekuasan hukum yang eksekutif. Agar Negara dapat berfungsi sebgai pengawal hukum, orang-orang perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitive mereka kepada Negara seperti hak menghukum secara pribadi.

 

Hobbes (leviathan)

Kekuasan Negara yang amat besar adalah sangat penting artinya, oleh karena itu kekuasan tersebut secara absolute hatus diserahkan kepada penguasa. Hobbes mengubah tekanan dari hukum alam sebagi tatanan objektif menjadi hak alami sebagi suatu tuntutan subjektif yang didasarkan pada sifat manusia, sehingga memberikan jalan untuk revolusi individuaalisme dikemudian ari dengan nama “ hak-hak yang dapat dicabut kembali”. Hobbes mengartikan hukum alam tidak hanyaa persepsi-persepsi etika tentang ketentuan-ketentuan tertentu tetapi juga mengenai undang-undang mengenai perilaku manusia yang didasarkan atas pengamatan apresiasi tabiat manusia. Prinsip pokok hukum alam bagi hobbes adalah hak alami untuk menjaga diri.

J.J. Rousseau ( kontrak social )

Untuk membenarkan kedaulatan rakyat, Rousseau menyusun volonte generale, dan dipihak lain menyusun kebebasan hakiki yang tidak dapat dicabut konstruksinya yang diunakan oleh Rousseau adalah kontrak social. Dengan kontrak sosial orang bersatu agar hak-hak mereka atas kebebasan dan kesejaahteraan dijamin oleh Negara. Eksistensi Negara daan keabsahannya hanya dijamin oleh kebebasaan dan persamaan. Setelah diterima oleh manusia, Negara mengembalikannya tidak sebagai hak-hak alami tetapi sebagai hak-hak sipil kepada seluruh warganya, jadi Negara dan hukum tunduk kepada kehendak umum yang menciptakan Negara untuk melindungi kebebasaan dan kesejahteraan yang lebih baik.

 

John Locke

Meskipun ada kebebasan tetapi bukan berarti manusia bebas untuk menghancurkan dirinya sendiri atau makhluk lain karena alam mempunyai undang-undang untuk mengatur tidak boleh memusnahkan kehidupan orang lain dengan persamaan dan kebebasan dan kesehatan atau kebebasan miliknya selama ia hidup karena semua ini adalah ciptaan si Pencipta. Di dalam kehidupan orang memiliki hak untuk hidup, dalam bidang-bidang lain mereka memiliki hak atas kesehatan, hak atas kebebasan, hak milik dan lainnya.

J. Raz

Menggambarkan bahwa hukum harus dipisahkan dari berbagai hal termasuk moralitas (Problem About The Nature Of Law).

 

R. Dworkin

Dalam pengertian Dworkin, hukum itu sebagai gambaran tradisional dari hak-hak untuk memperoleh kebebasan dan kebersamaan sehingga perlakuan yang adil dari keputusan politik pemerintah diperlukan untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat.

Tujuan kesejahteraan atau kemakmuran sosial untuk kepentingan diri sendiri sebagai bagian dari nilai-nilai sosial itu sebagai suatu nilai tambah bagi dirinya dalam masyarakat. Kesejahteraan atau kemakmuran dimaksudkan tidak sebagai bagian dari nilai-nilai sosial akan tetapi hanya sebagai alat saja.

 

J. Rawls

Menurut Rawls, bahwa dalam kenyataannya orang sering menganggap intuisi-intuisi sosial dan hukum sebagai suatu bentuk hambatan bagi perkembangan hidup mereka, oleh Rawls masyarakat ini disebut Private Society. Masyarakat sudah menaati peraturan tetapi banyak yang merasa tidak adil atau sama. Rawls menyimpulkan bahwa hak itu telah sama tetapi perwujudannya belum sama (struktur dasar masyarakat belum sehat), sehingga untuk itu diperlukan pengaturan kembali (call for redress) sebagai syarat mutlak untuk dapat menuju kembali kepada suatu masyarakat ideal yang baru.

 

R. Nozick

Mengatakan bahwa, Negara yang dipersepsikan sebagai penjaga malam sebagaimana termuat dalam teori liberal klasik membatasi fungsi Negara guna melindungi warganya dari kekerasan, pencurian, pemaksaan kontrak dan sebagainya. Pada dasarnya Negara sebagai penjaga malam bersifat redistributive dalam artian memaksa orang guna membayar perlindungan bagi sebagian orang lainnya.

 

Emilie Durkheim

Solidaritas organis dan hukum yang memulihkan (restitutif) mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada solidaritas mekanis dan hukum yang sifatnya mengekang (represif). Hal ini dikaitkan dengan tingkatan-tingkatan kesejahteraan dan derajat-derajat kepacuan moral. Semakin kuno suatu masyarakat maka semakin represif, berat dan dahsyat saksi-saksinya; dilain pihak semakin tinggi perkembangan suatu masyarakat menuju masyarakat yang modern maka semakin ringan hukuman-hukumannya sehingga pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan.

P. Selznick (The Socioligy of Law)

Menunjukkan bahwa kepatuhan hukum tidak unik kepada politik Negara. Dia melihat hukum sebagai elemen umum didalam struktur dari banyak kelompok-kelompok masyarakat. Hukum selalu terdapat diseluruh institusi yang dipercaya untuk mengontrol kekuasaan formal dan peraturan.

Susan Silbey dan Austin Sarat

Mengemukakan betapa pentingnya kritik dalam kaitannya antara hukum dan tradisi masyarakat. Kritik dilakukan dengan tetap memfokuskan diri kepada hukum dengan memperhatikan proses sosial yang melingkupu hukum. Proses sosial tersebut dilakukan dengan melalui studi untuk mengetahui hukum tidak saja dalam literature hukum dan doktrin hukum tetapi juga malalui institusi sosial disekitar hukum dengan harapan hukum akan terlihat utuh.

 

F.K. Savigny

Menurut Savigny suatu system hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut. Hukum bukanlah merupakan hasil dari undang-undang yang dibuat secara tidak disengaja oleh legislator, akan tetapi dibuat sebagai respon atas kekuatan impersonal yang ditemukan dalam spirit nasional dari masyarakat. Hukum bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan, dan kuat sejalan dengan kuatnya rakyat Negara tersebut, dan pada akhirnya mati pada saat Negara tersebut kehilangan kebangsaannya.

Radcliffe Brown

Mendefinisikan hukum sebagai suatu control sosial melalui penerapann sistematis dari masyarakat organisasasi politik yang berkuasa.

Sir Henry Maine

Menurut Maine, pada awalnya kondisi hukum adat istiadat masih merupakan hukum yang tidak tertulis. Pendokumentasian adat istiadat dalam suatu bentuk tertulis baru dimulai pada saat pengadilan Wesminster Hall di Inggris dimulai. Selanjutnya hukum tertulis tersebut mulai dijadikan yang kita kenal dengan nama codes.

 

L.L. Fuller (Human Interaction and The Law)

Menurut Fuller apabila kita dapat mengerti secara baik tentang adat istiadat, maka kita dapat menerima kedudukan adat istiadat sebagai suatu bagian terpenting dalam perkembangan kehidupan di dunia saat ini, terutama dalam perkembangan hukum internasional.

 

Paul Bohannan (The Differing Realms of The Law)

Institusi hukum adalah institusi dimana masyarakatnya memiliki suatu system penyelesaian permasalahan antara satu dengan yang lainnya dan melakukan suatu counterpart atas pelanggaran hukum. 2 aspek penting yang membedakan institusi hukum dengan institusi lainnya adalah : institusi tersebut memiliki peraturan untuk dapat mengintervensi institusi bukan hukum terhadap adanya permasalahan hukum; dan memiliki aturan/tata cara tersendiri dan substansi hukum tersendiri.

 

S. Diamond

Diamond menyatakan bahwa kita harus membedakan The Rule of Law dengan adat istiadat. Hukum dan adat istiadat pada prinsipnya adalah saling bertentang dan tidak berkesinambungan. Adat istiadat dan hukum adalah adalah suatu sejarah dan secara logika tidak saling berhubungan.

 

H.C. Bredemeier

Pola kerja hukum yang dipakai sebagai acuan oleh Bredemeier disini adalah yang menempatkan pengadilan sebagi pusat kegiatannya. Keadaan yang demikian itu tentunya agar berbeda dari masyarakat-masyarakat atau Negara-negara pola kerja hukumnya di dominasi oleh kegiatan badan pembuat undang-undang nya.

 

David M. Trubek

Trubek mengatakan bahwa salah satu ciri hukum modern adalah penggunaannya secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kesadaran tersebut menyebabkan bahwa hukum modern itu menjadi begitu instrumental sifatnya dengan asumsinya, bahwa kehidupan sosial itu bisa dibentuk oleh kemauan sosial tertentu, seperti kemauan sosial dari golongan elit dalam masyarakat.

 

R.M. Unger

Menurut Unger dalam bukunya “Law in Modern Society” atau hukum di dalam masyarakat modern menyatakan setiap masyarakat menyatakan melalui hukum rahasia-rahasia yang paling dalam cara yang dapat menahan seseorang secara bersama-sama.

 

R. Cotterell

Dalam karangannya The Sociological Concept of Law membedakan penggunaan suatu konsep hukum dalam teori hukum normative dan empiris. Selama itu konsep sosiologi hukum digolongkan dalam kategori yang luas yaitu monisme yuridis, pluralism yuridis dan hukum Negara sebagai yang dominan, akan tetapi tidak terlepas dari hukum.

 

G. Puchta

Dinamainya volgeist, hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan rakyat, dan pada akhirnya ia mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya.

 

Sir Henry Meine

Dalam karya bukunya Ancient Law (1861), dalam hukum manusia primitive, dalam masyarakat kesukuan, tenaga ahli belum pernah mereka temukan atau yang tidak ingin mereka temukan dalam sejarah mereka sendiri. Teori Evolutionistic mengenai masyarakat-masyarakat dan hukumnya masing-masing mempelajari hukum sebagai pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

 

Ehrlich

Hukum adalah swatentra pada level metodologi ketika dalam jalan keputusan lembaga membenarkan tindakan mereka berbeda dari berbagai pembenaran yang digunakan pada disiplin praktek lain, artinya alasan hukum memiliki metode atau gaya untuk membedakan dari penjelasan ilmu pengetahuan dari moral, politik dan tulisan ekonomi.

 

R. Von Thering

Melihat hukum dalam essensinya yang terekspresi melalui tujuannya, yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat tersebut. Bagi Jhering dibawah hukum, kepentingan-kepentingan masyarakat harus didahulukan.

 

G. Teubner

Mengembangkan suatu teori dari hukum yang disebut aliran Post Structualism, teori kritis dan autopoisis. Teori tersebut menimbulkan anti reaktif dan anti individualisme.

 

Ajaran John Stuart Mill

Tujuan hukum ialah menciptakan kebebasan maksimum bagi tiap individu, sehingga ia dapat mengejar apa yang baik baginya.

Lenin

Teori State and Revolution

 

Engels

Dalam bukunya The Origin of Family, private property and state. Negara itu bukanlah suatu kekuasaan yang diletakkan diatas masyarakat dari luar dan bukanlah ia kebenaran dari cita-cita susila dan kebenaran dari budi. Kekuasaan yang timbul dari masyarakat, akan tetapi menempatkan dirinya diatas masyarakat itu sendiri itulah yang dinamakan negara.

 

Karl Marx

Dalam bukunya Civil War in France (1891), negara itu adalah tidak lain selain alat pemaksa untuk melakukan penindasan/penghisapan oleh suatu golongan terhadap golongan yang lain.

 

G. A. Cohen

Pokok- pokok tentang pemikiran hukum marxis yang di kemukakan adalah :

1.     kekuatan kekuatan produksi mengalami konflik dengan hubungan- hubungan kepemilikan karena kekuatan produksi konflik dengan hubungan hubungan produksi yang di formulasikan dan di lindungi oleh hubungan kepemilikan.

2.     Tenaga kaum proletar tidak di miliki oleh kaum kapitalis tertentu akan tetapi hanya dimiliki oleh keseluruhan kaum kapitalis.

3.     Hubungan produksi, demi efisiensi dan ketertiban, memerlukan sanksi hubungan kepemilikan.

4.     Hak kepemilikan merupakan institusi pertama dari semua institusi hukum

5.     Masyarakat tidaak didirikan atas hukum, ini fiksi hukum. Hukumlah yang di dirikan atas masyarakat

 

E. Pashukanis” Law and Marxis” (1978) Teori Pertukaran Komoditi

Hukum timbul dari kebutuhan akan ibentuk komoditi dari produksi. Komoditi merupakan bentuk dari hubungan hukum karena masyarakat kapitalis terdiri dari produsen produsen komoditi.

 

Donal G GJerdingen

Bahwa sesungguhnya seluruh pendidikan yang penting dari pemikiran hukum amerika selama abad terakhir, sejak masa Langdellian ortodoksi sampao masa realism untuk proses pendidikan hukum, di domonasi oleh suatu konsep hukum yang memisahkan hukum dan politik.

Ferdinand de Saussure

Teori Strukturalisme, bahwa suatu tanda bahasa yang bermakna bukan karena refernsinya kepada benda dengan realitas, berdasarkan teori ini tidak ada realitas yang sebenarnya kecuali konsep tentang realitas itu sendiri.

 

 

Rene Descrates

Ia berpendapat bahwa kepastian kebenaran dapat di peroleh dari strategi kesangsian metodis, dengan menyangsikan segala sesuatu akan di temukan hal yang bersifat tetap dan tidak dapat di ragukan.

 

Hugo de Groot ( Grotius )

Mengatakan bahwa sumber hukum adalah rasio manusia. Karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia hasus berdasarkan atas kemampuan akal ( rasio ). Hukum alam menurut Grotius merupakan hukum yang muncul sesuai kodrat manusia.

 

J. M. Balkin

Hukum adalah logis jika hukum mempunyai kepastian dan lulus pada ketentuan tertentu. Pernyataan atas hukum logis lahir ketika kita memahami hukum dalam cara tertentu (pemahaman knstruksi hukum rasional)

 

Auguste Comte

Comte lahir di kota Monpellier Perancis, berasal dai latar belakan keluarga kelas menengah. Orang tua Comte adalah pegawai kerajaan yang menganut Katolik, istri Comte adalah bekas pelacur. Meskipun belajar di politeknik dia juga tertarik pada ilmu sosial. Tokoh yang mempengaruhi pemikirannya adalah Saint Simon. Comte dikenal sebagai Bapak Sosiologi (the Founding Father of Sociology). Comte dapat digolongkan tokoh fungsionalisme klasik. Teori Comte yang terkenal adalah Hukum evolusi tiga tahap, yaitu:

 1. Tahap teologis yang identik dengan kekuatan supranatural, fetisisme, animisme, politeisme, monoteisme, agama, Tuhan, dansebagainya,

 2. Tahap metafisik yaitu ketika manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal budinya,

 3. Tahap positivisme yaitu ketika masyarakat mempercayai pengetahuan ilmiah lewat observasi dan pengujian dengan metode empirik. Oleh karena itu Comte kemudian dijuluki sebagai Father of Positivism.

 

B.G Wilhem von Leibniz

Leibniz kelahiran Hanover, Jerman, semenjak usia enam tahun dia sudah ditinggal mati ayahnya. Sejak duabelas tahun sudah belajar mendiri tentang literatur Yunani, hingga umur dua puluh dia sudah menekuni matematika, ilmu agama, hukum, dan filsafat. Ada kontroversi besar tentang hukum kalkulus. Inggris menyatakan bahwa Newton penemu hukum kalkulus, namun Jerman menyatakan Laeibniz penemunya. Leibniz juga yang pertama menggunakan sistem biner. Filsafat Leibniz adalah bahwa alam semesta adalah terdiri atas pusat (centrum) yang tak terbilang dari suatu energi atau kekuatan rohani, sebuah cikal bakal teologi tunggal universalitas modernisme.

 

C. Wright Mills

Charles Wright Mills kelahiran Waco, Texas, Amerika Serikat. Ia menerima Phd nya dari uneversitas Wisconsin. Tokoh-tokoh panutanya adalah Max Weber dan Karl Marx. Gaya intelektual Wright Mills adalah pragmatisme.
Wright Mills menghimbau sosiologi sebagai perpaduan psikologi sosial dengan strukturalisme konflik, karena grand theory naturalistik seperti fungsionalisme masih terlalu abstrak. Mills adalah sosiolog humanis yang evaluatif, karena dasar teoritiknya menggunakan interaksionisme Herbert Mead, namun dengan tambahan dimensi sejarah dan kesadaran akan pengaruh kekuasaan (konflik) terhadap struktur sosial. Bagi Mills, data-data empirisnya bisa berupa sumber-sumber biografis, catatan-catatan sejarah, surat-surat kabar, laporan jurnal, dan sebagainya. Karya Mills yang terkenal adalah “The power elite” yang mengetengahkan kekuatan tritunggal: bisnis raksasa, pemerintahan yang kuat, dan militer yang tangguh di Amerika.

 

David Ricardo

David Ricardo adalah ekonom kelahiran Inggris. Setelah hak warisnya dicabut karena menikah dengan perempuan di luar iman Yahudi nya, dia memilih menjadi pialang dan broker saham. Pada umr 27 dia membaca buku Adam Smith, pada sekitar umur 37 dia sering menulis artikel ekonomi dan menjadi ekonom profesional. Ricardo menelorkan teori kwantitas uang yang saat ini dikenal dengan paham moneter, dia juga menawarkan proteksi dalam produksi untuk persaingan pasar. Kontribusi Ricardo terhadap ekonomi juga aplikasi matematika dalam teori sewa yang menyetir Malthus. Ricardo menjelaskan lewat pertanyaan, mengapa harga agrikultur tidak membantu petani penggarap menjadi lebih kaya dan justru pemilik tanah menjadi tuan-tuan tanah kaya.

 

Edward Said

Edward Said lahir di Palestina, sejak muda dia sudah menjadi aktifis, kritik-kritiknya dituangkan dalam penulisan kesusastraan, dan musik. Suatu hari kekuatan Israel berhasil menguasai Jerusalem barat, sehingga membuat dia dan keluarga mengungsi ke Kairo, Mesir, dia sendiri menuntut ilmu hingga ke Amerika Serikat. Kritik serangan balik Edward Said terhadap komentar-komentar Israel atas Palestina menggunkan sudut pandang mereka sendiri. Said justru menawarkan jalan damai mencapai tujuan bersama untuk eksistensi Palestina maupun Israel, dan bukan dengan penindasan, pengrusakan, dan penyiksaan. Paham itu adalah orientalisme, yaitu prasangka gigih eurosentris yang sulit dipisahkan dalam melawan orang-orang ArabIslam dan kultur mereka. Orientalisme memandang budaya diluar kebudayaannya secara subyektif dan sepihak, yang kemudian mensubordinasikan budaya luar tersebut.

 

George Herbert Mead

Mead lahir di Hadley selatan Amerika Serikat. Dia dibesarkan di tengah keluarga yang akademisi, karena kedua orang tuanya adalah profesor di Oberlin. Mead adalah penganut agamaCongregationalist (Kristen yang berdiri sendiri) seperti halnya ayahnya yang seorang pelayan Congregationalist. Gaya intelektualnya adalah pragmatis dengan pendekatan sosial behavioristik. Mead dapat digolongkan tokoh sosiologi dengan dasar pemikiran interaksionisme simbolik modern. Mead membahas hubungan antara pikiran seseorang, dirinya, dan masyarakat. Sumbangan Mead terhadap sosiologi adalah pandangan bahwa diri (self) seseoarang berkembang melalui tahap play, the game, dan generalized other, dan dalam prosesnya seseorang belajar mengambil peran orang lain (taking the role of the other).

 

G.W.F. Hegel

Hegel adalah tokoh peletak dasar fenomenologi dalam pisau analisis sosialnya. Fenomenologi mencoba untuk menyajikan sejarah manusia, dengan semua revolusinya, peperangan dan penemuan ilmiah, sebagai suatu pengembangan diri idealistis dari suatu roh sasaran atau pikiran. Filsafat Hegel adalah tentang Roh Absolut kemutlakan, tugas filsafat adalah pengembangan tentang Roh Absolut tersebut. Dia menyetir filsuf Yunani Parmenides bahwa masuk akal adalah riil dan yang riil adalah masuk akal. Hegel sangat menitik beratkan pada logika, sedangkan pengembangannya lewat dialektik. Hegel juga menyoroti alienasi yang kemudian juga menjadi referensi Engels, Marx, dan Feurbach.

 

 

Harold Garfinkel

Harold Garfinkel dapat dimasukkan pada sosiolog humanis seperti halnya Blumer yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai subyek. Namun Garfinkel lebih menekankan pada studi tentang etnometodologi, yaitu metode studi yang digunakan untuk menguraikan dan meneliti aktifitas mereka sendiri tanpa reduksi subyektif peneliti. Etnometodologi berusaha menemukan esensi pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, karena itu metode yang dipakai adalah partisipan observasi. Garfinkel justru menentang konsep dasar sosiologi mengenai keteraturan, karehna keteraturan tersebut melalui proses yang panjang multi kompleks yang justru tak teratur. Contohnya dalam percakapan, ada perbedaan antara apa yang benar-benar diucapkan dengan apa yang diperbincangkan.

 

Herbert Blumer

Blumer digolongkan tokoh interaksionisme simbolik modern. Tindakan-tindakan bersama yang mempu membentuk struktur atau lembaga itu disebabkan oleh interaksi simbolis, yang didalamnya mengandung makna, disampaikan lewat isyarat dan bahasa, berupa simbol-simbol yang berarti, memiliki makna yang disampaikan kepada pihak lain. Bagi Blumer manusia bertindak bukan hanya faktor eksternal (fungsionalisme struktural) dan internal (reduksionis psikologis) saja, namun individu juga mampu melakukan self indication atau memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi yang mengelilinginya itu. Pada dasarnya tindakan manusia itu terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal. Metode empiris Blumer lewat pengamatan (inquiry), penjelajahan (exploration), dan pemeriksaan (inspection). Blumer menekankan pada aspek kemanusiaan (humanis) yang unik dan berbeda satu sama lain, memiliki cita, rasa, karsa, serta multi variat.

 

A.R. Radcliffe Brown

Paradigma yang dianut adalah struktural fungsional, yang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan terdiri atas institusi yang secara fungsional saling bergantung. Brown adalah Darwinist sosial yang menekankan kepada kompetisi sosial yang paling fit untuk tetap survive. Dia banyak belajar dari sosiolog Perancis Durkheim tentang organ fisik atau badan yang bekerja sama untuk mendukung suatu badan hidup. Karirnya melejit setelah penelitian antropologinya tentang penduduk Andaman dan Aborigin menggunakan pendekatan fungsionalisme, namun banyak ilmuan menuduh struktural fungsional adalah format reduksionis.
Brown dapat dikelompokkan pada tokoh fungsionalisme klasik. Konsep fungsi oleh Brown didasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik. Dia mencontohkan bahwa hukuman pada kriminil memiliki fungsi untuk menjaga keberlangsungan struktur.

 

 

 

Saint Simon

Saint Simon adalah tokoh sosialisme industri modern dan sosiologi evolusioner. Dia menyarankan untuk menekan paham materialisme yang justru merugikan, dan menekankan pada kesatuan serta restorasi rohani. Bagi Saint Simon kemajuan ditentukan dari format peradaban yang stabil, program adalah dasar pemikiran yang membedakan, masing-masing format yang lebih tinggi adalah terdepan namun pada gilirannya juga akan menjadi usang oleh format baru. Saint Simon juga menciptakanilmu sosial integratif yang memadukan ilmu sosial dan ilmu alam yang pada saatnya memunculkan positivistik buah tangan muridnya Auguste Comte. Visi masyarakat masa depan Saint Simon adalah masyarakat yang memiliki prestasi, produktif, dimana kemiskinan dan peperangan dihapuskan melalui industrialisasi dibawah bimbingan ilmiah, untuk itu diperlukan open class masyarakat, sistem kasta dan suku bangsa dihapuskan, serta penghargaan berdasarkan jasa.

 

John Locke

Pemerintah dibentuk untuk melindungi sipil, namun jika kebebasan dan hak sipil direnggut, maka pemberontakan atas kekuasaan pemerintah adalah sah. Teori ini dikenal dengan teori hukum alamatau kebenaran alami.

 

 

sumber :  MAKALAHKU

TUGAS TEORI HUKUM MAGISTER ILMU HUKUM UNDIP 2009


[1] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Wal is rechtsteorie?, yang kemudian diterjemahkan oleh Arief Sidharta, demgan Apakah Teori Hukum itu?, Laboratorium Hukum FH Unpar Bandung, 2001, Penerbitan tidak Berkala No. 3, Seri Dasar-dasar Ilmu Hukum no. 3, lihat pada halaman yang sudah diterjemahkan, yaitu halaman 38-39.

[2] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm. 44.

[3] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 39.

[4] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 39.

[5] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48.

[6] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48.

[7] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48. Untuk lebih jauh tentang persoalan ini hendaknya dapat dibaca buku dari kedua pemikir tersebut, karena sacara substansial pemikirannya diuraikan secara panjang lebar.

[8] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 56, dalam bukunya tersebut jan Gijssels dan van de Hoecke menjelaskan beberapa definisi kepustakaan tentang filsafat hukum sebagai berikut:

1.     Sebagai sebuah disiplin spekulatif, yang berkenaan dengannya penalaran-penalarannya tidak dapat diuji secara rasional (I. Tammelo);

2.     Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukumj yang benar, hukum yang adil (J. Schmidt, H. Kelsen);

3.     Sebagai fefleksi atas dasar-dasar dari kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berfikir sistematis yang hanya akan merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari dalam pemikiran (kegiatan berfikir) itu sendiri dan yang mencari hubungan teoretikal terefleksi, yang di dalamnya gejala hukum dapat dimengerti dan dipikirkan (D. Meuwissen).

4.     Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hakikat (sifat) dan keadilan;pengetahuan tentang keberadaan transenden dan imanen dari hukum; pengetahuan tentang nilai-nilai yang di dalamnya hukum berperan tentang hubungan antara hukum dan keadilan pengetahuan tentang struktur dari pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum pengetahuan tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbellay).

[9] Jan Gijssels & Ma

Teori hukum alam dapat dikatakan sebagai sebuah paradigma yang paling tua dan sekaligus paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum alam sesungguhnya merupakan pengembangan/ penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum dianggap sebagai nilai universal yang selalu hidup di setiap sanubari manusia, masyarakat, maupun negara. Hal ini disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.

Bahkan disebutkan bahwa di atas sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat Ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi atau hukum alam itu sendiri, sehingga hukum alam lebih superior dibandingkan dengan hukum negara. Hal ini terjadi karena adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang dibentuk adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif, atau pun relatif. Hukum alam tampil sebagai suatu hukum yang dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorang yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum. 
[1]

Kekuatan utama dari paradigma/aliran ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaian nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Para pemikir hukum alam berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan keduanya sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara. 
[2]

Keadilan merupakan tujuan utama dari aliran hukum alam. Menurut Plato (427-347 SM) yang juga merupakan murid dari Socrates (399 SM), kekuatan moral adalah unsur dari hakikat hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia. Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki sifat universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial.
[3]

Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh negara kepada setiap penduduk/warga negara dan hukum yang baik adalah hukum yang menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa terkecuali dan non-diskriminatif. Secara eksplisit, Aristoteles menyatakan bahwa “keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak”.
[4] Plato dan Aristoteles merupakan pelopor dari paradigma hukum alam yang banyak memengaruhi pikiran-pikiran filsuf Romawi Kuno seperti St. Agustinus dan Thomas Aquinas, yang keduanya merupakan tokoh-tokoh pembaruan hukum alam. 

St. Agustinus

St. Agustinus menekankan pentingnya keadilan dalam setiap hembusan napas hukum negara. Dia mengatakan bahwa “hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum”. St. Agustinus juga membedakan antara hukum ilahi (jus divinum) dan hukum manusia (jus humana). Apa yang disebut dengan hukum alam adalah hukum ilahi, sedangkan jus humana adalah kebiasaan (customs).[5] 

Thomas Aquinas

Di sisi lain, Thomas Aquinas menyatakan bahwa: “semua hukum buatan manusia dalam penalarannya memiliki kedudukan sebagai yang diturunkan dari hukum alam, jika suatu aspek hukum tidak diturunkan oleh hukum alam, maka hukum tersebut cacat sebagai hukum, hukum tersebut tidak dapat memberikan keadilan dan itu bukanlah hukum.” Thomas Aquinas menggambarkan hukum alam sebagai puncak hierarki hukum abadi, dimaknai suatu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan yang menjadi penguasa alam semesta.

Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa hukum alam sebenarnya bukan suatu jenis hukum, tetapi penamaan seragam untuk banyak ide yang dikelompokkan menjadi satu nama, yaitu “Hukum Alam”. Esensi dari hukum alam dapat disimpulkan sebagai berikut:
[6]

1.             Merupakan ideal-ideal yang menuntut perkembangan hukum dan pelaksanaannya,

2.             Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara “yang ada sekarang” dan “yang seharusnya”,

3.             Suatu metode untuk menemukan hukum yang sempurna,

4.             Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat dideduksikan melalui akal, Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.

 

1.      Pemikiran analyitis Positivisme (Rechtsdogmatic)

Bicara mengenai aliran positivisme, bahwa aliran ini sama tuanya dengan filsafat. Namun baru berkembang pesat pada abad ke 19 tatkala empirisme mendominasi pemikiran. Positivisme lahir dan berkembang di bawah naungan empirisme[8] . Artinya antara empirisme dan positivisme tidak dapat dipisahkan.
Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat[9] .
Di dalam aliran positivisme hukum dikenal dua sub aliran yaitu :
Aliran hukum yang analisis, pendasarnya adalah John Austin
Aliran hukum positif yang murni, didepelopori oleh Hans Kelsen.
Dalam tulisan ini sebagaimana dinyatakan terdahulu, memfokuskan pada aliran hukum positif yang analitis oleh John Austin. Positivisme yang dirintis John Austin, yang diberi nama Analytical Judisprudence, dekat sekali dengan mazhab hukum umum. Austin menggunakan metode analisa saja. Melalui analisa sistem-sistem hukum tertentu Austin ingin sampai pada suatu ide umum tentang hukum.
Berdasarkan metodenya yang empiris belaka, Austin sampai pada pengertian tentang Negara, yang menurutnya berlaku secara mutlak. Negara dipandangnya sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah tertentu. Negara-negara timbul dan dipertahankan, oleh sebab kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan mentaati pemerintah. Bila kebiasaan itu berhenti maka sudah tidak terdapat negara lagi. Terdapat bermacam-macam alasan untuk mentaati pemerintah. Ada orang yang mentaati oleh sebab mereka berpegang teguh pada prasangka bahwa pemerintah selalu harus ditaati. Sementara alasan lain karena takut akan kekacauan, bila negara dirombak. Semuanya ini dipastikan dalam pengalaman. Nilai-nilainya tidak dipersoalkan. Dapat dipastikan juga bahwa yang berkuasa adalah satu-satunya sumber hukum. Di atas yang berkuasa hukum tidak ditemukan. Diungkapkan oleh Austin bahwa tiap-tiap Undang-undang positif ditentukan secara langsung atau secara tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota-anggota dari suatu masyarakat politik yang berdaulat, dalam mana pembentuk hukum adalah yang tertinggi. Dengan ketentuan ini Austin tidak menyangkal adanya norma-norma hukum ilahi, norma-norma moral dan juga hukum internasional. Dipastikannya saja, bahwa semua prinsip tersebut tidak mampu untuk meneguhkan atau meniadakan hukum yang berlaku dalam suatu negara[10] .
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai “a command of the Lawgiver” (perintah dari pembentuk Undang-undang atau penguasa), yaitu : suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan atau penilaian baik buruk.
Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas :
1. Hukum ciptaan Tuhan, dan
2. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari;
a. hukum dalam arti yang sebenarnya yaitu yang disebut juga sebagai hukum positif, terdiri dari:
- hukum yang dibuat oleh penguasa, seperti Undang undang, Peraturan pemerintah dan lain-lain.
- hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya: hak wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian, hak kurator terhadap badan/orang dalam curatele.
b. hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang. Contohnya: ketentuan-ketentuan yang dibuat perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.
Terdapat empat unsur penting menurut John Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu:
a. perintah
b. sanksi
c. kewajiban
d. kedaulatan
Adapun keempat unsur tersebut kaitannya satu dengan yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
Unsur perintah ini berarti bahwa satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah ini tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa seseorang atau sekelompok orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons).
Buah pikir John Austin ini tertuang dalam kedua bukunya yang terkenal, yaitu: The Province of Jurisprudence Determined dan Lecture on Jurisprudence.[11] 
Aliran positivisme hukum yang analitis yang dipelopori oleh John Austin tersebut pada sekitar abad ke-19 dan dalam bagian pertama abad ke-20, tampaknya menguasai pemikiran hukum di Barat, yang kemudian juga di dasarkan pada filsafat Yunani. Dimana cukup jelas peranan aliran positivisme terutama yang analitis tersebut bahwa penerapan hukumnya dilakukan oleh pihak penguasa. Dengan adanya identifikasi hukum yang aplikasinya diterapkan dengan undang-undang akan menjamin bahwa setiap individu dapat mengetahui dengan pasti apa saja perbuatannya yang boleh dilakukan dan apa saja perbuatannya yang tidak boleh dilakukan. Bahkan negarapun kemudian akan bertindak dengan tegas dan konsekuen sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan diputuskan, dalam melaksanakan keadilan menurut ketentuan negara. Begitu pula dengan penerapan hukum melalui ketentuan-ketentuannya dan peraturan-peraturannya yang ada yang telah dibuat harus dilaksanakan sesuai dengan segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Austin adalah tokoh pertama yang memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahasa hubungan antara hukum positif dengan moral dan agama. Tanpa memperdulikan baik atau buruknya hukum itu, diterima atau tidak oleh masyarakat.
Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command), yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar. Semua hukum positif adalah perintah. Perintah dari yang berdaulat atau command of sovereign atau command of law-giver.
Pemegang kedaulatan tidak terikat baik oleh peraturan yang dibuatnya sendiri, maupun oleh asas-asas yang berasal dari atas (moral dan agama). Masalah kedaulatan yang merupakan salah satu unsur dari hukum positif adalah bersifat pra-legal (bukan urusan hukum, tetapi urusan politik atau sosiologi) dan hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataannya[12] .
Namun disamping kebaikan-kebaikan yang ada dan dikemukakan oleh Aliran Positivisme yang Analitis tersebut sudah, sudah barang tentu terdapat beberapa kelemahan yakni tentang ajaran-ajarannya yang kurang sesuai dan bertentangan dengan berbagai pihak terutama masyarakatnya yang hidup dan berdiam dalam masa tersebut. Apabila dilihat secara mendasar, maka kelemahan yang sangat pokok dalam Aliran Positivisme yang Analitis tersebut adalah justru dengan adanya identifikasi Hukum dan Undang-undang tersebut. Karena jika dilihat dengan nyata, bahwa betapapun buruknya peraturan dan ketentuan yang ada, asalkan peraturan dan ketentuan tersebut telah menjadi Undang-undang yang harus diterapkan dalam masyarakat dan juga secara langsung hakim akan menjadi terikat pada Undang-undang yang telah ditetapkan tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga memiliki kelemahan/ kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa:
1. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.
2. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum (Bagir Manan. 1992:8)
Dalam kaitannya dengan identifikasi Hukum dan Undang-undang yang demikian kuatnya dilakukan oleh pihak penguasa dan pemerintah, kemudian pada akhirnya dapat saja terhadap Ketentuan Hukum dan Undang-undang tersebut disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang akan menguasai negara secara mutlak dan absolut sesuai dengan keinginannya yang ada pada masa itu. Dimana kemudian pihak penguasa dalam negara dapat menggunakan ketentuan hukum dan Undang-undang untuk memberikan legitimasi kepada tindakan-tindakan mereka yang sebenarnya, dimana menurut perasaan hukum masyarakat tindakan tersebut adalah merupakan tindakan yang tidak bermoral dan kriminal serta menjadi kejam. Sehingga kemudian semua-semua ketentuan dan kehendak yang dikeluarkan oleh perintah pribadi penguasa dapat dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakatnya, dan kemudian individu-individu yang ada dalam lingkup masyarakat akan berada pada posisi yang dilematis, dimana disatu pihak hukum dan ketentuan dari penguasa tidak dapat dipertahankan secara konsekuen, apabila ketentuan hukum dan perundang-undangan itu sendiri digunakan sebagai alat untuk menindas dari ketidak adilan.
Pendapat yang menyatakan bahwa jika undang-undang telah tersedia, terkodifikasi atau fragmentaris maka sudahlah cukup sarana perundang-undangan untuk diandalkan buat menindak setiap pelanggaran ataupun untuk melindungi kepentingan dalam masyarakat. Kurang diperhatikan dan disadari, bahwa pada aturan hukum yang dianggap mendekati keadilan harus dipenuhi syarat bahwa hukum harus mampu mencerminkan tuntutan hati nurani masyarakat khususnya perasaan keadilan mereka.
Telah terjadi pergeseran prinsip dan konsepsi dari Negara Hukum menjadi negara Undang-undang yang meletakkan undang-undang yang dibuat oleh pemerintah sebagai ukuran kebenaran. Di dalam undang-undang seperti ini setiap tindakan pemerintah yang tidak adil diberi pembenaran dengan perbuatan undang-undang melalui penggunaan atribusi kewenangan sehingga hukum ditempatkan sebagai alat justifikasi dengan watak positivist – instrumentalistik.
Dalam ajaran Austin dikatakan bahwa hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Dengan sifat tetap dan tertutup dari hukum tersebut, maka hukum pada masa itu tidak menerima perkembangan dari pihak manapun sekalipun perkembangan tersebut berasal dari dalam masyarakat lingkup negaranya, akibatnya hukum tidak mengenal dispensasi dan penyimpangan yang dianggap oleh masyarakat setempat tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa setiap hukum harus selalu dipatuhi, oleh karena kadang-kadang hukum pun memberikan dispensasi bagi terjadinya penyimpangan-penyimpangan sepanjang ketentuan tersebut tidak atau bukan merupakan suatu kejahatan atau delik. Terutama dalam ketentuan hukum yang bersifat privat (terutama dalam hal pembuatan perjanjian diantara pihak-pihak), bahwa ketentuan hukum yang dibuat biasanya tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban, kesusilaan dan kepatutan. Dengan demikian, masalah utamanya adalah bagaimana mengusahakan agar warga-warga masyarakat secara maksimal dapat mematuhi ketentuan hukum tanpa menterapkan paksaan atau kekerasan. Jadi secara sederhana dapat dikatakan, bahwa yang harus diusahakan adalah peraturan-peraturan yang sifatnya tertulis, baik, kewibawaan petugas dan fasilitas pendukung yang cukup, walaupun secara nyata tidaklah dapat dikatakan sebagai hal yang sederhana.
Terhadap ajaran dari Austin yang menyatakan tentang hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yakni hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, bahwa dari ketentuan tersebut jelas terlihat, meskipun hukum disini dapat saja dibuat atau ditetapkan bukan oleh penguasa/badan berdaulat yang berwenang, akan tetapi tetap keberadaan dari hukum tersebut pada akhirnya tidak diakui oleh pihak penguasa. Karena konsepnya jelas bahwa hukum tersebut diklasifikasikan sebagai hukum dalam arti yang tidak sebenarnya. Dengan demikian, tetap saja ajaran dari Austin tersebut tidak dapat memberikan tempat bagi masyarakat, berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dianut sehingga kemungkinan terbentuk menjadi suatu aturan yang lebih dihormati dalam masyarakat yang ada menjadi tidak berdaya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa dari kehidupan bersama manusia yang kemudian mengadakan hubungan dan saling berinterksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan tercipta hukum. Baik negara maupun hukum timbul dari kehidupan manusia karena keinginan hati dari masing-masing individu untuk memperoleh ketertiban. Akan tetapi konsep yang seperti ini tidak tampak pada ajaran positivisme yang analitis. Dengan adanya hukum dalam arti yang absolut dan mutlak dari konsekuensi aliran positivisme yang analitik ini, karena makna dari hukum yang dibuat oleh manusia tersebut akan menjadi suatu bentuk dari perintah dan ketentuan yang mutlak yang berasal dari penguasa menjadi suatu keharusan bagi masing-masing individu untuk menjalankannya dengan suka atau tidak suka ataupun mau dan tidak mau. Masyarakat diwajibkan untuk menjalankan dengan sepenuh hati sehingga kemungkinan untuk terbentuknya suatu rezim penguasa yang otoriter dari negara yang menganut ajaran ini akan tercipta dengan mudah sekali.
PENUTUP
Sebagai penutup dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aliran hukum positif yang analitis mempunyai suatu kekuatan yakni aliran ini banyak dianut oleh para pemikir hukum di Barat di abad ke 19 dan awal abad ke-20. keberhasilan dari aliran ini terlihat pada bentuk kepastian hukum yang benar-benar terjamin pada masing-masing negara yang menganutnya. Akan tetapi dari ajaran tersebut yang telah berkembang pada konsep para pemikir di Barat, ajaran-ajran dari hukum positif yang analitis ini juga mempunyai banyak kelemahan di sana-sini. Adapun titik kelemahannya yang pokok, bahwa aliran hukum positif yang analitis itu cenderung membuat suatu kekuatan dari penguasa untuk membentuk suatu pemerintahan absolut. Hal ini disebabkan karena adanya empat unsure penting dari ajaran John Austin untuk dapat dinamakan hukum, yang di dalamnya terdiri dari perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Sehingga dengan empat unsur penting dari hukum tersebut membuat para penguasa yang mebentuk ketentuan hukum dan undang-undang menjadi suatu keputusan yang mutlak harus dilaksanakan tanpa memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk memberikan masukan-masukan yang berkembang dan tumbuh dari dalam masyarakatnya sendiri. Semua ketentuan hukum dan undang-undang yang terbentuk menjadi suatu perintah dan kewajiban yang harus dijalankan dan ditaati, kemudian mempunyai sanksi yang mengikat para pelaksana hukum menjadi secara langsung terikat karenanya. Kemudian yang terakhir bahwa semua pembuat ketentuan hukum dan undang-undang yang dalam hal ini adalah pihak penguasa hanya dapat terlaksana jika pihak penguasa sebagai pihak yang memerintah tersebut merupakan pihak yang berdaulat. Dari ketentuan tersebut dapat dianalisa bahwa pihak penguasa ataupun pihak pemerintah yang berdaulat sebagai pembentuk ketentuan hukum dan undang-undang sebetulnya tidak perlu dipertegas lagi, karena jelas suatu Negara yang telah memiliki pemeritahan sendiri, rakyat sendiri dan wilayah sendiri tentunya sudah merupakan sesuatu (dalam hal ini dapat disebut Negara) yang dianggap berdaulat atau memiliki kedaulatan sendiri, dan juga sebenarnya dengan telah adanya kedaulatan yang merupakan bagian dari suatu negara yang tidak dapat dipisahkan, maka kedaulatan sudah merupakan bagian dari bentuk dan sistem politik pemerintahan dalam negara itu sendiri.
Pemikiran Hukum Umum Penafsiran Hukum oleh piranti-piranti hukum Penafsiran Hukum oleh piranti-piranti hukum TEORI HUKUM PART II

1.     Teori Hukum Menurut Jan Gijssels dan mark van Hoecke

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, adalah dua pemikir yang ada pada tradisi berbeda dengan Black dan Milovanovich, yaitu keduanya ada pada ranah pemikiran kontinental. Menurut mereka, Teori Hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan Ajaran Hukum Umum,[1] setelah pada tahun 1930-an Teori Hukum mengalami kemerosotan, tetapi kemudian seiring dengan perkembangan banyak disiplin kajian lain, Teori Hukum mengalami perkembangan yang pesat,

“…… Hidupnya kembali Teori Hukum memperlihatkan hubungan erat dengan penyebab timbulnya ajaran Hukum Umum pada abad ke sembilanbelas. Jika perkembangan dari Ajaran Hukum Umum, sebagai dosiplin yang baru pada abad kesembilanbelas diinspirasi (diilhami) oleh sukses ilmu-ilmu hukum positif, maka perkembangan definitif dari teori hukum menjadi sebuah disiplin mendiri pada paruh waktu kedua dari abad duapuluh diinspirasi oleh timbulnya ilmu-ilmu baru atau cabang-cabang baru dari ilmu yang sudah ada, seperti informatika, Logika Deontik, Kibernetika, Sosiologi Hukum, Etiologi (hukum) dan sejenisnya.[2]

 

Kesinambungan antara Teori Hukum dengan Ajaran Hukum Umum dalam dua aspek sebagai berikut:

1.     Teori Hukum sebagai kelanjutan dari Ajaran Hukum Umum memiliki obyek disiplin mandiri, suatu tempat di antara Dogmatik Hukum di sati sisi dan Filsafat Hukum di sisi lainnya. Di saat ajaran Ajaran Hukum Umum oleh beberapa penulis, di antaranya Adolf Merkel masih dipandang sebagai pengganti (penerus) ilmiah positif dari Filsafat Hukum Metafisikal yang tidak ilmiah, dewasa ini teori Hukum diakui sebagai disiplin ketiga di samping dan untuk melengkapi, Filsafat Hukum dan Dogmatika Hukum, yang masing-masing memiliki (mempertahankan) wilayah dan nilai sendiri-sendiri.

2.     Sama seperti Ajaran Hukum Umum dewasa itu, Teori Hukum, setidaknya oleh kebanyakan dipandang sebagai ilmu a-normatif yang bebas nilai. Ini yang persisnya membedakan Teori Hukum dan Ajaran Hukum Umum dan Dogmatika Hukum.[3]

 

Namun satu hal yang sangat fundamental menurut kedua pemikir itu, terjadinya proses evolusi dari apa yang menjadi obyek penelitian Ajaran Hukum Umum, seperti isi aturan hukum dan pengertian-pengertian hukum atau konsep yuridik, menjadi suatu penelitian tentang struktur dan fungsi dari kaidah hukum dan dari sistem hukum, yaitu merupakan tema-tema penting objek penelitian teori Hukum.[4]

Untuk lebih memahami apa itu Teori Hukum, khususnya batas-batas wilayahnya, lebih lanjut dalam pemikiran mereka perlu dijelaskan secara rinci tentang apa yang disebut Dogmatik Hukum, Filsafat Hukum serta perbedaannya tentang Teori Hukum.

1.     Dogmatik Hukum

Ajaran Hukum (rechtsleer) atau Dogmatik Hukum (rechtsdogmatiek), juga sering disebut Ilmu Hukum (rechtswetenschap) dalam arti sempit, bertujuan untuk mempaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku.[5] Walaupun demikian, Dogmatik Hukum itu bukanlah ilmu netral yang bebas nilai.[6] Tidak karena hukum itu adalah suatu kesalingterkaitan nilai-nilai dan kaidah-kaidah, bukanlah dalam asasnya sangat mungkin untuk mempaparkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah sebagai ketentuan-ketentuan faktual secara sepenuhnya netral dan objektif. Ajaran Hukum tidak dapat membatasi pada suatu pemaparan dan sistematisasi, melainkan secara sadar mengambil sikap berkenaan dengan butir-butir yang diperdebatkan. Jadi Ajaran Hukum dalam hal-hal yang penting tidak hanya deskriptifmelainkan juga preskriptif (bersifat normatif).[7]

1.     Filsafat Hukum

Filsafat Hukum adalah Filsafat Umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-pertanyaan yang paling dalam dibahas dalam hubungannya dengan makna, landasan, struktur dan sejenisnya dari kenyataan.[8] Menurut mereka Filsafat Hukum memiliki telaah sebagai berikut :[9]

1.     Ontologi hukum, penelitian tentang hakekat dari hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral;

2.     Aksiologi hukum, penentuan isi dan nilai-seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan lain-lain;

3.     Ideologi Hukum (ajaran pengetahuan), bentuk metafilsafat;

4.     Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan), bentuk metafilsafat;

5.     Theologi Hukum, hal menentukan makna dan tujuan;

6.     Ajaran ilmu dari Hukum, meta-teori dari Ilmu Hukum;

7.     g.        Logika Hukum.

 

Hasil dari penalaran Filsafat Hukum tidak dapat diuji secara empirik untuk keeluruhannya, dan secara rasional untuk sebagaiannya. Penalaran filosofis sendiri memang harus selalu memenuhi syarat-syarat minimum tertentu dari rasionalitas, yakni harus tepat secara logikal dan terbuka bagi diskusi rasional.

1.     Hubungan Dogmatik Hukum dengan Teori Hukum

Tentang hal ini dikatakan oleh keduanya, bahwa Dogmatika Hukum dan Teori Hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana di bawah ini.

1.     Dogmatik Hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka Teori Hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini;

2.     Dogmatika Hukum berbicara tentang hukum. Teori Hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum;

3.     Dogmatika Hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak dapat diterapkan pada situasi masalah konkret, maka Teori Hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasi dan sejenisnya.[10]

 

Teori Hukum tidak terarah pada penyelesaian masalah-masalah hukum yang konkret satu kategori-kategori dari masalah hukum sebagaimana kajian Dogmatika Hukum, melainkan hanya pada upaya mempelajari teknik-teknik dan metode yang digunakan Dogmatika Hukum dan prektek hukum untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum. Jadi masalah-masalah hukum konkret memeng dapat mempengaruhi persoalan-persoalan Teori Hukum.[11]

1.     Hubungan Filsafat Hukum dan Teori Hukum

2.     Jika Teori Hukum mewujudkan sebuah meta-teori berkenaan dengan Dogmatika Hukum, maka Filsafat Hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.

3.     Secara struktural Teori Hukum terhubungkan pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatika Hukum terhadap Teori Hukum.

4.     Filsafat Hukum merupakan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.

5.     Filsafat Hukum sebagai ajaran nilai dari teori Hukum dan Filsafat Hukum sebagai ajaran Ilmu dari Teori Hukum.

6.     Filsafat Hukum sebagai Ajaran ilmu dari Teori Hukum dan sebagai Ajaran Pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh, mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari kegiatan-kegiatan dari Teori Hukum itu sendiri sebagai obyek studi.[12]

Dari hal di atas dapatlah disimpulkan sebagai berikut; hubungan Teori Hukum dan Filsafat dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-disiplin (Filsafat Hukum) terhadap disiplin obyek (Teori Hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah positif terhadap gejala hukum. Dengan demikian maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya sendiri didiskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya Teori Hukum itu rasional (atau tidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar kriteria umum, yang diterima oleh setiap orang.[13]

1.     Teori Hukum dan Ilmu Lain yang Objek Penelitiannya Hukum

Teori Hukum secara esensial bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa Teori Hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan hasil-hasil penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum; Sejarah Hukum, Logika Hukum, Antropologi Hukum, Sosiologi Hukum, Psikologi Hukum dan sejenisnya.

Tipikal dari Teori Hukum adalah bahwa dalam hal ini ia memainkan peranan mengintegrasikan, baik yang berkenaan dengan hubungan antara disiplin-disiplin ini satu terhadap yang lainnya maupun yang berkenaan dengan integrasi hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin ini dengan unsur-unsur Dogmatika Hukum dan Filsafat Hukum.[14]

Secara umum kedua pemikir itu menjelaskan bahwa, sudut pandang bidang Teori Hukum adalah kepentingan untuk lewat jalan ilmiah metodikal memperoleh sesuatu pemahaman teoritikal yang lebih baik secara global dan memberikan suatu penjelasan global tentang gejala-gejala hukum. Jadi sifatnya ini sama sekali bukan sudut pendekatan yuridik-teknikal, melainkan sesuatu pendekatan yang lebih teoretikal, yang didalamnya bukan pemeparan dan sistematisasi hukum yang mewujudkan titik tolak melainkan analisis dan penjelasan terhadap gejala hukum dalam semua aspeknya.

************************************

Sinzheimer

Hukum tidaklah bergerak dalam ruang hampa dan berhadapan dengan dengan hal-hal yang abstrak. Melainkan, ia selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan dalam lingkup manusia-manusia yang hidup. Jadi bukan hanya bagaimana mengatur sesuai dengan prosedur hukum, melainkan juga bagaimana mengatur sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh hukum.

Dengan demikian masalah efisiensi suatu peraturan hukum menjadi sangat penting. Oleh karena menyangkut pula kaitan-kaitan lain dalam berpikirnya, yaitu meninjau hubungan hukum dengan faktor-faktor serta kekuatan-kekuatan sosial di luarnya.

Agar hukum benar-benar digunakan secara efisien dan efektif untuk mengatur masyarakat, komponen-komponen sosial yang mengintari proses hukum tersebut perlu mendapat perhatian dan harus dimanfaatkan untuk membangun suatu tatanan hukum yang bermanfaat bagi masyarakat, karena akan membawa kita untuk lebih memahami kehidupan masyarakat dan membuat kita lebih mampu memecahkan problema-problema sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.

 Robert B. Seidman

Komponen-komponen kekuatan sosial dan personal akan selalu bersinergi dalam proses bekerjanya hukum. Sehingga hukum yang multi wajah, tidak memadai jika hanya dilihat dari satu sudut pandang (perspektif) saja. Studi-studi yang normatif maupun yang sosiologis, antropologis, psikologis, politik, ekonomi, dan sebagainya dikembangkan agar penggalan-penggalan wajah hukum yang dikemukakan oleh masing-masing perspektif dapat disatukan menjadi satu kesatuan wajah hukum yang utuh dan benar-benar sempurna.

 Gustav Radbruch

Tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum:

1)      Keadilan;

2)      Kepastian hukum;

3)      Kemanfaatan.

                        Nilai kemanfaatan akan mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan masyarakat pada suatu saat tertentu, sehingga hukum itu benar-benar mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakatnya.

Bredermeier

      Di dalam suatu sistem sosial dapat dijumpai bekerjanya 4 proses-proses fungsional utama, yaitu:

1.     Adaptasi;

a.     Perwujudan tujuan;

2.     Mempertahankan pola; dan

3.     Integrasi.

Keempat proses itu saling kait-mengkait dan secara timbal-balik saling memberikan input. Setiap sub-proses memperoleh input dari ketiga lainnya. Sementara itu, output dari salah satu proses juga akan menjadi input bagi sub-proses yang lain.

Semua itu menunjukkan bahwa pemanfaatan hasil studi ilmu-ilmu sosial di dalam studi hukum sangat diperlukan. Ini tidak dapat terjadi bila kerangka berfikir yang kita ikuti masih tetap bertumpu pada aliran analisis-positivitis.

Sekalipun aliran analisis-positivitis melihat masalah pengaturan oleh hukum dari segi legitimasinya dan semata-mata dilihat sebagai ekspresi dari nilai-nilai keadilan, justru banyak tugas-tugas yang menyangkut pelaksanaan keadilan yang memerlukan keahlian-keahlian yang bersifat non-hukum, yang seringkali belum dikuasai benar oleh para petugas hukum yang ada pada saat ini.

Montesquieu

            Hukum manusia tidak lain adalah hasil akhir dari bekerjanya berbagai faktor, seperti adat kebiasaan setempat serta lingkungan fisik di sekitarnya. Untuk dapat memahami bekerjanya berbagai faktor tersebut, perlu bantuan dari ilmu pengetahuan sosial. Ilmu pengetahuan sosial bersifat dekriptif. Ilmu pengetahuan hukum bersifat normatif dan evaluatif. Keterbatasan ilmu hukum inilah yang menyebabkan diperlukannya “teori hukum sosial” untuk memperluas wawasan keilmuan dari hukum agar keluar dari kungkungan paradigma lama yang bersifat normatif dan evaluatif semata.

 Northop

            Hukum memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari norma-norma sosial sebagai “hukum yang hidup”.

 

 Eugen Ehrlich

            Hukum yang hidup dinamakan sebagai hukum yang menguasai hidup itu sendiri, sekalipun ia tidak dicantumkan dalam peraturan-peraturan hukum.

 

 Yehezkel Dror

            Bidang budaya atau aktivitas masyarakat tertentu ternyata sangat berjalinan erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat. Oleh karena itu, usaha untuk mempelajari hukum secara terpisah dari konteks sosialnya akan menjadi sukar.

 

Yulius Stone

            Sekalipun ilmu sosialnya telah bisa selesai, namun persoalan pertimbangan kebijakan dan keadilan masih perlu dipertanyakan. Kerja mengumpulkan data dan bahkan juga usaha inferensinya untuk menarik simpulan umum dari fakta-fakta ini haruslah dipandang sekedar sebagai landasan penggarapan masalah yang lebih pokok. Adapun masalah yang lebih pokok ini ialah apakah yang seharusnya diperbuat terhadap fakta-fakta itu? Pertanyaan Yulius Stone ini adalah persoalan etik kebijakan sosial dan keadilan.

 

Yap Thiam Hien

            Sekalipun komponen-komponen sosial teramat penting dalam penataan lembaga dan pranata hukum, namun belum mendapat perhatian serius dari para pekerja hukum, baik di kalangan intelektual, legislator maupun aparat penegak hukum. Mengenai kekurangan pengetahuan dan kekurangan pedulian terhadap aspek non yuridik itu juga dirasakan oleh seorang pengacara kondang ini.

Lemaire

Hukum itu banyak seginya serta meliputi segala lapangan kehidupan manusia menyebabkan orang tidak mungkin membuat suatu definisi hukum yang memadai dan komprehensif.

Mr. Dr. Kisch

Hukum itu tidak dapat dilihat/ditangkap oleh panca indera, maka sukarlah untuk membuat suatu definisi tentang hukum yang memuaskan umum.

Van Vollen Hoven

Hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus dalam keadaan bentur-membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lainnya.

 Soediman

Hukum sebagai pikiran atau anggapan orang tentang adil dan tidak adil mengenai hubungan antar manusia.

Pengertian-pengertian tersebut menunjukkan hukum memiliki banyak dimensi, masing-masing dimensi memiliki metode yang berbeda. Secara garis besar pengertian hukum dapat dikelompokkan menjadi tiga pengertian dasar:

1.     Hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Konsekuensi metodologi adalah bersifat filosofis;

2.     Hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, maka pesat perhatian terfokus pada hukum sebagai suatu lembaga yang benar-benar otonom, yang bisa kita bicarakan sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut. Konsekuensi metodologinya adalah bersifat normative-analitis;

3.     Hukum dipahami sebagai sarana/alat untuk mengatur masyrakat, maka metoda yang digunakan adalah metoda sosiologis. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan konkrit da;lam masyarakat.

1. Teori Etis 

Genny

Hukum semata-mata bertujuan untuk menemukan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil. Hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan.

Hakikat keadilan terletak pada penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan. Kesulitan teori ini pada pemberian batasan terhadap isi keadilan itu.

Aristoteles

Keadilan ada dua macam:

a.   justisia distributive

Menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya

b.   justisia communicative

      Menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan yang menyamakan).

Roscoe Pound

Melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat.

Jeremy Bentham (Teori Utilitas)

Tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number). Pada hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak. Penganutnya.

Mochtar Kusumaatmadja (Teori Campuran)

Tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut masyarakat dan zamannya.

 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto

Tujuan hukum adalah demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ektern antar pribadi dan ketenangan intern pribadi.

 

Van Apeldoorn

Hukum bertujuan untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai.

Soebekti

Hukum mengabdi pada tujuan untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Dengan mengabdi pada tujuan negara itu, hukum mewujudkan keadilan dan ketertiban.

Secara garis besar tujuan hukum meliputi:

1.     Pencapaian suatu masyarakat yang tertib dan damai;

2.     Mewujudkan keadilan; serta

a.     Untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan atau kesejahteraan.

Fungsi-fungsi Hukum :

Hoebel

Ada empat fungsi dasar dari hukum:

1.     Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa yang pula dilarang;

a.     Menentukan pembagian kekuasaan dan memerinci siapa saja yang boleh melakukan paksaan serta siapakah yang harus menaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi-sanksinya yang tepat dan efektif;

b.    Menyelesaikan sengketa; dan

c.     Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.

Di samping itu hukum berfungsi:

a.   Sebagai kontrol sosial;

b.   Sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial, yaitu dengan memandang hukum sebagai suatu mekanisme kontrol sosial yang bersifat umum dan beroperasi secara merata di hamper seluruh sector kehidupan masyarakat.

Parsons

Fungsi utama suatu sistem hukum bersifat integratif:

1.     untuk mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat, dan

2.     untuk melicinkan proses pergaulan sosial.

 

Aubert

Fungsi hukum yang bersifat prevention to promotion.

Brockman dan Ewald

Fungsi hukum adalah socialization of Law.

Luhman

Fungsi hukum sebagai social engineering as a political approach to law.

            Penyelenggaraan keadilan dalam masyarakat berkaitan erat dengan tingkat kemampuan masyarakatnya. Pada masing-masing tingkat kemampuan masyarakat terdapat tatanan hukum yang berbeda-beda.

Hukum sebagai suatu sistem norma :

Bertalanffy, Kenncth Building

            Dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki secara efektif, hukum harus dilihat sebagai sub-sistem dari suatu sistem yang besar yaitu masyarakat atau lingkungannya.

            Dalam hal sistem, definisi sistem yang dikemukakan mengandung implikasi yang sangat berarti terhadap hukum terutama berkaitan dengan aspek:

1.     Keintegrasian;

2.     Keteraturan;

3.     Keutuhan;

4.     Keteror-ganisasian;

5.     Keterhubungan komponen satu sama lain; dan

6.     Ketergantungan komponen satu sama lain.

 

Shrode dan Voich

            Sistem harus berorientasi kepada tujuan. Karena hukum sebagai suatu sistem, untuk dapat memahaminya perlu penggunaan pendekatan sistem.

 

Lawrence M. Friedman

Hukum itu merupakan gabungan antara komponen:

1.     1.      Struktur

      Kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut.

      Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur.

1.     2.      Substansi

      Sebagai output dari sistem hukum, berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.

1.     3.      Kultur

      Terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum, atau olehLawrence M. Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat. Kultur hukum dibedakan antara:

1.     Internal legal culture

Kultur hukum para lawyer and judges.

1.     External legal culture

Kultur hukum masyarakat luas.

 

 

Lon L. Fuller

            Untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan azas atau principle of legality:

1.     Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;

2.     Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;

3.     Peraturan tidak boleh berlaku surut;

4.     Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;

5.     Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;

6.     Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;

7.     Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah;

8.     Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengn pelaksanaannya sehari-hari.

 

Hans Kelsen

            Perwujudan norma tampak sebagai suatu bangunan atau susunan yang berjenjang mulai dari norma positif tertinggi hingga perwujudan yang paling rendah yang disebut sebagai individual norm. Teori Hans Kelsen yang membentuk bangunan berjenjang tersebut disebut juga stufen theory.

            Hukum sebagai suatu sistem norma, dibuat menurut norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi ini pun dibuat menurut norma yang lebih tinggi lagi, dan demikian seterusnya sampai berhenti pada norma yang tertinggi yang tidak dibuat oleh norma lagi melainkan ditetapkan terlebih dulu keberadaannya oleh masyarakat atau rakyat.

            Hans Kelsen menamakan norma tertinggi tersebut sebagai Grundnorm atau Basic Norm(norma dasar). Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah. Melalui Grundnorm inilah semua peraturan hukum itu disusun dalam satu kesatuan secara hirarkhis, dan dengan demikian ia juga merupaklan suatu sistem. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum. Norma-norma yang terkandung dalam hukum positip itu pun harus dapat ditelusuri kembali sampai pada norma yang paling dasar yaitu Grundnorm.

            Dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Agar keberadaan hukum sebagai suatu sistem tetap dapat dipertahankan, maka ia harus mampu mewujudkan tingkat kegunaan (efficaces) secara minimum. Efficacy suatu norma ini dapat terwujud apabila:

1.     ketaatan warga dipandang sebagai suatu kewajiban yang dipaksakan oleh norma;

2.     perlu adanya persyaratan berupa sanksi yang diberikan oleh norma.

            Untuk mengatakan hukum sebagai suatu sistem norma, Hans Kelsen menghendaki obyek hukum bersifat empiris dan dapat ditelaah secara logis. Sumber yang mengandung penilaian etis diletakan di luar kajian hukum atau bersifat trancenden terhadap hukum positif, dan oleh karenanya kajiannya bersifat meta-yuridis.

 

Elemen-Elemen Pembentukan Hukum :

Burkhardt Krems

Pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan:

1.     isi atau substansi peraturan;

2.     metoda pembentukan;

3.     proses; dan

4.     prosedur pembentukan peraturan.

Setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun sosiologis.

 

Krems

Pembentukan peraturan perundang-undangan bukanlah merupakan kegiatan yuridis semata, melainkan suatu kegiatan yang bersifat interdisipliner. Artinya setiap aktivitas pembentukan peraturan perundang-undangan memerlukan bantuan ilmu-ilmu tersebut agar produk hukum yang dihasilkan itu dapat diterima dan mendapat pengakuan dari masyarakat.

            Metode pembentukan peraturan perundang-undangan menentukan apakah suatu peraturan dapat mencapai sasarannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Untuk itulah maka bantuan dari sosiologis hukum, ilmu pengetahuan tata hukum dan ilmu tentang perencanaan sangat diperlukan. Apa lagi dalam kehidupan dewasa ini semua perencanaan kebijaksanaan dan program-program pembangunan cenderung menjadikan pranata hukum sebagai sandarannya.

 

Teori Labeling, menerangkan dua hal, yaitu :

Pertama, tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau “label” dan,

Kedua, bagaimana efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya pada diri seseorang terhadap mana ia memperoleh cap.

 

Thomas Aquinas

Menjelaskan bahwa hukum adalah aturan-aturan atau ukuran-ukuran perbuatan baik sebagai petunjuk yang pastibagi tingkah laku dan mengendalikan perilaku manusia. Tujuan hukum adalah kebaikan bersama, menurut Aquinas,hukum tergantung dari tingkat keadilannya, oleh karena itu hukum yang digunakan setiap manusia untuk mencapai keadilan adalah adalah melalui hukum yang berasal dari hukum alam.

 

Grotius

Hukum alam adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia. Menuryt Grotius, hukum alam tidak bisa diubah secara ekstrim meskipun oleh Tuhan sekalipun. Hukum alam diperoleh manusia dari akalnya tetapi Tuhan lah yang member kekuatan mengikatnya

Fuller

Hukum sebagai aktivitas yang bertujuan yang dalam hal ini moralitas dari gagasan yang mendorong manusia untuk mencapai hal-hal ideal untuk memenuhi kemampuannya. Fuller melihat hukum sebagai suatu aktivitas yang bertujuan untuk mencapai tujuan, maka untuk itu ada pembenaran pada moralitas gagasan.

Hart dan hukum alam

Menurut hart ada aturan-aturan dasar yang bersifat subtantif tertentu yang bersifat esensial, jika manusia hidup manusia secara intim. Hart meletakkan penekannya yang utama pada suatu asumsi kelangsungan hidup sebagai tujuan kemanusian yang utama. Menurutnya,terdapat aturan-aturan yang tertentu yang mengisi setiap organisasi sosial dan merupakan fakta dari sifat manusia yang memberikan pertimbngan pada postulasi ( dalil) dari suatu isi minimum dari hukum kodrat.

Cicero

Mengajarkan konsepnya tentang “ a true law “ ( hukum yang benar yang sesuaidengan  “ right reason” (penalaran yang benar), serta sesuai dengan alam dan menyebar diantara kemanusian dan sifatnya “imnutable” dan “eternal” : hukum apapun harus bersumber dari “ true law”, menurut Cicero hukum yang benar adalah adanya kesesuaian antra akal dan alam. Hal ini merupakan suatu kebutuhan yang universal, tidak berubah, dan abadi (kekal). Hukum yang benar akan memuat tentang perintah-perintah untuk melaksanakan kewajiban dan berpaling dari perbuatan jahat da larangan-larangan.

Justinian

Hukum alam dibedakan antara hukum sipil dan hukum universal. Hukum sipil adalah merupakaan hukum yang sifatnya khusus yang tiap-tiap manusia atau bangsa membuatnya khusus atau sesuai dengan kebutuhannya masing – masing. Sedangkan hukum universal adalah merupakan hukum yang digunakan oleh seluruh ciptaan Tuhan yang bersifat kekaal dan abadi.

 

Locge dan Pemerintahan sipil

Timbulnya Negara dan hukum adalah dengan melukiskan situasi hidup pada jaman primitive. Pada jaman primitive, orang-orang hidup menurut hukum alam.sebab pada jaman itu orang-orang memiliki kekuasan hukum yang eksekutif. Agar Negara dapat berfungsi sebgai pengawal hukum, orang-orang perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitive mereka kepada Negara seperti hak menghukum secara pribadi.

 

Hobbes (leviathan)

Kekuasan Negara yang amat besar adalah sangat penting artinya, oleh karena itu kekuasan tersebut secara absolute hatus diserahkan kepada penguasa. Hobbes mengubah tekanan dari hukum alam sebagi tatanan objektif menjadi hak alami sebagi suatu tuntutan subjektif yang didasarkan pada sifat manusia, sehingga memberikan jalan untuk revolusi individuaalisme dikemudian ari dengan nama “ hak-hak yang dapat dicabut kembali”. Hobbes mengartikan hukum alam tidak hanyaa persepsi-persepsi etika tentang ketentuan-ketentuan tertentu tetapi juga mengenai undang-undang mengenai perilaku manusia yang didasarkan atas pengamatan apresiasi tabiat manusia. Prinsip pokok hukum alam bagi hobbes adalah hak alami untuk menjaga diri.

J.J. Rousseau ( kontrak social )

Untuk membenarkan kedaulatan rakyat, Rousseau menyusun volonte generale, dan dipihak lain menyusun kebebasan hakiki yang tidak dapat dicabut konstruksinya yang diunakan oleh Rousseau adalah kontrak social. Dengan kontrak sosial orang bersatu agar hak-hak mereka atas kebebasan dan kesejaahteraan dijamin oleh Negara. Eksistensi Negara daan keabsahannya hanya dijamin oleh kebebasaan dan persamaan. Setelah diterima oleh manusia, Negara mengembalikannya tidak sebagai hak-hak alami tetapi sebagai hak-hak sipil kepada seluruh warganya, jadi Negara dan hukum tunduk kepada kehendak umum yang menciptakan Negara untuk melindungi kebebasaan dan kesejahteraan yang lebih baik.

 

John Locke

Meskipun ada kebebasan tetapi bukan berarti manusia bebas untuk menghancurkan dirinya sendiri atau makhluk lain karena alam mempunyai undang-undang untuk mengatur tidak boleh memusnahkan kehidupan orang lain dengan persamaan dan kebebasan dan kesehatan atau kebebasan miliknya selama ia hidup karena semua ini adalah ciptaan si Pencipta. Di dalam kehidupan orang memiliki hak untuk hidup, dalam bidang-bidang lain mereka memiliki hak atas kesehatan, hak atas kebebasan, hak milik dan lainnya.

J. Raz

Menggambarkan bahwa hukum harus dipisahkan dari berbagai hal termasuk moralitas (Problem About The Nature Of Law).

 

R. Dworkin

Dalam pengertian Dworkin, hukum itu sebagai gambaran tradisional dari hak-hak untuk memperoleh kebebasan dan kebersamaan sehingga perlakuan yang adil dari keputusan politik pemerintah diperlukan untuk mencapai kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat.

Tujuan kesejahteraan atau kemakmuran sosial untuk kepentingan diri sendiri sebagai bagian dari nilai-nilai sosial itu sebagai suatu nilai tambah bagi dirinya dalam masyarakat. Kesejahteraan atau kemakmuran dimaksudkan tidak sebagai bagian dari nilai-nilai sosial akan tetapi hanya sebagai alat saja.

 

J. Rawls

Menurut Rawls, bahwa dalam kenyataannya orang sering menganggap intuisi-intuisi sosial dan hukum sebagai suatu bentuk hambatan bagi perkembangan hidup mereka, oleh Rawls masyarakat ini disebut Private Society. Masyarakat sudah menaati peraturan tetapi banyak yang merasa tidak adil atau sama. Rawls menyimpulkan bahwa hak itu telah sama tetapi perwujudannya belum sama (struktur dasar masyarakat belum sehat), sehingga untuk itu diperlukan pengaturan kembali (call for redress) sebagai syarat mutlak untuk dapat menuju kembali kepada suatu masyarakat ideal yang baru.

 

R. Nozick

Mengatakan bahwa, Negara yang dipersepsikan sebagai penjaga malam sebagaimana termuat dalam teori liberal klasik membatasi fungsi Negara guna melindungi warganya dari kekerasan, pencurian, pemaksaan kontrak dan sebagainya. Pada dasarnya Negara sebagai penjaga malam bersifat redistributive dalam artian memaksa orang guna membayar perlindungan bagi sebagian orang lainnya.

 

Emilie Durkheim

Solidaritas organis dan hukum yang memulihkan (restitutif) mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada solidaritas mekanis dan hukum yang sifatnya mengekang (represif). Hal ini dikaitkan dengan tingkatan-tingkatan kesejahteraan dan derajat-derajat kepacuan moral. Semakin kuno suatu masyarakat maka semakin represif, berat dan dahsyat saksi-saksinya; dilain pihak semakin tinggi perkembangan suatu masyarakat menuju masyarakat yang modern maka semakin ringan hukuman-hukumannya sehingga pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan.

P. Selznick (The Socioligy of Law)

Menunjukkan bahwa kepatuhan hukum tidak unik kepada politik Negara. Dia melihat hukum sebagai elemen umum didalam struktur dari banyak kelompok-kelompok masyarakat. Hukum selalu terdapat diseluruh institusi yang dipercaya untuk mengontrol kekuasaan formal dan peraturan.

Susan Silbey dan Austin Sarat

Mengemukakan betapa pentingnya kritik dalam kaitannya antara hukum dan tradisi masyarakat. Kritik dilakukan dengan tetap memfokuskan diri kepada hukum dengan memperhatikan proses sosial yang melingkupu hukum. Proses sosial tersebut dilakukan dengan melalui studi untuk mengetahui hukum tidak saja dalam literature hukum dan doktrin hukum tetapi juga malalui institusi sosial disekitar hukum dengan harapan hukum akan terlihat utuh.

 

F.K. Savigny

Menurut Savigny suatu system hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat tersebut. Hukum bukanlah merupakan hasil dari undang-undang yang dibuat secara tidak disengaja oleh legislator, akan tetapi dibuat sebagai respon atas kekuatan impersonal yang ditemukan dalam spirit nasional dari masyarakat. Hukum bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan, dan kuat sejalan dengan kuatnya rakyat Negara tersebut, dan pada akhirnya mati pada saat Negara tersebut kehilangan kebangsaannya.

Radcliffe Brown

Mendefinisikan hukum sebagai suatu control sosial melalui penerapann sistematis dari masyarakat organisasasi politik yang berkuasa.

Sir Henry Maine

Menurut Maine, pada awalnya kondisi hukum adat istiadat masih merupakan hukum yang tidak tertulis. Pendokumentasian adat istiadat dalam suatu bentuk tertulis baru dimulai pada saat pengadilan Wesminster Hall di Inggris dimulai. Selanjutnya hukum tertulis tersebut mulai dijadikan yang kita kenal dengan nama codes.

 

L.L. Fuller (Human Interaction and The Law)

Menurut Fuller apabila kita dapat mengerti secara baik tentang adat istiadat, maka kita dapat menerima kedudukan adat istiadat sebagai suatu bagian terpenting dalam perkembangan kehidupan di dunia saat ini, terutama dalam perkembangan hukum internasional.

 

Paul Bohannan (The Differing Realms of The Law)

Institusi hukum adalah institusi dimana masyarakatnya memiliki suatu system penyelesaian permasalahan antara satu dengan yang lainnya dan melakukan suatu counterpart atas pelanggaran hukum. 2 aspek penting yang membedakan institusi hukum dengan institusi lainnya adalah : institusi tersebut memiliki peraturan untuk dapat mengintervensi institusi bukan hukum terhadap adanya permasalahan hukum; dan memiliki aturan/tata cara tersendiri dan substansi hukum tersendiri.

 

S. Diamond

Diamond menyatakan bahwa kita harus membedakan The Rule of Law dengan adat istiadat. Hukum dan adat istiadat pada prinsipnya adalah saling bertentang dan tidak berkesinambungan. Adat istiadat dan hukum adalah adalah suatu sejarah dan secara logika tidak saling berhubungan.

 

H.C. Bredemeier

Pola kerja hukum yang dipakai sebagai acuan oleh Bredemeier disini adalah yang menempatkan pengadilan sebagi pusat kegiatannya. Keadaan yang demikian itu tentunya agar berbeda dari masyarakat-masyarakat atau Negara-negara pola kerja hukumnya di dominasi oleh kegiatan badan pembuat undang-undang nya.

 

David M. Trubek

Trubek mengatakan bahwa salah satu ciri hukum modern adalah penggunaannya secara aktif dan sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kesadaran tersebut menyebabkan bahwa hukum modern itu menjadi begitu instrumental sifatnya dengan asumsinya, bahwa kehidupan sosial itu bisa dibentuk oleh kemauan sosial tertentu, seperti kemauan sosial dari golongan elit dalam masyarakat.

 

R.M. Unger

Menurut Unger dalam bukunya “Law in Modern Society” atau hukum di dalam masyarakat modern menyatakan setiap masyarakat menyatakan melalui hukum rahasia-rahasia yang paling dalam cara yang dapat menahan seseorang secara bersama-sama.

 

R. Cotterell

Dalam karangannya The Sociological Concept of Law membedakan penggunaan suatu konsep hukum dalam teori hukum normative dan empiris. Selama itu konsep sosiologi hukum digolongkan dalam kategori yang luas yaitu monisme yuridis, pluralism yuridis dan hukum Negara sebagai yang dominan, akan tetapi tidak terlepas dari hukum.

 

G. Puchta

Dinamainya volgeist, hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan rakyat, dan pada akhirnya ia mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya.

 

Sir Henry Meine

Dalam karya bukunya Ancient Law (1861), dalam hukum manusia primitive, dalam masyarakat kesukuan, tenaga ahli belum pernah mereka temukan atau yang tidak ingin mereka temukan dalam sejarah mereka sendiri. Teori Evolutionistic mengenai masyarakat-masyarakat dan hukumnya masing-masing mempelajari hukum sebagai pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

 

Ehrlich

Hukum adalah swatentra pada level metodologi ketika dalam jalan keputusan lembaga membenarkan tindakan mereka berbeda dari berbagai pembenaran yang digunakan pada disiplin praktek lain, artinya alasan hukum memiliki metode atau gaya untuk membedakan dari penjelasan ilmu pengetahuan dari moral, politik dan tulisan ekonomi.

 

R. Von Thering

Melihat hukum dalam essensinya yang terekspresi melalui tujuannya, yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat tersebut. Bagi Jhering dibawah hukum, kepentingan-kepentingan masyarakat harus didahulukan.

 

G. Teubner

Mengembangkan suatu teori dari hukum yang disebut aliran Post Structualism, teori kritis dan autopoisis. Teori tersebut menimbulkan anti reaktif dan anti individualisme.

 

Ajaran John Stuart Mill

Tujuan hukum ialah menciptakan kebebasan maksimum bagi tiap individu, sehingga ia dapat mengejar apa yang baik baginya.

Lenin

Teori State and Revolution

 

Engels

Dalam bukunya The Origin of Family, private property and state. Negara itu bukanlah suatu kekuasaan yang diletakkan diatas masyarakat dari luar dan bukanlah ia kebenaran dari cita-cita susila dan kebenaran dari budi. Kekuasaan yang timbul dari masyarakat, akan tetapi menempatkan dirinya diatas masyarakat itu sendiri itulah yang dinamakan negara.

 

Karl Marx

Dalam bukunya Civil War in France (1891), negara itu adalah tidak lain selain alat pemaksa untuk melakukan penindasan/penghisapan oleh suatu golongan terhadap golongan yang lain.

 

G. A. Cohen

Pokok- pokok tentang pemikiran hukum marxis yang di kemukakan adalah :

1.     kekuatan kekuatan produksi mengalami konflik dengan hubungan- hubungan kepemilikan karena kekuatan produksi konflik dengan hubungan hubungan produksi yang di formulasikan dan di lindungi oleh hubungan kepemilikan.

2.     Tenaga kaum proletar tidak di miliki oleh kaum kapitalis tertentu akan tetapi hanya dimiliki oleh keseluruhan kaum kapitalis.

3.     Hubungan produksi, demi efisiensi dan ketertiban, memerlukan sanksi hubungan kepemilikan.

4.     Hak kepemilikan merupakan institusi pertama dari semua institusi hukum

5.     Masyarakat tidaak didirikan atas hukum, ini fiksi hukum. Hukumlah yang di dirikan atas masyarakat

 

E. Pashukanis” Law and Marxis” (1978) Teori Pertukaran Komoditi

Hukum timbul dari kebutuhan akan ibentuk komoditi dari produksi. Komoditi merupakan bentuk dari hubungan hukum karena masyarakat kapitalis terdiri dari produsen produsen komoditi.

 

Donal G GJerdingen

Bahwa sesungguhnya seluruh pendidikan yang penting dari pemikiran hukum amerika selama abad terakhir, sejak masa Langdellian ortodoksi sampao masa realism untuk proses pendidikan hukum, di domonasi oleh suatu konsep hukum yang memisahkan hukum dan politik.

Ferdinand de Saussure

Teori Strukturalisme, bahwa suatu tanda bahasa yang bermakna bukan karena refernsinya kepada benda dengan realitas, berdasarkan teori ini tidak ada realitas yang sebenarnya kecuali konsep tentang realitas itu sendiri.

 

 

Rene Descrates

Ia berpendapat bahwa kepastian kebenaran dapat di peroleh dari strategi kesangsian metodis, dengan menyangsikan segala sesuatu akan di temukan hal yang bersifat tetap dan tidak dapat di ragukan.

 

Hugo de Groot ( Grotius )

Mengatakan bahwa sumber hukum adalah rasio manusia. Karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia hasus berdasarkan atas kemampuan akal ( rasio ). Hukum alam menurut Grotius merupakan hukum yang muncul sesuai kodrat manusia.

 

J. M. Balkin

Hukum adalah logis jika hukum mempunyai kepastian dan lulus pada ketentuan tertentu. Pernyataan atas hukum logis lahir ketika kita memahami hukum dalam cara tertentu (pemahaman knstruksi hukum rasional)

 

Auguste Comte

Comte lahir di kota Monpellier Perancis, berasal dai latar belakan keluarga kelas menengah. Orang tua Comte adalah pegawai kerajaan yang menganut Katolik, istri Comte adalah bekas pelacur. Meskipun belajar di politeknik dia juga tertarik pada ilmu sosial. Tokoh yang mempengaruhi pemikirannya adalah Saint Simon. Comte dikenal sebagai Bapak Sosiologi (the Founding Father of Sociology). Comte dapat digolongkan tokoh fungsionalisme klasik. Teori Comte yang terkenal adalah Hukum evolusi tiga tahap, yaitu:

 1. Tahap teologis yang identik dengan kekuatan supranatural, fetisisme, animisme, politeisme, monoteisme, agama, Tuhan, dansebagainya,

 2. Tahap metafisik yaitu ketika manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal budinya,

 3. Tahap positivisme yaitu ketika masyarakat mempercayai pengetahuan ilmiah lewat observasi dan pengujian dengan metode empirik. Oleh karena itu Comte kemudian dijuluki sebagai Father of Positivism.

 

B.G Wilhem von Leibniz

Leibniz kelahiran Hanover, Jerman, semenjak usia enam tahun dia sudah ditinggal mati ayahnya. Sejak duabelas tahun sudah belajar mendiri tentang literatur Yunani, hingga umur dua puluh dia sudah menekuni matematika, ilmu agama, hukum, dan filsafat. Ada kontroversi besar tentang hukum kalkulus. Inggris menyatakan bahwa Newton penemu hukum kalkulus, namun Jerman menyatakan Laeibniz penemunya. Leibniz juga yang pertama menggunakan sistem biner. Filsafat Leibniz adalah bahwa alam semesta adalah terdiri atas pusat (centrum) yang tak terbilang dari suatu energi atau kekuatan rohani, sebuah cikal bakal teologi tunggal universalitas modernisme.

 

C. Wright Mills

Charles Wright Mills kelahiran Waco, Texas, Amerika Serikat. Ia menerima Phd nya dari uneversitas Wisconsin. Tokoh-tokoh panutanya adalah Max Weber dan Karl Marx. Gaya intelektual Wright Mills adalah pragmatisme.
Wright Mills menghimbau sosiologi sebagai perpaduan psikologi sosial dengan strukturalisme konflik, karena grand theory naturalistik seperti fungsionalisme masih terlalu abstrak. Mills adalah sosiolog humanis yang evaluatif, karena dasar teoritiknya menggunakan interaksionisme Herbert Mead, namun dengan tambahan dimensi sejarah dan kesadaran akan pengaruh kekuasaan (konflik) terhadap struktur sosial. Bagi Mills, data-data empirisnya bisa berupa sumber-sumber biografis, catatan-catatan sejarah, surat-surat kabar, laporan jurnal, dan sebagainya. Karya Mills yang terkenal adalah “The power elite” yang mengetengahkan kekuatan tritunggal: bisnis raksasa, pemerintahan yang kuat, dan militer yang tangguh di Amerika.

 

David Ricardo

David Ricardo adalah ekonom kelahiran Inggris. Setelah hak warisnya dicabut karena menikah dengan perempuan di luar iman Yahudi nya, dia memilih menjadi pialang dan broker saham. Pada umr 27 dia membaca buku Adam Smith, pada sekitar umur 37 dia sering menulis artikel ekonomi dan menjadi ekonom profesional. Ricardo menelorkan teori kwantitas uang yang saat ini dikenal dengan paham moneter, dia juga menawarkan proteksi dalam produksi untuk persaingan pasar. Kontribusi Ricardo terhadap ekonomi juga aplikasi matematika dalam teori sewa yang menyetir Malthus. Ricardo menjelaskan lewat pertanyaan, mengapa harga agrikultur tidak membantu petani penggarap menjadi lebih kaya dan justru pemilik tanah menjadi tuan-tuan tanah kaya.

 

Edward Said

Edward Said lahir di Palestina, sejak muda dia sudah menjadi aktifis, kritik-kritiknya dituangkan dalam penulisan kesusastraan, dan musik. Suatu hari kekuatan Israel berhasil menguasai Jerusalem barat, sehingga membuat dia dan keluarga mengungsi ke Kairo, Mesir, dia sendiri menuntut ilmu hingga ke Amerika Serikat. Kritik serangan balik Edward Said terhadap komentar-komentar Israel atas Palestina menggunkan sudut pandang mereka sendiri. Said justru menawarkan jalan damai mencapai tujuan bersama untuk eksistensi Palestina maupun Israel, dan bukan dengan penindasan, pengrusakan, dan penyiksaan. Paham itu adalah orientalisme, yaitu prasangka gigih eurosentris yang sulit dipisahkan dalam melawan orang-orang ArabIslam dan kultur mereka. Orientalisme memandang budaya diluar kebudayaannya secara subyektif dan sepihak, yang kemudian mensubordinasikan budaya luar tersebut.

 

George Herbert Mead

Mead lahir di Hadley selatan Amerika Serikat. Dia dibesarkan di tengah keluarga yang akademisi, karena kedua orang tuanya adalah profesor di Oberlin. Mead adalah penganut agamaCongregationalist (Kristen yang berdiri sendiri) seperti halnya ayahnya yang seorang pelayan Congregationalist. Gaya intelektualnya adalah pragmatis dengan pendekatan sosial behavioristik. Mead dapat digolongkan tokoh sosiologi dengan dasar pemikiran interaksionisme simbolik modern. Mead membahas hubungan antara pikiran seseorang, dirinya, dan masyarakat. Sumbangan Mead terhadap sosiologi adalah pandangan bahwa diri (self) seseoarang berkembang melalui tahap play, the game, dan generalized other, dan dalam prosesnya seseorang belajar mengambil peran orang lain (taking the role of the other).

 

G.W.F. Hegel

Hegel adalah tokoh peletak dasar fenomenologi dalam pisau analisis sosialnya. Fenomenologi mencoba untuk menyajikan sejarah manusia, dengan semua revolusinya, peperangan dan penemuan ilmiah, sebagai suatu pengembangan diri idealistis dari suatu roh sasaran atau pikiran. Filsafat Hegel adalah tentang Roh Absolut kemutlakan, tugas filsafat adalah pengembangan tentang Roh Absolut tersebut. Dia menyetir filsuf Yunani Parmenides bahwa masuk akal adalah riil dan yang riil adalah masuk akal. Hegel sangat menitik beratkan pada logika, sedangkan pengembangannya lewat dialektik. Hegel juga menyoroti alienasi yang kemudian juga menjadi referensi Engels, Marx, dan Feurbach.

 

 

Harold Garfinkel

Harold Garfinkel dapat dimasukkan pada sosiolog humanis seperti halnya Blumer yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai subyek. Namun Garfinkel lebih menekankan pada studi tentang etnometodologi, yaitu metode studi yang digunakan untuk menguraikan dan meneliti aktifitas mereka sendiri tanpa reduksi subyektif peneliti. Etnometodologi berusaha menemukan esensi pengalaman-pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, karena itu metode yang dipakai adalah partisipan observasi. Garfinkel justru menentang konsep dasar sosiologi mengenai keteraturan, karehna keteraturan tersebut melalui proses yang panjang multi kompleks yang justru tak teratur. Contohnya dalam percakapan, ada perbedaan antara apa yang benar-benar diucapkan dengan apa yang diperbincangkan.

 

Herbert Blumer

Blumer digolongkan tokoh interaksionisme simbolik modern. Tindakan-tindakan bersama yang mempu membentuk struktur atau lembaga itu disebabkan oleh interaksi simbolis, yang didalamnya mengandung makna, disampaikan lewat isyarat dan bahasa, berupa simbol-simbol yang berarti, memiliki makna yang disampaikan kepada pihak lain. Bagi Blumer manusia bertindak bukan hanya faktor eksternal (fungsionalisme struktural) dan internal (reduksionis psikologis) saja, namun individu juga mampu melakukan self indication atau memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi yang mengelilinginya itu. Pada dasarnya tindakan manusia itu terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal. Metode empiris Blumer lewat pengamatan (inquiry), penjelajahan (exploration), dan pemeriksaan (inspection). Blumer menekankan pada aspek kemanusiaan (humanis) yang unik dan berbeda satu sama lain, memiliki cita, rasa, karsa, serta multi variat.

 

A.R. Radcliffe Brown

Paradigma yang dianut adalah struktural fungsional, yang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan terdiri atas institusi yang secara fungsional saling bergantung. Brown adalah Darwinist sosial yang menekankan kepada kompetisi sosial yang paling fit untuk tetap survive. Dia banyak belajar dari sosiolog Perancis Durkheim tentang organ fisik atau badan yang bekerja sama untuk mendukung suatu badan hidup. Karirnya melejit setelah penelitian antropologinya tentang penduduk Andaman dan Aborigin menggunakan pendekatan fungsionalisme, namun banyak ilmuan menuduh struktural fungsional adalah format reduksionis.
Brown dapat dikelompokkan pada tokoh fungsionalisme klasik. Konsep fungsi oleh Brown didasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik. Dia mencontohkan bahwa hukuman pada kriminil memiliki fungsi untuk menjaga keberlangsungan struktur.

 

 

 

Saint Simon

Saint Simon adalah tokoh sosialisme industri modern dan sosiologi evolusioner. Dia menyarankan untuk menekan paham materialisme yang justru merugikan, dan menekankan pada kesatuan serta restorasi rohani. Bagi Saint Simon kemajuan ditentukan dari format peradaban yang stabil, program adalah dasar pemikiran yang membedakan, masing-masing format yang lebih tinggi adalah terdepan namun pada gilirannya juga akan menjadi usang oleh format baru. Saint Simon juga menciptakanilmu sosial integratif yang memadukan ilmu sosial dan ilmu alam yang pada saatnya memunculkan positivistik buah tangan muridnya Auguste Comte. Visi masyarakat masa depan Saint Simon adalah masyarakat yang memiliki prestasi, produktif, dimana kemiskinan dan peperangan dihapuskan melalui industrialisasi dibawah bimbingan ilmiah, untuk itu diperlukan open class masyarakat, sistem kasta dan suku bangsa dihapuskan, serta penghargaan berdasarkan jasa.

 

John Locke

Pemerintah dibentuk untuk melindungi sipil, namun jika kebebasan dan hak sipil direnggut, maka pemberontakan atas kekuasaan pemerintah adalah sah. Teori ini dikenal dengan teori hukum alamatau kebenaran alami.

 

 

sumber :  MAKALAHKU

TUGAS TEORI HUKUM MAGISTER ILMU HUKUM UNDIP 2009


[1] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Wal is rechtsteorie?, yang kemudian diterjemahkan oleh Arief Sidharta, demgan Apakah Teori Hukum itu?, Laboratorium Hukum FH Unpar Bandung, 2001, Penerbitan tidak Berkala No. 3, Seri Dasar-dasar Ilmu Hukum no. 3, lihat pada halaman yang sudah diterjemahkan, yaitu halaman 38-39.

[2] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm. 44.

[3] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 39.

[4] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 39.

[5] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48.

[6] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48.

[7] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 48. Untuk lebih jauh tentang persoalan ini hendaknya dapat dibaca buku dari kedua pemikir tersebut, karena sacara substansial pemikirannya diuraikan secara panjang lebar.

[8] Jan Gijssels, Mark van Hoecke, Ibid., hlm., 56, dalam bukunya tersebut jan Gijssels dan van de Hoecke menjelaskan beberapa definisi kepustakaan tentang filsafat hukum sebagai berikut:

1.     Sebagai sebuah disiplin spekulatif, yang berkenaan dengannya penalaran-penalarannya tidak dapat diuji secara rasional (I. Tammelo);

2.     Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hukumj yang benar, hukum yang adil (J. Schmidt, H. Kelsen);

3.     Sebagai fefleksi atas dasar-dasar dari kenyataan (yuridikal), suatu bentuk dari berfikir sistematis yang hanya akan merasa puas dengan hasil-hasil yang timbul dari dalam pemikiran (kegiatan berfikir) itu sendiri dan yang mencari hubungan teoretikal terefleksi, yang di dalamnya gejala hukum dapat dimengerti dan dipikirkan (D. Meuwissen).

4.     Sebagai disiplin yang mencari pengetahuan tentang hakikat (sifat) dan keadilan;pengetahuan tentang keberadaan transenden dan imanen dari hukum; pengetahuan tentang nilai-nilai yang di dalamnya hukum berperan tentang hubungan antara hukum dan keadilan pengetahuan tentang struktur dari pengetahuan tentang moral dan dari ilmu hukum pengetahuan tentang hubungan antara hukum dan moral (J. Darbellay).

[9] Jan Gijssels & Ma

 upaya pemahaman dan penjelasan yang berdasarkan pemikir-pemikir teori hukum  yang terdahulu bahkan yang sekarang ini.

b. Paradigma Circles (Mashab Wina  atau "Wissenchaftliche Welstanchaung)

           

     Paradigma yang menjadi ciri mashab ini ialah logika positivisme, satu pandangan yang melihat  pengetahuan  keilmuan sebagai sesuatu yang  bersifat  induktif, verifikasi yang didasarkan pada pengalaman,(pengamatan), itu diyakini sebagai sifat obyek dari sains.

            Dalam perkembangannya logika positifisme karena pengaruh pemikiran pragmatis Amerika, berubah menjadi logika empirisme, suatu pandangan bahwa obyektivitas sain dapat dilakukan dengan proses            berpikir aksiomatis.

            Proses yang bermula dari  basil pengamatan yang  dikaitkan dengan pemahaman teori (yang sudah menghasilkan kesimpulan hukum empiri baru (proportions verify propotions).

           

 

 

 

 

 

 

PENUTUP

Dari uraian pembahasan di atas maka permasalahan paradigma dalam ilmu hukum ini  sangat di motori oleh ahli pemikir di bidang ilmu hukum dalam menghadapi berbagai kondisi sosial yang di hadapinya. Dengan kata lain paradigma ilmu hukum itupun adalah hasil dari konstelasi kerangka keyakinan dan komitmen para ahli hukum terhadap ilmu hukum.

                                    Perkembangan ilmu hukum tidak terjadi secara terputus-putus apalagi secara revolusi, melainkan berkesinambungan sehingga pemikiran tentang hukum lama itu masih berperan dan diikuti kelompok komunal hukum tertentu. Hingga kini masih banyak penganut hukum alam, transcendental-idealism, rechtsdogmatiek dan ada pula yang rechtstheorie.

                                    Dengan  demikian lalu sebagai ilmu yang bertujuan untuk memanusiakan manusia menjadi terwujud, menuntut adanya keyakinan dan komitmen para insan  hukum (legal science  community)  untuk  mengedepankan  etika moral dan estetika yang bersumber dari Sang Khalik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar