Delik-delik dalam KUHP terdiri dari Delik percobaan, Penyertaan,
Perbarengan, Dolus, Culpa, Over Macht, Noodweer, Perintah Atasan. Adpaun Penjelasannya sebagai berikut:
A. Delik
percobaan
Dalam KUHP aturan mengenai delik percobaan ini ditentukan dalam dua rumusan pasal yaitu pasal 53 dan pasal 54. Berdasarkan rumusan pasal 53 terutama pada ayat 1 diketahui bahwa pada prinisipnya mencoba melakukan suatu tindak pidana adalah merupakan perbuatan terlarang dan bagi pelakunya dapat DIkenai sanksi pidana. Walaupun pengenaan pidananya tidak sampati batas maksimum sesuai dengan yang ditentukan dalam pasal hukum yang dilanggar.
Untuk mengatasi gugatan problem keadilan berkait dengan pemidanaan terhadap pelaku delik percobaan di atas, maka konsep rumusan pasal 53 KUHP menentukan syarat-syarat tertentu yang harus ada agar penjatuhan pidana kepada seseorang yang baru mencoba melakukan suatu kejahatan memperoleh justifikasi serta legitimasi. Syarat-syarat itu adalah:
1. Adanya niat dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kejahatan;
2. Niat jahat tersebut harus telah diwujudkan secara nyata dalam bentuk telah dilakukannya permulaan pelaksanaan kejahatan;
3. Kejahatan yang telah dimulai pelaksanaannya oleh seseorang tersebut akhirnya tidak selesai yang disebabkan oleh sesuatu diluar dirinya (alias bukan atas kehendaknya sendiri).
B. Delik Penyertaan
Ialah perbuatan pidana yang berbentuk khusus karena jumlah pelakunya lebih dari satu orang. Berdasarkan ketentuan pasal 55 dan 56 KUHP diketahui bahwa dalam kasus delik penyertaan, setidaknya ada 2 (dua) kemungkinan status keterlibatan seseorang, yaitu:
1. Adakalanya keterlibatan seseorang itu sebagai “dader” (pembuat delik);
2. Adakalanya keterlibatan seseorang itu sebagai “mede plichtiger” (pembantu bagi pembuat delik);
Adapun wujud “dader” itu sendiri, kapasitasnya dapat terjadi dengan 4 (empat) kemungkinan bentuk, yaitu:
1. Sebagai pleger (pelaku nyata/langsung dari tindak pidana);
2. Sebagai mede pleger (turut serta dengan pleger dalam melakukan tindak pidana);
3. Sebagai doen pleger (menyuruh pleger untuk melakukan tindak pidana);
4. Sebgai uit locker (menganjurkan pleger untuk melakukan tindak pidana).
C. Delik Perbarangan
Delik perbarengan yang disebut pula dengan istilah “concursus delicten” merupakan delik atau perbuatan pidana yang berbentuk khusus. Dikatakan demikian karena dalam delik ini seseorang melakukan lebih dari satu kali perbuatan pidana dan semuanya belum pernah diadili (diproses perkaranya secara hukum).
Sistem pemidanaan yang dilakukan tidaklah dengan menjumlah total dari keseluruhan ancaman sanksi pidana yang terdapat dalam seluruh pasal yang dilanggar. Sebagai contoh seseorang yang melakukan tindak pidan berupa tiga macam, yaitu pembunuhan dikenai sanksi pidana 20 tahun penjara, dan perkosaan=12 tahun penjara, serta penganiayaan hingga meninggal=10 tahun penjara, maka orang tersebut dikenai sanksi pidana 20+12+10=42 tahun. Dalam ilmu hukum pidana, berbagai cara/sistem mengenai kalkulasi pemidanaan untuk menyelesaikan kasus delik perbarengan inilah yang kemudian populer disebut dengan istilah ajaran tentang ”concursus”. Secara keseluruhan, konsepsi pemidanaan berkait dengan concursus delicten ini terdiri atas 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Concursus Idealis (Perbarengan Aturan)
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya hanya melakukan satu perbuatan pidana saja, tetapi satu perbuatan pidana yang dilakukannya tersebut jika dilihat dari sudut yuridis ternyata dapat dipandang sama dengan telah melanggar dua atau lebih atauran hukum pidana.
Berdasarkan pasal 63 KUHP cara pemidanaan yang harus diterapkan dalam menyelesaikan kasus concursus idealis adalah dengan menggunakan suatu sistem pemidanaan yang disebut “system absorbsi”, yaitu dengan 3 (tiga) model:
a. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa adalah sama bobot dan jenisnya (misalnya sama-sama maksimum 5 tahun penjara), maka cukup dikenakan salah satunya saja. Jadi tidak dijumlahkan totalitasnya sehingga menjadi 10 tahun penjara.
b. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa tersebut adalah berbeda baik bobot maupun jenisnya, maka bobot dan jenis pidana yang paling beratlah yang harus dijatuhkan.
c. Jika sanksi yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa tersebut, disatu sisi ada yang tercantum dalam hukum pidana umum dan di sisi lain ada yang tercantum dalam hukum pidana khusus, maka sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa ialah yang tercantum dalam aturan hukum pidana khusus.
2. Concursus Realis (Perbarengan Perbuatan)
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya telah melakukan dua atau lebih perbuatan pidana, sehingga oleh karena itu secara hukumpun ia dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan hukum pidana yang ada.
Dalam kasus demikian, setidaknya ada 3 (tiga) sistem pemidanaan sebagai model-model penyelesainnya, yaitu:
1. Sistem Absorbsi Dipertajam
Sistem ini diatur dalam ketentuan pasal 65 KUHP. Berdasarkan ketentuan pasal ini diketahui bahwa menurut sistem pemidanaan absorbsi dipertajam ini, seseorang yang terlibat concursus realis pada prinsipnya akan dikenai sanksi pidana terberat yang terdapat dalam beberapa aturan hukum yang dilanggar ditambah sepertinganya. Syarat dapat diterapkannya sistem absorbsi dipertajam ini adalah jika beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh pelaku concursus realis tersebut semuanya mencantumkan sanksi pidana pokok yang sejenis.
2. Sistem Komulasi Terbatas
Sistem ini diatur dalam ketentuan pasal 66-69 KUHP, yang pada prinsipnya mengajarkan bahwa jika ancaman sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum yang dilanggar oleh pelaku concursus realis adalah tidak sejenis, maka cara pemidanaannya ialah dengan menjatuhkan totalitas/ jumlah sanksi pidana yang ada dalam seluruh aturan hukum yang dilanggar, tetapi total akhir tidak boleh melebihi dari jumlah maksimum pidan yang terberat ditambah 1/3 nya.
3. Sistem Komulasi Murni
Sistem ini diterapkan untuk menyelesaikan kasus concursus realis jika wujud dan status dari masing –masing perbuatan pidana yang dilakukan tersebut adalah berbeda-beda. Menurut ketentuan pasal 70 ayat 1 KUHP, jika kasus concursus realis terdiri atas delik pelanggaran semua atau delik kejahatan ringan dan delik pelanggaran, maka sistem pemidanaannya ialah dengan cara menjatuhkan seluruh sanksi pidana yang terdapat dalam semua aturan hukum yang dilanggar. Jadi semua pidana dijumlah atau dikumulasikan.
D. Delik Dolus
Dalam pasal 18 KUHP dengan tegas ditentukan: Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja. Tentang apakah arti kesengajaan tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP.
Dalam Memorie van Toelicting (M.v.T), semacam Penjelasan Umum dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapt suatu rumusan mengenai pengertian “sengaja” kurang lebih sebagai berikut:
1. Keadaan batin si pelaku terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya yang secara psikis memang telah ia sadari / ketahui bahwa perbuatan tersebut adalah terlarang. Berdasarkan rumusan arti “sengaja” yang demikian ini, maka dalam khasanah teori hukum pidana kemudian dikenal sebuah teori kesengajaan yang disebut dengan “Teori Pengetahuan” atau”Voorstellings Theorie”. Inti teori ini mengajarkan perbuatan pidana seseorang sudah dapat dikatakan sengaja dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut mengetahui/ menyadari bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum.
2. Keadaaan batin si pelaku terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya yang tidak saja ia sadari bahwa perbuatan itu dilarang oleh hukum, tetapi juga memang dikehendaki terjadinya oleh si pelaku tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan “Teori Kehendak” atau “Wills Theorie”. Inti teori ini mengajarkan perbuatan pidan seseorang baru dapat dikatakan sengaja dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut tidak saja mengetahui / menyadari terlarangnya perbuatan, tetapi juga memang menghendaki terjadinya perbuatan itu.
Berdasarkan kedua ajaran teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian sengaja (dolus) ialah orang yang mengetahui atau menyadari perbuatannya dan atau menghendaki terjadinya perbuatan tersebut. Inilah yang biasa dipahami sebagai arti sengaja dalam makna yang sebenar-benarnya (Dolus Malus / Sengaja yang Bersifat Pasti).
Di samping itu, dalam khasanah teori hukum pidana juga dikenal kategori / bentuk sengaja yang bersifat kemungkinan (Dolus Evantualis). Artinya pelaku perbuatan pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin akan menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum. Namun meski ia menyadari hal itu, sikap yang muncul pada dirinya bukannya menjauhi perbuatan tersebut, melainkan justru tetap melakukannya dengan berpandangan kalaupun akibat tertentu yang dilarang hukum akan terjadi, ya apa boleh buat? Oleh karenanya, kategori / bentuk sengaja yang bernama dolus evantualis ini seringkali pula disebut dengan “Inklauf Nehmen Theorie” atau “Teori Apa Boleh Buat”.
Dalam hubungan ini perlu dipahami pula bahwa sekalipun menurut teori, bentuk kesengajaan dapat dibedakan secara gradual antara dolus malus dengan dolus evantualis namun sesungguhnya dalam praktek peradilan antara keduanya tidak ada perbedaan sama sekali, dalam peradilan adalah dipandang sama yakni merupakan bentuk sikap batin sengaja yang ada pada diri pelaku saat ia berbuat suatu tindak pidana
E. Delik Culpa
Kealpaan (culpa) diartikan sebagai keadaan batin si pelaku perbuatan pidana yang bersifat ceroboh/ teledor/ kurang hati-hati hingga pebuatan dan akibat yang dilarang hukum itu terjadi. dalam culpa ini pelaku sama sekali tidak ada niat sedikitpun untuk melakukan tindak pidana. Akan tetapi ia tetap patut dipersalahkan atau dicela karena sikapnya yang ceroboh atau teledor. Hal tersebut mengingat bahwa nilai-nilai dalam masyarakat mengharuskan setiap orang memiliki sikap hati-hati dalam bertindak, alias tidak ceroboh atau teledor.
Kealpaan dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. On Bewuste Culpa
Ialah sikap batin pelaku perbuatan pidana yang sama sekali tidak memiliki dugaan atau pikiran bahwa perbuatannya dapat menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum. Sikap tidak mau berpikir atau menduga tentang akibat dari perbuatannya itulah yang patut dipersalahkan. Contohnya: Budi baru mulai belajar naik sepeda motor, tetapi ia sudah mulai mengendarainya dengan kecepatan 100 km/jam di jalanan kampung, yang berakibat tertabraknya seorang pejalan kaki di pinggir jalan. Dalam fakta kasus Budi patut dipersalahkan, karena ia mengendarai dengan kecepatan tinggi di jalan kampung walaupun ia belum mahir mengedarai sepeda motor. Oleh karena itu ia patut dipertanggungjawabkan secara pidana.
2. Bewuste Culpa
Ialah sikap batin pelaku perbuatan pidana yang pada dasarnya ia telah memiliki dugaan/ pikiran bahwa perbuatannya mungkin saja dapat menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum, akan tetapi pada saat yang sama (disebabkan karena terlalu yakin) ia juga berpikir bahwa akibat tertentu yang dilarang hukum yang mungkin terjadi itu pasti akan dapat dihindarinya. Contoh kasus: Seorang sopir bus mengendarai busnya dengan kecepatan 100 km/jam di jalan Malioboro. Dia menyadari bahwa perbuatannya itu sangatlah berbahaya, akan tetapi ia yakin bahwa ia dapat menghindari terjadinya kecelakaan. Tapi ternyata dugaannya itu meleset dan mengakibatkan tertabraknya seorang pejalan kaki yang sedang melintas. Yang patut dipersalahkan adalah perbuatannya menganggap enteng kemungkinan timbulnya akibat. Seharusnya menurut nilai kepatutan di masyarakat ia berusaha mencegah atau menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan.
F. Over Macht (Daya Paksa)
Dalam pasal 48 KUHP, ditegaskan bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Secara teoritik, bentuk-bentuk daya paksa dapat dibedakan ke dalam dua ketegori:
1. Via Absolute, yaitu suatu kekuatan fisik bersifat mutlak yang mengenai dan mengkondisikan seseorang hingga ia tidak dapat menghindar sama sekali untuk berbuat lain kecuali terpaksa melakukan perbuatan pidana yang dilarang hukum. Dalam hal ini, pelaku hanya merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu ia tidak dikenai pidana karena hakekat alat adalah benda mati dan hukum tidaklah membicarakan atau mengatur benda mati sebagai obyek.
Contoh kasus: A menculik anak B, kemudian A menyuruh B untuk membunuh C, kalau A tidak mau maka anaknya akan dibunuh. Dalam kasus demikian, terjadinya perbuatan pidana yang dilakukan B adalah karena ia berada dalam suatu kondisi sangat terpaksa akibat kekuatan fisik (berupa ditawannya anak oleh A).
2. Via Compulsiva, yaitu suatu kekuatan psikis yang mengkondisikan seseorang hingga berada dalam keadaan terpaksa melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum.
Secara teoritik, sumber datangnya kekuatan psikis tersebut adakalanya berasal dari kekuatan mempengaruhi jiwa yang dilancarkan seseorang sehingga yang terkena secara psikis tidak lagi memiliki kehendak apa-apa selain mengikuti kemauan pihak yang melancarkan pengaruh jiwa tadi. Misalnya adalah hipnotis dan gundam.
Selain itu adakalanya bersumber dari suatu keadaan tertentu yang sering disebut dengan “keadaan darurat” (suatu keadaan yang sedemikian rupa benar-benar mengkondisikan seseorang hingga tidak memiliki kebebasan sama sekali untuk menentukan pilihannya antara melakukan atau tidak melakukan perbuatan pidana).
Keadaan darurat dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis:
a. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melaksanakan dua kewajiban sekaligus.
Contoh: Tono harus menjadi saksi di dua pengadilan di waktu dan hari yang sama. Sikap Tono yang tidak menghadiri di salah satu pengadilan dapatlah dibenarkan atau dimaafkan sehingga tidak dikenai pidana;
b. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melindungi dua kepentingan sekaligus.
Contoh: A dan B sedang tersesat di gurun padang pasir dan tinggal tersisa seteguk air yang cukup untuk satu orang saja. Sikap A yang meminum air tersebut hingga B mengalami kematian karena dehidrasi dapat dibenarkan atau dimaafkan;
c. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melindungi suatu kepentingan dengan keharusan melaksanakan suatu kewajiban.
Contoh: seorang pengemis yang mencuri makanan dikarenakan sudah tiga hari tidak makan. Dalam kasus tersebut pengemis tersebut dihadapkan pada dua sisi yaitu kepentingan mempertahankan hidup dan kewajiban untuk tidak mencuri. Oleh karena itu perbuatan tersebut tidak dapat dikenai ancaman pidana.
G. Noodweer (Pembelaan Terpaksa)
Pasal 49 ayat 1 berbunyi: Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.
Arti menyerang kiranya tidak perlu dijelaskan. Yang perlu dijelaskan adalah saat dimulainya serangan dan tentunya juga saat berhentinya serangan. Tentang saat dimulainya serangan dalam pasal tadi ditentukan harus “seketika itu”, yaitu antara saat melihatnya ada serangan, begitu dia mengadakan pembelaan. Ini ketentuannya di Nederland.
Di Indonesia saat dimulainya ancaman lebih diajukan lagi, yaitu dengan menambah kata “ancaman”. Jadi saat dimana orang sudah boleh mengadakan pembelaan bukannya kalau sudah dimulai dengan adanya serangan , tapi baru ada ancaman akan adanya serangan saja sudah boleh.
Mengenai akhir serangan, hendaknya jangan diartikan kalau sudah tidak ada serangan lagi saja. Jika demikian kalau orang melihat barangnya telah diambil oleh pencuri, dia tidak boleh lagi mengadakan pembelaan meskipun pencurinya masih dekat. Dalam praktek saat sesudah adanya serangan dipandang juga sebagai masih ada serangan.
Noodweer adalah pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum. Unsur-unsurnya adalah:
1. Serangan yang nyata:
a. Melawan hukum;
b. Mendesak dan sekonyong-konyong mengancam.
2. Serangan itu harus dilakukan terhadap:
a. Badan sendiri atau orang lain;
b. Kehormatan kesusilaan;
c. Barang milik sendiri atau orang lain.
H. Delik Perintah Atasan
Pasal 51 ayat 1 KUHP berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang tidak dipidana.” Dalam hal tersebut ada alasan pembenar, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa benar dan sudah semestinya kiranya tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 51 ayat 2 KUHP berbunyi: “Perintah jabatan tanpa wenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Untuk dapat melepas orang yang diperintah diri tanggungjawab atas perbuatannya, menurut ayat tersebut ada 2 syarat:
Pertama: yang subyektif, yaitu dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan perintah, maupun dari segi macamnya perintah. Tentu saja kesimpulan kea rah ini harus berdasar atas fakta-fakta yang ada.
Kedua: kalau dari fakta-fakta yang ada, adalah masuk akal jika terdakwa mengira bahwa perintah adalah sah, atau berwenang, maka apa yang diperintahkan itu secara obyektif, yaitu dalam kenyataannya, harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya.
REFERENSI
- Farid, A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, cet.1, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
- Kholiq, Abdul, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana,Yogyakarta, FH UII, 2002.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penterjemah: Moeljatno, cet.14, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985.
- Moeljatno, Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985.
- ________ , Asas-Asas Hukum Pidana, cet.7, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002.
Dalam KUHP aturan mengenai delik percobaan ini ditentukan dalam dua rumusan pasal yaitu pasal 53 dan pasal 54. Berdasarkan rumusan pasal 53 terutama pada ayat 1 diketahui bahwa pada prinisipnya mencoba melakukan suatu tindak pidana adalah merupakan perbuatan terlarang dan bagi pelakunya dapat DIkenai sanksi pidana. Walaupun pengenaan pidananya tidak sampati batas maksimum sesuai dengan yang ditentukan dalam pasal hukum yang dilanggar.
Untuk mengatasi gugatan problem keadilan berkait dengan pemidanaan terhadap pelaku delik percobaan di atas, maka konsep rumusan pasal 53 KUHP menentukan syarat-syarat tertentu yang harus ada agar penjatuhan pidana kepada seseorang yang baru mencoba melakukan suatu kejahatan memperoleh justifikasi serta legitimasi. Syarat-syarat itu adalah:
1. Adanya niat dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kejahatan;
2. Niat jahat tersebut harus telah diwujudkan secara nyata dalam bentuk telah dilakukannya permulaan pelaksanaan kejahatan;
3. Kejahatan yang telah dimulai pelaksanaannya oleh seseorang tersebut akhirnya tidak selesai yang disebabkan oleh sesuatu diluar dirinya (alias bukan atas kehendaknya sendiri).
B. Delik Penyertaan
Ialah perbuatan pidana yang berbentuk khusus karena jumlah pelakunya lebih dari satu orang. Berdasarkan ketentuan pasal 55 dan 56 KUHP diketahui bahwa dalam kasus delik penyertaan, setidaknya ada 2 (dua) kemungkinan status keterlibatan seseorang, yaitu:
1. Adakalanya keterlibatan seseorang itu sebagai “dader” (pembuat delik);
2. Adakalanya keterlibatan seseorang itu sebagai “mede plichtiger” (pembantu bagi pembuat delik);
Adapun wujud “dader” itu sendiri, kapasitasnya dapat terjadi dengan 4 (empat) kemungkinan bentuk, yaitu:
1. Sebagai pleger (pelaku nyata/langsung dari tindak pidana);
2. Sebagai mede pleger (turut serta dengan pleger dalam melakukan tindak pidana);
3. Sebagai doen pleger (menyuruh pleger untuk melakukan tindak pidana);
4. Sebgai uit locker (menganjurkan pleger untuk melakukan tindak pidana).
C. Delik Perbarangan
Delik perbarengan yang disebut pula dengan istilah “concursus delicten” merupakan delik atau perbuatan pidana yang berbentuk khusus. Dikatakan demikian karena dalam delik ini seseorang melakukan lebih dari satu kali perbuatan pidana dan semuanya belum pernah diadili (diproses perkaranya secara hukum).
Sistem pemidanaan yang dilakukan tidaklah dengan menjumlah total dari keseluruhan ancaman sanksi pidana yang terdapat dalam seluruh pasal yang dilanggar. Sebagai contoh seseorang yang melakukan tindak pidan berupa tiga macam, yaitu pembunuhan dikenai sanksi pidana 20 tahun penjara, dan perkosaan=12 tahun penjara, serta penganiayaan hingga meninggal=10 tahun penjara, maka orang tersebut dikenai sanksi pidana 20+12+10=42 tahun. Dalam ilmu hukum pidana, berbagai cara/sistem mengenai kalkulasi pemidanaan untuk menyelesaikan kasus delik perbarengan inilah yang kemudian populer disebut dengan istilah ajaran tentang ”concursus”. Secara keseluruhan, konsepsi pemidanaan berkait dengan concursus delicten ini terdiri atas 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Concursus Idealis (Perbarengan Aturan)
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya hanya melakukan satu perbuatan pidana saja, tetapi satu perbuatan pidana yang dilakukannya tersebut jika dilihat dari sudut yuridis ternyata dapat dipandang sama dengan telah melanggar dua atau lebih atauran hukum pidana.
Berdasarkan pasal 63 KUHP cara pemidanaan yang harus diterapkan dalam menyelesaikan kasus concursus idealis adalah dengan menggunakan suatu sistem pemidanaan yang disebut “system absorbsi”, yaitu dengan 3 (tiga) model:
a. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa adalah sama bobot dan jenisnya (misalnya sama-sama maksimum 5 tahun penjara), maka cukup dikenakan salah satunya saja. Jadi tidak dijumlahkan totalitasnya sehingga menjadi 10 tahun penjara.
b. Jika sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa tersebut adalah berbeda baik bobot maupun jenisnya, maka bobot dan jenis pidana yang paling beratlah yang harus dijatuhkan.
c. Jika sanksi yang terdapat dalam beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh terdakwa tersebut, disatu sisi ada yang tercantum dalam hukum pidana umum dan di sisi lain ada yang tercantum dalam hukum pidana khusus, maka sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa ialah yang tercantum dalam aturan hukum pidana khusus.
2. Concursus Realis (Perbarengan Perbuatan)
Yaitu seseorang yang dalam kenyataan sebenarnya telah melakukan dua atau lebih perbuatan pidana, sehingga oleh karena itu secara hukumpun ia dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan hukum pidana yang ada.
Dalam kasus demikian, setidaknya ada 3 (tiga) sistem pemidanaan sebagai model-model penyelesainnya, yaitu:
1. Sistem Absorbsi Dipertajam
Sistem ini diatur dalam ketentuan pasal 65 KUHP. Berdasarkan ketentuan pasal ini diketahui bahwa menurut sistem pemidanaan absorbsi dipertajam ini, seseorang yang terlibat concursus realis pada prinsipnya akan dikenai sanksi pidana terberat yang terdapat dalam beberapa aturan hukum yang dilanggar ditambah sepertinganya. Syarat dapat diterapkannya sistem absorbsi dipertajam ini adalah jika beberapa aturan hukum pidana yang dilanggar oleh pelaku concursus realis tersebut semuanya mencantumkan sanksi pidana pokok yang sejenis.
2. Sistem Komulasi Terbatas
Sistem ini diatur dalam ketentuan pasal 66-69 KUHP, yang pada prinsipnya mengajarkan bahwa jika ancaman sanksi pidana yang terdapat dalam beberapa aturan hukum yang dilanggar oleh pelaku concursus realis adalah tidak sejenis, maka cara pemidanaannya ialah dengan menjatuhkan totalitas/ jumlah sanksi pidana yang ada dalam seluruh aturan hukum yang dilanggar, tetapi total akhir tidak boleh melebihi dari jumlah maksimum pidan yang terberat ditambah 1/3 nya.
3. Sistem Komulasi Murni
Sistem ini diterapkan untuk menyelesaikan kasus concursus realis jika wujud dan status dari masing –masing perbuatan pidana yang dilakukan tersebut adalah berbeda-beda. Menurut ketentuan pasal 70 ayat 1 KUHP, jika kasus concursus realis terdiri atas delik pelanggaran semua atau delik kejahatan ringan dan delik pelanggaran, maka sistem pemidanaannya ialah dengan cara menjatuhkan seluruh sanksi pidana yang terdapat dalam semua aturan hukum yang dilanggar. Jadi semua pidana dijumlah atau dikumulasikan.
D. Delik Dolus
Dalam pasal 18 KUHP dengan tegas ditentukan: Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja. Tentang apakah arti kesengajaan tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP.
Dalam Memorie van Toelicting (M.v.T), semacam Penjelasan Umum dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapt suatu rumusan mengenai pengertian “sengaja” kurang lebih sebagai berikut:
1. Keadaan batin si pelaku terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya yang secara psikis memang telah ia sadari / ketahui bahwa perbuatan tersebut adalah terlarang. Berdasarkan rumusan arti “sengaja” yang demikian ini, maka dalam khasanah teori hukum pidana kemudian dikenal sebuah teori kesengajaan yang disebut dengan “Teori Pengetahuan” atau”Voorstellings Theorie”. Inti teori ini mengajarkan perbuatan pidana seseorang sudah dapat dikatakan sengaja dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut mengetahui/ menyadari bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum.
2. Keadaaan batin si pelaku terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya yang tidak saja ia sadari bahwa perbuatan itu dilarang oleh hukum, tetapi juga memang dikehendaki terjadinya oleh si pelaku tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan “Teori Kehendak” atau “Wills Theorie”. Inti teori ini mengajarkan perbuatan pidan seseorang baru dapat dikatakan sengaja dilakukan jika saat berbuat pelaku tersebut tidak saja mengetahui / menyadari terlarangnya perbuatan, tetapi juga memang menghendaki terjadinya perbuatan itu.
Berdasarkan kedua ajaran teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian sengaja (dolus) ialah orang yang mengetahui atau menyadari perbuatannya dan atau menghendaki terjadinya perbuatan tersebut. Inilah yang biasa dipahami sebagai arti sengaja dalam makna yang sebenar-benarnya (Dolus Malus / Sengaja yang Bersifat Pasti).
Di samping itu, dalam khasanah teori hukum pidana juga dikenal kategori / bentuk sengaja yang bersifat kemungkinan (Dolus Evantualis). Artinya pelaku perbuatan pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin akan menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum. Namun meski ia menyadari hal itu, sikap yang muncul pada dirinya bukannya menjauhi perbuatan tersebut, melainkan justru tetap melakukannya dengan berpandangan kalaupun akibat tertentu yang dilarang hukum akan terjadi, ya apa boleh buat? Oleh karenanya, kategori / bentuk sengaja yang bernama dolus evantualis ini seringkali pula disebut dengan “Inklauf Nehmen Theorie” atau “Teori Apa Boleh Buat”.
Dalam hubungan ini perlu dipahami pula bahwa sekalipun menurut teori, bentuk kesengajaan dapat dibedakan secara gradual antara dolus malus dengan dolus evantualis namun sesungguhnya dalam praktek peradilan antara keduanya tidak ada perbedaan sama sekali, dalam peradilan adalah dipandang sama yakni merupakan bentuk sikap batin sengaja yang ada pada diri pelaku saat ia berbuat suatu tindak pidana
E. Delik Culpa
Kealpaan (culpa) diartikan sebagai keadaan batin si pelaku perbuatan pidana yang bersifat ceroboh/ teledor/ kurang hati-hati hingga pebuatan dan akibat yang dilarang hukum itu terjadi. dalam culpa ini pelaku sama sekali tidak ada niat sedikitpun untuk melakukan tindak pidana. Akan tetapi ia tetap patut dipersalahkan atau dicela karena sikapnya yang ceroboh atau teledor. Hal tersebut mengingat bahwa nilai-nilai dalam masyarakat mengharuskan setiap orang memiliki sikap hati-hati dalam bertindak, alias tidak ceroboh atau teledor.
Kealpaan dapat dikelompokkan menjadi dua:
1. On Bewuste Culpa
Ialah sikap batin pelaku perbuatan pidana yang sama sekali tidak memiliki dugaan atau pikiran bahwa perbuatannya dapat menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum. Sikap tidak mau berpikir atau menduga tentang akibat dari perbuatannya itulah yang patut dipersalahkan. Contohnya: Budi baru mulai belajar naik sepeda motor, tetapi ia sudah mulai mengendarainya dengan kecepatan 100 km/jam di jalanan kampung, yang berakibat tertabraknya seorang pejalan kaki di pinggir jalan. Dalam fakta kasus Budi patut dipersalahkan, karena ia mengendarai dengan kecepatan tinggi di jalan kampung walaupun ia belum mahir mengedarai sepeda motor. Oleh karena itu ia patut dipertanggungjawabkan secara pidana.
2. Bewuste Culpa
Ialah sikap batin pelaku perbuatan pidana yang pada dasarnya ia telah memiliki dugaan/ pikiran bahwa perbuatannya mungkin saja dapat menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum, akan tetapi pada saat yang sama (disebabkan karena terlalu yakin) ia juga berpikir bahwa akibat tertentu yang dilarang hukum yang mungkin terjadi itu pasti akan dapat dihindarinya. Contoh kasus: Seorang sopir bus mengendarai busnya dengan kecepatan 100 km/jam di jalan Malioboro. Dia menyadari bahwa perbuatannya itu sangatlah berbahaya, akan tetapi ia yakin bahwa ia dapat menghindari terjadinya kecelakaan. Tapi ternyata dugaannya itu meleset dan mengakibatkan tertabraknya seorang pejalan kaki yang sedang melintas. Yang patut dipersalahkan adalah perbuatannya menganggap enteng kemungkinan timbulnya akibat. Seharusnya menurut nilai kepatutan di masyarakat ia berusaha mencegah atau menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan.
F. Over Macht (Daya Paksa)
Dalam pasal 48 KUHP, ditegaskan bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”. Secara teoritik, bentuk-bentuk daya paksa dapat dibedakan ke dalam dua ketegori:
1. Via Absolute, yaitu suatu kekuatan fisik bersifat mutlak yang mengenai dan mengkondisikan seseorang hingga ia tidak dapat menghindar sama sekali untuk berbuat lain kecuali terpaksa melakukan perbuatan pidana yang dilarang hukum. Dalam hal ini, pelaku hanya merupakan alat untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu ia tidak dikenai pidana karena hakekat alat adalah benda mati dan hukum tidaklah membicarakan atau mengatur benda mati sebagai obyek.
Contoh kasus: A menculik anak B, kemudian A menyuruh B untuk membunuh C, kalau A tidak mau maka anaknya akan dibunuh. Dalam kasus demikian, terjadinya perbuatan pidana yang dilakukan B adalah karena ia berada dalam suatu kondisi sangat terpaksa akibat kekuatan fisik (berupa ditawannya anak oleh A).
2. Via Compulsiva, yaitu suatu kekuatan psikis yang mengkondisikan seseorang hingga berada dalam keadaan terpaksa melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum.
Secara teoritik, sumber datangnya kekuatan psikis tersebut adakalanya berasal dari kekuatan mempengaruhi jiwa yang dilancarkan seseorang sehingga yang terkena secara psikis tidak lagi memiliki kehendak apa-apa selain mengikuti kemauan pihak yang melancarkan pengaruh jiwa tadi. Misalnya adalah hipnotis dan gundam.
Selain itu adakalanya bersumber dari suatu keadaan tertentu yang sering disebut dengan “keadaan darurat” (suatu keadaan yang sedemikian rupa benar-benar mengkondisikan seseorang hingga tidak memiliki kebebasan sama sekali untuk menentukan pilihannya antara melakukan atau tidak melakukan perbuatan pidana).
Keadaan darurat dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis:
a. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melaksanakan dua kewajiban sekaligus.
Contoh: Tono harus menjadi saksi di dua pengadilan di waktu dan hari yang sama. Sikap Tono yang tidak menghadiri di salah satu pengadilan dapatlah dibenarkan atau dimaafkan sehingga tidak dikenai pidana;
b. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melindungi dua kepentingan sekaligus.
Contoh: A dan B sedang tersesat di gurun padang pasir dan tinggal tersisa seteguk air yang cukup untuk satu orang saja. Sikap A yang meminum air tersebut hingga B mengalami kematian karena dehidrasi dapat dibenarkan atau dimaafkan;
c. Keadaan darurat yang mengakibatkan seseorang berada dalam situasi dilematis (terjepit) diantara keharusan melindungi suatu kepentingan dengan keharusan melaksanakan suatu kewajiban.
Contoh: seorang pengemis yang mencuri makanan dikarenakan sudah tiga hari tidak makan. Dalam kasus tersebut pengemis tersebut dihadapkan pada dua sisi yaitu kepentingan mempertahankan hidup dan kewajiban untuk tidak mencuri. Oleh karena itu perbuatan tersebut tidak dapat dikenai ancaman pidana.
G. Noodweer (Pembelaan Terpaksa)
Pasal 49 ayat 1 berbunyi: Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.
Arti menyerang kiranya tidak perlu dijelaskan. Yang perlu dijelaskan adalah saat dimulainya serangan dan tentunya juga saat berhentinya serangan. Tentang saat dimulainya serangan dalam pasal tadi ditentukan harus “seketika itu”, yaitu antara saat melihatnya ada serangan, begitu dia mengadakan pembelaan. Ini ketentuannya di Nederland.
Di Indonesia saat dimulainya ancaman lebih diajukan lagi, yaitu dengan menambah kata “ancaman”. Jadi saat dimana orang sudah boleh mengadakan pembelaan bukannya kalau sudah dimulai dengan adanya serangan , tapi baru ada ancaman akan adanya serangan saja sudah boleh.
Mengenai akhir serangan, hendaknya jangan diartikan kalau sudah tidak ada serangan lagi saja. Jika demikian kalau orang melihat barangnya telah diambil oleh pencuri, dia tidak boleh lagi mengadakan pembelaan meskipun pencurinya masih dekat. Dalam praktek saat sesudah adanya serangan dipandang juga sebagai masih ada serangan.
Noodweer adalah pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum. Unsur-unsurnya adalah:
1. Serangan yang nyata:
a. Melawan hukum;
b. Mendesak dan sekonyong-konyong mengancam.
2. Serangan itu harus dilakukan terhadap:
a. Badan sendiri atau orang lain;
b. Kehormatan kesusilaan;
c. Barang milik sendiri atau orang lain.
H. Delik Perintah Atasan
Pasal 51 ayat 1 KUHP berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang tidak dipidana.” Dalam hal tersebut ada alasan pembenar, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa benar dan sudah semestinya kiranya tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 51 ayat 2 KUHP berbunyi: “Perintah jabatan tanpa wenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wenang, dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Untuk dapat melepas orang yang diperintah diri tanggungjawab atas perbuatannya, menurut ayat tersebut ada 2 syarat:
Pertama: yang subyektif, yaitu dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan perintah, maupun dari segi macamnya perintah. Tentu saja kesimpulan kea rah ini harus berdasar atas fakta-fakta yang ada.
Kedua: kalau dari fakta-fakta yang ada, adalah masuk akal jika terdakwa mengira bahwa perintah adalah sah, atau berwenang, maka apa yang diperintahkan itu secara obyektif, yaitu dalam kenyataannya, harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya.
REFERENSI
- Farid, A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, cet.1, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
- Kholiq, Abdul, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana,Yogyakarta, FH UII, 2002.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penterjemah: Moeljatno, cet.14, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985.
- Moeljatno, Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985.
- ________ , Asas-Asas Hukum Pidana, cet.7, Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar